Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana,Mill) dan Sebaran Suhu Dalam Kemasan

(1)

STUDY ON THE EFFECT OF VENTILATION TYPE AND STORAGE TEMPERATURE ON THE QUALITY CHANGES OF AVOCADO (Persea Americana, Mill)

AND THE DISTRIBUTION OF TEMPERATURE INSIDE PACKAGING Deti Kusniati

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone 62 857 158 55114, e-mail: detikusniati@ymail.com

ABSTRACT

Post harvest handling of avocado in Indonesia usually are still done with less carefull during harvesting, packaging, transportation, and storage can lead to mechanical, physiological, chemical, and microbiological damage. Mechanical damage during the distribution process of fruits due to impact between fruit inside the packaging, the impact of the fruit with a wall packaging, as well as the excess pressure due to pile in one package. The use of corrugated box packaging by giving insulation between the fruit and ventilation holes are expected to reduce mechanical damage and changes in avocado fruit quality such as shrinkage weight, hardness, total soluble solids, and physical damage during storage. This research was done to investigate four packaging types : packaging without ventilation, circle type ventilation packaging, oblong type, insulation type; and two treatment of storage temperature of room temperature and 8 0C temperature.

The testing result in the temperature distribution on the packaging indicates that the packaging with oblong ventilation type most quickly reach the expected storage temperature. The transport simulation results of the which was equivalent with 184.82 miles in the road out of town or approximately 3:08 hours for trucks with speed of 60 km / h shows the level of fruits mechanical damage in 0% on all packaging.

Although the package with oblong ventilation is better in distribution temperature, but overall, the decreasing quality of avocado in circle ventilation package is slower than the other packages. Due to, the best package to be distributed the avocado is package with circle ventilation in temperature of 8 oC.


(2)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil produk hortikultura yang potensial. Buah-buahan sebagai salah satu komoditas hortikultura memiliki potensi untuk dikembangkan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Indonesia mengekspors komoditas hortikultura ke sejumlah negara maju seperti Singapura, Cina, Taiwan, Hongkong, Belanda, Perancis, Spanyol, dan Timur Tengah. Produk hortikultura yang diekspor pada umumnya berupa buah segar sehingga kadar air sangat menentukan kualitasnya.

Beberapa jenis buah-buahan Indonesia yang disukai oleh Negara lain diantaranya adalah alpukat, mangga, manggis, melon, papaya, nanas, kesemek, apel, rambutan, dan lain-lain. Dalam perdagangan dunia, buah alpukat merupakan komoditas buah yang penting, volume perdagangannya menempati urutan kelima susudah jeruk, pisang, nenas, dan mangga (Winarno, 2002). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1997 hingga tahun 2010, produktivitas alpukat di Indonesia mengalami kenaikan. Pada tahun 1997 produksi alpukat yaitu 129,952 ton, sedangkan pada tahun 2010 produksi alpukat mencapai 225,143 ton. Produksi alpukat tertinggi di Indonesia selama kurun waktu 13 tahun, yaitu pada tahun 2009 mencapai angka 257,642 ton. Buah alpukat yang diekspor ke pasar Eropa mencapai 20,000 ton pertahun (Winarno, 2002). Pada tahun 2011 permintaan ekspor alpukat oleh Singapura akan meningkat, karena adanya pembatasan impor dari negara China.

Berbeda dengan buah lain, alpukat mengandung lemak yang lumayan tinggi yakni 6,50 – 25,18 gram per 100 gram daging buah. Di antara buah-buahan, rasa alpukat unik, rasanya bukan manis atau pun masam, tetapi rasanya seperti kacang-kacangan. Rasa ini berasal dari daging buah yang konsistensinya menyerupai mentega. Lemak yang terdapat dalam alpukat sebagian besar (63%) merupakan asam lemak tak jenuh tunggal yang lebih dibutuhkan oleh tubuh manusia. Walaupun demikian, buah alpukat masih belum mendapatkan perhatian yang khusus dari masyarakat. Hal ini disebabkan belum diketahui potensinya secara luas. Buah alpukat masih ditangani dengan kurang tepat sehingga nilai jualnya rendah. Penanganan pasca panen (pengangkutan, sortasi, pengemasan dan penyimpanan) yang tidak tepat mempengaruhi tingkat perubahan mutu produk. Perubahan mutu selama proses penyimpanan terjadi karena buah-buahan dan sayuran masih melakukan respirasi, dimana selama proses respirasi tersebut produk mengalami pematangan dan kemudian diikuti dengan proses pembusukkan.

Kerusakan akibat pasca panen ini dapat berupa kerusakan fisik, mekanik, biologi, kimia, maupun mikrobiologi. Diperkirakan lebih dari 30% komoditas buah, sayur, dan bunga segar di Indonesia mengalami kerusakan setelah sampai di tangan konsumen, akibat penanganan yang kurang baik. Kerusakan-kerusakan selama pengangkutan tersebut umumnya memar, hancur, dan mutunya tidak seragam. Penyebab utama kerusakan tersebut adalah pengemasan yang tidak sesuai atau kurang tepat. Efisiensi penanganan komoditas hasil pertanian dapat ditingkatkan melalui kemasannya. Kemasan ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang maksimum kepada produk yang dikemas, sehingga produk dapat sampai ke tangan konsumen dalam kondisi mutu yang seragam dan penampakan yang baik.

Kemasan ada beberapa macam, mulai dari yang alami hingga buatan, mulai dari yang sederhana sampai yang paling canggih. Jenis kemasan yang dipilih harus dapat memberikan kondisi yang cocok bagi produk holtikultura sehingga dapat mencegah atau mengurangi terhadap


(3)

2 kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan keadaan yang dapat menyebabkan kerusakan selama didistribusikan seperti perubahan suhu, kelembaban, goncangan, kontaminasi dan sebagainya. Secara ekonomis ukuran kemasan harus dibuat seefisien mungkin, tidak banyak ruangan kosong serta ukuran dan densitasnya perlu diketahui.

Kemasan yang cukup baik digunakan untuk distribusi buah alpukat adalah kemasan kotak karton atau kardus. Hal ini disebabkan kemasan dengan kotak karton lebih ringkas dan rapi. Kemasan karton dapat dilengkapi dengan ventilasi untuk sirkulasi udara, dan penyekat antar buah untuk menghindari gesekan dan tekanan. Ventilasi penting pada kemasan produk pertanian khususnya komoditas holtikultura segar karena bahan tersebut masih mengalami respirasi yang mengakibatkan akumulasi panas dalam kemasan, oleh karena itu diperlukan aliran udara yang memadai untuk membuang panas tersebut. Kekuatan kardus dapat ditingkatkan dengan penambahan sekat di dalammnya, pelapis-pelapis tambahan, atau dengan menggunakan kardus teleskopik penuh yang mempunyai dua dinding luar (Pantastico, 1986).

Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan penelitian ini untuk mengetahui kesesuaian jenis bahan karton sebagai kemasan distribusi, pengaruh ventilasi pada kemasan untuk mempertahankan mutu buah didalamnya, mengetahui pengaruh ventilasi terhadap sebaran suhu dalam kemasan, juga suhu penyimpanan yang sesuai. Dengan penelitian ini juga dapat dilakukan penanganan yang tepat untuk kegiatan transportasi agar kualitas buah alpukat yang didistribusikan dari produsen kepada konsumen masih layak konsumsi.

B.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan dan mutu buah alpukat (susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut dan kerusakan fisik).

2. Mengetahui pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan mutu buah alpukat

3. Menentukan tipe kemasan dan suhu penyimpanan yang sesuai untuk mengurangi kerusakan mekanis dan penurunan mutu buah alpukat dalam kemasan.


(4)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Alpukat

Alpukat (Persea Americana, Mill) merupakan jenis tanaman yang termasuk famili Lauraceae, genus Parsea dan spesies americana. Tanaman alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur/Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat (Batak), advokat, jamboo mentega, jamboo pooan, pookat (Lampung) dan lain-lain. Tanaman alpukat berasal dari dataran rendah/tinggi Amerika Tengah dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-18. Secara resmi antara tahun 1920-1930 Indonesia telah mengintroduksi 20 varietas alpukat dari Amerika Tengah dan Amerika Serikat untuk memperoleh varietas-varietas unggul (Rismunandar, 1981).

Berdasarkan sifat ekologis, tanaman alpukat terdiri dari 3 tipe keturunan/ras, yaitu Meksiko, Guatemala, dan Hindia Barat, masing-masing ras memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Ras Meksiko memiliki buah buah yang kecil dengan berat 100-225 g, bentuk oval, bertangkai pendek, kulitnya tipis dan licin seta biji buahnya besar dan memenuhi rongga buah. Daging buah ras ini mempunyai kandungan minyak /lemak yang paling tinggi. Ras Guatemala mempunyai buah yang berukuran cukup besar, berat berkisar antara 200-300 g, kulit buah tebal, keras, mudah rusak dan kasar (berbintil-bintil). Bijinya relatif berukuran kecil dan menempel erat dalam rongga, dengan kulit biji yang menempel erat. Daging buahnya memiliki kandungan minyak yang sedang. Sedangkan ras Hindia Barat mempunyai buah dengan berat 300-400 g, tangkai pendek, kulit buah licin, agak liat, dan tebal. Kandungan minyak daging buahnya paling kecil bila dibandingkan dengan ketiga ras yang lain. (Prihatman, 2000). Bentuk dan penampang buah alpukat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bentuk dan Penampang Alpukat Mentega. T (tinggi), D (diameter) Alpukat merupakan salah satu tanaman holtikultura yang dapat tumbuh di daerah agak kering dan daerah basah. Tanah yang dikehendaki agar pohon alpukat dapat tumbuh dengan baik adalah tanah yang gembur dan memungkinkan adanya aerasi atau peredaran udara dengan pH antara 5.0-6.0. Pada daerah tropis seperti Indonesia, tanaman alpukat dapat tumbuh subur di atas dataran rendah sampai dataran tinggi yang berketinggian 2000 m di atas permukaan laut (dpl).

Rismunandar (1981), menyatakan bahwa musim berbunga alpukat bergantung pada daerah dan jenis alpukat. Biasanya alpukat berbunga pada bulan April-Agustus dan bulan

Oktober-T

D

Kulit

Daging


(5)

4 November, sedangkan berbuah pada bulan Desember-Februari dan Mei-Juli. Alpukat yang ditanam dari biji akan berbuah pada umur 5-6 tahun sedangkan yang ditanam dengan okulasi berbuah pada

umur 3-4 tahun. Pemanenan buah alpukat sebaiknya dilakukan pada saat yang tepat yaitu pada saat buah sudah tua tetapi belum masak. Kematangan buah alpukat ini dapat dilihat dari penampakan kulitnya. Bila masih mengkilap, maka buah masih belum cukup waktu matang walaupun bentuknya sudah cukup besar. Ciri kedua adalah bila buah diketuk dengan punggung kuku, menimbulkan bunyi yang nyaring. Sedangkan ciri yang terakhir adalah bila digoyang-goyangkan, akan terdengar goncangan biji, gejala ini menunjukkan buah sudah cukup matang (Rismunandar, 1986). Sebaiknya perlu diamati waktu bunga mekar sampai enam bulan kemudian, karena buah alpukat biasanya tua setelah 6-7 bulan dari saat bunga mekar.

