26. Keuntungan menjadi PNS 53. Kebutuhan akan pendapatan
27. Orangtua tegas terutama dalam hal agama
4. Transkrip Wawancara dengan Narasumber Ustadz Uzair Wawancara 1
HariTanggal Wawancara : 13 Oktober 2006
Waktu Wawancara : Pukul 20.15 – 20.30 WIB
416 416
Tempat Wawancara : Rumah Ibu Hf saat ada acara pengajian di rumah
Ibu Hf
P : “Bagaimana awal mula datangnya orang Koja ke Indonesia?”
S : “Pada perjanjian Gianti, Kraton dibagi dua, Kraton Solo sama Kraton
Yogya, tahun 1725. Jadi sudah dibagi dua. Lha itu sudah Amangkurat. Lha itu VOC membawa itu, membawa imigran-imigran untuk meramaikan
perdagangan dengan kerajaan Mataram Islam. Lha Kerajaan Mataram Islam sendiri tidak suka berdagang dengan Belanda, satu-satunya melalui
orang-orang yang didatangkan dari tadi, dari India, dari Cina, dan dari… Arab. Sebagian besar bermukim di Semarang, kemudian di Jakarta, dan di
Surabaya. Yang sampai sekarang yang masih bisa terbina atau dilihat bekas-bekasnya ya Semarang, Jakarta sudah tidak ada, Surabaya sudah
tidak ada. Kalau bercampur sama Arab itu ada. Tapi, sudah bertahun- tahun, jadi sudah tidak ada ciri-ciri Kojanya, kalau Semarang masih ada.”
P : “Kalau peninggalannya orang Koja yang masih ada sampai sekarang apa,
Pak?” S
: “Peninggalan orang Koja yang masih didirikan ya itu, masjid di Pekojan itu.”
P : “Apakah di keluarga Koja banyak terjadi pernikahan dengan saudara
sendiri?” S
: “Itu tidak cuma Koja, tapi Arab juga.” P
: “Lalu bagaimana cirinya, Pak?” S
: “Perkawinan, cirinya mengenai…peristiwa hubungan antar keluarga, anak, mantu dekat sekali kekerabatannya. Sehingga anak, ada suatu keluarga
semua anak-anaknya tinggal dalam satu rumah. Yang sudah berkeluarga maupun belum berkeluarga itu tinggal dalam satu rumah. Tidak pisah.
Sampai mereka punya anak dan sampai mereka mampu untuk berumah tangga biasa, lha baru keluar.”
P : “Bagaimana soal pernikahan muda, apakah banyak terjadi di komunitas
Koja?” S
: “Bukan Cuma Koja saja, orang Jawa banyak kok yang menikah muda.” P
: “Bagaimana dengan perjodohan, pak?” S
: “Sekarang sudah tidak ada ya, kalau dulu-dulu memang ada. Sekarang sudah tidak ada. Mungkin pada awal abad ke-19, eh awal abad ke-20 itu
ada, seperti 1900 berapa, sebelum perang lah. Seperti sebelum Perang Dunia ke-1.“
P : “Apakah ada ciri khas lainnya dari orang Koja?”
S : “Dulu, orang Koja itu seakan-akan seperti Cina. Jadi, mereka itu dimana di
417 417
tiap-tiap kota selalu ada toko, itu miliknya orang Koja. Di Semarang sini. Seperti Jalan Pekojan sekarang itu, dulu tokonya semuanya orang Koja
semuanya. Dulu sebelum, sebelum Malaysia, sebelum 1918 itu, semuanya orang Koja semuanya, pedagang-pedagang di situ. Dan mereka
perkawinannya itu sistem perkawinannya itu sesama keluarga, sesama antar keluarga sendiri gitu. Jadi tidak keluar. Memang pertama kali yang
datang adalah perorangan, tapi mereka kawin dengan pribumi, setelah punya anak, anaknya dikawinkan lagi dengan anaknya kawannya, anaknya
ini, ini, ini. Jadi, tidak keluar daripada, tetap sesama Koja. Yang dikatakan masyarakat Koja itu tidak asli, jadi sudah, sudah asimilasi. Yang disini
sudah asimiliasi. Ada yang dengan penduduk pribumi, ada yang dengan penduduk Arab. Tapi, pribuminya diambil wanitanya, kalau laki-lakinya
tetap orang Koja asli.”
