daripada absorbansi pati tergelatinisasi tepung yang menggunakan pengeringan sinar matahari dan oven teknik 1, 2, 4, dan 5. Sedangkan
tepung ubi jalar yang diberi perlakuan pengeringan sinar matahari dan oven serta dengan teknik penyawutan tidak berbeda nyata satu sama lain.
Tabel 12 . Pengaruh perlakuan teknik pengolahan terhadap absorbansi pati
tergelatinisasi tepung ubi jalar Teknik Absorbansi
Pati Tergelatinisasi
1 2
3 4
5 6
0.010
c
0.007
c
0.861
a
0.101
c
0.142
c
0.510
b
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
Pati pada ubi jalar mengalami gelatinisasi selama proses pengeringan dengan drum dryer. Menurut Ulyarti 1997, pati akan cepat
tergelatinisasi jika terjadi penurunan kekuatan granula yang disebabkan pemasakan yang dapat merusak ikatan-ikatan di dalam granula. Beberapa
studi menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka akan meningkatkan derajat gelatinisasi Lin et al., 1997.
g. Sifat Amilografi Tepung
Pengukuran sifat amilografi meliputi pengukuran suhu awal gelatinisasi, suhu viskositas maksimum, viskositas maksimum, viskositas
awal dan akhir saat suhu dipertahankan, serta viskositas awal dan akhir saat suhu diturunkan. Sedangkan untuk viskositas balik, viskositas jatuh
dan stabilitas pasta merupakan hasil perhitungan. Hasil analisis parameter
amilogram dapat dilihat pada Tabel 13.
Tepung tanpa perlakuan pemasakan awal yang dikeringkan dengan sinar matahari atau oven teknik 1 dan 2 memiliki bentuk kurva yang
hampir sama. Selama proses pemanasan dari 30 C sampai 95
C, mula- mula viskositas suspensi masih rendah kemudian terjadi peningkatan
viskositas hingga mencapai maksimum, dan dilanjutkan dengan pemecahan granula yang menyebabkan penurunan viskositas. Penurunan
viskositas terus berlanjut hingga periode pemanasan pada suhu konstan. Selama proses pendinginan dari 95
C hingga 50 C terjadi peningkatan
viskositas akibat adanya asosiasi molekul pati Swinkels, 1985. Peningkatan viskositas terus berlangsung hingga periode pendinginan
berakhir.
Tabel 13 . Sifat Amilografi Tepung Ubi Jalar
Tepung Teknik 1
Teknik 2 Teknik 3
Teknik 4 Teknik 5
Teknik 6 SAG 77.2
+ 0.36 76.6 + 0.76
56.5 + 14.4 30.9 + 0.1
VM 451.6 + 32.5
466.0 + 54.2 710.0+210 77.3 + 61.8
108.2 + 24.8 118.3+127 SVM 88.5
+ 1.5 89.5 + 3.8
30 95.0 + 0
95.0 + 0 30
V
1
95 C 426.0
+ 23.3 451.7 + 49.7 112.3 + 34.5
77.3 + 61.8 108.2 + 24.8 97.0 + 102.7
V
2
95 C 342.0
+ 23.4 406.0 + 34.8 96.3 + 30.0
95.5 + 55.2 146.2 + 11.2 106.7+101.4
VD 438.3 + 21.2
502.0 + 37.3 152.3 + 29.5 136.3 + 77.3
200.7 + 5.8 141.2+126.8
VB 96.3 + 15.9
96.0 + 14.5 56.0 + 10.6
40.8 + 22.3 54.5 + 7.9
34.5 + 25.6 VJ 109.7+22.6 55.0
+ 20.4 705.0+613.7 -22.0 + 18.2
-51.5 + 38.0 11.7 + 26.8
SP -84.0 + 7.5
-45.6+15.6 -16.0 + 4.6
18.2 + 7.1 38.0 + 18.8
9.7 + 4.2 Tepung telah mengalami pregelatinisasi sejak pengukusan dan pengeringan
Viskositas awal yang terlihat pada suhu 30 C
Keterangan : SAG
: Suhu awal gelatinisasi C
VM : Viskositas Maksimum BU
SVM : Suhu pada saat viskositas maksimum C
V
1
95 C : Viskositas pada suhu 95
C viskositas pada awal pemanasan konstan V
2
95 C : Viskositas pada akhir pemanasan konstan BU
VD : Viskositas pada akhir pendinginan sampai suhu 50
C BU VB
: Viskositas Balik BU VD - V
2
95 C
VJ : Viskositas Jatuh BU VM - V
2
95 C
SP : Stabilitas Pasta BU V
2
95 C - V
1
95 C
Terdapat perbedaan pada tepung dengan pengeringan drum dryer tanpa pemasakan awal teknik 3 dibanding dengan kedua tepung diatas.
