1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penciptaan
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Pagelaran Wayang kulit merupakan ungkapan dan peragaan pengalaman
religius yang merangkum beberapa unsur lambang seperti bahasa, gerak, tari, suara, sastra, warna dan rupa. Wayang kulit mampu menyajikan kata-kata mutiara
yang meliputi pendidikan, pengetahuan, penyadaran, dan hiburan. Lukisan estetisnya mampu menyajikan imajinasi puitis untuk petuah-petuah religius yang
mempesona dan menggetarkan jiwa manusia, di dalam cerita wayang termuat nilai-nilai historis dan budaya yang begitu kuat, wayang juga merupakan simbol
personifikasi dari perwatakan manusia dimana ada tokoh baik dan tokoh jahat dimana keduanya saling melengkapi. Tokoh baik juga tak selamanya berjalan
dengan kebaikannya, begitu juga dengan tokoh jahat tidak selamanya ia dipenuhi oleh kejahatan.
Bila ditinjau dari segi historis ada dua kitab yang mendasar dalam cerita pewayangan yaitu Kitab Mahabarata dan Ramayana. Kitab Mahabarata
mengisahkan tentang perang besar antar saudara, yaitu Kurawa dan Pandawa yang pada hakekatnya mereka terlahir dalam satu garis keturunan yaitu darah barata
yang berawal dari dua saudara kandung anak dari Begawan Palasara yaitu Prabu Destarastra dan Prabu Pandu dewayana. Garis keturunan ini berkembang ketika
Prabu Destarastra dan Dewi Gendari yang menurunkan keturunan Kurawa dan
Prabu Pandu Dewayana dan Dewi Kunthi, juga Dewi Madrim yang menurunkan keturunan Pandawa, konflik dasar yang menyebabkan perang besar ini terjadi
ketika orang tua dari Kurawa dan Pandawa telah meninggal. Kerajaan Astina yang dikuasai oleh Kurawa selalu dihasut oleh patihnya Sengkuni untuk merebut
kerajaan Amarta yaitu kerajaan yang ditinggali oleh Pandawa. Hingga suatu saat terjadilah perang besar itu, dan dituliskan dalam kitab Mahabarata. Sementara di
dalam kitab Ramayana sendiri membeberkan tentang cerita percintaan Rama dan Shinta. Hingga suatu ketika Shinta diculik oleh Rahwana raja dan kemudian
terjadilah perang antara prjurit Rama Wijaya dengan prajurit Rahwana raja yang menewaskan beribu-ribu prajurit dalam tempo yang singkat, hingga kemenangan
ada dipihak Rama Wijaya karena bantuan dari bala kera yang di pimpin oleh Prabu Sugriwa dan Resi Hanoman.
Wayang kulit memiliki unsur visual melalui bentuk-bentuk makhluk hidup yang dideformasi secara sederhana dan dekoratif. Melalui tugas akhir karya seni
ini, penulis ingin mengangkat dan mengekpresikan konflik yang terjadi didalam cerita pewayangan lewat lukisan dengan gaya ekspresionistik. Ekspresionisme
sendiri merupakan aliran yang berusaha menggambarkan aktualitas yang sudah didistorsikan kearah suasana kesedihan, kekerasan, atau tekanan batin yang berat.
Karya-karya ekspresionisme umumnya bertendensi kearah individualisasi dan fragmantasi atau tekanan batin yang berat. Ketertarikan penulis untuk mengambil
wayang kulit sebagai inspirasi dasar dalam lukisan ekspresionistik bermula dari pengolahan rasa dan pemahaman keteknikan dalam melukis dengan gaya
ekspresionistik, hal ini merupakan pengalaman yang tidak dapat dilupakan begitu
saja. Luapan emosional dan keinginan penulis melukis dengan gaya ekspresif divisualkan dengan objek-objek wayang kulit. Wayang kulit dianggap sebagai
objek yang bagus, hal ini berkaitan dengan cerita yang terkandung dalam dunia pewayangan yang tak pernah lepas dari konflik kehidupan disetiap alur ceritanya.
Wayang kulit juga dijadikan objek lukisan oleh banyak seniman, seperti seniman Pelukis Wayang Kaca, Subandono, Subandi, dan Pelukis Ekspresionisme Nasirun
yang mengangkat wayang kulit sebagai inspirasi lukisannya. Hidup di kalangan masyarakat yang masih memegang erat adat dan
budaya Jawa mengingatkan kembali kenangan masa lalu penulis, dimana disetiap pentas seni yang digelar setiap tahun di padepokan seni Tjipto Budoyo selalu
mementaskan wayang kulit sebagai sajian hiburan pada masyarakat, begitu juga pada hajatan desa pagelaran wayang kulit selalu digelar untuk di pertontonkan
pada masyarakat. kenangan akan pementasan wayang kulit terekam sejak kecil pada diri penulis sehingga penulis memberanikan diri untuk mengangkat konflik
wayang kulit sebagai sumber inspirasi dasar penciptaan seni lukis ekspresionistik. Jakob Sumardjo 2000, berpendapat bahwa dorongan kreatifitas pada dasarnya
berasal dari tradisi itu sendiri atau masyarakat lingkungannya. Setiap seniman dilahirkan dalam masyarakat tertentu dengan tradisi tertentu. Tradisi seni telah ada
sebelum adanya seniman. Setiap karya merupakan kekayaan tradisi seni atau masyarakat pada mulanya juga karya yang kreatif pada zamannya. Seniman
kreatif adalah seniman yang peka terhadap lingkungan hidupnya, baik tradisi budaya maupun kekayaan faktual lingkungan. Berdasarkan pendapat di atas, pada
dasarnya karya seni berangkat dari realitas lingkungan budaya yang telah dialami.
Terkadang manusia tidak menyadari lingkungan sekelilingnya adalah ide yang bagus.
B. Identifikasi Masalah