Menurut Muchtadi (1988) usaha-usaha penentuan kematangan buah untuk dipanen secara obyektif belum diperoleh. Biasanya indeks panen yang digunakan adalah ukuran buah, warna dan sebagainya yang diperoleh berdasarkan pengalaman petani. Ada juga yang mencoba menentukan indeks panen berdasarkan kadar lemak minimum pada buah, tetapi hal ini tidak praktis dilakukan. Penentuan indeks panen yang lebih praktis adalah berdasarkan berat buah minimum dan diameter buah.

Buah alpukat memiliki komposisi kimia yang sangat lengkap. Besar kandungan ini tergantung dari jenis serta tingkat kematangan buah. Mutu buah alpukat ditentukan oleh waktu dan cara pemetikannya. Menurut Pantastico (1986), untuk menentukan waktu panen dapat dilakukan dengan beberapa cara:

1. Secara visual, dengan melihat warna kulit dan ukuran buah, adanya sisa tangkai putik, mengeringnya tepi daun tua, dan mengeringnya tubuh tanaman.

2. Secara fisik, dilihat dari mudah tidaknya buah terlepas dari tangkai dan berat jenisnya. 3. Secara analisi kimia, kandungan zat padat, zat asam, perbandingan zat padat dengan asam

dan kandungan zat pati.

4. Secara perhitungan, jumlah hari setelah bunga mekar dalam hubungannya dengan tanggal berbunga.

5. Secara fisiologi, dengan melihat respirasinya.

Penggolongan mutu buah alpukat dilakukan berdasarkan syarat mutu buah alpukat menurut Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1989), seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu buah alpukat Karakteristik Syarat Mutu

I II

Kesamaan sifat varietas Seragam Seragam

Tingkat kematangan Matang, tidak terlalu masak Matang, tidak terlalu masak

Bentuk Normal Kurang normal

Kekerasan Keras Keras

Ukuran Seragam Seragam

Kerusakan maks. (%) 5 10

Busuk maks. (%) 1 2

Kotoran Bebas Bebas

Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (1989).

Buah alpukat jenis unggul yang dianjurkan Departemen Pertanian adalah alpukat hijau panjang, alpukat hijau bundar (bulat) dan alpukat hijau lonjong (fuerte) (Sarjito dalam Anggraini 1992).


(6)

5 Tabel berikut ini menunjukkan perbedaan ketiga varietas alpukat tersebut.

Tabel 2. Karakteristik jenis alpukat

Karakteristik Jenis Alpukat Hijau panjang (mentega) Hijau bulat (mentega/susu)

Hijau lonjong (fuerte)

Bentuk Pear Bulat Bulat lonjong

Leher Panjang Tidak ada Pendek

Ujung buah Tumpul Bulat Tumpul

Pangkal buah Runcing Tumpul Runcing

Warna kulit Hijau bintik kuning Hijau licin berbintik kuning

Hijau agak kasar berbintik kuning

Tebal kulit (mm) 1.5 1.0 1.5

Daging buah : -Warna -Diameter -Panjang Kuning 6.5 11.5 Kuning hijau 7.5 9.0 Kuning 7.5 11.0 Biji : Bentuk -Ukuran (cm) Jorong 5.5 x 4

Jorong 5.5 x 4

Lonjong 5.0 x 4

-Hasil/tahun 16.1 kg/pohon 22.0 kg/pohon 45.1 kg/pohon

Sumber : Baga (1997)

Alpukat merupakan salah satu jenis buah bergizi tinggi yang semakin banyak diminati yang tidak kalah bersaing jika dibandingkan dengan buah-buahan lainnya yang memiliki nilai komersial lebih tinggi. Kandungan nilai nutrisi dari buah alpukat dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 3. Kandungan nilai nutrisi buah alpukat per 100 gr bahan

No Jenis Satuan Jumlah

1 Kalori kal 85

2 Lemak g 6.5

3 Karbohidrat g 7.7

4 Vit A IU 180

5 Vit B Mg 0.05

6 Vit C Mg 13

7 Ca Mg 10

8 Fe Mg 0.9

9 Phosphorus Mg 0.6

10 Soduim Mg 4.0

11 Air (%) 84.3

12 Protein g 2.2

13 Potassium Mg 604.0

14 Energi Kcal 73.6


(7)

6

B.

Pengemasan

Pengemasan adalah suatu usaha untuk melindungi komoditas dari penurunan mutu dan kerusakan mekanis, fisik, kimia dan mikrobiologi dan pada saat diterima konsumen akhir nilai pasarnya tetap tinggi (Soedibyo, 1985). Kualitas produk holtikultura yang rendah ketika sampai dipihak konsumen dapat disebabkan oleh sarana dan penanganan pasca panen yang belum diperhatikan. Penanganan pasca panen produk holtikultura dimulai dari pemanenan hingga penanganan sebelum diterima konsumen, termasuk didalamnya cara-cara pengemasan, penyimpanan, bongkar muat, dan transportasi/distribusi yang dapat mempengaruhi mutu produk.

Pengemasan berfungsi untuk mempertahankan produk agar lebih bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran, melindungi bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, O2, dan sinar, memberi perlindungan bagi konsumen dalam membuka wadah tersebut dan

memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusian, serta memberikan daya tarik penjualan dan pendistribusian (Buckle et.al.,1987).

Menurut Purwadaria (1998), perancangan kemasan selama pengangkutan ditunjukan untuk meredam goncangan dalam perjalanan yang dapat mengakibatkan kememaran dan penurunan kekerasan holtikultura. Faktor yang perlu diperhatikan meliputi kemasan yaitu jenis, sifat, tekstur dan dimensi bahan, komoditas yang diangkut, sifat fisik, bentuk, ukuran, struktur dan pola susunan biaya pengangkutan dibandingkan dengan harga komoditas, permintaan waktu, jarak dan keadaan jalan yang dilintasi.

Ada beberapa sifat kemasan distribusi yang diinginkan, yaitu sesuai dengan produk yang dikemas, cukup kuat untuk melindungi produk dari resiko-resiko yang terjadi selama pengangkutan dan penyimpanan, memiliki lubang ventilasi yang cukup (bagi produk tertentu yang memang membutuhkannya), dapat dibongkar dengan mudah tanpa menggunakan buku petunjuk, dan menyediakan informasi yang memungkinkan identifikasi produk yang dikemas, tempat produsen, dan tujuan pengiriman (Paine dan Paine, 1983).

Menurut Satuhu (2004), bahan dan bentuk kemasan secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1) Kemasan langsung

Yaitu kemasan utama yang langsung berhubungan dengan buah yang dikemas. Bahan pengemas utama ini dapat berupa karung, plastik, kertas, atau bahkan daun.

2) Kemasan tidak langsung

Merupakan kemasaan kedua dari buah yang tidak bersentuhan langsung. Wadah kedua dimaksudkan untuk melindungi bahan dari kerusakan fisik dan mekanis terutama untuk memudahkan pengaturan dalam gudang penyimpanan, dan distribusi serta memudahkan pengaturan dalam alat angkut. Bahan pengemas jenis ini dapat dibuat dari peti kayu, peti plastik, peti karton, dan keranjang bambu.

Pada umumnya pembuatan kemasan sayur-sayuran dan buah-buahan untuk keperluan domestik lebih mengutamakan kemasan yang mempermudah transportasi, mempermudah selama pemuatan ke dalam kendaraan dan pembongkaran kemasan dari angkutan, maupun pemindahan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Pencegahan terhadap kerusakan yang terjadi akibat benturan mekanis masih kurang mendapat perhatian. Untuk keperluan ekspor, kemasan yang digunakan tidak hanya ditunjukkan untuk mempermudah transportasi, namun kemasan tersebut digunakan juga sebagai pelindung terhadap kerusakan mekanis maupun kerusakan non mekanis, bahkan kemasan tersebut dijadikan sebagai sarana promosi. (Soesarsono, 1989).


(8)

7 Bahan pengemas digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dan lingkungan luar yang bertujuan untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et.al.,1987 ). Berdasarkan dengan fungsinya tersebut maka pemilihan bahan kemasan harus tepat dan sesuai dengan sifat komoditi yang akan dikemas. Bahan kemasan untuk pengangkutan dirancang sedemikian rupa disesuaikan jarak angkut, lama perjalanan, keadaaan jalan yang dilalui, jenis alat angkut, panas respirasi yang timbul, serta kehilangan air atau kesegaran akibat proses respirasi. Wadah yang dimaksud juga harus cukup kecil agar mudah diangkat ketika telah diisi buah, dan cukup kuat untuk melindungi buah selama diangkat, dipindahkan, atau ditumpuk. Permukaannya harus lembut untuk menghindari kerusakan mekanis, dan punya lubang ventilasi yang cukup (Liu, 1997).

C.

Peti Karton Bergelombang

Karton gelombang adalah karton yang dibuat dari satu atau beberapa lapisan kertas medium bergelombang dengan kertas linear sebagai penyekat dan pelapisnya. Pada akhir Perang Dunia II, 80% kemasan distribusi dibuat dalam kemasan peti karton gelombang, dan sisanya dibuat dari peti kayu (Anonim, 1994). Bahan kemasan karton gelombang merupakan bahan kemasan hasil industri kertas, jenis dan tipenya sudah terdapat standarnya. Sehingga pemilihan bahan kemasan karton gelombang lebih mudah dibandingkan dengan kayu. Papan karton gelombang yang telah dibentuk menjadi bentuk kemasan disebut kardus.

Karton gelombang merupakan bahan kemasan distribusi yang paling umum dan paling banyak digunakan untuk berbagai jenis produk, mulai dari buah-buahan sampai dengan peralatan elektronik atau mesin untuk industri. Hal ini disebabkan harganya yang relatif murah dan daya tahan yang dapat diatur sesuai dengan jenis produk yang dikemas dan jenis transportasi yang digunakan (Triyanto, 1991). Agar dapat berfungsi dengan maksimal, pemakaian kotak karton gelombang harus memperhatikan penggunaan bahan baku yang baik, pengendalian mutu yang memadai selama proses pembuatan, spesifikasi kotak yang dibuat, baik dari segi ukuran, berat, dan lain-lain.