Selama proses pemanasan dari 30 C sampai dipertahankan pada suhu 95
C selama 20 menit, suspensi tepung mengalami penurunan viskositas yang
sangat tajam dimana suspensi tepung yang semula kental berubah menjadi lebih encer. Viskositas kembali meningkat pada periode pendinginan
mencapai 50 C, namun kenaikan viskositas ini tidak setajam seperti pada
penurunan viskositas selama periode pemanasan.
100 200
300 400
500 600
700 800
900 1000
20 40
60 80
100
Waktu m
V isko
si tas
B U
Teknik 1 ul 1 Teknik 1 ul 2
Teknik 1 ul 3 Teknik 2 ul 1
Teknik 2 ul 2 Teknik 2 ul 3
Teknik 3 ul 1 Teknik 3 ul 2
Teknik 3 ul 3
Pemanasan sampai 95 C
Dipertahankan selama 20 menit pada suhu 95 C
Pendinginan sampai 50 C
Gambar 21. Kurva Amilograf Tepung Ubi Jalar Tanpa Perlakuan Pengukusan
100 200
300 400
500 600
700 800
900 1000
20 40
60 80
100
Waktu m Vi
s k
o s
it a
s B
U
Teknik 4 ul 1 Teknik 4 ul 2
Teknik 4 ul 3 Teknik 5 ul 1
Teknik 5 ul 2 Teknik 5 ul 3
Teknik 6 ul 1 Teknik 6 ul 2
Teknik 6 ul 3
Pemanasan sampai 95 C
Dipertahankan selama 20 menit pada suhu 95 C
Pendinginan sampai 50 C
Gambar 22. Kurva Amilograf Tepung Ubi Jalar Dengan Perlakuan Pengukusan
Profil amilografi pada tepung dengan pemasakan awal teknik 4, 5, dan 6 memiliki perbedaan dari tepung tanpa pemasakan awal. Tepung
dengan pengeringan sinar matahari dan oven teknik 4 dan 5 memiliki kecenderungan terjadi peningkatan viskositas dari awal pemanasan sampai
akhir pendinginan. Hal ini terjadi karena proses gelatinisasi sudah terlewati sehingga pada kurva yang terlihat adalah peningkatan viskositas
setelah terjadi gelatinisasi. Sedangkan tepung dengan pengeringan drum dryer teknik 6 mengalami penurunan viskositas kemudian diikuti dengan
peningkatan viskositas. Penurunan viskositas terjadi pada saat pemanasan dari 30
C sampai 95 C, dan peningkatan viskositas terjadi pada saat suhu
dipertahankan pada 95 C selama 20 menit sampai pendinginan berakhir
pada 50 C. Peningkatan dan penurunan viskositas pada tepung dengan
pemasakan awal tidak setajam pada tepung tanpa pemasakan awal. 1. Suhu Awal Gelatinisasi SAG
Menurut Febriyanti 1990, yang dimaksud dengan suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat viskositas pertama kali naik karena
terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversible. Suhu awal gelatinisasi tepung ubi jalar yang dihasilkan berkisar antara 30.8-
77.5 C. Data suhu awal gelatinisasi pada tabel diatas menunjukkan
bahwa perlakuan pemasakan awal dan pengeringan berpengaruh nyata terhadap suhu awal gelatinisasi, dimana tepung ubi jalar tanpa perlakuan
pemasakan awal yang dikeringkan dengan sinar matahari atau oven teknik 1 dan 2, memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tepung dengan perlakuan pemasakan awal teknik 4 dan 5.
