Mata Pencaharian Sistem Bahasa

29 perlengkapan, bersama-sama memasak untuk upacara yang berlangsung, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan bagian dari tradisi seperti yang dikemukakan oleh Bruno Netll dan Gerald Behague, bahwa tradisi mempunyai sebuah nilai, norma, dan kearifan lokal. Tabel : Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan Kecamatan Laki- laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis Kelamin [1] [2] [3] [4] [5] 1. Batang Angkola 15 955 16 804 32 759 95,00 2. Sayurmatinggi 11 523 12 204 23 727 94,00 3. Angkola Timur 9 420 9 423 18 843 100,00 4. Angkola Selatan 13 995 13 264 27 259 106,00 5. Angkola Barat 11 975 12 493 24 468 96,00 6. Batang Toru 14 792 14 929 29 721 99,00 7. Marancar 4 726 4 731 9 457 100,00 8. Sipirok 15 204 15 615 30 819 97,00 9. Arse 3 917 4 037 7 954 97,00 10. Saipar Dolok Hole 6 410 6 406 12 816 100,00 11. Aek Bilah 3 342 3 114 6 456 107,00 12. Muara Batang Toru 5 982 5 617 11 599 106,00 13. Tano Tombangan Angkola 6 993 7 584 14 577 92,00 14. Angkola Sangkunur 9 297 9 072 18 369 102,00 JumlahTotal 2013 133 531 135 293 268 824 99,00 Tabel 1: kependudukan di Tapanuli selatan menurut BPS 2013

2.5 Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di Tapanuli Selatan pada umumnya bertani dan berkebun, Pegawai negeri, pedagang, karyawan swasta, nelayan dan pensiunan. Usaha perkebunan rakyat meliputi tanaman karet, kopi, kulit manis dan kelapa. Di samping itu pertanian pangan meliputi padi, kentang, jahe, sayur- mayur dan lain-lain. Dari hasil perikanan di Tapanuli Selatan dihasilkan ikan dari 30 hasil usaha nelayan dan penambak berupa ikan tuna, ikan air tawar dari lubuk larangan, perairan umum, dan budaya kolam ikan. Masyarakat juga mengusahakan peternakan, meliputi peternakan sapi, kerbau, kambing dan unggas. Hasil hutan meliputi hutan tanaman industri, rotan, dan kayu. Di samping hasil-hasil tanaman dan peternakan di atas yang ada di Tapanuli Selatan, daerah ini juga kaya dan memiliki potensi yang besar akan barang tambang seperti emas. Selain itu ada yang lebih menarik lagi di daerah Tapanuli Selatan yaitu daerah ini kaya akan budaya, alam dan, adat istiadat yang melengkapi kehidupan masyarakatnya yang hidup dalam kerukunan dan ketenteraman dalam hidup berdampingan walaupun berbeda adat maupun kepercayaan. 2.6 Sistem kepercayaan dan Agama Mayoritas Etnis Mandailing hampir 100 penganut agama Islam yang taat. Oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam adat seperti dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Tetapi ada juga sebagian yang menganut Agama Kristiani.Sistem kepercayaan dengan debata mula jadi na bolon menyembah berhalasudah tidak ditemukan lagi pengikutnya di desa tersebut, tetapi dulu kepercayaan yang dianut masyarakat batak adalah kepercayaan terhadap mula jadi na bolon yang dipercayai oleh orang batak sebagai dewa tertinggi mereka yaitu pencipta tiga dunia yaitu: dunia atas banua ginjang, dunia tengah banua tonga, dan dunia bawah banua toru. 31

