Rencana lanskap agroforestri manggis berbasis bioregion di Desa Barengkok Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor

(1)

KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR

BALQIS NAILUFAR

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi Rencana Lanskap Agroforestri Manggis di Desa barengkok, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Balqis Nailufar A44060685


(3)

BALQIS NAILUFAR. A44060685. Rencana Lanskap Agroforesti Manggis di Desa Barengkok, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO

Manggis (Garcinnia mangostana Linn) merupakan salah satu komoditas buah tropis primadona ekspor Indonesia. Manggis memiliki ekonomi tinggi serta mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai salah satu komoditas ekspor Indonesia. Komoditas manggis menjadi buah-buahan andalan ekspor Indonesia juga dikarenakan refleksi perpaduan dari keindahan warna dan kenikmatan rasa buahnya sehingga dijuluki sebagai “Queen of Fruits”. Salah satu desa penghasil manggis adalah Desa Barengkok yang sejak tahun 2002 dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Bogor masuk dalam desa pendukung kawasan Agropolitan I kawasan komoditas manggis. Desa Barengkok selain berkomoditas utama manggis juga merupakan salah satu desa yang mempunyai potensi sumber daya alam dan budaya yang khas, terlihat dari potensi kebun manggis, durian dan buah-buahan lainnya. Namun, tanaman manggis yang terdapat pada Desa Barengkok belum dikelola dengan baik. Kebun berasal dari hutan sekunder dengan tanaman manggis yang sudah ada secara turun-temurun. Karakteristik penanaman tanaman manggis pada Desa Barengkok umumnya merupakan tanaman yang tumbuh sembarangan dan berkembang tanpa perawatan atau pemeliharaan petani karena tanaman ini dianggap hanya sebagai tanaman sampingan. Tanaman manggis yang ditanam pada desa ini berdampingan dengan tanaman lain seperti pisang, manggis, jambu, rambutan, jengkol, mangga, kelapa, nangka, durian, dan bambu. Tanaman manggis yang ditanam pada Desa Barengkok juga umumnya berproduksi rendah dan berkualitas ekport yang rendah (Pusat Kajian Buah Tropis Institut Pertanian Bogor, 2004) . Untuk itu dibutuhkan perencanaan lanskap di Desa Barengkok agroforestri manggis berbasis bioregion. Perencanaan agroforestri manggis berbasis bioregion pada Desa Barengkok diharapkan dapat berkelanjutan baik ekonomi, sosial, maupun ekologis.

Studi ini bertujuan mengevaluasi struktur spasial lanskap di Desa Barengkok dan aktifitas masyarakat yang tinggal di Desa Barengkok, serta menyusun rencana lanskap agroforestri manggis Desa barengkok dengan berbasis sistem bioregion sehingga akan terbentuk lanskap yang berkelanjutan dari segi ekonomi, sosial dan ekologi. Studi dilakukan disalah satu kawasan agropolitan manggis yaitu di Desa Barengkok, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor mulai bulan Februari 2010 sampai dengan Februari 2011.

Tahapan perencanaan terdiri dari inventarisasi, analisis kemudian dilakukan sintesis, dan dilanjutkan dengan perencanaan agroforestri manggis berbasis bioregion. Pada tahap inventarisasi dimulai dari penyusunan peta pendahuluan (preliminary map), selanjutnya dilakukan survey lapang untuk mengkonfirmasi dan verifikasi hasil intepretasi. GPS digunakan dalam penentuan titik acuan ground control point. Tahap inventarisasi dilakukan penyusunan kondisi umum, aspek fisik, dan penyusunan aspek sosial, ekonomi, budaya. Penyusunan aspek tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam proses analisis rencana lanskap agroforestri manggis berbasis bioregion. Tahap Analisis, aspek


(4)

struktur organisasi masyarakat, serta potensi komoditas) dianalisis untuk mengidentifikasi nilai intrinsik di daerah tersebut, kemudian membentuk unit bioregion, unit lanskap dan unit tempat. Pada tahap analisis selain dilakukan pengklasifikasian bioregion, juga ditentukan kriteria kesesuaian terhadap agroforestri manggis, sehingga terdapat beberapa bentuk agroforestri yang sesuai untuk komoditas manggis yaitu kebun, kebun campuran, talun, sawah, empang, dan pekarangan. Pada tahap sintesis, dilakukan penyepadanan kriteria penggunaan lahan agroforestri manggis dengan kriteria kelas bioregion yang sudah di tentukan sebelumnya.

Tahapan yang terakhir yaitu tahap perencanaan. Pada tahap perencanaan dituangkan kedalam konsep rencana agroforestri dan diarahkan kepengembangan yang digambarkan kedalam tipe agroforestri pada setiap bentuk-bentuk agroforestri yang ada di Desa Barengkok. Konsep rencana agroforestri juga digambarkan dalam bentuk konsep tata ruang dan konsep sirkulasi. Hasil akhir pada tahap rencana lanskap agroforesri manggis dilakukan dalam bentuk gambar rencana lanskap agroforestri manggis berbasis bioregion.

Berdasarkan perencanaan yang telah dilakukan, diketahui bahwa Desa Barengkok termasuk kesatuan unit bioregion dari DAS Cisadane. Desa Barengkok terbagi menjadi 97 unit lanskap berdasarkan nilai intrinsik sub DAS, tanah, dan lereng. Pada pembagian unit tempat terbagi kembali menjadi 295 unit tempat yang terdeliniasi berdasarkan landcover yang menggambarkan suatu aktivitas (budaya) pada Desa Barengkok. Unit tempat tersebut kemudian dipadankan terhadap tipe karakteristik agroforesti manggis, dan menghasilkan lima tipe agroforestri yaitu kebun, kebun campuran, ladang, sawah, dan pekarangan.

                                   


(5)

         

© Hak Cipta Milik Balqis Nailufar, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

   

                         


(6)

KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR

         

       

BALQIS NAILUFAR

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap  

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(7)

Judul Skripsi : Rencana Lanskap Agroforestri Manggis Berbasis Bioregion di Desa Barengkok, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor Nama : Balqis Nailufar

NIM : A44060685  

       

Disetujui, Pembimbing

Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si NIP. 19620214 198703 1 002

Diketahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001


(8)

SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Rencana Lanskap Agroforestri Manggis Berbasis Bioregion di Desa Barengkok, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pertanian di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang telah memberikan bantuan doa, pemikiran, serta tenaga yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua yang penulis sangat cintai, Abah dan Ibu atas dorongan moral dan doanya yang senantiasa diberikan kepada penulis;

2. Bapak Ir. Qodarian Pramukanto, Dip. Env. M.Si, selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, kritik dan saran selama berlangsungnya penelitian;

3. Ibu Dr. Ir. Afra DN Makalew, M.Sc dan Ibu Ir. Alinda FM Zain, M.Sc atas kritik dan saran selaku dosen penguji skripsi;

4. Mas Naufal, Mas Adhek, dan Adik Enggit, serta seluruh anggota keluarga Likuci, Mane, Mba Eva, dan Bulik Tukha atas doa, dukungan, motivasi dan kasih sayang tanpa batas yang diberikan kepada penulis;

5. Kelurahan Desa Barengkok yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Desa Barengkok, dan membantu dalam pengumpulan data primer dan data sekunder

6. Bapak Ujang selaku perwakilan dari Kelurahan Desa Barengkok yang bersedia menemani dalam pencarian data primer;

7. Perwakilan dari Kelompok Tani manggis dan penduduk dari Desa barengkok yang membantu dalam pengumpulan data primer;

8. Sahabat seperjuangan bimbingan (teh Cici, Dian, Tati dan IkA) yang telah bersama-sama berkonsultasi dan berikhtiar dalam menyusun skripsi;

9. Sahabat TengTong family ARL 43, ( IkA, Margolang, Jipi, Muteb, Kaka, Kempi, PW, Titou, mas Endy, mas Sugi, Komti Andi, Dedi, Mochiapapa, Nesh, Nganjoex, Nining, Nita, Om Jun, Ochi, Adho, Perth, Pitung, Presti, Pram, Putri, Dwica, Ray, Revi, Rido, Onal, Sisi, Tati, Vina, Wanti, Wemby,


(9)

Joe dan Mahmud) atas memberikan cerita indah dan motivasi kepada penulis, kakak angkatan ARL 39,40, 41, dan 42 yang telah membantu pada masa perkuliahan, serta adik angkatan 44 dan 45 yang telah memberikan dorongan yang penuh semangat;

10. Sahabat tempat sharing skripsi Titou, Muteb, Budut, Jipi, Om Jun dan Manceu yang banyak memberikan masukan;

11. Teman-teman kosan “Wisma Sakinah” khususnya kepada Pak Maman, Margolang, Kaka, Icha, Adel, Pitung, Vita, Aar, Mita, dan Tania” dan teman-teman kosan “Wisma Pelangi”, Marina, Nielma, Pipi, Pipit, Yuli, Teteh, Aa, dan Nenek atas motivasi yang diberikan kepada penulis;

12. Teman-teman “Wahana Telisik Sastra” khususnya Padhe, IkA, Kaka, Udin, Izu, mas Heri, Wedhus, Rheza, Tika, Nanang, dan mas Bayu yang telah memberikan warna lain yang indah.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Kritik dan saran penulis harapkan dari semua pihak guna penyempurnaan penulisan-penulisan karya ilmiah selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.


(10)

Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 21 Juli 1989 dari pasangan Bapak Aris Samsudin dan Ibu Nafisah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Riwayat pendidikan formal penulis dimulai dari jenjang pendidikan TK Aisyah Bustamul Amal Dermasandi yang dilanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) yang diselesaikan di SD Negeri Kalikangkung 02 pada tahun 2000. Pendidikan sekolah lanjutan pertama diselesaikan di SLTP Negeri 1 Pangkah pada tahun 2003, dan pada tahun 2003-2006 penulis melanjutkan pendidikan sekolah lanjutan menengah atas di SMA Negeri 1 Slawi. Pada tahun 2006, Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan tahun 2007 masuk dalam Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian.

Selama di IPB, penulis aktif dalam acara atau kegiatan yang diselenggarakan oleh HIMASKAP (Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap). Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Teori Desain Lanskap (ARL 212) tahun 2010.

Penulis juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sastra dan seni khususnya dalam komunitas “Wahana Telisik Seni dan Sastra”. Selain itu penulis aktif mengikuti lomba puisi dan teater yang diadakan oleh BEM KM IPB pada periode 2006-2010, dan mendapat juara 1,2, dan 3.