Kertas gelombang antara permukaan pada papan karton gelombang disebut fluting atau media bergelombang. Kualitas terbaik dari fluting adalah yang terbuat dari serat kayu dengan metode pengolahan pulp secara khusus. Peleg (1985) mengklasifikasikan karton gelombang berdasarkan lapisan kertas (flat sheet) dan flute penyusunnya. Karton gelombang diklasifikasikan menjadi single wall board ( flute terletak di tengah-tengah flat sheet), double wall board ( dua lapis single wall board yang saling berhadapan satu sama lain ), dan triple wall board ( terdiri dari tiga flute dan empat flat sheet ), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Penggolongan karton gelombang (sumber : www.tri-wall.co.jp)

Lott (1977) menyatakan struktur flute yang digunakan pada karton gelombang komersial tediri atas 4 ukuran yaitu A (course), B (fine), C (medium), dan E (very fine). Flute pada karton gelombang tipe A, B, dan C banyak digunakan untuk keperluan industri, misalnya untuk keperluan transportasi. Bentuk masing-masing flute seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.


(9)

8 Gambar 3. Tipe Flute (sumber : www.dusobox.com)

Menurut Jaswin (1999), flute A memiliki sifat bantalan (cushioning) yang baik karena ketebalannya dapat meredam daya tekan yang terjadi pada saat kemasan ditumpuk. Flute B memiliki bantalan yang tidak terlalu tinggi sehingga cocok untuk produk yang sebelumnya telah dikemas dalam kaleng. Namun flute B memiliki ketahanan tekan datar (flat crush resistant) yang paling baik. Flute C dibuat dengan karakteristik berada diantara flute A dan B dengan harga lebih murah, memiliki daya bantalan yang tinggi seperti flute A dan memiliki ketahanan tekan datar yang baik seperti flute B. Sedangkan flute E banyak digunakan untuk kemasan display dengan dinding luar terbuat dari white kraft sebagai karton printed. Sifat dan tipe flute dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Susunan flute pada karton gelombang komersial

Flute

configuration

Number of flutes per meter

Flute height (mm)

Minimum flat crush (Nm

-2

)

A (coarse) 104-125 4.5-4.7 140

B (fine) 150-184 2.1-2.9 180

C (medium) 120-145 3.5-3.7 165

E (very fine) 275-310 1.15-1.65 185

Sumber : Lott, di dalam Paine, F. A. The Packaging Media (1977)

Tabel 5. Tipe flute dan sifat karton gelombang

Jenis flute Ketebalan (mm) Kekuatan tekan tepi (kg/cm) Single-wall

A 4.9-5.5 6.8-7.6

B 2.9-3.5 5.2-7.3

C 3.9-4.5 5.4-7.5

Double-wall

A+B 7.8-9.0 9.0-12.1

A+C 8.8-10.0 9.1-12.3

Sumber : Peleg (1985)

Kemasan dari karton gelombang memiliki banyak tipe kemasan. Peleg (1985) menyatakan bahwa terdapat beberapa tipe kemasan karton gelombang yang umum digunakan yaitu :

1. Regular Slotted Container ( RSC )

Regular Slotted Container ( RSC ) biasa disebut wadah celah teratur karena kedua tutup sama panjang dan bertemu ditengah pada saat ditutup. Kemasan ini merupakan tipe yang paling banyak


(10)

9 digunakan sebagai kemasan distribusi produk holtikultura dari kedua tipe yang lain karena memiliki kontruksi yang lebih sederhana. Tipe kemasan RSC tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kemasan karton gelombang tipe Regular Slotted Container ( RSC ) 2. Half Telescopic Container ( HTC )

Kemasan ini terdiri dari dua wadah yang ditumpuk dimana satu kotak sedikit lebih kecil dari kotak yang lainnya. Keunggulan dari kemasan ini adalah dapat menyesuaikan dengan tinggi atau panjang barang yang dibawa, selain itu ketebalan karton gelombang di keempat sisinya memberikan perlindungan dan kekuatan pada produk meskipun kemasan ditumpuk-tumpuk. Kemasan ini banyak digunakan pada palletized product seperti lemari es dan mesin cuci. Tipe kemasan HTC tersebut ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Kemasan karton gelombang tipe Half Telescopic Container ( HFC ) 3. Full Telescopic Container ( FTC )

Kemasan ini terdiri dari dua wadah yang tertutup yang terpisah wadah bagian atas dan wadah bagian bawah. Wadah penutup yang dalam hingga ke bagian bawah memberikan tambahan ketebalan papan pada semua panel samping dan bawah. Ini memberikan kuat tekan yang baik untuk penumpukan barang rapuh dan tinggi. Tipe kemasan FTC tersebut ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Kemasan karton gelombang tipe Full Telescopic Container ( FTC ) Penggunaan peti karton bergelombang sekarang ini sudah cukup mendesak penggunaan peti kayu (Satuhu, 2004). Hal tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu :

1) Pembuatannya dilakukan secara masinal ( dengan mesin ) sehingga dapat diproduksi secara besar-besaran sesuai dengan ukuran dan kapasitas yang diinginkan.


(11)

10 2) Kemasan peti karton bekas dapat dipakai kembali dan setelah rusak dapat di daur ulang

menjadi karton kembali.

3) Perancangannya dapat disesuaikan dengan kondisi buah yang dikemas.

D.

Ventilasi

Pada kemasan untuk produk-produk hasil pertanian, biasanya terdapat beberapa lubang ventilasi. Dengan adanya ventilasi, menyebabkan sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga akan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO2 pada suhu tinggi (Hidayati, 1993).

Perbedaan desain, bentuk, dan ukuran dari lubang ventilasi biasanya disesuaikan dengan tipe produk, penyimpanan, dan mode transportasi.

Peleg (1985) juga menyatakan bahwa untuk mendesain sebuah kemasan baik untuk penyimpanan maupun distribusi buah (produksi holtikultura) perlu diperhatikan sirkulasi udara dengan memberikan ventilasi dengan tujuan mempertahankan kesegaran buah. Letak lubang ventilasi pada kemasan karton, biasanya terdapat pada bagian samping kemasan karton, bukan di bagian atas (penutup) kemasan. Adanya lubang ventilasi di bagian samping dapat mengurangi kekuatan kemasan yang lebih besar daripada pemotongan di bagian atas dan bawah kemasan peti karton (Peleg,1985). Jika semakin besar luasan ventilasi yang diberikan kepada peti karton maka semakin kecil compression strength peti karton tersebut. Dalam hal ini desain ventilasi harus memperhatikan letak atau posisi vertikal serta luasan ventiasi agar tercapai kekuatan kemasan yang optimal (Aspihani, 2006).

Menurut New, et al. (1978) lubang ventilasi pada peti karton biasanya dibuat bulat (circle ventilation) atau celah panjang dengan sudut-sudutnya dibulatkan (oblong ventilation). Silvia (2006) juga menyatakan bahwa tipe kemasan peti karton yang banyak digunakan di Indonesia adalah tipe RSC dan FTC dengan ventilasi tipe oblong ventilation dan circle ventilation. Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu (McDonald, et al. (1979), Paklamjeak, et al. (1988), dan Won Ok (2003) dalam Aspihani, 2006) dilakukan ventilasi sebagai berikut :

a. Untuk tipe oblong ventilation diberi persentase luasan ventilasi sebesar 1%, 3%, dan 5% dari luas keseluruhan peti karton.

b. Untuk tipe circle ventilation diberi persentase luasan ventilasi sebesar 1%, 2%, dan 3% dari luas keseluruhan peti karton.

Perbedaan perlakuan luasan ventilasi antara tipe oblong dan circle ventilation disebabkan penempatan lubang ventilasi pada tipe circle ventilation hanya di dua sisi. Apabila digunakan luasan ventilasi sampai dengan 5% akan menyebabkan diameter lubang ventilasi pada tipe circle ventilation cukup besar sehingga diperkirakan kemasan mudah rusak bila terkena tekanan. Pemberian lubang ventilasi pada kemasan peti karton menyebabkan penurunan compression strength, semakin besar luasan ventilasi terhadap luasan peti karton maka semakin kecil compression strength peti karton tersebut. Penurunan compression sthrength peti karton karena pemberian luasan ventilasi dapat dinyatakan dengan nilai faktor koreksi (FK). FK untuk tipe oblong ventilation dengan luasan ventilasi 1% terhadap seluruh luas permukaan kemasan sebesar 0.83, sedangkan untuk luasan 3% dan 5% sebesar 0.70. Faktor koreksi (FK) untuk tipe circle ventilation, peti karton dengan luasan ventilasi 1% sebesar 0.93, dengan luasan ventilasi 2% sebesar 0.83, dan dengan luasan ventilasi 3% sebesar 0.73 (Aspihani, 2006).

Adhinata (2008), dari hasil penelitiannya diperoleh pola hubungan waktu terhadap suhu, dimana pada kemasan berventilasi lingkaran dan berventilasi oval memiliki pola yang sama, sedangkan untuk kemasan berventilasi campuran cenderung memiliki pola yang sama dengan kemasan tanpa ventilasi. Hasil simulasi menunjukkan pola sebaran suhu dipengaruhi oleh bentuk


(12)

11 ventilasi. Keadaan suhu pada pada daerah yang searah dengan ventilasi menghasilkan sebaran suhu yang relatif sama dengan suhu lingkungan.

Menurut Sakti (2010) bahwa kemasan yang berventilasi lingkaran lebih reponsif terhadap suhu lingkungan daripada kemasan yang berventilasi oval dan kemasan tanpa ventilasi. Hal ini menyebabkan buah tomat yang dikemas dengan kemasan berventilasi lingkaran laju penurunan kekerasan dan laju peningkatan total padatan terlarutnya lebih besar daripada buah yang dikemas pada kemasan lainnya.

E.

Bahan Pengisi Kemasan (Inner)

Selama transportasi dan penyimpanan, kemasan dan bahan segar akan menghadapi beberapa bahaya, baik dari segi mekanis, lingkungan ataupun biologi. Bahaya mekanis dapat dinyatakan sebagai bahaya yang disebabkan oleh tumbukan, getaran, kompresi dan tusukan. Kerusakan tumbukan dapat terjadi jika kemasan jatuh atau terlempar. Buah didalamnya akan bergerak dan bersentuhan antara sesama buah dan antara buah dengan kemasan yang mengakibatkan kerusakan.

Untuk mengurangi efek tersebut pada produk, kemasan harus dibuat tidak bergerak dan membagi beban yang ada pada setiap bagian dan memberikan bantalan. Efek merugikan dari getaran termasuk luka lecet yang disebabkan efek perpindahan relatif produk dari kemasan dan dari produk yang lain bisa dikurangi dengan menahan tiap bagian produk. Kerusakan kompresi terjadi selama penumpukan kemasan. Kemasan kaku yang terlampau penuh atau cacat dapat menyebabkan gaya kompresi yang ada dari penumpukan lebih banyak dilanjutkan kepada produk daripada kemasannya. Hal ini berakibat produk menjadi memar dengan tingkat keparahannya tergantung pada besarnya gaya yang terjadi dan tingkat kematangan dari produk (Burdon, 1997).