2.7 Sistem Kekerabatan

Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing Serat Tembaga Kalinga, yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak Pandapotan Nasution 2005:16, yang merupakan varian dari aksara Proto- Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha pustaka. Namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi. Kebudayaan pada masyarakat etnis Batak Mandailing Pandapotan Nasution 2005:80 berakar pada sistem kekerabatan patrilineal dan mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik, yang disebut dalihan na tolu, yaitu hubungan yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu clan marga. Dalam berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan dalihan na tolu tersebut, sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan diantara sesamanya martutur, martarombo. Dalam terjemahan bahasa Batak Toba, dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu. Na artinya yang. Tolu artinya tiga. Jadi Dalihan Na Tolu artinya tungku yang tiga tiang. Dalihan dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga 32 bentuknya menjadi bulat panjang. Ujungnya yang satu tumpul dan ujungnya yang lain agak bersegi empat sebagai kaki dalihan, lebih kurang 10 cm yang akan ditanam dan selebihnya yang mencuat dengan panjang lebih kurang 12 cm. Ditanamkan berdekatan sedemikian rupa, ditempatkan di dapur yang sudah disediakan terbuat dari papan empat persegi panjang, berisi tanah yang dikeraskan. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan tadi berfungsi sebagai tungku tempat alat masak dijerangkan. Bentuk dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama yang lain, dengan tinggi yang sama dan harmonis. Seseorangmasyarakat etnis batak mempunyai tiga kategori keluarga: dongan sabutuha-nya sendiri, hula-hula-nya, dan anak boru-nya. Begitupun juga pembagian kekerabatan dalam masyarakat Tapanuli pada umumnya yang dikenal dengan dalihan na tolu tungku nan tiga. Yaitu Dongan sabutuha kahanggi dalam masyarakat Tapanuli Selatan merupakan kelompok masyarakat yang memiliki persamaan marga menurut garis keturunan yang patrilineal, hula-hula mora dalam masyarakat Tapanuli Selatan yaitu kelompok marga pemberi mempelai perempuan dan anak boru yaitu kelompok marga penerima mempelai perempuan. Secara fungsional hula-hula memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap boru, hal ini sangat tampak jelas dalam suatu pelaksanaan adat. Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu dan selama orang Batak Toba tetap 33 mempertahankan kesadaran bermarga, selama itupula lah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya. Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungan sekitarnya.

2.7.1 Upacara adat perkawinan Horja Siriaon

Dalam adat istiadat perkawinan di masyarakat Mandailing dikenal dengan nama perkawinan manjujur 7 Didalam adat istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu perkawinannya dilaksanakan dengan upacara adat perkawinan, maka pada saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat kematian terutama dari garis keturunan Raja-Raja Mandailing. Seorang anak keturunan Raja, apabila ayahnya meninggal dunia wajib mengadati Horja Mambulungi. Jika belum mengadati seorang anak atau keluarganya tetap menjadi kewajiban utang adat bagi keluarga yang disebut mandali di paradaton dan jika ada yang akan menikah, tidak dibenarkan mengadakan pesta adat perkawinanan horja siriaon. , bersifat eksogami patriarchat; artinya dimana setelah perkawinan pihak wanita meninggalkan clannya dan masuk ke clan suaminya dan suaminya menjadi kepala keluarga dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan mengikuti clan marga Bapaknya. Idealnya perkawinan adat masyarakat Mandailing adalah antara anak namboru dengan boru tulangnya.

2.7.2 Upacara Adat Kematian horja siuluton

7 ManJujur maksudnya untuk menjaga keseimbangan dari pihak keluarga wanita atas hilangnya seorang anggota keluarganya yang masuk menjadi anggota keluarga suami. 34

2.7.3 Upacara Adat Berkarya Horja siulaon

Horja Siulaon adalah upacara adat memulai suatu bekerja berkarya secara bersama-sama untuk menyelesaikan suatu perkerjaan, seperti: mendirikan rumah baru, membuka sawah,dan lain-lain. Horja Siulaon merupakan kearifan- kearifan lokal local genius pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri suku Bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat budaya lokal memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan- penciptaan baru. Pada dasarnya kearifan lokal yang dapat dilihat dengan mata tangible, seperti obyek-obyek budaya, warisan budaya bersejarah dan kegiatan keagamaan dan kearifan lokal yang tidak dapat dilihat oleh mata intangible yang berupa nilai atau makna dari suatu obyek atau kegiatan budaya.

2.8 Sistem Bahasa

Desa Marisi merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan yang penduduknya adalah mayoritas suku Batak Mandailing. Oleh karena itu, hampir seluruh masyarakat didesa ini menggunakan bahasa Mandailing sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak ditutup kemungkinan juga suku-suku pendatang yang bermarga Batak toba dalam desa tersebut mengerti dan ikut menggunakan bahasa Mandailing. Dalam proses penelitian penulis di desa tersebut, penulis melakukan wawancara dengan para informan dengan bahasa indonesia. Ini dikarenakan penulis tidak bisadapat berbicara bahasa Mandailing.Tidak ada hambatan apapun 35 karena para informan semua bisa berbahasa Indonesia, kecuali ketika penulis bertanya pada para tetua yang ada dikampung seberang seperti didesa sihepeng, penulis ditemani oleh anak dari Bapak Mara Sakti Harahap untuk menterjermahkan apa yang dibilang oleh para tetua ompung tersebut.

2.9 Sistem Kesenian