P : “Bagaimana dengan sifat atau kepribadian, umumnya seperti apa, Pak?”
S : “Orangnya lebih giat dalam usaha dagang kebanyakan, perdagangan, dan
selalu mereka semangatnya kuat. Sehingga mereka keliling sampai ke desa-desa, sampai ke desa-desa, sampai misalkan di sini sudah punya istri,
di desa-desa kawin lagi, ada istrinya dan ada anaknya. Itu rata-rata begitu. Misalkan di daerah Mranggen, atau di daerah Genuk, atau di daerah
Karangawen ke sana. Itu orang-orang sini dulu kalau dagang sampai ke sana. Kemudian dia kawin sama anak lurah yang di situ, maksudnya apa
demi keamanan supaya dia terjamin keamanannya, dia kawinin anak lurahnya itu. Lha nanti dari apa, dari perkawinannya itu punya nak, lha
anaknya itu dibawa ke Semarang. Itu ada yang begitu juga, tapi juga tidak semuanya.”
P : “Ya mungkin sekalian dulu, sepertinya Bapak sudah ditunggu yang lain.”
S : “Ya sama-sama. Nanti kalau mau tanya-tanya lagi ya nggak apa-apa.
Kapan-kapan lagi gitu. Ya?” P
: “Ya, Pak.”
Wawancara 2
HariTanggal Wawancara : 24 Maret 2007
Waktu Wawancara : Pukul 20.15 – 20.30 WIB
Tempat Wawancara : Rumah Bapak F saat ada acara pengajian
418 418
P : “Ustadz, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan lagi.”
S : “Oh, ya silakan. Mau tanya apa?”
P : “Ini mengenai ciri fisik. Apakah ada perbedaan secara fisik orang Koja
dan Arab, Pak?” S
: “Ada ya. Secara kulturnya itu, satu, kalau orang Arab itu kebanyakan mempunyai rambut yang agak keriting. Kalau orang Koja itu jarang sekali
yang berambut keriting.”
P : “Apakah ada perbedaan yang lain lagi, Pak?”
S : “Ada lagi. Secara kulturnya itu, alis agak tebal kalau orang Arab tapi kalau
orang Koja itu alisnya tipis-tipis kebanyakan, karena banyak asimilasi dengan orang pribumi setempat.”
P : “Kalau kulitnya sendiri bagaimana, Pak?”
S : “Kalau yang Koja asli kulitnya agak hitam atau kecoklat-coklatan, sama
seperti orang India asli. Lha kalau sekarang itu kebanyakan kulitnya putih- putih karena terus ada asimilasi dengan orang Jawa, Arab, Jepang, dan ada
juga yang Belanda. Begitu ya.”
P : “Mengenai sistem patrilineal dan matrilineal bagaimana, Pak?”
S : “Tidak, ya. Jadi Koja tidak mengenal patrilineal atau matrilineal. Kalau
salah satu bapak atau ibunya orang Koja tapi anaknya keturunan etnis lain ya dianggap orang Koja juga anaknya itu. Tapi, kalau orang Jawa kan
patrilineal, jadi ya yang punya bapak orang Jawa akhirnya ya anaknya dibilang orang Jawa juga, soalnya ciri fisik Kojanya biasanya tidak terlihat
jelas. Paling-paling ya hidungnya mancung atau kulitnya putih. Gitu.”
P : “Kemudian mengenai wirausaha. Kira-kira mengapa banyak orang Koja
yang memilih berdagang?” S
: “Ya memang itu faktor dari keturunan ya. Kebanyakan orang Koja itu pedagang. Kebanyakan dulu-dulunya itu pedagang. Dan mempunyai rasa
kebebasan. Jadi, rasa kebebasan untuk hidup, serta bisa memilih jalannya sendiri. Kalau pegawai kebanyakan kan ini ya, e terpancang pada
kedisiplinan dan sebagainya. Dan orang Koja itu kebanyakan rasa disiplinnya kurang. Jadi memilih wiraswasta-lah yang agak bebas sedikit.”