Beberapa dari kerusakan ini dapat diminimalisir dengan menghindari adanya ruang kosong yang terdapat didalam kemasan serta melindungi tekanan dan gesekan antara sesama produk ataupun antara produk dengan kemasan selama kegiatan transportasi. Bahan yang digunakan untuk mengisi ruang tersebut sering disebut dengan istilah bahan pengisi kemasan. Bahan ini dapat mengurangi sebagian besar kerusakan yang terjadi selama transportasi. Selain itu bahan ini dapat juga menjadi alat penyekat antar produk, sebagai bahan pelapis dinding kemasan, atau sebagai bahan pengganjal untuk melindungi buah atau sayur terhadap pergeseran dengan dinding kemasan atau sebagai bahan pengisi disela-sela antara setiap komoditas yang dikemas untuk mencegah terjadinya pergeseran letak komoditas. Bahan yang umum digunakan adalah merang atau jerami, daun-daun kering, pelepah batang pisang, tikar, styrofoam, kertas koran atau kertas lainnya dan sebagainya. Penggunaan bahan pengisi kemasan dan contoh sekat karton seperti yng ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Sekat karton


(13)

12

F.

Penyimpanan Buah

Penyimpanan adalah salah satu cara tindakan pengamanan yang selalu terkait dengan faktor waktu dengan tujuan menjaga dan mempertahankan nilai komoditi yang disimpan (Soesarsono,1988). Peranan penyimpanan antara lain dalam hal penyelamatan dan pengamanan hasil panen, memperpanjang umur simpan, terutama untuk komoditas musiman sehingga dapat mempertahankan harga.

Menurut Pantastico,et.al.(1975), penyimpanan buah-buahan dan sayuran dapat memperpanjang daya guna dan dalam kemasan tertentu dapat mempertahankan mutunya. Produk dikatakan berada didalam kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen, serta selama bahan pengemasnya masih memiliki integritas serta melindungi isi kemasan. Menurut Shewfelt (1987), masa simpan ialah batas waktu suatu produk untuk dapat mempertahankan kualitas penerimaannya dibawah kondisi penyimpanan tertentu. Kebutuhan kondisi penyimpanan dan sifat-sifat dari buah-buahan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kebutuhan kondisi penyimpanan dan sifat-sifat dari buah-buahan

Komoditi Suhu simpan oC RH (%) Masa simpan Kadar air (%) Titik beku tertinggi oC

Alpukat 4 s/d 13 85-90 2-4 minggu 65 -0.3

Apel -1 s/d 4 90 3-8 bulan 84 -1.1

Pisang 13 s/d 15 90-95 4–7 hari 75 -0.8

Mangga 13 85-90 2-3 minggu 81 -0.9

Jambu biji 7 s/d 10 90 2-3 minggu 83 -

Sumber : Winarno (2002)

Menurut Muchtadi (1992), karakteristik penyimpanan buah-buahan dan sayuran dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : varietas, iklim tempat tumbuh, kondisi tanah, derajat kematangan, dan perlakuan sebelum penyimpanan. Tujuan utama penyimpanan buah segar adalah pengendalian laju transpirasi dan respirasi antara lain mengatur suhu dan kelembaban ruangan, mengendalikan infeksi penyakit dan mempertahankan produk dalam bentuk yng paling berguna bagi konsumen (Pantastico,1986)

Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka penting dijaga agar suhu ruang penyimpanan relatif tetap. Perubahan 2-3 oC dari suhu yang dikehendaki sebaiknya dicegah. Sayuran dan buah-buahan yang yang disimpan pada suhu 2-3 oC lebih tinggi dari yang seharusnya bila suhu pendingin tidak segera dicapai, akan sangat memungkinkan terjadinya pembusukan atau proses pematangan yang tidak baik. Makin lama keadaan diatas saat suhu optimum tersebut berlangsung, makin besar kemungkinan terjadinya kerusakan pada bahan yang akan disimpan (Syarif dan Hariyadi,1990). Perubahan-perubahan fisik yang umumnya terjadi pada buah-buahan selama pematangan dan penyimpanan diantaranya adalah tekstur, warna, kandungan gula, keasaman, susut bobot, kadar air, dan kandungan vitamin C.

Salah satu faktor dari lingkungan penyimpanan buah adalah suhu penyimpanannya. Suhu dan kelembaban harus dijaga agar tetap konstan demikian (Satuhu, 2004). Kelembaban udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar selama penyimpanan. Penyusutan bobot menyebabkan buah mengkerut dan layu serta dapat mencegah pertumbuhan jasad renik pembusuk sehingga bahan yang disimpan menjadi


(14)

13 cepat rusak. Selain itu dengan mengurangi suhu dapat memperlambat terjadinya metabolisme, menghambat terjadinya perubahan, dan mengurangi kehilangan air dan peningkatan pathogen (Pantastico, 1975). Pada penyimpanan buah-buahan, sirkulasi udara harus tetap dijaga (Satuhu, 2004).

Penyimpanan pada suhu dingin diperlukan untuk komoditi sayuran dan buah-buahan yang mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya. Proses penuaan terjadi karena adanya proses pematangan, pelunakan, dan perubahan warna serta tekstur, kehilangan air dan pelayuan, kerusakan karena aktivitas mikroba (bakteri,kapang, dan khamir) dan proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki, misalnya pertunasan pada umbi-umbian (Muchtadi, 1988). Selain itu yang perlu diperhatikan pada penyimpanan dingin adalah suhu dari pendingin harus berada pada titik yang tepat. Suhu yang terlalu dingin akan menyebabkan terjadinya kerusakan buah akibat suhu dingin (chilling injury). Gejala chilling injury antara lain adalah buah menjadi berlubang, penghitaman kulit, gagal menjadi masak dan rentan mengalami pembusukan (Nakasone, 1998).

Dengan penyimpanan, respirasi komoditi segar dapat dikendalikan. Asas dasar penyimpanan pada temperatur rendah adalah penghambatan respirasi dengan temperatur rendah. Panas yang ditimbulkan respirasi tertimbun dalam ruang penyimpanan dan jika tidak disediakan sarana untuk menghilangkannya maka laju respirasi komoditi yang disimpan akan bertambah besar. Ventilasi secara tidak langsung berhubungan dengan respirasi. (Muchtadi, 1988)

G.

Kerusakan Pasca Panen

Penanganan pasca panen harus ditangani secara hati-hati untuk memperoleh buah-buahan yang segar dan mempunyai mutu yang tinggi. Kerusakan dapat terjadi karena kesalahan penanganan dalam salah satu atau beberapa tahapan penanganan atau tindakan manusia.Kerusakan pada produk pertanian bentuknya beragam, tergantung pada sifat-sifat fisik dan biologi produk serta tipe beban yang bekerja. Pada umumnya kerusakan mekanis pada produk-produk pertanian dapat disebabkan oleh gaya-gaya luar (statik ataupun dinamis) dan gaya-gaya dalam yang disebabkan oleh perubahan fisik bahan tersebut. Perubahan fisik dapat disebabkan oleh perubahan kadar air, temperatur, biologis, dan kimia. Kerusakan mekanis dapat terjadi karena buah menerima pembebanan, baik berupa tekanan atau pukulan. Kerusakan mekanis yang terjadi selama pengangkutan dapat terjadi karena tumpukan buah yang terlalu tinggi. Hal tersebut mengakibatkan tekanan yang besar terhadap buah yang terdapat pada lapisan bawah sehingga meningkatkan kerusakan akibat kompresi (Anonim, 2008).

Kerusakan fisik suatu produk holtikultura dapat diakibatkan oleh insekta atau rodentia, kondisi lingkungan seperti suhu, dan sinar matahari. Kerusakan fisik akibat insekta ditandai dengan adanya lubang atau bekas gigitan, kerusakan fisik akibat suhu tinggi menyebabkan memar dan lembek, dan kelembaban relatif yang rendah dapat menyebabkan kehilangan air. Jika kehilangan air dari dalam produk yang telah dipanen jumlahnya relatif masih kecil mungkin tidak akan menyebabkan kerugian atau dapat ditolelir, tetapi apabila kehilangan air tersebut jumlahnya banyak akan menyebabkan hasil panen yang diperoleh menjadi layu dan bahkan dapat menyebabkan produk hortikultura menjadi mengkerut. Kerusakan fisik juga dapat ditandai dengan adanya pecah (kulit terkelupas), memar dan luka pada buah. Kerusakan ini diakibatkan oleh benturan dan getaran dari kendaraan pengangkut.

Sedangkan kerusakan biologis disebabkan karena serangan serangga, binatang pengerat, dan sebagainya. Masuknya ulat serangga ke dalam buah dapat merusak bagian dalam buah. selain itu memudahkan mikroba perusak masuk sehingga buah menjadi cepat menjadi busuk (Satuhu, 1993).


(15)

14

H.

Transportasi

Produk sayuran dan buah-buahan hasil panen akan didistribusikan hingga sampai ke tangan konsumen. Distribusi produk holtikultura dapat melewati berbagai jenis jalur transportasi, tergantung tujuan dan jarak distribusi. Transportasi dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Transportasi yang baik salah satunya adalah transportasi yang mampu memberikan kerusakan minimal pada produk, terutama pada produk holtikultura yang sangat rentan terhadap goncangan dan faktor lingkungan (Pantastico, 1986).

Masalah pengangkutan merupakan masalah yang sangat penting pada rantai pemasaran holtikultura. Pengangkutan mempunyai peranan penting pada setiap tingkat distribusi, sebab harga total hasil holtikultura yang dipasarkan berhubungan erat dengan masalah pengangkutan (Sjaifullah, 1996). Goncangan yang terjadi selama pengangkutan baik di jalan raya maupun di rel kereta api dapat mengakibatkan kemeraman, susut berat, dan memperpendek masa simpan (Purwadaria, 1997). Perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan mengakibatkan jumlah kerusakan pada komoditas hingga sampai ke tempat tujuan mencapai kurang lebih 30-50 %. Selain terjadinya susut bobot dan kerusakan mekanis akibat adanya goncangan selama dalam perjalanan, biaya angkut yang cukup mahal juga termasuk kendala dala pengangkutan (Soedibyo, 1992).

I.

Simulasi Transportasi

Pengangkutan merupakan mata rantai yang penting dalam penanganan, penyimpanan, dan distribusi buah-buahan serta sayuran. Pengangkutan dilakukan untuk menyampaikan komoditas hasil pertanian secara cepat dari produsen ke konsumen. Di Indonesia perhubungan lewat darat sangat dominan terhadap pengangkutan buah yang hendak dipasarkan selanjutnya. Alat angkut yang umum digunakan adalah truk, mobil bak terbuka atau sejenisnya, dan menggunakan kereta api (Sutuhu, 2004).

Dalam kondisi jalan yang sebenarnya, permukaan jalan ternyata memiliki permukaan yang tidak rata. Permukaan jalan yang tidak rata ini menyebabkan produk mengalami berbagai guncangan selama transportasi. Besarnya guncangan yang terjadi bergantung kepada kondisi jalan yang dilalui. Ketidakrataan ini disebut amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan jalan tersebut dinyatakan sebagai frekuensi. Kondisi transportasi yang buruk ini dan penanganan yang tidak tepat pada komoditi yang ditransportasikan (buah dan sayuran) dapat menyebabkan kerugian berupa turunnya kualitas komoditi yang akan disampaikan ke tangan konsumen. Penurunan kualitas yang sering terjadi adalah kerusakan mekanis pada buah dan sayuran.