(11)

i

Halaman

DAFTAR TABEL... ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

1.4 Kerangka Pikir Penelitian. ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Bioregion ... 4

2.2 Ruang Bioregional ... 5

2.3 Manggis ... 5

2.4 Agroforestri ... 8

2.4.1 Klasifikasi Sistem Agroforestri ... 9

2.4.2 Dampak Sistem Agroforestri ... . 15

2.4.3 Pemilihan Lahan Agroforestri ... 17

2.5 Lanskap Agroforestri Berbasis Manggis ... 18

III. METODOLOGI ... 19

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 20

3.3 Metode Penelitian ... 22

3.3.1 Inventarisasi ... 24

3.3.1.1 Penyusunan Aspek fisik ... 24

3.3.1.2 Penyusunan Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya ... 24

3.3.2 Analisis dan Sintesis ... 24

3.3.2.1 Analisis Fisik dan Sosial-Budaya ... 24

3.3.2.2 Analisis Bioregion ... 25

3.3.2.3 Analisis Kriteria Kesesuaian Agroforestri Manggis.... 26

3.3.2.4 Sintesis... 32

3.3.3 Perencanaan... 33

3.3.3.1 Konsep Rencana... 33

3.3.3.2 Pengembangan Konsep Rencana... 33

3.3.3.3 Rencana Lanskap Agoforestri Berbasis Bioregion.... 33

IV. KONDISI UMUM ... 34

4.1. Profil Desa Barengkok ... 34

4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi ... 35

4.1.2 Aksesbilitas ... 37

4.2 Sejarah Desa Barengkok ... 38

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39


(12)

ii

5.1.1.2 Iklim dan Curah Hujan ... 44

5.1.1.3 Tanah ... 46

5.1.1.4 Hidrologi ... 47

5.1.1.5 Penutupan Lahan ... 50

5.1.2 Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 53

5.1.2.1 Demografi ... 53

5.1.2.2 Kemasyarakatan dan Pola Kehidupan masyarakat ... 56

5.1.2.3 Struktur Organisasi masyarakat ... 57

5.1.2.4 Potensi Komoditas Manggis ... 58

5.2 Klasifikasi Bioregional ... 60

5.2.1 Kaslifikasi Pembentuk Unit Bioregion ... 60

5.2.2 Analisis Klasifikasi Unit Lanskap ... 63

5.2.3 Analisis Pembentukan Unit Tempat ... 65

5.3 Klasifikasi Kesesuaian Terhadap Agroforestri Manggis ... 65

5.3.1 Analisis Kesesuaian Lahan Manggis ... 65

5.3.2 Karakteristik Agroforestri ... 70

5.4 Sintesis ... ... . 73

VI. PERENCANAAN LANSKAP ... 78

6.1 Konsep Perencanaan ... 78

6.2 Pengembangan Konsep Rencana ... 78

6.2.1 Konsep Ruang ... 82

6.2.2 Konsep Sirkulasi ... 83

6.2.3 Tipe Agroforestri ... 84

6.3 Rencana lanskap Agroforestri Berbasis Bioregion ... 93

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 95

7.1 Simpulan ... 95

7.2 Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(13)

iii

Halaman

1. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Manggis ... 7

2. Bentuk Agroforetri yang Berkembang di Indonesia ... 13

3. Jenis, Interpretasi dan Sumber Data kegiatan Perencanaan Lanskap ... 20

4. Klasifikasi Bioregion ... 25

5. Penentuan Lokasi Lahan Komoditas Manggis ... 28

6. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Manggis ... 30

7. Penggunaan Lahan Agroforestri Manggis ... 32

8. Kriteria Penggunaan Lahan Agroforestri manggis pada Desa Barengkok 32

9. Jarak (km) Desa barengkok Terhadap Desa-Desa di Kecamatan Leuwiliang Tahun 2008 ... 37

10. Alternatif Kendaraan dan Waktu Tempuh ... 37

11. Luas Kelas Lereng Desa Barengkok ... 39

12. Luas Penutupan Lahan Desa Barengkok ... 50

13. Kriteria Interpretasi Citra Satelit Untuk Kelas Penutupan Lahan ... 54

14. Usia produktif (Usia 15 s/d 55 Tahun) ... 56

15. Jumlah Penduduk Desa Barengkok Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 56

16. Daftar DAS dan Sub DAS di Jawa Barat ... 60

17. Penentuan Lokasi Lahan Komoditas Manggis... 68

18. Kriteria Kesesuai Lahan Komoditas Manggis ... 68

19. Kriteria Penggunaan Lahan Agroforestri Manggis ... 73


(14)

iv

1. Kerangka pemikiran ... 3

2. Peta lokasi penelitian ... 19

3. Diagram Rencana Kegiatan Perencanaaan Lanskap Agroforestri ... 23

4. Kerangka Pembagian Ruang Bioregion ... 27

5. Batas Desa Barengkok ... 36

6. Topografi Desa Barengkok ... 40

7. Potongan Desa Barengkok ... 41

8. Kemiringan Lahan Desa Barengkok ... 42

9. Ladang Kosong pada Desa Barengkok ... 44

10. Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Lama Penyinaran Tahun 2007 /

2008 ... 45

11. Kecepatan Angin dan Curah Hujan tahun 2007/2008 ... 46

12. Jenis Tanah pada Kabupaten Bogor ... 47

13. Jenis Tanah Desa Barengkok ... 48

14. Sub DAS Sungai Cianten dan Sungan Citeureup ... 49

15. Jaringan Pipa Untuk Konsumsi Masyarakat ... 50

16. Das Jawa Barat ... 51

17. Sub DAS Desa Barengkok ... 52

18. Penutupan Lahan Desa Barengkok ... 55

19. Unit Bioregion ... 62

20. Unit Lanskap ... 64

21. Unit Tempat ... 68

22. Block Plan ... 77

23. Ilustrasi Gedung Penyimpanan dan Pengolahan ... 80

22. Ilustrasi Koperasi ... 80

23. Matriks Hubungan Antar Ruang ... 81

24. Konsep Ruang ... 82

25. Konsep Sirkulasi ... 84

26. Acuan Umum proporsi Tanaman pada Kemiringan Lahan yang Berbeda 84


(15)

v

30. Ilustrasi Agroforestri Tipe Sawah ... 88

31. Tipe Agroforestri pada Talun ... 88

30. Ilustrasi Agroforestri Tipe Talun ... 89

33. Tipe Agroforestri pada Kebun Campuran ... 90

34. Ilustrasi Agroforestri Tipe Kebun Campuran ... 91

35. Tipe Agroforestri pada Kebun ... 92

36. Ilustrasi Agroforestri Tipe Kebun ... 93


(16)

1.1 Latar Belakang

Manggis (Garcinnia mangostana Linn) merupakan salah satu komoditas buah tropis primadona ekspor Indonesia. Manggis memiliki nilai ekonomi tinggi serta mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai salah satu komoditas ekspor Indonesia. Sejak tahun1970-an hingga sekarang permintaan ekspor manggis terus meningkat. Manggis menempati urutan pertama yang menjadi komoditas buah andalan ekspor Indonesia di atas nanas dan jeruk Komoditas manggis menjadi buah-buahan andalan ekspor Indonesia juga dikarenakan refleksi perpaduan dari keindahan warna dan kenikmatan rasa buahnya sehingga dijuluki sebagai “Queen of Fruits”.

Pada sisi perkembangan produksi, selama 5 tahun komoditas manggis menunjukan keadaan yang fluktuatif. Produksi manggis pada tahun 2002 yang tercatat sebesar 62.055 ton meningkat menjadi 79.073 ton pada tahun 2003, tetapi pada tahun 2004 mengalami penurunan lagi menjadi 62.117 ton serta meningkat kembali pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing menjadi 64.711 ton dan 72.634 ton (Departemen Pertanian, 2009). Pada sisi permintaan buah manggis Indonesia di luar negeri (Taiwan, Singapore, Malaysia, Hongkong, Jepang dan Timur Tengah) terus meningkat setiap tahunnya. Ekspor buah manggis pada tahun 2000 mencapai 7.182 ton dengan nilai Rp. 50.199.374.140, 00 atau sekitar 45% dari nilai ekonomi total ekspor buah-buahan di Indonesia. Berdasarkan produksi tahun 2000 yang mencapai 26.400 ton, maka ekspor manggis tersebut mencapai 27,20% dari total produksi manggis Nasional. Pangsa pasar ekspor ini masih bisa ditumbuhkembangkan, mengingat pengembangan manggis dalam kebun yang mengarah agribisnis sudah mulai dirintis oleh Pemerintah bersama pihak Swasta.

Berdasarkan masterplan Bappeda (2005) Desa Barengkok yang berada di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor termasuk salah satu desa potensial yang diarahkan menjadi Desa Pusat Pertumbuhan (DPP). Desa Barengkok merupakan desa yang mempunyai potensi sumber daya alam dan budaya yang khas. Desa ini mempunyai potensi kebun manggis, durian, dan buah-buahan lainnya. Manggis merupakan komoditas yang menjadi unggulan di Kecamatan Leuwiliang termasuk


(17)

di Desa Barengkok. Desa Barengkok sejak tahun 2002 masuk dalam desa pendukung kawasan Agropolitan I dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Bogor dalam kawasan komoditas manggis.

Namun, tanaman manggis yang terdapat pada Desa Barengkok belum dikelola dengan baik. Kebun berasal dari hutan sekunder dengan tanaman manggis yang sudah ada secara turun-temurun. Karakteristik penanaman tanaman manggis pada Desa Barengkok umumnya merupakan tanaman yang tumbuh sembarangan dan berkembang tanpa perawatan atau pemeliharaan petani karena tanaman ini dianggap hanya sebagai tanaman sampingan. Tanaman manggis yang ditanam pada desa ini berdampingan dengan tanaman lain seperti pisang, manggis, jambu, rambutan, jengkol mangga, kelapa, nangka, durian, dan bambu. Produktivitas buah manggis pada desa ini masih relatif rendah yaitu 10-25 kg/pohon, begitu pula dengan kualitas buah yang dihasilkan masih rendah terutama untuk buah kualitas ekspor kurang dari 1% (Pusat Kajian Buah Tropis Institut Pertanian Bogor, 2004) .

Untuk itu dibutuhkan perencanaan lanskap agroforestri manggis berbasis bioregion Desa Barengkok. Agroforestri adalah suatu sistem tata guna lahan berkelanjutan yang mempertahankan atau meningkatkan hasil total dengan mengkombinasikan tanaman pangan (annual) dengan tanaman pohon (parennial) atau peternakan dalam unit lahan yang sama pada waktu yang bergantian atau pada waktu yang sama dengan melakukan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya penduduk setempat dan kondisi ekonomi, ekologi area (Vergara, 1982). Bioregion merupakan istilah yang unik dari keseluruhan karakteristik bentukan natural yang menghasilkan wilayah yang spesifik. Wilayah spesifik ini dibentuk berdasarkan pada iklim, aspek lokal dari cuaca, bentukan lahan, batas air, tanah, tanaman asli dan hewan. Kearifan lokal yang ada pada masyarakat dan budaya lokal juga sangat berpengaruh dan dijadikan sebagai pendekatan utama dari penentuan bioregion (Berg, 2002). Perencanaan agroforestri manggis melalui pendekatan boregion tidak ditentukan oleh batasan politik dan administratif tetapi dibatasi oleh batasan geografik, komunitas manusia serta sistem ekologinya. Perencanaan agroforestri manggis berbasis bioregion di


(18)

Desa Barengkok diharapkan dapat berkelanjutan baik ekonomi, sosial, maupun ekologis.

1.2 Tujuan

a. Menyusun struktur spasial bioregion Desa Barengkok. b. Menyusun tipe agroforestri manggis Desa Barengkok

c. Merencanakan lanskap agroforestrimanggisDesa Barengkok dengan berbasis bioregion.

1.3 Manfaat

Menjadi acuan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam merencanakan agroforestri di Desa Barengkok atau daerah sejenis lainnya berbasis bioregion terutama pada komoditas manggis.