Gelatinisasi berkaitan dengan perusakan ikatan antara molekul pati Swinkels, 1985. Granula pati pada tepung yang dibuat dengan
teknik 1 dan 2 mewakili sifat granula pati mentah dimana amilosa mengadakan ikatan silang dengan amilopektin Kasemsuwan dan Jane,
1994. Konfigurasi molekul pati seperti ini lebih sulit dirusak karena terdapat banyak ikatan-ikatan dalam granula sehingga dibutuhkan
energi yang lebih besar yang ditunjukkan dengan suhu awal gelatinisasi yang tinggi.
Pada grafik amilograf tepung teknik 3 tanpa dikukus-drum dryer dan teknik 6 dikukus-drum dryer tidak ada suhu awal gelatinisasi
karena sejak awal sudah tercapai viskositas yang tinggi yang
menunjukkan bahwa tepung tersebut sudah tergelatinisasi Tabel 13.
Tepung telah mengalami pregelatinisasi karena adanya pemanasan pada perlakuan pengeringan dengan drum dryer ataupun ditambah dengan
perlakuan pengukusan sebelum pengeringan. 2. Viskositas Maksimum VM
Setelah mencapai suhu gelatinisasi, viskositas pati meningkat hingga tercapai viskositas maksimum. Viskositas maksimum atau
viskositas puncak adalah titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Viskositas puncak berkaitan erat
dengan pembengkakan granula dimana semakin tinggi pembengkakan granula maka semakin tinggi pula viskositas puncaknya Ulyarti, 1997.
Viskositas puncak tepung ubi jalar yang dihasilkan berkisar antara 15.5- 920 BU.
Pada Gambar 21 dan 22, dapat dilihat bahwa perlakuan
pemasakan awal berpengaruh terhadap viskositas puncak dimana adanya kecenderungan bahwa tepung dengan pemasakan awal teknik 4,
5, dan 6 memiliki viskositas puncak yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung tanpa pemasakan awal teknik 1, 2, dan 3. Hal ini
disebabkan masih kuatnya ikatan-ikatan dalam granula pati yang belum tergelatinisasi di dalam tepung tanpa pemasakan awal sehingga masih
memiliki kemampuan untuk terus membengkak hingga pembengkakan yang maksimum.
Konfigurasi molekul pati dalam granula membentuk bagian amorf dan kristalin. Pembengkakan yang terjadi pada granula mentah masih
dapat ditahan oleh struktur kristalin yang sukar rusak sehingga pembengkakan terus berlanjut hingga pada suhu yang lebih tinggi
hingga daerah kristalin ini rusak Swinkels, 1985.
Pada teknik pengolahan yang tidak melibatkan perlakuan pengukusan dapat dilihat bahwa perlakuan perbedaan teknik
pengeringan juga berpengaruh terhadap viskositas puncak dimana viskositas puncak tepung hasil pengeringan sinar matahari 451.6 BU
dan oven 466.0 BU lebih rendah dibandingkan dengan tepung hasil
pengeringan drum 710.0 BU lihat pada Tabel 13. Hal ini disebabkan
pati dalam tepung hasil pengeringan drum dryer merupakan pati yang sudah tergelatinisasi dimana granula pati telah membengkak secara
sempurna pada suhu yang sangat tinggi dan membentuk daerah amorf pada saat dikeringkan untuk diolah menjadi tepung. Pada saat granula
pati atau tepung diberi air kembali maka air akan langsung menempati daerah amorf tersebut sehingga dicapai viskositas yang paling
maksimum. Terlihat dari hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pembengkakan granula pati sebanding dengan peningkatan suhu
pengeringan. Bentuk puncak kurva amilograf pada tepung hasil teknik 1 dan 2
merupakan bentuk puncak yang tajam dan cukup sempit. Hal ini tergantung pada laju pembengkakan dan ketahanan granula pati
terhadap kepecahan. Pati dengan puncak yang lebih lebar atau plateu lebih disukai jika diinginkan pembengkakan yang seragam. Dalam
penelitiannya, Wincy 2001 mendapati puncak kurva amilogram yang tumpul pada tepung sukun yang diberi perlakuan pengukusan.