Untuk memperoleh gambaran mengenai kerusakan mekanis yang dialami oleh komoditi pertanian akibat guncangan selama transportasi dilakukan perancangan alat simulasi transportasi. Alat tersebut dapat mewakili pengaruh guncangan yang terjadi pada kondisi jalan yang sebenarnya. Desain alat simulasi ini telah disesuaikan dengan jalan yang terdapat di dalam dan luar kota (Purwadaria, 1977). Dasar yang membedakan antara jalan dalam dan luar kota adalah besarnya amplitudo yang terukur. Jalan dalam kota memiliki amplitudo yang lebih rendah dibandingkan jalan luar kota, jalan buruk, dan jalan berbatu. Pada simulasi pengangkutan dengan menggunakan truk guncangan yang dominan adalah guncangan pada arah vertikal. Sedangkan guncangan pada kereta api adalah guncangan horizontal (Soedibyo, 1992).

Menurut Darmawati (1994), yang menjadi dasar perbedaan jalan dalam kota dan luar kota adalah besar amplitudo yang terukur dalam suatu panjang jalan tertentu, dimana jalan dalam kota mempunyai amplitudo yang rendah dibanding jalan luar kota, maupun jarak buruk aspal dan jalan


(16)

15 buruk berbatu. Frekuensi alat angkut yang tinggi bukan penyebab utama kerusakan buah dalam pengangkutan, tetapi yang lebih berpengaruh terhadap kerusakan buah adalah amplitudo jalan. Lembaga Uji Konstruksi BPPT tahun 1986 telah mengukur goncangan truk yang diisi 80% penuh dengan kecepatan 60 km/jam dalam kota dan 30 km/jam untuk jalan buruk (aspal) dan jalan berbatu, seperti ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Data goncangan truk

Jumlah kejadian Amplitudo

Amplitude getaran vertikal (cm) Jalan dalam

kota Jalan luar kota Jalan aspal

Jalan buruk berbatu

1 3.5 3.9 4.8 5.2

500 3.2 3.6 4.2 4.1

1000 2.9 3.3 3.9 3.8

1500 2.5 3.0 3.5 3.6

2000 2.2 2.8 3.1 3.2

2500 1.8 2.5 2.8 2.6

3000 1.6 2.1 2.8 2.6

3500 1.5 2.0 2.0 2.0

4000 1.1 1.7 1.2 1.1

4500 0.9 1.3 0.8 0.7

5000 0.0 0.1 0.2 0.1

Amplitudo Rataan

1.3 1.74 1.85 1.71


(17)

16

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian selama 3 bulan terhitung mulai Maret hingga Juni 2011.

B.

Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu :

a. Buah alpukat varietas mentega yang termasuk alpukat mutu I, dan memiliki karakteristik ras Meksiko antara lain bentuk buah seperti buah pear, dengan tangkai buah pendek, berkulit tipis, halus dan licin, memiliki ukuran buah yang kecil dengan berat 100-225 g, diperoleh dari kebun Alpukat di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Sampel alpukat yang dibawa dari Sukabumi diangkut menggunakan motor dan dikemas menggunakan karton. Alpukat yang digunakan dalam penelitian diusahakan seragam yaitu dalam hal dimensi, bentuk, warna, ukuran, dan tingkat kekerasan serta keadaan segar dan tidak cacat.

b. Kemasan berupa karton gelombang tipe flute AB, dengan dimensi 370 x 230 x 210 mm. Kemasan karton gelombang yang digunakan tipe kemasan RSC dengan sekat karton. Kemasan yang diuji adalah tanpa ventilasi, ventilasi tipe circle (lingkaran), ventilasi tipe oblong (oval), dan ventilasi searah sekat, dengan masing-masing luasan ventilasi sebesar 2% dari luas kemasan.

2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah meja simulator dengan kompresor, Termokopel tipe Cover Constanta (CC) untuk mengukur suhu di dalam kemasan dan suhu lingkungan, Chino Recorder Yokogawa tipe 3058 untuk membaca hasil pengukuran suhu yang diperoleh dari Termokopel, Rheometer tipe CR-3000 DX untuk mengukur kekerasan buah, Refractometer digital Atago tipe PR-201 untuk mengukur total padatan terlarut (TPT), Refrigerator untuk penyimpanan suhu dingin, serta alat-alat lainnya yang menunjang terlaksananya penelitian ini. Gambar dari peralatan yang digunakan terdapat pada Lampiran 4.

C.

Model Kemasan

Kemasan karton gelombang dengan dimensi 370 x 230 x 210 mm. Kemasan karton gelombang yang digunakan tipe kemasan RSC dengan sekat karton. Perlakuan kemasan yang diuji adalah kemasan tanpa ventilasi, ventilasi tipe circle (lingkaran), ventilasi tipe oblong (oval), dan ventilasi searah sekat, seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Sedangkan detail gambar dengan ukuran dalam satuan mm terdapat pada Lampiran. Presentase luasan ventilasi sebesar 2% dari luas kemasan.


(18)

17

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 8. Model kemasan dalam penelitian, (a) tanpa ventilasi, (b) ventilasi circle, (c) ventilasi oblong, (d) ventilasi searah sekat

D.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan sebagai berikut : a. Perancangan Kemasan

Perkiraan kapasitas dan dimensi kemasan, kapasitas ditentukan berdasarkan kemasan yang digunakan untuk pasar ekspor . Dimensi kemasan ditentukan berdasarkan ukuran buah, jumlah layer, tipe kemasan, dan tebal bahan yang digunakan.

b. Alpukat yang telah diperoleh dari kebun, dibersihkan, kemudian disortasi. Alpukat yang dipilih tidak memiliki kerusakan atau cacat pada kulit buahnya serta memiliki ukuran yang seragam.

c. Alpukat kemudian dimasukkan ke dalam 8 buah kemasan karton dengan kapasitas masing-masing 5 kg alpukat, yaitu 2 kemasan tanpa ventilasi (tipe 1), 2 kemasan ventilasi tipe circle (tipe 2), 2 kemasan ventilasi tipe oblong (tipe 3) dan 2 kemasan ventilasi searah sekat (tipe 3).

d. Buah alpukat disusun secara teratur atau dikenal dengan pattern pack dengan arah vertikal, dan dibentuk dalam dua layer (tumpukan).


(19)

18 e. Buah dalam kemasan karton tersebut disusun pada meja stimulator untuk simulasi

transportasi.

f. Penggetaran pada simulasi tersebut dilakukan selama 2 jam pada arah vertikal berdasarkan jarak tempuh pendistribusian buah alpukat dari Sukabumi menuju Jakarta, amplitudo yang digunakan sebesar 5.34 cm dan frekuensi 3.44 Hz. Ilustrasi gerakan pada jalan sebenarnya dan pada simulasi meja getar ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. ilustrasi gerakan pada (a) Angkutan truk (b) Meja simulasi getar (Hayati, 2009) g. Setelah perlakuan simulasi transportasi, kemudian dilakukan pengamatan kerusakan

mekanis untuk mengetahui jumlah dan persentase alpukat yang mengalami kerusakan akibat guncangan selama simulasi transportasi

h. Tahap selanjutnya pasca simulasi transportasi, kemasan buah alpukat disimpan pada suhu ruang 28 oC dan suhu dingin 8 oC ( berdasarkan kebutuhan kondisi penyimpanan alpukat menurut Winarno (2002) ). Kemudian dilakukan pengukuran suhu dalam kemasan dan suhu lingkungan. Penyimpanan pada suhu ruang 28 oC dilakukan selama 6 hari, sedangkan pada suhu 8 oC selama 12 hari untuk selanjutnya dilakukan pengamatan setiap 3 hari sekali. Waktu penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Adapun data-data yang diambil selama pengamatan adalah pengukuran dan pengamatan terhadap kerusakan mekanis, kekerasan, total padatan terlarut, dan susut bobot. Penyimpanan pada suhu 8 oC ini bertujuan agar masa simpan buah alpukat dapat bertahan lebih dari seminggu. Diagram alir prosedur penelitian ditunjukkan pada Gambar 10.


(20)

19 Gambar 10. Diagram alir prosedur penelitian

Perancangan 4 tipe kemasan

Pengemasan Tipe 1

Simulasi Transportasi

t = 2 jam A = 5.34 cm f = 3.44 Hz ∑kardus = 8 buah

Pengamatan kerusakan mekanis

Penyimpanan pada suhu 28 oC

Pengukuran Fisiologis Susut bobot, Kekerasan, Uji total

padatan terlarut Pengamatan :

Kerusakan Selama Penyimpanan Memar kulit, Pecah/retak kulit, busuk

Penyimpanan pada suhu 8 oC

Pengemasan Tipe 2 Pengemasan Tipe 3 Pengemasan Tipe 4

Pengukuran sebaran suhu dalam kemasan dan lingkungan

Alpukat dibersihkan dan di sortasi ( ukuran seragam, tidak terdapat luka atau goresan)

Pengolahan data

Kemasan yang direkomendasikan


(21)

20

E.

Perhitungan, Pengamatan, dan Pengukuran

1. Dimensi dan Berat Buah

Dimensi buah alpukat diukur menggunakan penggaris dan jangka sorong, pengukuran dilakukan untuk mengetahui diameter minor, diameter mayor buah dan untuk mengetahui tinggi buah dari bawah sampai ujung buah . Berat buah diukur menggunakan timbangan metler PM-4800.

2. Penentuan Dimensi Kemasan

Dimensi kemasan dihitung berdasarkan nilai dimensi buah dan ketebalan kemasan. Lebar dan panjang kemasan diperoleh dari penjumlahan seluruh diameter mayor buah alpukat dengan tebal dinding vertikal kemasan yang terdapat pada sisi panjang dan lebar, baik dinding outer maupun inner. Sedangkan tinggi kemasan diperoleh dari penjumlahan tinggi alpukat yang dikalikan jumlah tumpukan layer dengan tebal dinding horisontal kemasan, baik dinding outer maupun dinding inner kemasan pada sisi panjang. Sedangkan persentase luasan ventilasi dihitung berdasarkan luasan dinding vertikal kemasan.