1.4 Kerangka Pikir Penelitian

Desa Barengkok merupakan salah satu desa pendukung dari Desa Karacak yang merupakan kawasan agropolitan manggis. Kawasan agropolitan manggis sendiri merupakan bagian dari Kecamatan Leuwiliang. Desa Barengkok memiliki kondisi fisik dan sosial budaya. Kedua aspek tersebut mengandung nilai-nilai intrinsik yang membentuk klasifikasi Bioregion yaitu unit bioregion, unit lanskap dan unit tempat. Dari pengklasifikasian Bioregion tersebut dapat diajukan konsep perencanaan kawasan untuk selanjutnya dilakukan perencanaan agroforestri manggis berbasis bioregion. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir

Perencaaan Lanskap Agroforestri Berbasis Bioregion Desa Barengkok

Klasifikasi Bioregion: 1. Bioregion

2. Sub region 3. Unit lanskap 4. Unit tempat

Tipologi Agroforestri

Kriteria Tipe-Tipe Agroforestri Karakteristik

Bioregion

Matching


(19)

2.1 Bioregion

Bioregion merupakan suatu konsep sekaligus praktik dalam mengelola wilayah yang termasuk didalamnya tanah dan air yang menghubungkan antara masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup, sehingga dalam aplikasinya penentuan batas tidak berdasar faktor politis dan batas artifisial seperti administratif, juridiksi, maupun kepemilikan, tetapi berdasarkan batas geografis komunitas manusia dan sistem ekologinya. Berdasarkan etimologi Thayer (2003), mendefinisikan bioregion berasal dari -bio yang berarti hidup, region yang berarti wilayah, dan territorial yang berarti sebagai tempat hidup (life place). Hal ini berarti bioregion merupakan “ruang kehidupan” yaitu secara bervariasi terdiri dari geografi daerah aliran sungai, ekosistem tumbuhan dan hewan, landform serta budaya manusia yang khas yang tumbuh dari potensi alam.

Bioregion memadukan ekosistem darat, pesisir dan laut, termasuk ekosistem pulau kecil dengan masyarakat dan kebudayaannya dalam konteks ruang. Bioregion juga merupakan wilayah geografis yang memiliki kesamaan cirri iklim, tanah, flora, fauna asli dan pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan serta kondisi kesadaran untuk hidup di wilayah tersebut WALHI (2010). Berdasarkan (WRI-IOCN-UNEP,1991 dalam Kartodiharjo, 2001) kakteristik bioregion adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai keberagaman ekosistem dan memiliki ketergantungan satusama lain

2. Menyatukan ekosistem alam dengan masyarakat sehingga dapat menjamin integritas, resiliensi, dan produktivitas.

3. Tidak dibatasi oleh administrasi atau etnis

4. Memerlukan riset, ilmu pengetahuan, dan pengetahuan lokal. 5. Pendekatan koopertif dan adaptif

Oleh sebab itu mengacu pada definisi dan karakteristik diatas, bioregion dapat digunakan sebagai:


(20)

2. Pendekatan dalam merencanakan suatu kawasan 3. Proses untuk merencanakan suatu kawasan.

2.2 Ruang Bioregional

Bioregional terdiri dari empat unit ruang antara lain bioregion, subregion, unit lanskap, dan unit tempat. Pendekatan bioregional menawarkan kerangka kerja berbasis ruang untuk perencanaan, konservasi dan pembangunan. Pendekatan ini membagi lanskap ke dalam bagian-bagian atau unit lanskap berdasarkan kondisi geologi dan hidrologinya bukan dengan metode politik. Setiap unit ruang bisa dinamakan berdasarkan sumber daya intrinsik, arkeologi, budaya, rekreasi, keindahan, pendidikan, dan kebutuhan lokal yang dimilikinya (Jones, G., I. Jones, S. Durrant, S.K. Lee, A.K. Hardy, M.S. Atkinson dan K.G Kim, 1998).

Berdasarkan Thayer (2003), Bioregion juga diistilahkan sebagai ruang kehidupan. Studi mengenai ruang hidup menghubungkan ruang alam, ruang spiritual, identitas, seni lokal, makanan, dan kearifan kedalam pengetahuan yang holistik. Pendekatan Bioregion menemukan pola dari suatu tempat dan dapat membangun kesadaran yang sangat bernilai dalam perencanaan, desain serta konservasi di skala regional. Pola bioregional unik secara regional dan sesuai dengan geomorfi, iklim, biotik dan budaya yang mempengaruhi suatu tempat. Pola Bioregional bisa memberikan jalan untuk:

a. menghubungkan simbol-simbol dalam peta ke dalam data lingkungan; b. menghubungkan urutan dari simbol dan pola kedalam ruang dan waktu; c. memberikan bentuk ruang (melalui desain) ke lanskap masa depan; d. mencapai keberlanjutan dalam kombinasi ekologi dan budaya.

Pengidentifikasian pola biokultural suatu kawasan ini, akan menyediakan solusi untuk mengetahui mana tempat yang dapat dibangun dan tidak boleh dibangun (Lewis, 1996).

2.3 Manggis

Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Malaysia atau Indonesia. Manggis berasal dari Asia Tenggara dan menyebar ke daerah Amerika Tengah serta daerah tropis lainnya seperti Srilanka, Malagasi, Karibia, Hawai, dan Australia Utara. Di Indonesia manggis disebut dengan berbagai


(21)

macam nama lokal seperti Manggu (Jawa Barat), Manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara) dan Manggista (Sumatra Barat).

Masyarakat dunia mengenal manggis sebagai ”Queen of Fruits” karena rasanya yang eksotik yaitu manis, asam berpadu dengan sedikit sepat. Prospek pengembangan agribisnis manggis sangat cerah mengingat peminat buah ini di luar negeri banyak dan harganya relatif mahal.Selama tahun 1994, Taiwan merupakan pasar terbesar manggis Indonesia. Taiwan mengimpor manggis Indonesia sebayak 2.235.177 kg atau 83% dari total ekspor buah Indonesia. Negara lain yang mengimpor manggis adalah Jepang, Brunci, Hongkong, Arab Saudi, Kuwait, Oman, Belanda, Perancis, Swiss, dan Amerika Serikat. Peluang pasar luar negeri diperkirakan terus meningkat dengan penambahan volume 10,7% per tahun. Harga manggis di pasar tradisional relatif murah karena manggis yang dipasarkan di dalam negeri adalah sisa ekspor, jadi mutunya sudah tidak baik. Jika produsen dapat menghasilkan buah manggis dengan mutu yang merata dan konstan, sudah pasti harga tersebut akan jauh lebih tinggi.

Sistem penanaman yang dilakukan pada komoditas manggis sebagian besar menggunakan sistem polikultur atau monokultur. Namun, ada beberapa petani yang menggunakan sistem penanaman monoluktur. Sebagian besar petani melakukan polikultur manggis dengan tanaman durian, melinjo dan dukuh. Sedangkan jenis tanaman lain yang biasa dipolikulturkan dengan manggis adalah cengkeh, kayu, petai, rambutan, kuweni, nangka, dan pisang (Pusat kajian Buah Tropis Institut pertanian Bogor, 2004).

Kawasan perencanaan sentra manggis di Kabupaten Bogor terdapat di Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Jasinga. Pada kawasan perencanan mengingat lahan yang relatif luas, beberapa kegiatan budidaya seperti penanaman, penyiangan, dan panen dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja di luar rumah tangga. Sedangkan untuk aktivitas pemeliharaan yang ringan banyak dilakukan oleh tenaga kerja keluarga. Istri dan anak lelaki merupakan tenaga kerja keluarga yang paling dominan membantu petani dalam pekerjaan (Bappeda, 2005).

Berdasarkan Direktorat Tanaman Buah (2003), untuk meningkatkan mutu dan produktivitas manggis di sentra produksi, diperlukan adanya norma-norma


(22)

khususnya mengenai pemilihan lokasi, agar dapat menghasilkan buah manggis yang berkualitas baik dan berdaya saing khususnya di pasar luar negeri. Pemilihan lokasi yang dilakukan pada saat pra-panen dalam upaya penerapan sistem jaringan mutu pada tanaman manggis, berdasar pada

a. studi kelayakan lahan dan agrokilimat (tipe iklim A, tanpa bulan kering) sampai dengan (tipe iklim C bulan kering 4-6 bulan), dengan curah hujan antara 1.250-2.500 mm/ tahun atau rata-rata 1500-1700 mm/ tahun dengan suhu udara 22-32°C, menurut Smith ferguson;

b. kemiringan lahan < 20% dengan ketinggian tempat < 800 meter dpl;

c. menerapkan teknik konservasi pada lahan miring dan sistem surjan pada lahan sawah;

d. jenis tanah yang sesuai adalah Latosol, Podzolik Merah Kuning dan Andosol dengan syarat gembur, memiliki zat hara yang cukup dan drainasi yang baik dan tidak bercadas, keasaman tanah (pH) 5-7;

e. kedalaman air tanah dangkal (50-200 cm) dan dekat sumber air;

f. letak lahan bebas residu pestisida, bahan beracun dan berbahaya seperti limbah B.

Dalam menghasilkan buah manggis yang berkualitas baik dan berdaya saing khusunya dipasar luar negeri juga diperhatikan kriteria kesesuaian lahan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Kriteria Kesesuai Lahan Komoditas Manggis

Persaratan Penggunaan/ Karakteristik lahan

Kelas Kesesuaian Lahan

S1 S2 S3 N Ketersedian Oksigen

Drainase Baik, Sedang Agak Terhambat Terhambat, Agak Cepat Sangat Terhambat, Cepat Media Perakaran

Tekstur Halus, Agak

Halus, Sedang

- Agak Kasar Kasar

Kedalaman tanah (cm) >100 75-100 50-75 <50

Bahaya Erosi

Lereng (%) <8 8-16 16-30 >30 Bahaya Erosi Sangat

Rendah

Rendah – Sedang

Berat Sangat berat

Penyiapan Lahan

Batuan di permukaan (%) <5 5-15 15-40 >40 Singkapan batuan (%) <5 5-15 15-25 >25 Sumber: Djaenudin, et al., 2003.


(23)

Keterangan

a. kelas S1 (sangat sesuai): lahan tidak mempunyai kriteria pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau kriteria pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata;

b. kelas S2 (cukup sesuai): lahan mempunyai kriteria pembatas, dan kriteria pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri;

c. kelas S3 (sesuai marginal): lahan mempunyai kriteria pembatas yang berat, dan kriteria pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi kriteria pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (interval) pemerintah atau pihak swasta;

d. kelas N (tidak sesuai): lahan yang karena mempunyai kriteria pembatas yang sangat berat dan / atau sulit diatasi (Ritung et al, 2007).

2.4 Agroforestri

Agroforestri adalah suatu sistem tata guna lahan berkelanjutan yang mempertahankan atau meningkatkan hasil total dengan mengkombinasikan tanaman pangan (annual) dengan tanaman pohon (parennial) atau peternakan dalam unit lahan yang sama pada waktu yang bergantian atau pada waktu yang sama dengan melakukan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya penduduk setempat dan kondisi ekonomi, ekologi area (Vergara, 1982). Young, 1989 mengatakan bahwa agroforestri adalah gabungan nama untuk sistem tata guna lahan yang didalamnya terdapat tanaman perennial berkayu (pohon, semak) yang tumbuh bersama-sama dengan tanaman herbaceous (tanaman pangan, padang rumput) atau peternakan dan didalamnya terdapat interaksi ekologi dan ekonomi antara komponen pohon dengan komponen bukan pohon. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dikemukakan karakteristik dari agroforestri (Combed an Budowski, 1979)


(24)

b. fungsi yang terpenting diberikan oleh komponen hutan.

Waktu dari kombinasi dan pembagian ruang lahan diukur dari komponen kehutanan.