Perlakuan pengukusan mampu mengubah puncak kurva amilograf menjadi lebih tumpul dan lebar.
Nilai viskositas maksimum yang tinggi menggambarkan daya thickening yang tinggi pula. Pengetahuan tentang nilai viskositas
maksimum berguna untuk mengetahui kemungkinan penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih kecil untuk mencapai viskositas
tertentu sehingga biaya produksi dapat ditekan. Tepung dengan karakter viskositas yang tinggi dapat digunakan sebagai pengental pada sup atau
sebagai bahan dasar pembuatan pudding karena memiliki daya thickening yang tinggi Wincy, 2001.
3. Suhu Viskositas Maksimum SVM Pada titik ini umumnya granula pati yang mengembang mulai
pecah diikuti dengan penurunan viskositas. Peristiwa ini berkaitan dengan pecahnya granula yang telah membengkak karena batas
maksimum telah terlewati Krugar dan Murray, 1979. Suhu viskositas maksimum juga dapat disebut sebagai suhu akhir
gelatinisasi. Pada suhu ini semua granula pati telah kehilangan sifat birefrigence-nya dan granula tidak mempunyai sifat kristal lagi Cready,
1970. Perlakuan pemasakan awal dan perlakuan perbedaan teknik pengeringan berpengaruh terhadap suhu viskositas maksimum. Suhu
viskositas maksimum tepung tanpa pemasakan awal dengan pengeringan sinar matahari dan oven 87.0-93.3
C lebih rendah dibandingkan tepung dengan pemasakan awal 95
C. Baik pada perlakuan tanpa pemasakan awal pada teknik 1, 2, dan
3 maupun pada perlakuan pemasakan awal pada teknik 4, 5, dan 6, suhu viskositas maksimum tepung dengan pengeringan sinar matahari
teknik 1 dan 4 dan oven teknik 2 dan 5 relatif tidak berbeda satu sama lain. Suhu viskositas maksimum tepung dengan pengeringan drum
dryer teknik 3 dan 6 dianggap 30 C karena sejak awal dilarutkan
dalam air sudah terbentuk viskositas yang kental maksimum, dan pengukuran amilografi dimulai dari suhu 30
C. Hal ini disebabkan di dalam tepung dengan pengeringan drum dryer terdapat pati
pregelatinisasi dimana pati tersebut bersifat larut dalam air dingin Fennema, 1982.
4. Viskositas Balik VB Viskositas balik mencerminkan tingkat retrogradasi pati pada
proses pendinginan. Semakin besar viskositas balik maka kecenderungan pati untuk beretrogradasi pun semakin tinggi. Winarno
1984 menjelaskan bahwa bila pasta pati didinginkan, energi kinetik molekul tidak cukup tinggi untuk menahan molekul saling berikatan.
Jika selama pemanasan terjadi pemecahan granula maka jumlah amilosa
yang keluar dari granula semakin banyak sehingga kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi meningkat.
Viskositas balik tepung ubi jalar yang dihasilkan berkisar antara 8.9-112.2 BU. Dari hasil tersebut didapatkan bahwa teknik pembuatan
tepung berpengaruh nyata terhadap viskositas balik tepung ubi jalar yang dihasilkan. Perlakuan pemasakan awal pada teknik 4, 5, dan 6
dan teknik pengeringan dengan drum dryer pada teknik 3 dan 6 cenderung menurunkan viskositas balik.
