Kesulitan-kesulitan belajar tersebut tentunya juga akan memberikan pengaruh pada siswa untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal. Dalam
belajar Fisika, misalnya, beberapa orang siswa juga mungkin bisa mengalami kesulitan-kesulitan seperti yang sudah dijelaskan. Habiburrahman 1981: 3
berpendapat bahwa kesulitan siswa dalam belajar IPA, dalam kasus ini berarti fisika, banyak bersumber dari hal-hal berikut, seperti:
1. Kesulitan dalam membaca suatu kalimat atau istilah 2. Kesulitan dalam angka
3. Kesulitan dalam mengerti tentang konsep-konsep yang diajarkan 4. Kesulitan dalam menggunakan alat-alat praktikum
5. Kesulitan yang disebabkan karena pribadi siswa sendiri, misalnya: a. Siswa sulit diajak berpikir secara deduktif.
b. Siswa merasa sulit mengambil kesimpulan, ketika dihadapkan pada suatu masalah yang berkaitan dengan masalah yang dberikan guru.
c. Siswa sulit membuat sebuah hipotesis. d. Siswa sulit untuk menguji hipotesis tersebut.
e. Siswa sulit untuk memformulasikan suatu masalah.
C. Pembelajaran Fisika yang Konstruktivis
Salah satu landasan yang digunakan dalam belajar fisika adalah landasan yang bersifat konstruktif, yaitu suatu landasan yang merupakan
bentukan pengetahuan yang kita buat sendiri. Dengan kata lain, pengetahuan
tersebut bukan semata-mata diterima begitu saja seperti suatu transfer barang, tetapi pengetahuan yang kita bentuk saat kita sedang mempelajari sesuatu.
Menurut Suparno 2007: 10-11, dalam pendidikan fisika, ada dua aliran konstruktivisme yang digunakan dan bahkan dikembangkan, yaitu:
1. Konstruktivisme psikologis personal yang ditemukan oleh Piaget Dalam model ini, Piaget mengamati bagaimana seorang anak
membentuk pengetahuannya sendirian. Ia menekankan bagaimana seorang individu secara personal mengkonstruksi pengetahuan dari
interaksinya dengan pengalaman dan obyek yang dihadapinya. Dalam kasus belajar fisika, anak diberi kebebasan untuk belajar sendiri dan
memperoleh kemajuannya sendiri. Hal yang ditekankan adalah siswa hanya dapat mengerti fisika bila ia sendiri belajar dan dengan demikian
membangun pengetahuannya sendiri. 2. Sosiokulturalisme yang ditemukan oleh Vygotsky
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain, terlebih dengan orang lain yang memiliki
pengetahuan yang lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik pula. Dengan kata lain, siswa perlu berinteraksi
dengan para ahli dan terlibat langsung dengan situasi yang cocok dengan pengetahuan yang ingin digelutinya. Menurutnya, kegiatan seseorang
untuk mengerti sesuatu selalu dipengaruhi oleh partisipasi orang tersebut dalam praktik-praktik sosial dan kultural yang ada.
Berdasarkan kedua pandangan tersebut, Suparno 2007: 134
mengungkapkan beberapa metode pembelajaran fisika yang sesuai, untuk membangun pengetahuan siswa, salah satunya adalah dengan metode
cooperative learning . Dalam model pembelajaran ini, siswa dibiarkan belajar
dalam kelompok, saling menguatkan, mendalami, dan bekerja bersama untuk semakin menguasai bahan.
Namun, pembelajaran secara cooperative learning pun masih memiliki model pembelajaran yang bermacam-macam. Di antara model-model
pembelajaran cooperative learning, yang paling lama dan paling banyak digunakan adalah model diskusi kelompok Robert, 2005: 252.
Model diskusi adalah model pembelajaran dengan pembicaraan kelompok yang bersifat edukatif, reflektif, terstruktur dengan dan bersama
siswa lain Kindvatter, Willen, Ishler, dalam Suparno, 2007: 129. Hal pokok yang harus dipersiapkan dalam diskusi kelompok adalah memastikan bahwa
setiap anggota kelompok aktif berpartisipasi. Dengan kata lain, siswa dibiasakan untuk mengekspresikan apa yang mereka pikirkan melalui
pembicaraan dalam kelompok, dan saling bertukar ide atau gagasan dalam kelompok tersebut.
D. Program Remedi