Formula untuk menghitungan dimensi outer kemasan:

P = TDMBP + TDOV + TDVIP + TB ...(1) Dimana : P = Panjang kemasan

TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi panjang TDVO = Total tebal dinding vertikal outer

TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi panjang TK = Tebal tekukan

L = TDMBL + TDOV + TDIVL + TB ...(2) Dimana : L = Lebar kemasan

TDMBL = Total diameter mayor buah pada sisi lebar TDOV = Total tebal dinding vertikal outer

TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi lebar TK = Tebal tekukan

T = TTB + TTAIP ...(3) Dimana: T = Tinggi kemasan

TTBT = Total tinggi buah pada sisi tinggi TTAIP = Total tebal alas inner pada sisi tinggi Formula menghitungan dimensi inner kemasan:

P = TDMBP + TDVIP ...(4) Dimana: P = Panjang kemasan

TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi panjang

TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi panjang

L= TDMBL + TDOV + TDIVL ...(5) Dimana: P = Lebar kemasan

TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi lebar TDOV = Total tebal dinding vertikal inner


(22)

21 3. Sebaran Suhu Dalam Kemasan

Pengukuran sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan menggunakan thermocouple dan Hybrid Recorder. Jumlah titik pengukuran suhu yang dilakukan yaitu sebanyak 5 titik pada masing-masing kemasan diletakkan pada sepanjang diagonal kemasan, dan1 titik pengukuran suhu lingkungan. Pengukuran suhu dititik tersebut untuk melihat sebaran suhu dalam masing-masing tipe kemasan. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan berada di bagian layer bawah, seperti ditunjukkan pada Gambar 11.

(a) (b)

Gambar 11. Bagian dalam kemasan (a) dan posisi titik pengukuran suhu (b).

Pengujian sebaran suhu dilakukan pada dua perlakuan suhu ruang penyimpanan yaitu suhu ruang tropis 280

C dan suhu ruang penyimpanan 8 o

C. Fokus utama dari pengujian ini adalah menentukan waktu yang dibutuhkan kemasan agar dapat mencapai suhu ruang penyimpanan, dan bagaimana sebaran suhu pada titik-titik sampel koordinat yang dipilih setelah suhu dalam kemasan stabil.

4. Susut Bobot

Susut bobot merupakan perbedaan berat komoditas sebelum dan setelah aktivitas pemanenan. Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Penurunan susut bobot berdasarkan persentase penurunan berat bahan sejak awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung susut bobot adalah sebagai berikut:

...(7)

dimana : W = bobot bahan awal penyimpanan (gram) Wa = bobot bahan akhir penyimpanan (gram)

5. Kekerasan

Pengukuran kekerasan adalah salah satu metode yang digunakan dalam menilai kualitas tekstural produk buah segar. Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk dari rheometer dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 60mm/menit, dengan diameter jarum 5 mm. Uji kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda yaitu bagian tengah, bagian bawah, dan bagian atas. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dan kemudian dirata-ratakan nilainya. Pengukuran kekerasan ini dilakukan


(23)

22 tiap tiga hari sekali hingga buah dalam keadaan tidak layak konsumsi lagi. Nilai pengukuran dapat dilihat pada alat yang dinyatakan dalam kg-force.

6. Total Padatan Terlarut

Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Cairan dari daging buah yang telah dihancurkan, diletakkan pada prisma refraktormeter, kemudian dilakukan pembacaan. Sebelum dan sesudah pembacaan, prisma refraktormeter dibersihkan dengan aquades. Angka yang tertera pada refraktormeter menunjukan kadar total padatan terlarut (°Brix) yang mewakili rasa manis. Pengukuran total padatan terlarut setiap 3 hari sekali dengan perlakuan tiga kali ulangan terhadap masing-masing sampel.

7. Kerusakan Mekanis

Pengamatan terhadap tingkat kerusakan mekanis alpukat bertujuan untuk melihat cacat yang dialami oleh alpukat setelah kegiatan simulasi transportasi. Pengamatan dilakukan secara visual berdasarkan adanya luka gores, memar, dan pecah pada buah.

Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan mekanis yang terjadi adalah sebagai berikut:

KM = (JAR/TBA) x 100% ...(8) Dimana :

KM = Kerusakan mekanis (%) JAR = Jumlah alpukat rusak (buah) TBA = Total buah alpukat (buah)

Klasifikasi kerusakan pada alpukat adalah luka memar yang terjadi akibat adanya benturan antar produk dengan dinding alat pengemasan atau tekanan sesama produk, luka gores terjadi akibat adanya gesekan antar produk dengan kemasan atau dengan sesama produk, dan luka pecah terjadi akibat adanya tekanan yang terjadi dari arah vertikal maupun dari arah horizontal produk, atau dapat juga karena guncangan selama proses pengangkutan.

8. Kerusakan selama penyimpanan

Pengamatan terhadap tingkat kerusakan alpukat selama penyimpanan bertujuan untuk melihat kerusakan fisik dan biologis yang dialami oleh alpukat selama penyimpanan didalam kemasan. Pengamatan dilakukan secara visual berdasarkan adanya luka memar, pecah, perubahan warna, dan kebusukan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan selama penyimpanan yang terjadi adalah sebagai berikut:

K = (JMRs/TBMs) x 100% ...(9) Dimana :

K = Kerusakan selama penyimpanan (%)

JARs = Jumlah alpukat rusak selama penyimpanan (buah) TBAs = Total buah alpukat yang disimpan (buah)

F.

Kesetaraan Simulasi Transportasi

Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat dihitung dengan menggunakan persaman di bawah ini:

Input fm = frekuensi meja getar (Hz) Am = amplitudo meja getar (cm)


(24)

23 Ft = frekuensi truk (Hz)

Amplitudo rata-rata getaran bak truk (At)

At = ∑ (Ni x Ai)/ ∑ (Ni)……….…..…….…….(10)

Dimana :

Ni = jumlah kejadian amplitude ke-i

Ai = amplitudo getaran vertical truk di jalan luar kota pada saat i (cm) Luas satu siklus bak truk jalan kota ( Lt )

Lt = ∫ Sin WT Tt dTt ………..….…(11) Dimana :

Tt = 1/ft Tt = periode truk (detik/getaran)

Wt = 2π/Tt Wt = kecepatan sudut truk (getaran/detik) Jumlah luas seluruh getaran bak truk jalan luar kota selama 0.5 jam (Lt (0.5))

Lt(0.5) = t x f x Lt………..………….…...(12)

Dimana :

t = lama penggetaran (0.5 jam) Luas satu siklus getaran vibrator (Lm)

Lm = A ∫T o P Sin WT dT ……….….…...(13)

Dimana :

Tm = 1/fm Tm = Periode meja getar (detik/getaran)

W = 2π/Tm Wm = Kecepatan sudut meja getar (getaran/detik) Jumlah seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Gm)

Gm = t x fm ………..………....…....(14) Dimana :

T = lama penggetaran (1jam)

Jumlah luas seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Lm(1))

Lm(1) = Gm x Lm ………..………(15)

Kesetaraan panjang jalan selama 30 menit dengan 30 km =

x 30 km ………...……(16)

G.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dan factorial dengan dua kali ulangan perlakuan. Factor perlakuan yang digunakan adalah K (tipe kemasan), yaitu K1 (kemasan tanpa ventilasi), K2 (kemasan ventilasi tipe circle), K3 (kemsasan ventilasi tipe oblong) dan K4 (kemasan ventilasi searah sekat). Sedangkan faktor perlakuan suhu (T), yaitu T1 (suhu ruang), T2 (suhu 8 oC). Kombinasi perlakuan dua factor tersebut adalah K1T1, K1T2, K2T1, K2T2, K3T1,


(25)

24 Model umum dari rancangan percobaan tersebut adalah :

Yijk = µ + Ki + Tj (KT)ij + Cijk ……….………(17)

Dimana : Yijk = Pengamatan perlakuan K ke i dan T ke j pada ulangan ke k

µ = Nilai rata-rata harapan Ki = Perlakuan K ke i

Tj = Perlakuan T ke j

(KT)ij =Interaksi K ke i dan T ke j

Cijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan K ke i dan T ke j pada ulangan

ke k

i = 1,2,3,4 (jenis kemasan) j = 1,2 (suhu)

k = 1,2 (ulangan)

Analisis data didasarkan pada analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh dan interaksi perlakuan, serta dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf f = 0.05


(26)

25

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Kemasan Alpukat Hasil Rancangan

Kemasan distribusi dirancang dan dipilih terutama untuk mengatasi faktor getaran (vibrasi) dan kejutan (shock) karena faktor ini sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya kerusakan yang terjadi. Sementara pengaruh yang lain seperti RH dan suhu dapat diatasi dengan modifikasi kecil dari rancangan yang ada (Maezawa, 1990). Kemasan alpukat untuk pasar lokal berbeda dengan kemasan untuk tujuan ekspor. Untuk pasar lokal, pendistribusian alpukat dari kebun ke pedagang pengumpul menggunakan karung-karung plastik atau peti kayu albasia dengan kapasitas 40-50 kg dan diangkut dengan truk. Sedangkan untuk kemasan ekspor umumnya menggunakan kotak karton berventilasi. Bentuk peti kemasan ada tiga jenis yaitu kemasan kapasitas 5.7 kg, 11.3 kg, dan 14.5 kg. Namun umumnya pasar dunia menyukai kemasan dengan kapasitas 5 kg. Setelah dilakukan grading, didalam peti buah hanya disusun selapis saja dan setiap buah diberi penyekat karton berbentuk H atau bentuk Z dengan tujuan agar tidak terjadi gesekan antar buah (Supriyono,2003).

Pada proses pendistribusian buah sering terjadi kerusakan akibat penanganan selama transportasi sehingga buah mengalami tekanan fisik, getaran, gesekan yang memacu proses pelayuan. Kerusakan fisik yang terjadi seperti adanya memar, luka tusukan, terpotong, lecet, dan bagian yang pecah. Kerusakan fisik juga memacu kerusakan fisiologis maupun patologis (serangan mikroorganisme pembusuk). Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa perbaikan terhadap penanganan buah alpukat yaitu perancangan kemasan karton buah alpukat dengan penambahan lubang ventilasi, layer dan sekat - sekat antar buah, serta penyimpanan pada suhu dingin untuk mengurangi kerusakan mekanis dan kerusakan fisik buah alpukat selama distribusi.

Informasi yang dibutuhkan dalam perancangan kemasan adalah dimensi, berat, dan jumlah buah yang dikemas. Tahap selanjutnya adalah memilih bahan kemasan dengan karakteristik tertentu yang disesuaikan dengan kondisi buah dan menentukan tipe kemasan. Pemilihan tipe kemasan yang tepat berdampak pada meningkatnya efektifitas dan efisiensi kemasan (Sukmana, 2011). Alpukat memiliki beberapa jenis varietas, namun alpukat yang digunakan sebagai acuan untuk perancangan kemasan adalah alpukat mentega ras Mexico, dan termasuk alpukat kecil dengan berat 100-225 g. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat ditunjukkan pada Tabel 8. Sample dimensi dan berat masing-masing buah alpukat dicantumkan pada Lampiran 1.