2.4.1 Klasifikasi sistem Agroforestri

Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan untuk menunjukkan kompleksitas agroroforestri dibandingkan budidaya tunggal (monoculture; baik di sektor kehutanan atau di sektor pertanian). Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan, berikut merupakan klasifikasi sistem agroforestri yang terdapat pada lapangan:

a. Klasifikasi berdasarkan komponen penyusunnya.

Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, atau peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1) agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems) adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen pertanian (tanaman non-kayu);

2) silvopastura (Silvopastural systems) adalah Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (binatang ternak/ pasture) disebut sebagai sistem silvopastura;

3) agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems) adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan (binatang) pada unit manajemen lahan yang sama.

b. Klasifikasi berdasarkan istilah teknis yang digunakan.

Meskipun kita telah mengenal agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan, tetapi seringkali digunakan istilah teknis yang berbeda atau lebih spesifik, seperti sistem, sub-sistem, praktik, dan teknologi (Nair, 1993).


(25)

1) Sistem agroforestri, didasarkan pada komposisi biologis serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-ekonominya. Istilah sistem sebenarnya bersifat umum.

2) Sub-sistem agroforestri, menunjukkan hirarki yang lebih rendah daripada sistem agroforestri, meskipun tetap merupakan bagian dari sistem itu sendiri. 3) Praktek agroforestri, menjurus kepada operasional pengelolaan lahan yang

khas dari agroforestri yang murni didasarkan pada kepentingan atau kebutuhan. Prakter agroforestri juga merupakan pengalaman dari petani lokal atau unit manajemen yang lain, yang didalamnya terdapat komponen-komponen agroforestri.

4) Teknologi agroforestri, merupakan inovasi atau penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistem-sistem atau praktik-praktik agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

c. Klasifikasi berdasarkan masa perkembangannya

Ditinjau dari masa perkembangannya, terdapat dua kelompok besar agroforestri, yaitu

1) agroforestri tradisional/klasik (traditional/ classical agroforestry);

Thaman, 1988 mendefinisikan agroforestri tradisional atau agroforestri klasik sebagai setiap sistem pertanian, di mana pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tegakan atau tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial-ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem);

2) agroforestri moderen (modern/ modern agroforestry).

Berbagai bentuk dan teknologi agroforestri yang dikembangkan setelah diperkenalkan istilah agroforestri pada akhir tahun 70-an, dikategorikan sebagai agroforestri moderen.

d. Klasifikasi berdasarkan zona agroekologi

Menurut Nair (1989), klasifikasi agroforestri dapat juga ditinjau dari penyebarannya atau didasarkan pada zona agroekologi, yaitu: (1) agroforestri yang berada di wilayah tropis lembab dataran rendah (lowland tropical humid tropic); (2) agroforestri pada wilayah tropis lembab dataran tinggi (high-land tropical humid tropic); (3) agroforestri pada wilayah sub-tropis lembab dataran


(26)

rendah (lowland humid sub-tropic); dan (4) agroforestri pada wilayah sub-tropis dataran tinggi (highland humid sub-tropic). Dalam konteks Indonesia, klasifikasi seperti ini dapat didasarkan pada wilayah agroekologi yang sedikit berbeda. Pada zona klimatis utama, terdapat 4 wilayah yaitu (1) zona monsoon (khususnya di Jawa dan Bali); (2) zona tropis lembab (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi); serta (3) zona kering atau semi arid (Nusa Tenggara). Pembagian berdasarkan zona ekologi klimatis utama di atas, dapat pula berdasarkan ekologi lokal, antara lain (4) zona kepulauan (Nusa Tenggara atau Kepuluan Maluku); dan (5) zona pegunungan (Jawa, Sumatera, dan Papua).

e. Klasifikasi berdasarkan orientasi ekonomi

Banyak pihak yang berpandangan bahwa agroforestri dikembangkan untuk memecahkan permasalahan kemiskinan dan petani kecil, karena adanya busung lapar (sebagai contoh di Jawa yang memiliki kepadatan penduduk >700 jiwa/km2) atau kondisi lingkungan hidup yang sulit akibat aspek geografis (keterisolasian wilayah) atau aspek ekologis (wilayah-wilayah beriklim kering). Pendapat ini tidak dapat disalahkan seratus persen, karena kenyataannya selama ini memang program-program (proyek-proyek) pengembangan agroforestri lebih banyak dijumpai pada negara-negara berkembang yang miskin di wilayah tropis (Afrika, Asia, dan Amerika Latin). Dalam implementasi, agroforestri dibuktikan sebagai sistem pemanfaatan lahan yang mampu mendukung orientasi ekonomi, tidak hanya pada tingkatan subsistem saja, melainkan pada tingkatan semi-komersial hingga komersial sekalipun (Nair, 1989).

f. Klasifikasi berdasarkan sistem produksi

Ditinjau dari sistem produksi menurut A.S. Mustofa. D. Tony, S.A. Hadi, dan W. Nurheni, 2003 terdapat tiga pengklasifikasian agroforestri berdasar sistem produksi, yaitu

1) agroforestri berbasis hutan (Forest Based Agroforestry);

Forest Based Agroforestry systems pada dasarnya adalah bebagai bentuk agroforestri yang diawali dengan pembukaan sebagian areal hutan atau belukar untuk aktivitas pertanian,dan dikenal dengan sebutan agroforest;


(27)

Farm based Agroforestry systems dianggap lebih teratur dibandingkan dengan agroforest (forest based agroforestry) dengan produk utama tanaman pertanian dan atau peternakan tergantung sistem produksi pertanian dominan di daerah tersebut. Komponen kehutanan merupakan elemen pendukung bagi peningkatan produktivitas atau keberlanjutan sistem;

3) agroforestri berbasis pada keluarga (Household based Agroforestry);

Agroforestri yang dikembangakan pada areal pekarangan rumah ini di Banglades juga disebut agroforestri pekarangan (homestead agroforestry). Di Indonesia, yang terkenal adalah model kebun talun di Jawa Barat. Sedangkan di Kalimantan Timur, ada kebun pekarangan tradisinal yang dimiliki oleh sayu keluarga besar (clan). Kondisi ini bisa terjadi karena pada masa lampau beberapa keluarga tinggal bersama-sama pada rumah panjang (atau disebut sebagai ‘lamin’). Di berbagai daerah di Indonesia, pekarangan biasanya ditanam pohon buah-buahan dengan tanaman pangan.

g. Klasifikasi berdasarkan lingkup manajemen

Pengklasifikasian agroforestri berdasarkan lingkup manajemen ini memang belum dilakukan secara luas karena dalam agroforestri terdapat kombinasi jenis dalam satu unit manajemen (misal satu kebun). Tetapi secara tradisional dan sesuai dengan tuntutan aspek perencanaan tata ruang wilayah di masa depan, kombinasi kehutanan, pertanian, atau peternakan juga berlangsung dalam satu bentang alam dari suatu agroekosistem. Klasifikasi agroforestri berdasarkan lingkup manajemennya, adalah sebagai berikut

1) agroforestri pada tingkat tapak (skala plot); 2) agroforestri pada tingkat bentang lahan. h. Klasifikasi berdasarkan jenisnya

Berdasarkan Arsyad, 2006 menyatakan bahwa tindakan konservasi lahan yang dilakukan dengan cara wanatani (agoforestri) memiliki banyak jenis, diantaranya adalah

1) kebun Pekarangan, yakni kebun campuran yang terdiri atas campuran yang tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghassilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim yang terletak di sekitar rumah;


(28)

2) talun Kebun, adalah suatu sistem wanatani tradisional dimana sebidang tanah ditanami dengan berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial dan urutan temporal;

3) pertanaman lorong, yakni suatu bentuk penggunaan yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan dilorong atau gang yang ada diantara pagar tanaman pohon atau semak (Kang, et al, dalam Arsyad ,2006);

4) permaculture, merupakan suatu sistem yang terpadu dan berkembang terdiri atas berbagai tanaman tahunan atau tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dan hewan yang bermanfaat bagi manusia (Mollison dan Holmgren dalam Arsyad, 2006).

Berdasarkan klasifikasi agroforestri tersebut, maka secara umum pada Tabel 2 terdapat beberapa bentuk agroforestri yang berkembang di Indonesia.

Tabel 2 Bentuk agroforestri yang berkembang di Indonesia

Sistem Sub-Sistem Contoh Praktek Contoh

Teknologi

Agrisilvikultur Pohon dengan

tanaman semusim (Plantation Crop

Combination)

Sengon dengan umbi-umbian (ubi jalar,

talas, ubi kayu), sengon dengan tanaman pangan lain; Kebun Pekarangan

(Home-gardens)

Pekarangan (Di

seluruh Jawa)

Tumpangsari (Taungya systems)

Tumpangsari (Hampir

di seluruh hutan jati di Jawa); MR

(Manajemen Rejim;

taraf uji coba a.l. di Madiun); Pinus dan kopi (Malang) Perlandangan

Berpindah Tradisional

(Taditional Shifting Cultivation)

Hamper di seluruh wilayah tropis lembab di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi

Pengayaan lahan yang diberakan (improved fallow) dengan penanaman Sengon atau pohon cepat tumbuh lainnya) Kebun Rotan (Rattan

Cardens)

Kebont We (Suku

Dayak benua/ Kaltim); kebun Gai (Suku Tunjung/ Kaltim)

Penanaman jenis-jenis rotan komersial (a.l. pulut dan manau) pada tegakan bekas tebangan (di areal HPH di Kaltim) atau dikombinasikan dengantanaman keras


(29)

Lanjutan Tabel 2

Sistem Sub-Sistem Contoh Praktek Contoh

Teknologi

Kebun campuran (Mixed Cropping)

a.l. Pohon buah-buahan dengan kopo atau padi (di pedalaman Kaltim)

Tumpangsari di Perkebunan Karet, Pinus atau Hutan tanaman Industri (di banyak tempat); Kakao di bawah tegakan hutan bekas tebangan (Kaltim) Tajar Hidup (Life

poles)

Tanaman lada/ Vanili/ Sirih pada berbagai jenis pohon a.l. Gamal, Dadap, randu, Jengkol (di banyak tepat di Kalimantan dan Sumatera) Sistem tebas bakar

(slash and burn agriculture)

Oma (Nusa tenggara; pertanian lahan kering berpindah dikonbersi dari hutan, saat ini ada beberapa pohon) Sistem pertanaman

semusim (mixed annual-tree cropping)

Rau (Lombok) (pertanian lahan kering menetap dengan pohon penutup yang tersebar) Budidaya lorong

(Alley cropping system)

Kamutu luri (Sumba; budidaya lorong tradisional) Hutan Keluaga/ kebun

campuran (Mixed tree-gardening)

Omang wike (Sumba;

hutan keluarga tradisional)

Timor(diperkenalkan di seluruh Nusa Tenggara)

Silvopastura Penggembalaan dalam

perkebunan

Ternak sapi di bawah kebun kelapa (Tanjung Harapan/ Kaltim)

Tegakan pohon pakan ternak (Fooder Woodlots)

Nangka, Lamtoro

Gung dll. Ditanam untuk pakan ternak (sistem usaha tani terpadu/ integrated farming system di areal-areal transmigrasi)

Agrosilvopastura Kebun Hutan

(Forest-gardens)

Talun (Jawa Barat); Wono (Kapur Selatan/ yogyakarta)


(30)

Lanjutan Tabel 2

Sistem Sub-Sistem Contoh Praktek Contoh

Teknologi

Sistem Tiga Strata (Baru dipromosikan oleh dinas pertanian)

Lainnya Pohon pada Budidaya

ikan (Trees in piscicultre)

Dijumpai banyak pada area transmigrasi

Budidaya ikan / udang di mangrove

(aquaculture in

mangrove area)

Hanya di beberaa daerah di wilayah pantai Sumatra, Kalimantan, dna Sulawesi

(Ide untuk mengatur pola tanaman guna menyempurnakan

silvofishery) Lebah madu alam

(Apiculture with trees)

Dijumpai banyak di desa-desa masyarakat asli/ lokal di

pedalaman Kalimantan

(pebudidaaan; tetapi belum berkembang luas di luar Jawa)

2.4.2 Dampak Sistem Agroforestri

Vergara, 1982 menyatakan bahwa terdapat tiga macam manfaat dari sistem agroforestri, yaitu:

a. Manfaat lingkungan

Manfaat lingkungan dari penggabungan tanaman pohon dan pangan di ladang pegunungan terdiri dari manfaat ekologi dan manfaat ekolologi tapak itu sendiri. Pada manfaat ekologi dari pernggabungan tanaman meliputi

1) agroforestri dapat menurunkan tekanan di hutan. Oleh karena itu, pohon kehutanan ditempatkan untuk melindungi area bukit dari perusahaan lingkungan;

2) agroforestri dapat mengembalikan nutrisi dengan lebih efisien melalui akar pohon yang dalam di tapak;

3) agroforestri dapat membuat perlindungan yang lebih baik sistem ekologi pegunungan sampai dapat menstabilkan penanaman yang nomaden atau berpindah-pindah.