Tepung hasil teknik 1 tanpa dikukus-sinar matahari dan teknik 2 tanpa dikukus-oven menunjukkan nilai rata-rata viskositas balik yang
lebih besar 96.3 dan 96.0 dibandingkan tepung yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kedua tepung tersebut memiliki kecederungan
retrogradasi yang tinggi yaitu tingginya kemampuan amilosa untuk berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang
amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. 5. Viskositas Jatuh
Viskositas jatuh menyatakan ketahanan suspensi pati ubi jalar terhadap pemanasan dan pengadukan. Viskositas jatuh bernilai positif
jika terjadi penurunan viskositas setelah mencapai viskositas maksimum, dan bernilai negatif jika terjadi peningkatan viskositas.
Rata-rata viskositas jatuh tepung ubi jalar yang dihasilkan berkisar antara -51.5-705.0 BU.
Dari hasil analisis diketahui bahwa perlakuan pemasakan awal berpengaruh nyata terhadap viskositas jatuh. Terdapat kecenderungan
bahwa tepung dengan perlakuan tanpa pemasakan awal pada teknik 1, 2, dan 3 memiliki viskositas jatuh yang lebih besar dibandingkan
dengan tepung dengan perlakuan pemasakan awal pada teknik 4, 5, dan 6. Hal ini berarti tepung hasil teknik 1, 2, dan 3 bersifat kurang stabil
karena mengalami perubahan drastis menjadi lebih encer saat pemanasan dan pengadukan. Penurunan viskositas pada pemanasan
akibat pecahnya granula yang telah membengkak dan mengalami fragmentasi Swinkels, 1985.
Tepung hasil teknik 4, 5, 6 lebih stabil karena hanya mengalami sedikit perubahan dimana tepung hasil teknik 4 dan 5 menjadi lebih
kental sedangkan tepung hasil teknik 6 mengalami sedikit perubahan menjadi lebih encer. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
tepung dengan perlakuan pemasakan awal memiliki ketahanan yang cukup baik terhadap perlakuan pemanasan dan pengadukan. Tepung ini
baik digunakan pada pengolahan produk yang melalui proses pemanasan dan pengadukan seperti suun, pie filling, dan sup.
6. Stabilitas Pasta SP Stabilitas pasta bernilai positif jika terjadi peningkatan viskositas
dan bernilai negatif jika terjadi penurunan viskositas selama pemanasan 20 menit pada suhu konstan 95
C. Tepung yang dianalisis cenderung memiliki rata-rata stabilitas pasta yang baik kecuali tepung hasil teknik
1 dan teknik 2 -84 + 7.5 BU dan -45.6 + 15.6 BU karena tepung tersebut mengalami penurunan viskositas yang cukup besar selama
pemanasan. Data yang didapatkan diatas menunjukkan bahwa selama
pemanasan konstan, tepung hasil teknik 1, 2, dan 3 mengalami penurunan viskositas sedangkan tepung hasil teknik 4, 5, dan 6
mengalami peningkatan viskositas. Hal ini berarti tepung hasil teknik 1, 2, dan 3 kurang stabil terhadap pemanasan. Perlakuan pemasakan awal
pada teknik 4, 5, dan 6 cenderung meningkatkan viskositas dengan kenaikan yang cukup kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa tepung 4,
5 dan 6 memiliki stabilitas pasta yang cukup baik. Dari sisi kestabilan terhadap panas maka pati dengan stabilitas
baik sangat cocok digunakan dalam proses yang membutuhkan pemanasan. Proses yang membutuhkan pemanasan contohnya adalah
pembotolan produk seperti salad dressing. Namun produk ini juga membutuhkan sifat pati yang stabil terhadap shear dan asam Rapaille
dan Vanhelmerijk, 1994. Setiap jenis pati memiliki karakteristik tertentu dengan sifat fungsional yang berbeda pula. Gambar berikut
merupakan perbandingan profil amilografi dari beberapa jenis pati yang menunjukkan sifat fungsional patinya.
Gambar 23. Perbandingan kurva amilograf dari beberapa pati
h. Stabilitas Produk Terhadap Pembekuan dan Thawing