Tabel 8. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat

No. Data Pengukuran Rataan

1 Berat (gram) ± 172.51

2 Tinggi (cm) ± 8.46 3 Diameter (cm) ± 6.66

Perancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi diutamakan pada penentuan dimensi kemasan yang dinyatakan dalam tiga macam dimensi yaitu dimensi dalam (inner dimension), dimensi pola (design dimension) dan dimensi luar (outer dimension). Dari data diatas, kemasan hasil rancangan berukuran (pxlxt) adalah 370 mm x 230 mm x 210 mm dengan dua layer. Perhitungan perancangan dimensi kemasan karton terdapat pada Lampiran 2. Desain kemasan memiliki perkiraan


(27)

26 berat bersih alpukat 5-6 kg, dengan kapasitas 30 buah yaitu pada masing-masing layer sebanyak 15 buah. Kemasan karton yang digunakan yaitu tipe Regular Slotted Container (RSC). Tipe RSC merupakan kemasan distribusi yang paling banyak digunakan karena memiliki bentuk yang sederhana dan ekonomis dalam penggunaan material, karena bahan yang digunakan minimal tetapi volumenya maksimal walaupun tidak memiliki kekuatan yang baik. Jenis karton gelombang yang digunakan yaitu double wall board sehingga kemasan karton dapat lebih kokoh dan dapat menahan tumpukan lebih banyak, serta dapat meredam goncangan yang terjadi selama poses transportasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silvia (2006) bahwa tipe kemasan peti karton yang banyak digunakan di Indonesia adalah tipe RSC dan FTC dengan ventilasi tipe oblong ventilation dan circle ventilation selain itu tipe flute kemasan yang digunakan yaitu tipe flute AB karena banyak digunakan untuk kemasan distribusi, seperti dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Flute AB kemasan outer

Selain kemasan outer, terdapat kemasan inner berupa tambahan sekat karton dengan dua layer. Penambahan inner bertujuan untuk membatasi kontak antar buah alpukat yang berpotensi menimbulkan kerusakan mekanis buah. Sekat-sekat antar buah ini dibuat dari karton tipe flute BC. Buah alpukat disusun secara teratur dengan arah vertikal agar dapat mengurangi kerusakan mekanis akibat benturan pada dinding kemasan, dan memperkecil ukuran kemasan. Pola susunan alpukat dalam kemasan ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Penyusunan buah alpukat dalam kemasan tumpukan bawah

Kemasan untuk produk holtikultura terutama untuk buah-buahan sangat membutuhkan lubang ventilasi, karena buah-buahan selama proses pematangan menghasilkan gas etilen dan panas respirasi. Jika gas etilen dan panas respirasi terakumulasi mengakibatkan proses pematangan buah semakin cepat berdampak pada penurunan mutu dan umur simpan buah. Adanya ventilasi ini menyebabkan


(28)

27 sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga dapat menghindari kerusakan komoditas akibat akumulasi CO2 pada suhu tinggi (Hidayati,1993).

Oleh karena itu selain penambahan sekat, masing-masing kemasan juga diberi lubang ventilasi. Gambar 14 menunjukkan empat jenis rancangan kemasan alpukat yaitu kemasan berventilasi tipe circle, tipe oblong, ventilasi searah sekat, dan kemasan tanpa ventilasi. Penentuan luas ventilasi kemasan harus mempertimbangkan kemungkinan penurunan kekutan kemasan. Penggunaan ventilasi dan hand hold sebesar 2% dari bidang vertikal kemasan akan mengurangi kekuatan kemasan karton sebesar 10 % dari kemasan tanpa ventilasi dan hand hole (Singh, 2008). Luasan lubang ventilasi yang digunakan dalam perancangan sebesar 2% dari total luasan dinding kemasan, karena penggunaan ventilasi dan hand hole melebihi 2 % dapat mengurangi kekuatan tekan vertikal kemasan yang cukup signifikan. Selain kemasan outer yang diberi lubang ventilasi, kemasan inner atau sekat-sekat antar buah juga diberi lubang ventilasi agar udara didalam kemasan tetap mengalir walaupun adanya sekat. Perhitungan luasan ventilasi kemasan terdapat pada Lampiran 3.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 14. Rancangan Kemasan Alpukat model (a) tanpa ventilasi, (b) tipe ventilasi circle, (c) ventilasi oblong, dan (d) ventilasi searah sekat.

B.

Pola Kestabilan Suhu Dalam Kemasan

Suhu merupakan salah satu faktor penting pada sistem kemasan produk holtikultura, karena suhu mempengaruhi proses respirasi produk. Oleh karena itu dalam perancangan kemasan untuk produk hasil pertanian diperlukan ventilasi yang cukup untuk mengeluarkan panas hasil metabolisme. Dengan ventilasi sirkulasi udara dalam kemasan menjadi lebih baik dan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO2 pada suhu tinggi (Hidayati, 1993). Udara dalam kemasan perlu


(29)

28 disirkulasikan agar suhunya merata. Suhu dalam kemasan selama penyimpanan dapat bervariasi karena peningkatan suhu akibat mengambil panas dari komoditi atau adanya kebocoran pada beberapa bagian dalam ruang penyimpanan.

Penentuan sebaran suhu dalam kemasan saat penyimpanan digunakan untuk mengetahui kemampuan kemasan dalam beradaptasi terhadap suhu penyimpanan. Buah alpukat, pisang, nangka, jambu, mangga, papaya, dan markisa termasuk kedalam buah klimakterik (Winarno,2002). Buah klimakterik merupakan buah yang masih mengalami proses pematangan, dan mengalami peningkatan respirasi. Sehingga untuk menghambat proses respirasi, diperlukan penyimpanan dingin yang sesuai. Oleh karena itu, suhu dalam kemasan harus sesuai dengan suhu ruang penyimpanan yang diharapkan. Kebutuhan untuk sirkulasi udara yang cepat terutama pada saat penyesuaian suhu produk dengan suhu penyimpanan dingin untuk menghilangkan panas lapangan. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan

Gambar 16. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu ruang Gambar 16. menunjukkan pola sebaran suhu masing-masing kemasan dan suhu lingkungan pada penyimpanan suhu ruang selama 24 jam dari awal penyimpanan. Dari grafik dapat dilihat bahwa semua perlakuan kemasan menunjukkan pola sebaran suhu yang sama, terjadi peningkatan sampai waktu tertentu, kemudian turun kembali mengikuti penurunan suhu lingkungan. Pada menit ke-265 hingga menit ke-415 terjadi peningkatan suhu lingkungan, namun tidak diikuti oleh suhu masing-masing kemasan. Fluktuasi suhu dalam kemasan tersebut disebabkan pengaruh suhu lingkungan atau

26,0 27,0 28,0 29,0 30,0 31,0 32,0

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

S

u

h

u

(

˚C

waktu ( menit )

K1T1

K2T1

K3T1

K4T1


(30)

29 ruangan berpendingin (AC) yang tidak kontinyu. Suhu kemasan tanpa ventilasi lebih tinggi dari suhu kemasan berventilasi, karena tidak terjadinya pertukaran udara dari lingkungan ke dalam kemasan atau sebaliknya. Oleh karenaa itu, suhu didalam kemasan tidak dapat bergerak bebas keluar dan menyebabkan terjadinya suhu yang tinggi di dalam ruang kemasan.

Suhu pada perlakuan K1T1 yaitu kemasan tanpa ventilasi, membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai suhu yang stabil yaitu 540 menit (9 jam). Hal ini terjadi karena proses pemindahan udara lingkungan ke dalam kemasan atau udara dalam kemasan ke lingkungan sulit terjadi karena tidak adanya ventilasi. Untuk perlakuan K2T1 (kemasan dengan ventilasi tipe circle) waktu yang dibutuhkan yaitu 265 menit (± 4 jam), K3T1 (ventilasi tipe oblong) memerlukan waktu 210 menit (3.5 jam), dan K4T1 (ventilasi searah sekat) memerlukan waktu 495 menit (± 8 jam) pada kestabilan suhu berkisar 28-29.1 oC.

Dengan demikian pola perubahan suhu lingkungan lebih cepat daripada suhu dalam kemasan. Hal ini disebabkan oleh udara pada bagian lingkungan lebih bebas dari pada pergerakan udara dalam kemasan. Keadaan ventilasi berpengaruh pada proses perubahan suhu dalam kemasan terhadap suhu lingkungan untuk mencapai kondisi seimbang. Adanya ventilasi pertukaran udara lebih mudah dilakukan daripada tanpa ventilasi (Adhinata, 2008).

Gambar 17. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu 8 oC Gambar 17. menunjukkan pola sebaran suhu masing-masing kemasan dan suhu lingkungan pada penyimpanan suhu dingin. Pengukuran suhu dilakukan dari awal penyimpanan (suhu 27 oC) hingga mencapai suhu 8 oC, dimana tiap kemasan membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai suhu optimum yang diharapkan. Suhu pada perlakuan K1T2 yaitu kemasan tanpa ventilasi, membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai suhu pendingin yang diharapkan. Pada perlakuan tersebut diperlukan waktu 1120 menit (± 18 jam) untuk mencapai kondisi suhu 8 o C yang stabil. Hal serupa untuk kemasan tanpa ventilasi pada penyimpanan suhu ruang, proses pemindahan udara lingkungan ke dalam kemasan atau udara dalam kemasan ke lingkungan sulit terjadi karena tidak adanya ventilasi. Untuk perlakuan K2T2 (kemasan dengan ventilasi tipe circle) waktu yang dibutuhkan yaitu 715 menit (± 12 jam), K3T2 (ventilasi tipe oblong) selama 580 menit (± 10 jam), dan K4T2 (ventilasi searah sekat) selama 915 menit (± 15 jam) untuk mencapai kestabilan suhu pendingin yang diharapkan. Kestabilan suhu awal penyimpanan yang didapat berkisar pada suhu 7.4 - 8 oC. Suhu pada kemasan dengan tipe ventilasi oblong, lebih cepat mencapai suhu penyimpanan yang diharapkan. Semakin cepat suhu dalam kemasan mencapai kondisi ruang penyimpanan, maka laju respirasi buah dapat diperlambat, sehingga dapat memperpanjang umur simpan buah tersebut.

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0

0 200 400 600 800 1000 1200

Su

hu

˚C

Waktu (menit)

K1T2

K2T2

K3T2

K4T2


(31)

30 Dari keempat tipe kemasan, ternyata kemasan dengan ventilasi tipe oblong merupakan kemasan yang paling cepat menyesuaikan suhu kemasan di dalamnya dengan suhu lingkungan. Perbedaan waktu kemasan ventilasi tipe oblong dengan ventilasi circle dalam menyesuaikan dengan suhu lingkungan tidak begitu jauh. Kemasan dengan ventilasi tipe oblong paling cepat menyesuaikan dengan suhu lingkungan dikarenakan kemasan tersebut memiliki lubang ventilasi pada empat bagian sisinya yaitu bagian depan belakang dan samping kiri dan kanan, sehingga dengan adanya lubang ventilasi di empat bagian sisinya lebih memudahkan terjadinya pertukaran udara dan penyebaran udara didalam kemasan. Grafik sebaran suhu masing-masing kemasan pada awal penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 6.