Manfaat ekologi tapak itu sendiri dari penggabungan tanaman meliputi

1) agroforestri dapat menurunkan run off permukaan, peluruhan nutrisi, dan erosi tanah, karena akar pohon dan batang menghalangi proses tersebut;


(31)

2) agroforestri dapat memperbaiki iklim mikro seperti menurunkan temperature permukaan tanah dan menurunkan evaporasi penguapan tanah melalui kombinasi mulsa dan keteduhan;

3) agroforestri dapat meningkatkan nutrisi tanah melalui penambahan dan pembusukan daun yang jatuh;

4) melaui agroforestri dapat memperbaiki struktur tanah melalui penambahan secara tetap bahan organik dari pembusukan daun yang berjatuhan (serasah). b. Manfaat ekonomi

Sistem agroforestri di ladang sempit dapat memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan kepada petani, masyarakat, wilayah, atau negara. Beberapa keuntungannya sistem agroforestri antara lain

1) agroforestri dapat meningkatkan dan memelihara produksi pangan, kayu, kayu bakar, makanan ternak, dan dapat berfungsi sebagai penyubur atau pupuk;

2) melalui agroforestri dapat menurunkan bahaya kegagalan panen yang mungkin terjadi pada tanaman penanaman tunggal atau sistem monokultur; 3) agroforestri dapat meningkatkan pendapatan ladang untuk memperbaiki dan

melanjutkan produksi. c. Manfaat sosial

1) agroforestri dapat memperbaiki standar hidup masyarakat pedesaan dari pekerjaan terus menerus;

2) agroforestri dapat memperbaiki nutrisi dan kesehatan yang disebabkan oleh peningkatan kuantitas dan keaneragaman hasil pangan;

3) melalui agroforestri dapat menstabilkan dan memperbaiki komunitas pegunungan melalui pembersihan kebutuhan untuk mengganti tapak dan aktivitas ladang.

Menurut Vergara, 1982 selain manfaat yang didapat, juga terdapat faktor negatif dari sistem agroforestri terhadap lingkungan aspek sosial-ekonomi, yaitu: a. Faktor negatif terhadap lingkungan

1) agroforestri dapat menyebabkan kompetisi pohon dengan tanaman pangan untuk ruang, sinar matahari, kelembaban, dan nutrisi, yang mengurangi hasil panen tanaman pangan;


(32)

2) agroforestri dapat merusak tanaman pangan selama kegiatan panen pohon; 3) agroforestri dapat menyebabkan potensi pohon terhadap serangan hama

serangga yang berbahaya untuk tanaman pangan;

4) melalui agroforestri, lahan dapat beregenerasi secara cepat karena pohon mudah berkembangbiak, sehingga menggantikan tanaman pangan dan mengambil alih seluruh lahan.

b. Aspek sosial ekonomi sistem agroforestri yang tidak diinginkan

1) agroforestri membutuhkan input pekerjaan yang lebih, yang dapat menyebabkan kelangkaan pekerja pada saat aktivitas di lahan lain;

2) kompetisi antar tanaman pangan dan pohon pada sistem agroforestri, dapat lebih rendah dibandingkan tanaman tunggal;

3) sistem agroforestri membutuhkan periode yang lama untuk pohon tumbuh dewasa dan memperoleh nilai ekonomi;

4) sistem agroforestri dapat menyebabkan perlawanan dari masyarakat, karena menggantikan tanaman pangan dengan pohon terutama di lahan yang jarang ada orang.

Tetapi dalam kenyataannya agroforestri sangat kompleks dimengerti dan sulit untuk diaplikasikan dibandingkan dengan ladang tanaman tunggal.

2.4.3 Pemilihan Lahan Agroforestri

Agroforestri merupakan suatu sistem yang dapat memadukan kepentingan ekosistem dengan kepentingan peningkatan produktivitas lahan untuk pangan, dan papan dalam hubungan penatagunaan lahan. Namun, sistem agroforestri jika salah melaksanakannya justru dapat menimbulkan masalah. Berdasarkan hal tersebut, kawasan pelaksanaannya perlu mendapatkan pertimbangan baik-baik (Satjapradja, 1982).

Menurut pihak agrarian tata guna lahan yang cocok untuk tanaman pangan antara 25 sampai 500 m dari permukaan laut dengan kemiringan 0-8% (Satjapradja, 1982). Pada saat ini, desakan pertambahan penduduk sangat terbatas, karena untuk usaha perluasan dan ekstensifikasi para ahli dihadapkan pada lahan-lahan miring dengan tingkat kesuburan yang rendah.

Untuk mengembangkan agroforestri, sebaiknya jangan mengkonversi hutan alam yang baik, tetapi justru memfokuskan pada rehabilitasi tanah-tanah


(33)

kosong, padang alang-alang yang setiap tahunnya bertambah sekitar + 200.000 ha. Selain itu, sistem agroforestri dapat dikembangkan di daerah batas antara hutan dan pemukiman yang sering disebut daerah penyangga (buffer zone).

2.5 Lanskap Agroforestri Berbasis Bioregional

Perencanaan lanskap menurut Laurie, 1990 merupakan pendekatan ke masa depan terhadap lahan dan perencanaan tersebut disertai dengan imajinasi dan kepekaan terhadap analisis tapak. Perencanaan adalah proses pemikiran dari suatu ide ke arah bentuk yang nyata. Proses perencanaan adalah suatu alat yang sistematis untuk menentukan keadaan awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut (Simonds, 1978). Hal ini membuat proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis.

Menurut Miller (1996), perencanaan bioregional merupakan proses pengorganisasian. Pada perencanaan bioregional masyarakat memungkinkan bekerja sama dalam mengumpulkan informasi, memikirkan potensi serta masalah, menetapkan tujuan, merencanakan aktivitas, dan mengimplikasikan proyek, mengambil langkah yang telah disetujui oleh komunitas, serta mengevaluasi hasil. Perencanaan laskap bioregion DAS diharapkan melibatkan peran manusia, sehingga terjadi keterkaitan langsung antara manusia dengan tapak sekitar.

Berdasarkan Thayer, 2003 setiap bioregion terdapat perencanaan, desain dan manajemen yang unik, sehingga akan menghasilkan pola lanskap yang unik. Jika dari dimensi waktu maka konsep bioregion juga dapat dikembangkan sebagai proses perencaan. Penggunaan pendekatan bioregion pada akhirnya membagi-bagi ruang berdasar batasan geografik, komunitas manusia, serta sistem ekologi. Sistem agroforestri nantinya dapat dikembangkan dan berpengaruh terhadap kondisi ekologis yang terdapat pada lingkungan sekitar.


(34)

3.1. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Desa Barengkok Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor (Gambar 2). Waktu persiapan, pengumpulan, dan pengolahan data dilakukan dari bulan Februari sampai Mei 2010 dan dilanjutkan dengan penyusunan skripsi yang dilakukan sampai februari 2011.

Gambar 2 Peta Lokasi Desa Barengkok, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

Peta Jawa Barat

Peta Kabupaten Bogor

Peta Desa Barengkok

Sumber: RTRW Kabupaten Bogor dan Wikimapia, 2010

U


(35)

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam proses inventarisasi adalah meteran, alat tulis,

alat gambar, GPS mode garmin, dan pengolahan data menggunakan Geographic

Information System (GIS) berupa hardware (komputer) dan software pengolahan data spasial (ArcView GIS 3.2) serta software pemetaan dan rancang bangun (AutoCAD 2006), Sketchup dan Adobe Photoshop.

Bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini, selain dilakukan pengkajian data lapangan juga dibutuhkan data dan peta pendukung sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis, Interpretasi dan Sumber Data Kegiatan Perencanaan Lanskap

No. Aspek Jenis Interpretasi Sumber

Spasial Tekstual

1. Topografi D - Slope

- Elevasi

- Batas DAS/Sub DAS

Bakosurtanal

2. Tanah dan

Geologi

D D - Jenis tanah

- Jenis batuan

Bappeda

3. Iklim D - Suhu

- Curah hujan - Kelembaban udara - Musim

- Lama penyinaran matahari

BMG

5. Citra Satelit D - Vegetasi

- Aksesbilitas - Penutupan lahan - Infrastruktur

Google map

6. Hidrologi D - Kondisi sungai

- Pemanfaatan sungai

Survey

7. Demografi D - Jumlah Penduduk

- Umur dan jenis kelamin - Pekerjaan - Penyebaran

penduduk - Pertumbuhan dan

perkembangan penduduk

Balai desa Barengkok

8. Budaya D - Etnik

- Adat istiadat -Kepercayaan -Kondisi masyarakat -Sampling potensi Komoditas

Survey, Wawancara,

Dalam penggunaannya data dan peta pendukung ini, mempunyai deskripsi pemanfaan dan fungsi antara lain:


(36)

a. Peta Topografi

Data topografi digunakan sebagai peta dasar dan membuat peta

pendahuluan (preliminary map). Peta topografi berfungsi untuk menentukan

batas DAS atau sub DAS, deliniasi kemiringan lahan pada tapak yang berguna untuk menentukan pemanfaatan lahan sesuai dengan tingkat bahaya (kepekaan erosi) dan kelas kemiringannya (slope) terutama untuk agroforestri komoditas manggis.

b. Tanah dan Geologi

Data tanah dan geologi tanah berguna untuk merencanakan pemanfaatan lahan agroforestri komoditas manggis yang sesuai berdasarkan jenis tanah dan jenis batuan

c. Iklim

Data iklim digunakan untuk menginterpretasikan kondisi curah hujan yang dapat mempengaruhi tingkat kenyamanan berdasarkan suhu dan kelembaban serta menentukan habitat agroforestri manggis yang sesuai.