P : “Apakah sejak kecil memang sudah diajarkan berwirausaha oleh
orangtuanya?” S
: “Ada yang diajarkan tapi ada juga yang tidak. Jadi memang faktor keturunan ya.”
P : “Kalau anak Koja zaman dulu apakah sudah banyak yang bersekolah?”
S : “Tahun sebelum perang tidak ada yang sekolah. Setelah perang sudah
mulai ada. Setelah perang dunia ke-2 itu sudah, setelah Jepang meninggalkan ini, sudah banyak anak-anaknya yang sekolah. Terutama
419 419
berdirinya sekolah-sekolah Islam seperti kalau di Semarang itu Ma’had Islam, kalau di Pekalongan itu juga ada Ma’had Islam, kemudian sekolah-
sekolah negeri ya banyak, sekolah-sekolah umum ya banyak. Tapi, kebanyakan didasari pada sekolah Islam.”
P : “Lalu setelah lulus sekolah pekerjaan apa yang dipilih?”
S : “Ya kembalinya ke wirausaha lagi, dagang lagi.”
P : “Lalu makna pendidikan formal yang dijalani itu apa, Pak?”
S : “Ya untuk pengetahuan. Untuk supaya pintar, untuk supaya tidak terlalu
bodoh dalam kehidupan berdagang.” P
: “Lalu kultur yang khas dari orang Koja itu apa, pak?” S
: “Kulturnya ya itu, hampir sama dengan orang Arab ya. Maulud, melaksanakan Maulud, tapi Mauludnya beda dengan orang Arab.
Kemudian apa itu, sering menyelenggarakan kumpul-kumpul keluarga dan sebagainya. Ya kalau anu lainnya ya ada ya. Tapi bedanya sama orang
Arab itu ya kita banyak kepada famili. Kekerabatan kepada famili. Meskipun itu bukan dari garis patrilineal.”
P : “Untuk kebudayaan yang dipakai itu lebih cenderung ke arah budaya apa,
Pak?” S
: “Ya kebudayaan Islam. India sendiri sudah tidak ada. Gujaratnya juga sudah tidak ada. Kalau dengan budaya Jawa ya ada tapi itu Cuma sedikit-
sedikit. Ya. Jadi hampir semuanya kita pakainya kebudayaan Islam.”
P : “Penelitian saya tentang PNS pada orang Koja. Kira-kira apa yang
menyebabkan hanya sebagian kecil orang Koja yang menjadi PNS?” S
: “Ya itu sudah saya katakan tadi ya. Faktor kedisiplinan, faktor ingin bebas dalam hal menentukan anu sendiri. Dan yang kedua banyak dari e…
keluarga. Jadi penghasilan pertamanya diambilkan dari keluarga. Jadi ayahnya memberikan modal dan lain sebagainya. Kalau yang memiliki
modal. Kalau yang tidak memiliki modal ya kerja sama famili yang jadi wirausaha, yang dagang.”
P : “Selain itu ada lagi tidak pak?”
S : “Ya itu ya faktor kebebasan. Dari faktor penghasilan sendiri juga tidak
berpengaruh ya. Ada yang penghasilannya rendah-rendahan juga banyak, tapi tidak terus jadi pegawai negeri. Tetap jadi wirausaha atau ikut famili
atau orang yang dagang.”
P : “Kira-kira ada berapa banyak yang menjadi PNS?”
S : “Ya ada juga ya, tapi tidak banyak. Kurang lebih ya 10, ya, eh tidak
sampai 10. Di bawah 10. Lebih memilih wiraswasta sendiri kebanyakan itu.”
420 420
P : “Baik, Pak. Mungkin demikian dulu. Terima kasih atas waktunya.”
S : “Ya sama-sama.”
LAMPIRAN C LAPORAN OBSERVASI
421 421
1. Subjek 1