C.

Pengaruh Tipe Ventilasi Terhadap Sebaran Suhu dalam Kemasan

Suhu tiap kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang mengalami kenaikan dari awal penyimpanan hingga akhir penyimpanan, seperti ditunjukkan pada Gambar 17. Hal ini disebabkan alpukat selama penyimpanan terus mengalami respirasi, sehingga timbul panas di dalam ruang kemasan. Suhu yang paling tinggi yaitu pada kemasan tanpa ventilasi (K1T1) karena panas hasil respirasi alpukat tidak dapat keluar dari dalam ruang kemasan, sehingga terjadi akumulasi panas di dalam kemasan. Selain karena proses respirasi dari alpukat, peningkatan suhu rata-rata selama penyimpanan juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang mengalami kenaikan. Suhu kemasan yang tinggi dengan kelembaban yang rendah mempengaruhi mutu produk didalamnya. Karena dengan suhu ruang penyimpanan yang tinggi dapat mempercepat laju respirasi, sehingga mempercepat proses pematangan yang tidak sempurna.

Gambar 18. Suhu rata-rata masing kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tipe ventilasi kemasan sangat berpengaruh nyata terhadap suhu dalam kemasan, karena nilai p < α = 0.05. Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel.9), pada penyimpanan hari ke-0 kemasan K1T1 (kemasan tanpa ventilasi) dengan K2T1 ( ventilasi tipe circle ) tidak menghasilkan suhu yang berbeda nyata. Pada penyimpanan hari ke-3 hingga hari ke-6, perlakuan K1T1 berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya, tetapi kemasan berventilasi menunjukkan suhu yang tidak berbeda nyata.

28 28,5 29 29,5 30 30,5 31

0 3 6

Su

hu

˚C

Hari ke-

K1T1

K2T1

K3T1

K4T1


(1)

65

Lampiran 12. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat selama penyimpanan.

Hasil Analisa ragam Susut Bobot Hari ke-3

Sum ofSource DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 4.04666015 0.57809431 10.73 0.0016 suhu 1 3.95188810 3.95188810 73.36 <.0001 tipe kemasan 3 0.02931739 0.00977246 0.18 0.9061 tipe kemasan*suhu 3 0.06545466 0.02181822 0.41 0.7536 Error 8 0.43092986 0.05386623 Corrected Total 15 4.47759002 R-Square Coeff Var Root MSE susut_bobot Mean

0.903759 11.10779 0.232091 2.089444

Susut Bobot Hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 390.6347750 55.8049679 59.01 <.0001 Suhu 1 379.0809000 379.0809000 400.83 <.0001 Tipe kemasan 3 4.4240250 1.4746750 1.56 0.2732 Tipe kemasan*Suhu 3 7.1298500 2.3766167 2.51 0.1323 Error 8 7.5660000 0.9457500 Corrected Total 15 398.2007750 R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean

0.981000 12.12023 0.972497 8.023750

Susut Bobot Hari ke-9

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr >F Model 3 0.97015000 0.32338333 0.60 0.6466 Suhu 0 0.00000000 . . . Tipe Kemasan 3 0.97015000 0.32338333 0.60 0.6466 Tipe kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . . Error 4 2.14460000 0.53615000

Corrected Total 7 3.11475000

R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean 0.311470 16.97908 0.732223 4.312500

Susut Bobot Hari ke-12

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr >F Model 3 1.13423750 0.37807917 0.49 0.7088 suhu 0 0.00000000 . . . Tipe kemasan 3 1.13423750 0.37807917 0.49 0.7088 Tipe kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . . Error 4 3.09645000 0.77411250 Corrected Total 7 4.23068750

R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean 0.268098 16.17718 0.879837 5.438750


(2)

66

Lampiran 13. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan.

Hasil Analisa ragam Kekerasan Hari ke-0

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 0.37364375 0.05337768 7.96 0.0045 Suhu_Penyimpana 1 0.07425625 0.07425625 11.07 0.0104 Tipe kemasan 3 0.15691875 0.05230625 7.80 0.0093 Tipe kemasan*suhu 3 0.14246875 0.04748958 7.08 0.0122 Error 8 0.05365000 0.00670625 Corrected Total 15 0.42729375 R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean

0.874442 2.474537 0.081892 3.309375

Kekerasan Hari ke-3

Sum ofSource DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 10.00624375 1.42946339 6.79 0.0075 Suhu_Penyimpanan 1 8.62890625 8.62890625 40.96 0.0002 Tipe Kemasan 3 0.97501875 0.32500625 1.54 0.2769 Suhu*tipe kemasan 3 0.40231875 0.13410625 0.64 0.612 Error 8 1.68515000 0.21064375 Corrected Total 15 11.69139375 R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean

0.855864 17.55523 0.458959 2.614375

Kekerasan Hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1.13423750 0.37807917 0.49 0.7088 suhu 0 0.00000000 . . . Tipe kemasan 3 1.13423750 0.37807917 0.49 0.7088 Tipe kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . . Error 4 3.09645000 0.77411250 Corrected Total 7 4.23068750

R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean 0.991267 9.744321 0.178333 1.830125 Kekerasan Hari ke-9

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.21950000 0.07316667 6.92 0.0462 Suhu 0 0.00000000 . . . Tipe kemasan 3 0.21950000 0.07316667 6.92 0.0462 Tipe kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . . Error 4 0.04230000 0.01057500 Corrected Total 7 0.26180000 R-Square Coeff Var Root MSE kekerasan Mean

0.838426 3.773755 0.102835 2.725000

Kekerasan Hari ke-12

Sum of source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1.51473750 0.50491250 2.55 0.1935 Suhu 0 0.00000000 . . . Tipe kemasan 3 1.51473750 0.50491250 2.55 0.1935 TipeKemasan*Suhu 0 0.00000000 . . .

Error 4 0.79075000 0.19768750 Corrected Total 7 2.30548750

R-Square Coeff Var Root MSE kekerasan Mean 0.657014 17.24171 0.444621 2.578750


(3)

67 Lampiran 14. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan total padatan terlarut buah alpukat selama penyimpanan.

Hasil Analisa ragam

Total padatan terlarut Hari ke-0

Sum ofSource DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 1.31630000 0.18804286 1.25 0.3767 Tipe Kemasan 3 1.07825000 0.35941667 2.39 0.1440 Suhu 1 0.02560000 0.02560000 0.17 0.6905 Tipe Kemasan*Suhu 3 0.21245000 0.07081667 0.47 0.7104 Error 8 1.20130000 0.15016250 Corrected Total 15 2.51760000 R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean

0.522839 4.993661 0.387508 7.760000

Total padatan terlarut Hari ke-3

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 4.09597500 0.58513929 1.60 0.2613 Kemasan 3 0.30927500 0.10309167 0.28 0.837 Suhu 1 3.66722500 3.66722500 10.04 0.0132 Kemasan*Suhu 3 0.11947500 0.03982500 0.11 0.95241 Error 8 2.92260000 0.36532500 Corrected Total 15 7.01857500 R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean

0.583591 7.915157 0.604421 7.636250

Total padatan terlarut Hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 9.80979375 1.40139911 1.15 0.4191 Kemasan 3 0.41956875 0.13985625 0.11 0.9488 Suhu 1 8.77640625 8.77640625 7.22 0.0277 Kemasan*Suhu 3 0.61381875 0.20460625 0.17 0.9148 Error 8 9.72915000 1.21614375 Corrected Total 15 19.53894375 R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean

0.502064 15.86034 1.102789 6.953125

Total padatan terlarut Hari ke-9

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr> F Model 3 0.28053750 0.09351250 0.36 0.7859 Suhu 0 0.00000000 . . . Tipe_Kemasan 3 0.28053750 0.09351250 0.36 0.7859 Tipe_Kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . . Error 4 1.03755000 0.25938750 Corrected Total 7 1.31808750

R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean 0.212837 6.423471 0.509301 7.928750

Total padatan terlarut Hari ke-12

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.54143750 0.18047917 0.23 0.8723 Suhu 0 0.00000000 . . . Tipe_Kemasan 3 0.54143750 0.18047917 0.23 0.8723 Suhu*Tipe_Kemasan 0 0.00000000 . . Error 4 3.15785000 0.78946250 Corrected Total 7 3.69928750

R-Square Coeff Var Root MSE tpt Mean 0.146363 10.78134 0.888517 8.241250


(4)

68 Lampiran 15. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang.

Hasil Analisa ragam

Suhu hari ke-0

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.60150000 0.20050000 4.48 0.01 Error 16 0.71600000 0.04475000 Tipe_kemasan 3 0.60150000 0.20050000 4.48 0.0182 Corrected Total 19 1.31750000 R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean

0.456546 0.733884 0.211542 28.82500

Suhu hari ke-3

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 4.24600000 1.41533333 10.93 0.0004 Tipe_kemasan 3 4.24600000 1.41533333 10.93 0.0004 Error 16 2.07200000 0.12950000

Corrected Total 19 6.31800000 R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean

0.672048 1.199937 0.359861 29.9900

Suhu hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 2.38800000 0.79600000 18.62 <.0001 Tipe_kemasan 3 2.38800000 0.79600000 18.62 <.0001 Error 16 0.68400000 0.04275000 Corrected Total 19 3.07200000 R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean


(5)

69 Lampiran 16. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam kemasan selama penyimpanan suhu 8

Hasil Analisa ragam

Suhu hari ke-0

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 7.50150000 2.50050000 13.27 0.0001 Tipe_kemasan 3 7.50150000 2.50050000 13.27 0.0001 Error 16 3.01600000 0.18850000 Corrected Total 19 10.51750000 R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean

0.713240 5.278612 0.434166 8.225000

Suhu hari ke-3

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.67800000 0.22600000 17.73 <.0001 Tipe_kemasan 3 0.67800000 0.22600000 17.73 <.0001 Error 16 0.20400000 0.01275000 Corrected Total 19 0.88200000 R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean

0.768707 1.532102 0.112916 7.370000

Suhu hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.50800000 0.16933333 14.72 <.0001 Tipe_kemasan 3 0.50800000 0.16933333 14.72 <.0001 Error 16 0.18400000 0.01150000 Corrected Total 19 0.69200000 R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean

0.734104 1.473050 0.107238 7.280000

Suhu hari ke-9

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 3 0.40950000 0.13650000 27.30 <.0001 Tipe_kemasan 3 0.40950000 0.13650000 27.30 <.0001

Error 16 0.08000000 0.00500000 Corrected Total 19 0.48950000 R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean

0.836568 0.962705 0.070711 7.345000

Suhu hari ke-12

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.50200000 0.16733333 30.42 <.0001 Tipe_kemasan 3 0.50200000 0.16733333 30.42 <.0001 Error 16 0.08800000 0.00550000 Corrected Total 19 0.59000000 R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean


(6)

70 Lampiran 17. Penampakan buah alpukat masing-masing kemasan pada akhir penyimpanan