d. Citra Satelit

Klasifikasi penutupan lahan dilakukan melalui mengintepratasi visual

terhadap citra satelit Quickbird yang di peroleh dari situs Wikimapia

(http://wikimapia.org/#lat=6.593759&lon=106.635323&z=18&l=0&m=b&sear

ch=barengkok). Citra Quickbird dalam penelitian ini dibuat dengan

menggunakan potongan-potongan citra yang kemudian digabungkan menjadi satu mosaik citra daerah penelitian yang utuh sehingga dapat dilakukan klasifikasi penggunaan lahannya. Penutupan lahan dikelaskan menjadi sawah, bangunan, tambak, sungai, kebun campuran dan kebun manggis. Deliniasi peta penutupan lahan berguna dalam mengidentifikasi nilai intrinsik pada masing-masing unit tempat.

e. Hidrologi

Data hidrologi sungai yang dibutuhkan adalah data DAS Jawa Barat, bentuk sungai, kondisi sungai, dan pemanfaatan sungai. Peta DAS akan digunakan dalam penyusunan peta bioregion. Data kondisi sungai dan pemanfaatan sungai berguna dalam merencanakan pemanfaatan sungai serta upaya perbaikan sungai yang perlu dilakukan agar sungai tersebut bisa


(37)

dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dengan tetap mempertahankan fungsi ekologisnya.

f. Demografi

Data demografi berguna untuk pengambilan data sosial. Data Demografi sangat dibutuhkan agar dapat mengetahui jumlah penduduk, umur dan jenis kelamin, pekerjaan, penyebaran penduduk, pertumbuhan dan perkembangan penduduk, sehingga dapat membantu dalam menentukan pembentukan nilai intrinsik.

g. Data Budaya

Data budaya sangat berguna. Penyusunan data budaya dilakukan berdasarkan etnik, adat-istiadat, dan kebiasaan di daerah tersebut, kemudian data tersebut dikompilaksikan dengan peta biofisik seperti peta topografi, vegetasi, hidrologi, dan iklim untuk kemudian digunakan dalam penyusunan unit bioregion berdasarkan klasifikasi Jones, et.al , 1998.

3. 3 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat tiga tahapan sebagaimana disajikan dalam Gambar 3. Pada diagram rencana kegiatan digambarkan beberapa tahapan, yaitu inventarisasi, analisis dan sintesis. Pada tahap inventarisasi dilakukan pengumpulan data berupa profil, fisik dan budaya yang terdapat pada Desa Barengkok. Data Profil berasal dari Balai Desa Barengkok yang terdiri dari data letak geografis, administrasi, sistem fasilitas dan aksesbilitas. Data aspek fisik berupa data topografi dan kemiringan, iklim dan curah hujan, geologi dan tanah, hidrologi, pola pemanfaatan ruang, dan penutupan lahan. Selanjutnya data aspek sosial budaya berupa demografi, kemasyarakatan dan pola kehidupan masyarakat, struktur organisasi masyarakat, serta potensi komoditas.

Pada tahap analisis kedua karakteristik ini akan di analisis untuk

mengidentifikasi nilai intrinsik di daerah tersebut serta membentuk unit ruang bioregion, unit lanskap, dan unit tempat. Selanjutnya pada tahap analisis dilakukan penentuan kriteria kesesuaian lahan manggis dan penentuan karakteristik agroforestri. Berdasarkan keduanya akan terbentuk kesesuaian terhadap agroforestri manggis dan beberapa tipe agroforestri manggis. Pada tahap


(38)

I n v e n t a r i s a s i

agroforestri manggis dengan kriteria kelas bioregion yang sudah di susun sebelumnya. Pada tahap perencanaan akan dituangkan kedalam konsep rencana agroforestri dan diarahkan ke pengembangan dengan hasil akhir berupa rencana lanskap agroforestri manggis berbasis bioregion.

Gambar 3 Diagram Rencana Kegiatan Perencanaan Lanskap Agroforestri P e r e n c a n a a n A n a l i s i s Sintesis & Rencana Lanskap Agroforestri Konsep Rencana Agroforestri MATCHING Bioregion Landcover Kriteria Kesesuaian Manggis Unit Bioregion Unit Lanskap Kriteria Unit Tempat DAS Pengembangan Rencana Desa Barengkok Aspek Fisik:

-Topografi dan Kemiringan -Geologi dan Tanah -Iklim dan Curah Hujan -Hidrologi

-Penutupan Lahan

Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya:

-Demografi

-Kemasyarakatan dan Pola Kehidupan Masyarakat

-Struktur Organisasi Masyarakat -Potensi Komoditas

Karakter Desa Barengkok

Karakteris tik Agro- forestri Kriteria Kesesuaian Agroforestri Manggis Sub DAS Tanah Kemiri- ngan


(39)

3.3.1 Inventarisasi

Tahap Inventarisasi dimulai dari penyusunan peta pendahuluan (preliminary map) berupa peta topografi sebagai peta dasar. Peta dasar ini dapat di deliniasi kemiringan lahan pada tapak berdasarkan kelas kemiringan dan kepekaan erosi. Peta dasar ini juga digunakan dalam penyusunan (kompilasi) peta lainnya, seperti peta penutupan lahan yang dilakukan melalui interpretasi visual data citra satelit Quickbird. Delineasi dalam interpretasi visual citra satelit dilakukan dengan melakukan klasifikasi penutup lahan menjadi 6 (enam) kelas yaitu: sawah, ladang, pemukiman, kebun campuran, sungai, dan empang. Selanjutnya pada tahap inventarisasi dilakukan survey lapang untuk mengkonfirmasi dan verifikasi hasil interpretasi. GPS digunakan dalam membantu penentuan titik acuan (benchmark).

Selain penyusunan peta pendahuluan, pada tahap inventarisasi juga menyusun kondisi umum dari tapak. Penyusunan kondisi umum dimaksudkan agar mempermudah dalam proses analisis karena dalam kondisi umum tersebut, memperlihatkan kondisi Desa Barengkok secara garis besar.

3.3.1.1 Penyusunan Aspek fisik

Pada penyusunan aspek fisik dilakukan dengan melihat kondisi di lapang dan melihat data sekunder yang telah ada seperti topografi dan kemiringan, geologi dan tanah, iklim dan curah hujan, hidrologi, dan penutupan lahan.

3.3.1.2 Penyusunan aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya

Data sosial, ekonomi, budaya bersumber dari Wawancara dan berbagai data sekunder. Data sosial, ekonomi, dan budaya yang dikumpulkan adalah data demografi, kemasyarakatan dan pola kehidupan masyarakat, struktur organisasi masyarakat, dan potensi komoditas. Data sosial, ekonomi budaya ini dapat digunakan dalam mengidentifikasikan nilai-nilai intrinsik dan dapat dijadikan bahan analisis dalam perencanaan agroforestri manggis berbasis Bioregion.

3.3.2 Analisis dan Sintesis

3.3.2.1 Analisis Fisik dan Sosial - Budaya

Pada tahap analisis fisik dilakukan analisis terhadap kondisi fisik dan


(40)

yang ada di tapak dan mengajukan alternatif pengendaliannya. Analisis sosial - budaya dapat digunakan dalam mengidentifikasi nilai-nilai intrinsik, terutama yang berkaitan dengan aktivitas (kebudayaan) yang terdapat di daerah tersebut. Analisis fisik dan sosial-budaya juga digunakan untuk landasan pada analisis selanjutnya.

3.3.2.2 Analisis Bioregion

Analisis diawali dengan penyusunan kelas bioregion yang berada di Desa Barengkok. Klasifikasi dilakukan kedalam empat kelas sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi Bioregion

Kelas Deskripsi

Bioregion

Mewakili wilayah pada hirarki teratas yang didefinisikan berdasarkan karakteristik homogenitas wilayah iklim, elevasi, distribusi vegetasi dan batas daerah aliran sungai utama, topografi dan geologi

Sub Region

Merepresentasikan subdivisi bioregion yang secara komposit mencakup wilayah homogeni secara kelas hidrologi, elevasi, bentuk lahan, vegetasi dan tanah

Unit Lanskap

Representasi subdivisi Sub Region yang mencakup wilayah homogen yang dicirikan melalui lereng, penggunaan lahan, serta atribut sosial budaya komunitas masyarakat, seperti life style dan etnis

Unit Tempat

Hirarki terendah pada subdivisi ini dicirikan oleh beberapa komponen antara lain penggunaan lahan, atribut sosial budaya komunitas masyarakat yang meliputi etnis, aspirasi masyarakat, the sense of place, the meaning of place dan berbagai bentuk nilsi-nilai lokal

Sumber: Kim et al (2000, dalam Pramukanto, 2004)

Perbedaan antara kelas yang satu dengan lainnya adalah terdapatnya nilai intrinsik

yang menjadikan daerah tersebut khas atau unik. Jones et al (1998),

mengidentifikasi enam sumber nilai intrinsik yang terdiri atas:

a. Pemandangan;

Daerah yang memiliki nilai pemandangan yang unik, baik daerah alami maupun buatan manusia yang memiliki keindahan dan keunikan, seperti panorama laut, pedesaan, struktur yang indah, pantai, hutan hujan, sungai dan teluk.

b. Sumber Daya Alam

Sumber Daya Alam merupakan keindahan visual dari lingkungan, yang berupa penampakan fisik dari daerah alami dan tidak terganggu oleh manusia, seperti hutan, formasi geologi, lahan basah, tepi sungai, dan air terjun.


(41)

c. Sejarah

Sejarah merupakan daerah yang memiliki nilai sejarah, misalnya pekuburan, daerah bekas perang, tata ruang kota, arsitektur tradisional, dan pola pemukiman.

d. Arkeologi

Daerah yang dapat menginterpretasikan aktivitas sejarah atau prasejarah di lokasi tersebut dan membawa kita lebih dekat ke dalam kejadian sebenarnya , seperti reruntuhan, artefak, dan struktur bangunan.

e. Budaya

Daerah yang memiliki nilai budaya misalnya, kehidupan tradisional, upacara adat atau keagamaan, ritual, pertanian tradisional, tradisi lokal, industri lokal yang unik, makanan, musik, tarian, bahasa, dan pasar.

f. Rekreasi

Daerah yang memiliki nilai rekreasi meliputi daerah yang mendukung aktivitas ruang luar, pendakian, arung jeram, terbang layang, melihat burung, dan fotografi .

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi terhadap nilai intrinsik menurut Jones, et

al (1998), yaitu berdasarkan kemampuan biofosik dan budaya yang secara

komposit mewakili unit tempat (batas DAS, Sub DAS, tanah, kemiringan dan penutupan lahan) sehingga menghasilkan 295 kelas unit tempat, seperti yang digambarkan seperti pada Gambar 4.

3.3.2.3 Analisis Kriteria Kesesuaian Terhadap Agroforestri Manggis a. Kriteria Kesesuaian Lahan Manggis

Berdasarkan Direktorat Tanaman Buah (2003), untuk meningkatkan mutu

dan produktivitas manggis di sentra produksi, diperlukan adanya norma-norma khususnya mengenai pemilihan lokasi. Peningkatan mutu dan produktivitas manggis dibutuhkan agar dapat menghasilkan buah manggis yang berkualitas baik dan berdaya saing khusunya dipasar luar negeri. Pada Tabel 5 merupakan penentuan lokasi lahan komoditas manggis yang dilakukan pada saat pra panen, sedangkan pada Tabel 6 menyajikan kriteria pemilihan lokasi dalam upaya penerapan sistem jaringan mutu pada tanaman manggis berdasarkan Djanudin, et al. (2003).


