Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir Peneliti
BAB III METODE PENELITIAN
A. Perspektif Fenomenologis
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari
phainesthaiphainomaiphainein yang berarti menampakkan, memperlihatkan. Fenomenologi merupakan aliran yang berbicara tentang fenomena atau gejala
yang menampakkan diri. Fenomenologi dikembangkan oleh Edmund Husserl
83 83
dengan mengembangkan metode fenomenologis Dagun, 1990, h. 37 – 38. Menurut Husserl Dagun, 1990, h. 43, fenomenologi berkaitan dengan
bagaimana struktur kesadaran manusia bekerja, artinya kenyataan yang dialami manusia diberi makna atau arti oleh kesadaran manusia itu sendiri. Fenomenologi
membicarakan bagaimana cara orang memberi arti bagi pengalaman-pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, untuk memahami dunia pengalaman orang lain, maka
kita harus saling terbuka. Husserl mengatakan bahwa untuk saling terbuka dan memahami dunia
pengalaman orang lain, maka harus dilakukan bracketing. Dalam penelitian
fenomenologis, bracketing ini disebut reduksi fenomenologis, yaitu melihat
gejala sebagai gejala murni Brouwer, 1984, h. 8. Dalam mewawancarai subjek nantinya, maka peneliti harus melakukan bracketing atau reduksi fenomenologis.
Reduksi fenomenologis dilakukan dengan cara terus mereduksi pernyataan- pernyataan subjek sampai menemukan inti atau maknanya yang terdalam. Peneliti
harus menghilangkan semua asumsi-asumsi, prasangka-prasangka sebelum melakukan wawancara dengan subjek. Hal ini dilakukan agar peneliti bisa
memahami dunia pengalaman subjek. Fenomenologi sangat berkaitan dengan eksistensialisme, yaitu suatu aliran
filsafat yang melihat semua dengan bertitik tolak pada eksistensi cara khas manusia berada di dunia ini. Ada banyak tokoh yang termasuk dalam kelompok
fenomenologi dan eksistensialisme ini, antara lain: Søren Kierkegaard, Friedrich Wilhelm Nietzsche, Karl Jaspers, Edmund Husserl, Max Scheler, Martin
Heidegger, Gabriel Marcel, Jean-paul Sartre, dan Maurice Merleau Ponty. Dalam
84 84
persepktif fenomenologis ini, peneliti akan menggunakan pendapat dari dua tokoh dan mengaitkannya dengan penelitian ini. Kedua tokoh itu adalah Edmund
Husserl dan Jean-paul Sartre. Edmund Husserl, seperti yang telah disebutkan, adalah pendiri
fenomenologi. Husserl lahir di Prossnitz tahun 1859. Husserl adalah tokoh yang sangat besar pengaruhnya dalam alam pikiran saat ini. Untuk memahami jalan
pikiran Husserl, maka harus diadakan penyaringan, pertemuan dengan realitas terlebih dahulu. Realitas inilah yang disebut dengan fenomenon Brouwer, 1984,
h. 107. Tetapi, fenomena ini belum murni karena individu seringkali memberikan pengertian terhadap fenomena itu masih didasari oleh prasangka-prasangka
assumptions. Oleh karena itulah, kita harus mencoba untuk melihat fenomena secara murni.
Kita bisa melihat fenomena dengan murni kalau kita melakukan reduksi atau penyaringan. Untuk mendapatkan kebenaran yang sempurna, maka manusia harus
bermenung atas keadaan itu. Barangsiapa hendak mengerti suatu fenomena, maka dia harus berani meninggalkan pendirian-pendirian subjektifnya. Cara
meninggalkan pendirian subjektif ini dilakukan dengan reduksi fenomenologis. Apakah yang disaring? Kita akan menyaring pengalaman-pengalaman kita agar
fenomena itu menampakkan diri dalam realitasnya yang murni Brouwer, 1984, h. 107.
Pendapat Husserl ini berkaitan erat dengan penelitian ini, yaitu penelitian fenomenologis. Peneliti akan meneliti motivasi menjadi PNS pada orang Koja.
Untuk memahami dunia pengalaman subjek, maka peneliti harus meninggalkan
85 85
asumsi-asumsi yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti akan dapat memahami alasan subjek yang memutuskan untuk menjadi PNS sebenar-benarnya, jika bisa
melakukan reduksi atau penyaringan terhadap pendirian-pendirian subjektif peneliti. Dengan demikian, peneliti tidak akan mengotori dunia pengalaman
subjek. Motivasi bekerja tiap-tiap orang berbeda-beda dan oleh karena itu peneliti harus benar-benar memahami motivasi masing-masing orang dan tidak bisa
menyamakan pengalaman masing-masing orang tersebut. Jean-paul Sartre adalah tokoh eksistensialisme yang dilahirkan di Paris, 21
Juni 1905. Ide-idenya tersebar melalui drama-dramanya, termasuk pendapatnya mengenai manusia. Menurut Sartre Hasan, 2000, h. 123, manusia itu mengada
dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan benda-benda lain yang tidak memiliki kesadaran atas keberadaannya
sendiri. Bagi manusia, eksistensi adalah sebuah keterbukaan. Manusia bertanggung
jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam membentuk dirinya sendiri, manusia mempunyai kesempatan untuk memilih apa yang baik dan apa yang buruk bagi
dirinya. Setiap pilihan adalah pilihan manusia itu sendiri dan dia tidak bisa menyalahkan orang lain; dia juga tidak bisa menggantungkan keadaannya pada
Tuhan Hasan, 2000, h. 124. Sartre juga menekankan mengenai kebebasan La liberté manusia. Bagi
Sartre Hasan, 2000, h. 128, kebebasan itu melekat pada setiap tindakan manusia. Apa yang dilakukan manusia seharusnya diartikan sebagai ungkapan dari
kebebasannya sebab sebenarnya ia pun bisa memilih untuk bertindak lain.
86 86
Ide yang diungkapkan Sartre tersebut mempunyai kaitan dengan judul dari penelitian ini. Individu yang menentukan apa yang akan dilakukannya dalam
berperilaku. Keputusan bertindak sepenuhnya ada pada manusia itu sendiri. Seorang individu ingin bekerja sebagai apa pun itu tergantung pada dirinya
sendiri. Motivasi seseorang untuk menjadi PNS ditentukan oleh dirinya sendiri, namun faktor lingkungan tetap akan berpengaruh pada pengambilan keputusan
tersebut.
B. Fokus Penelitian