(42)

(43)

Tabel 5 Penentuan Lokasi Lahan Komoditas Manggis

Karakteristik Lokasi Lahan Persaratan Lokasi Lahan Komoditas

Manggis

Tipe Iklim Tipe iklim A, tanpa bulan kering s.d Tipe iklim

C bulan kering 4-6 bulan

Curah Hujan dan Suhu Udara Antara 1.250-2.500 mm/ tahun atau rata-rata

1500-1700 mm/ tahun dengan suhu udara 22-32 ̊C, menurut Smith Ferguson

Kemiringan Lahan <20%

Ketinggian Tempat <800 meter dpl

Teknik Pengolahan lahan Menetapkan teknik konservasi pada lahan

miring dan sistem surjan pada lahan sawah

Jenis Tanah Latosol, Podzolik Merah Kuning dan Andosol

dengan syarat gembur, memiliki zat hara yang cukup dan drainasi yang baik dan tidak bercadas

pH (Keasaman Tanah) 5-7

Letak Lahan Bebas residu pestisida, bahan beracun dan

berbahaya seperti limbah B Sumber: Direktorat Tanaman Buah (2003)

Tabel 6 Kriteria Kesesuai Lahan Komoditas Manggis

Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan

Kelas kesesuaian lahan

S1 S2 S3 N Temperatur (tc)

Temperatur rerata ( o C ) 20 – 23 23 – 30

18 – 20

30 – 40 15 – 18

> 40 < 15

Ketersediaan air (wa)

Curah hujan (mm) 1.250 –

1.750

1.750 – 2.000 1.000 – 1.250

2.000 – 2.500 750 –1.000

> 2.500 <750

Ketersediaan oksigen (oa)

Drainase Baik, sedang Agak

terhambat Terhambat, agak cepat Sangat terhambat, cepat

Media perakaran (rc)

Tekstur Halus, agak

halus, sedang

- Agak kasar Kasar

Bahan kasar (%) < 15 15 – 25 35 – 55 > 55

Kedalaman tanah (cm) > 100 75 – 100 50 – 75 < 50

Gambut :

Ketebalan (cm) < 60 60 – 140 140 – 200 > 200

Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan

mineral/pengkayaan

< 140 140 – 200 200 – 400 > 400

Kematangan Saprik Saprik, Hemik Hemik, Fibrik Febrik

Retensi hara (nr)

KTK liat (omol) > 16 < 16

Kejenuhan basa (%) > 35 20 – 35

pH H2O 5,0 – 6,0 4,5 – 5,0 < 4,5

6,0 – 7,5 > 8,0


(44)

Lanjutan Tabel 6

Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan

Kelas kesesuaian lahan

S1 S2 S3 N Toksisitas (xc)

Salinitas (ds/m) < 4 4 – 6 6 – 8 > 8

Sodisitas (xn)

Alkalinitas/ESP (%) < 15 15 – 20 20 – 25 > 25

Bahaya sulfidik (cm)

Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100 – 125 60 – 100 < 60

Bahaya erosi (eh)

Lereng (%) < 8 8 – 16 16 – 30 > 30

Bahaya erosi Sangat

rendah

Rendah – sedang

Berat Sangat berat

Bahaya banjir (fh)

Genangan F0 F1 F2 > F2

Penyiapan lahan (lp)

Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

< 5 < 5

5 – 15 5 – 15

15 – 40 15 – 25

>40 > 25 Sumber : Djaenudin et al (2003)

Catatan:

S1: Sangat Sesuai; S2: Cukup Sesuai; S3: Sesuai Marginal; N: Tidak Sesuai b. Karakteristik Agroforestri

Berdasarkan Vergara 1982, menyebutkan bahwa Agroforestri merupakan suatu sistem tata guna lahan berkelanjutan yang mempertahankan atau

meningkatkan hasil total dengan mengkombinasikan tanaman pangan (annual)

dengan tanaman pohon (perennial) atau peternakan dalam unit lahan yang sama pada waktu yang bergantian atau pada waktu yang sama dengan melakukan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya penduduk setempat dan kondisi ekonomi, ekologi area. Dari pengertian di atas dapat diambil karakteristik Agroforestri adalah

a. sistem agroforestri dilakukan dengan mengkombinasikan tanaman pangan

(annual) dengan tanaman pohon (perennial) atau peternakan dalam unit lahan yang sama pada waktu yang bergantian atau waktu yang sama;

b. pada sistem agroforestri, penanaman tanaman tahunan (tegakan) merupakan

investasi jangka panjang, tetapi sistem agroforestri yang dapat memberikan perlindungan dan keamanan seluruh sistem termasuk sub-sistem dibagian bawah;


(45)

c. secara tidak langsung pada sistem agroforestri memberikan kesempatan kerja terutama di pedesaan baik di tingkat on farm maupun off farm;

d. tanaman tahunan dan semusim pada sistem agroforestri diusahakan dalam

lahan yang sama atau mixed cropping, sehingga nantinya setiap jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri.

Berdasarkan karakteristik bioregion di atas, penggabungan kriteria kesesuaian lahan manggis, dan karakter agroforestri, diperoleh analisis kesesuaian lahan terhadap agroforestri manggis, yang terbagi menjadi lima penggunaan lahan agroforestri manggis (Tabel 7).

Tabel 7 Penggunaan Lahan Agroforestri Manggis

Kriteria Agroforestri

Ciri

Teknik Budidaya Keterangan

Intensif Semi Intensif

Ekstensif

1. Pekarangan √ Berada di sekitar

pemukiman 2.Sawah (lahan

basah)

√ Diprioritaskan untuk

tanaman pangan yang bersifat field crops

3.Talun √ Berfungsi sebagai ruang

konservasi

4. Kebun Campuran √ Lahan yang paling

potensial komoditas manggis 5. Kebun (lahan

kering)

√ Berasal dari ladang yang

tidak termanfaatkan dan ditumbuhi alang-alang Pada Tabel 7 terdapat hasil analisis agroforestri manggis yang terbagi menjadi lima tipe penggunaan lahan antara lain:

1. Pekarangan

Berdasarkan Arsyad (2010), dalam Konservasi Tanah dan Air,

mendifinisikan pekarangan sebagai kebun campuran yang terdiri atas campuran yang tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim yang terletak di sekitar rumah. Tanaman yang umumnya ditanam di lahan pekarangan petani adalah uni, kayu, sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya, tanaman obat-obatan seperti kunyit, temulawak, dan tanaman lainnya (Subagyono et al., 2003)


(46)

2. Sawah (Lahan Basah)

Sawah menurut Nasrullah (2009), merupakan lahan subur dengan kemiringan datar sampai landai atau diprioritaskan untuk pertanian tanaman

pangan yang bersifat field crops (padi dan palawija), tanaman holtikultura

semusim, dan tanaman untuk pakan ternak. Selain digunakan untuk tujuan tersebut, Mansur (2009) juga menyebutkan bahwa sawah dapat dioptimalkan pemanfaatannya sebagai agroforestri misalnya dengan pohon-pohon kayu putih. Selain itu, tanaman sayuran seperti genjer dapat disisipkan di sekeliling padi. Tanaman sayuran tersebut dapat memberikan hasil lebih cepat dari padi. Pada pematang sawah juga dapat ditanami tanaman sayuran atau pohon-pohon ditanam jarang-jarang sebagai peneduh.

3. Talun atau hutan rakyat

Talun adalah lahan diluar areal pemukiman yang ditumbuhi oleh hutan dan

tanaman tahunan lainnya Santoso et al (2004), Subagyo et al (2003), juga

memberikan definisi talun yaitu lahan diluar wilayah pemukiman penduduk yang ditanami tanaman tahunan yang dapat diambil kayu atau buahnya. Penerapan teknik talun erosi yang terjadi, dapat dimimalisir dan juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang bermukim disekitarnya.

4. Kebun Campuran

Kebun Campuran merupakan talun tetapi telah mendapat perawatan yang teratur dari masyarakat. Dalam kebun Campuran biasanya terdiri dari berbagai tanaman tahunan yang ditanam dengan jarak tertentu. Jenis tanaman tahunan sengaja ditanam dalam kebun campuran seperti petai, jengkol, aren, melinjo, sengon dan buah-buahan (Santoso et al 2004).

5. Kebun (Lahan kering)

Menurut Mansur (2009), kebun merupakan lahan kering yang ditanami dengan tanaman-tanaman pertanian yang sudah umum dibudayakan di desa, seperti singkong, talas,dan pisang. Kebun berada di tempat-tempat yang tidak dimanfaatkan dan ditumbuhi oleh gulma serta alang-alang. Pada kebun perlu ditanami berbagai jenis tanaman-tanaman pakan ternak dan pohon-pohon buah unggul serta dikombinasikan dengan berbagai jenis pohon kehutanan komersial


(47)

dengan jarak tanam yang diatur sedemikian rupa sesuai dengan peruntukan lahan di bawahnya.

3.3.2.4 Sintesis

Pada tahap sintesis, setelah ditentukan analisis terhadap karakter fisik, sosial, analisis bioregion dan analisis kesesuaian agroforestri manggis, maka

dilakukan evaluasi dengan menyepadankan (matching) kriteria penggunaan

agroforestri manggis yang ditentukan sebelumnya dengan kriteria kelas Bioregion yang terdapat pada Desa Barengkok Tabel 8.

Tabel 8 Kriteria Penggunaan Lahan Agroforestri Manggis pada Desa Barengkok

Kriteria Agroforestri

Ciri Teknik

Budidaya Lereng (slope) Tanah Keterangan

I SI E D L AC C

1. Pekarangan

√ √ √ √ √

-Podzolik Merah -Latosol Coklat

Kekuningan

-Berada di sekitar pemukiman

2. Sawah (lahan basah)

√ √ √

-Latosol Coklat -Latosol Coklat

Kekuningan

Diprioritaskan untuk tanaman pangan yang bersifat field

crops 3. Talun

√ √ √

Latosol Coklat Berfungsi

sebagai ruang konservasi 4. Kebun

Campuran

√ √ √

Latosol Coklat Lahan yang

paling potensial komoditas

manggis 5. Kebun (lahan

kering)

√ √ √ √ √

-Podzolik Merah -Latosol Coklat

Kekuningan Berasal dari ladang yang tidak termanfaatkan dan ditumbuhi alang-alang Catatan:

Teknik Bududaya: Lereng (slope):

I : Intensif D : Datar (0-8%)

SI : Semi Intensif L : Landai (8-15%)

E : Ekstensif AC : Agak Curam (15-25%)


(48)

3.3.3 Perencanaan 3.3.3.1 Konsep Rencana

Konsep dasar rencana Desa Barengkok adalah membuat kawasan

Barengkok sebagai desa yang berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial, dan ekologi melalui komoditas manggis. Konsep perencancanaan ini, diwujudkan dengan sistem agroforestri manggis yang dilakukan dengan cara mempertahankan atau meningkatkan hasil total dengan mengkombinasikan tanaman pangan (annual) dengan tanaman manggis yang merupakan tanaman pohon (parennial) atau peternakan dalam unit lahan yang sama pada waktu yang bergantian atau dalam waktu yang sama, dan pengelolaan dilakukan sesuai dengan karakteristik sosial dan budaya penduduk setempat dan kondisi ekonomi dan ekologi area.

3.3.3.2 Pengembangan Konsep Rencana

Pengembangan konsep rencana agroforestri manggis dilakukan dengan menentukan pengembangan konsep perencanaan dan model pada setiap penggunaan lahan sesuai dengan standar perencanaan serta literasi yang ada, sehingga menghasilkan model penggunaan lahan agroforestri manggis, antara lain pekarangan, sawah, talun, kebun campuran, dan kebun.

Pada pengembangan konsep perencanaan, selain terdapat model pengembangan agroforestri manggis, dihasilkan juga rencana induk yang merupakan gabungan dari konsep ruang dan konsep sirkulasi.

3.3.3.3 Rencana LanskapAgroforestri Berbasis Bioregion

Pada tahap rencana lanskap Agroforestri manggis dilakukan dengan menuangan hasil akhir berupa gambar rencana lanskap yang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi.


(49)

4.1 Profil Desa Barengkok

Berdasarkan hasil musyawarah pada tanggal 17 Juli 2007 tentang Progam Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang berdasar pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), visi Desa Barengkok yang merupakan gambaran tentang keaadaan masa depan yang diinginkan dengan melihat potensi dan kebutuhan desa, adalah “Mewujudkan Desa Barengkok Menjadi Desa Agropolitan Dengan Berbasis Masyarakat Yang Berpendidikan Dan Agamis”. Berdasarkan visi tersebut disusun juga misi-misi yang memuat sesuatu pernyataan yang harus dilaksanakan oleh desa yaitu

a. meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan bidang dan kebutuhannya;

b. melibatkan peran serta masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam proses pembangunan dari awal perencanaan, pelaksanaan dan pelestarannya sesuai dengan tingkat kemampuannya;

c. mendukung sepenuhnya bagi masyarakat yang ingin mendirikan sarana pendidikan guna mempercepat dan menghasilkan sumber daya manusia yang handal dan dapat diandalkan;

d. menumbuh kembangkan peran serta masyarakat dalam peningkatan ekonomi baik sektor pertanian, pedagang berskala mikro (pedagang kecil dan pedagang keliling);

e. penataan sarana dan prasarana dan infrastruktur untuk menunjang peningkatan, pendidikan kesehatan maupun perekonomian masyarakat;

f. memelihara dan meningkatkan kehidupan yang beragama melalui pengajian-pengajian dan pesantren;

g. meningkatkan kesadaran masyarakat dalam kehidupan bergotong-royong; h. meningkatkan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat.

Kelembagaan Desa Barengkok dalam pemerintahannya sekarang ini dipimpin oleh Kepala Desa dengan susunan:


(1)

(2)

VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

1. Berdasarkan perencanaan yang telah dilakukan, Desa Barengkok termasuk unit bioregion dari DAS Cisadane. Unit ini dapat dibagi menjadi 295 unit tempat berdasarkan nilai intrinsik fisik (kemiringan lahan, jenis tanah, dan sub DAS) dan nilai intrinsik sosial, yaitu landcover yang menggambarkan suatu aktivitas (budaya) pada Desa Barengkok.

2. Berdasarkan kategori bioregion dan tipe agroforestri yang diusulkan, dapat disusunkan agroforestri manggis Desa Barengkok, yang terbagi atas lima tipe agroforestri manggis yaitu, kebun campuran, kebun, talun, pekarangan, dan sawah.

3. Berdasarkan rencana lanskap agroforestri manggis berbasis bioregion pada Desa Barengkok, dengan produktifitas eksisting 2,5 ton/ha, adanya perluasan areal pertanaman dalam rencana lanskap tersebut dari 68,04 ha pada tahun 2006 menjadi 135,83 ha, diproyeksikan akan terjadi peningkatan produksi manggis sebesar 50,1 % yaitu dari 170100 kg menjadi 339575 kg.

7.2 Saran

1. Perencanaan Desa Barengkok sebaiknya memperhatikan potensi alam yang dimiliki serta kebudayaan yang telah dibentuk pada Desa Barengkok. 2. Perlu kerjasama antar kawasan agropolitan manggis di kecamatan

Leuwiliang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. IPB Press. Bogor

A.S. Mustofa, T. Djogo, H.S. Arifin, dan N. Wijayanto. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforfestri. Bogor: ICRAF

Balai Informasi Kecamatan Leuwiliang.2008.

[BAPPEDA] Badan Pembangunan Daerah. 2005. Masterplan Agropolitan Kabupaten Bogor.

Berg, P. 1991. What is bioregionalism. Trumpeter 8:1

______.2002.Bioregionalism. [terhubung berkala].http://www.columbiana.org/feature42002.htm#Bioregionalism.

[10 Februari 2010]

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.2008.

Capra F. 2003. What is an ecovillage. www.ecovillagefindhorn.com/building/. [4 Februari 2010]

Combe, J. dan Budowski, G. 1979. Classification of Agroforestry Techniques. Workshop Agroforestry Systems in Latin America, March 1979. CATIE, Turrialba, Costa Rica. 220 hal.

Larastini, D. 2010. Perencanaan Lanskap Kota Tepi Sungai Wilayah Banjarmasin Bagian Utara Berbasis Bioregion [Skripsi]. Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2003. Standar Prosedur Operasi

[Deptan] Departemen Pertanian 2009. Kawasan percontohan, laboratorium

manggis. [terhubung berkala].http://www.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_cont

ent&task=view&id=180&ltemid=1 [27 Maret 2010]

Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagjo dan A. Hidayat., 2003. Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

[GEN]. 2010. [terhubung berkala]. http://gen.ecovillage.org. [4 Februari 2010]

Hakim, D.B, I.R Johan. 2009. Konsep Perencanaan Wilayah Dalam Pengembangan Ecovillage. Di dalam: Sunarti E, editor. Naskah Akademis


(4)

97

Pengembangan Model Ecovillage: Pengembangan Kawasan Perdesaan serta Peningkatan Sumbangan Pertanian bagi Peningkatan Kualitas Hidup Penduduk Pedesaan. Bogor: LPPM IPB. Hal.29-40

Jones, G., I. Jones, S. Durrant, S.K. Lee, A.K. Hardy, M.S. Atkinson, dan K.G Kim, 1998. Paju Ecopolis : Ecosystem Management Strategy for Environmentally Sound and Sustainable Development in Northern Kyunggi Province. Korea : UNDP.

Kada,R.,1990.EnvironmentalConservationandSustainableAgriculture.Ie-no-hikari,Tokyo,262pp (inJapanese)

Laurie, M. 1990. Pengantar Kepala Arsitektur Pertamanan (terjemahan). Intermedia. Bandung. 124 hal.

Lewis, P.H. 1996. Tomorrow by design: A regional design process for sustainability. New york : John willey & sons.

Mansur, Irdika. 2009. Konsep Ecovillage dari Aspek Kehutanan: Intensifikasi Pemanfaatan Lahan dengan Hutan rakyat Agroforestri. Di dalam: Sunarti E, editor. Naskah Akademis Pengembangan Model Ecovillage: Pengembangan Kawasan Perdesaan serta Peningkatan Sumbangan Pertanian bagi Peningkatan Kualitas Hidup Penduduk Pedesaan. Bogor: LPPM IPB. Hal.121-140

Miller, K. R. 1996. Balancing The Scales: Guidlines for Increasing Biodiversity’s Chances Through Bioregional Mangement. World Resources Institute, New York.

Nair PKR. 1985. Classification of agroforestry systems. Agroforestry Systems 3:97-128.

________. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publisher.

Nasrullah N. 2009. Pengembangan Ecovillage dalam Rangka Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Di dalam: Sunarti E, editor. Naskah Akademis Pengembangan Model Ecovillage: Pengembangan Kawasan Perdesaan serta Peningkatan Sumbangan Pertanian bagi Peningkatan Kualitas Hidup Penduduk Pedesaan. Bogor: LPPM IPB. Hal.21-28

[PKBT-IPB] Pusat kajian Buah Tropika Institut Pertanian Bogor.2004. Progam Peningkatan Produksi dan Kualitas Kebun Manggis Rakyat

Leuwiliang[terhubung berkala]. http://pkbt.ipb.ac.id/pages/book/download.php?f=buku_manggis_lwliang.

pdf. [21 Juli 2010]


(5)

98

Pramukanto, Q. 2004. Pemberdayaan Ruang Publik: kesetangkupan Wilayah Biofosik dan Domain Masyarakat. Makalah Semiloka “Pemberdayaan Area Publik di dalam Kota, Area Publik sebagai Tempat Warga Kota Mengekspresikan Diri”: Jakarta: IAI

Ritung. S,. Wahyunto, F. Agus, and H. Hidayat. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh barat. World Agroforestry Centre ICRAF: Bogor. 39 hlm Santoso, D., J. Purnomo, I G. P. Wigena, E. Tuherkih. 2004. Teknologi Konservasi Tanah Secara Vegetatif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Satjapradja, O. 1982. Agroforestri di Indonesia. J. Penel. Pengemb. Pert., 1(2): 75

Simond. 1978. Landscape Architecture. Mc. Graw-Hill Book Co. New York. 137 hal.

Subagyono. K., S. Marwanto, U. Kurnia, 2003. Teknik Konservasi Tanah Secara

Vegetatif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Svensson K. 2000. Listening to the voice of man and nature. Ecovillage Millenium Vol 1: January 2000. [terhubung berkala].

http://gen.ecovillages.org/index.html. [GEN]. 2010. http://gen.ecovillage.org. [4 Februari 2010]

Takeuchi, K., Y. Namiki, and H. Tanaka. 1998. Designing eco-villages for revitalizing Japanese rural areas. Ecol. Eng., 11: 177–197.

Thaman RR. 1989. Rainforest Management within Cintex of Existing Agroforestry Systems. In Heuveldop, J., T. Homola, H.-J. von Maydell, T. van Tuyll. 1989. Proceeding GTZ Regional Seminar. Korolevu (Fiji)

Thayer. Rob. L Jr. 2003. Life Place, Bioregional Thought and Practice. University of California, Berkeley.

UNDP. 2000. Creating a ‘Green City- Hanam’: Formulating Integrated Guidelines and Framework for Eco-City. Seoul National University-UNDP-UNCHS/UNEP. Seoul, 333pp

Vergara, N. T. 1982. New Directions in Agroforestry: The Potential of Tropical Legume Trees. A Working Group on Agroforestry Environment and Policy Institute. Hawai, USA. 36 p.

WALHI 2001 dalam H. Kartodiharjo. 2001. Membangun dan memperkuat Institusi Pengolahan Sumber Daya Alam: Pendekatan Bioregion Sebagai


(6)

99

Dasar Pijakan.[terhubung berkala].http://www.jkpp.org/MakalahDetail.asp?id=592. [27Maret2011].

Wikimapia.2010.Barengkok. [terhubung berkala] .(http://wikimapia.org/#lat=6.593759&lon=106.635323&z=18&l=0&m=b

&search=barengkok. [27 Maret 2010]

Wikipedia. 2010. Energi Aternatif. [terhubung berkala].http://id.wikipedia.org/wiki/Energi_alternatif. [7 Februari 2010]

WRI-IUCN-UNEP. 1991. Dalam H. Kartodiharjo. 2001. Membangun dan memperkuat Institusi Pengolahan Sumber Daya Alam: Pendekatan Bioregion Sebagai Dasar Pijakan. [terhubung berkala].http://www.jkpp.org/MakalahDetail.asp?id=592. [27Maret2011].

Young, A. 1989. Agroforestry for Soil Conservation. ICRAF Science and Practise of Agroforestry. 276 p.