Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pembiayaan dari sebuah perusahaan diperoleh dari dua sumber yaitu sumber dari dalam perusahaan internal berupa laba dan dari luar perusahaan eksternal berupa hutang dan penerbitan sekuritas oleh perusahaan. Jika hutang melebihi batas maksimum yang diindikasikan dengan tingginya debt to equity ratio perbandingan antara hutang dan modal sendiri, maka biaya modal perusahaan tidak lagi minimum. Akibatnya hutang menjadi tidak efektif lagi sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Alternatif lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk mendapatkan sumber pembiayaan adalah menerbitkan sekuritas yang berupa surat tanda hutang obligasi dan surat tanda kepemilikan saham melalui pasar modal. Sumber pendanaan melalui saham dianggap paling murah sebagai sumber dana karena mempunyai risiko paling kecil dibandingkan sumber lainnya. Pada periode sebelum 1990, pasar modal di Indonesia belum berkembang karena pada umumnya perusahaan menerima dana dari bank terutama bank pemerintah. Terbukti dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI sampai akhir tahun 1988 baru 24 perusahaan. Pasar modal di Indonesia baru berkembang setelah pemerintah mengeluarkan Pakto 1988 dan Pakdes 1988 yang berisi tentang kebijakan-kebijakan untuk mendorong perkembangan pasar modal. Pada akhir 1989, sebanyak 56 perusahaan yang mencatatkan saham di BEI dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga menjadi 330 perusahaan pada akhir 2005 Sa’adah dan Panjaitan, 2006. Pertambahan perusahaan yang mencatatkan saham emiten dan pertumbuhan ekonomi nasional sangat mendukung aktivitas di bursa saham. Pergerakan indeks saham dapat dilihat lewat Indeks Harga Saham Gabungan IHSG. Pada tahun 1985, IHSG hanya mencapai 66,53 poin dan terus meningkat sampai dengan akhir tahun 1996 yang mencapai 637,43 poin. Bahkan pada tahun 1988, peningkatan IHSG mencapai 269,48 persen. Hal ini dapat terjadi karena pada tahun tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting untuk mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia. Peningkatan kegiatan di bursa saham memberikan prospek yang positif terhadap perekonomian nasional sehingga IHSG dapat dijadikan salah satu indikator positif ekonomi yang penting di Indonesia. Sejalan dengan kejatuhan Dow Jones harga saham-saham di BEI juga berguguran sebagaimana terlihat dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan IHSG. IHSG yang pada awal 2008 memasuki masa keemasan pada level 2.830, akibat kepanikan investor indeks juga turun ke level 1.174 pada 30 Oktober 2008 atau telah terkoreksi 59 persen. Pada Gambar 1.1 diketahui pola pergerakan antara Indeks Hangseng, Indeks Dow Jones dan IHSG. Pola pergerakan ketiga indeks saham tersebut menggambarkan adanya integrasi pasar keuangan global. 2139 2348 2194 2359 2721 2165 1832 1256 1241 1255 1332 2349 2304 2444 2304 2447 2627 2745 2688 2643 2084 1999 1830 1740 1757 500 1000 1500 2000 2500 3000 Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Nov-07 Dec-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08 Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08 Jan-09 Gambar 1.1. Pergerakan IHSG Januari 2007 sd Januari 2009 Reaksi turunnya indeks Dow Jones Amerika akan menurunkan IHSG dari 2.745 poin pada Desember 2007 juga menurun menjadi 1.1332 poin pada Januari 2009 atau menurun sebesar 48 persen. Jogiyanto 2000 menyatakan bahwa lemahnya fondasi perekonomian Indonesia yang menyebabkan krisis moneter di Indonesia berakibat lebih parah dan lebih lama dibandingkan dengan negara ASEAN. Ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran dolar Amerika dalam jumlah yang relatif besar menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terus melemah. Hal ini diperparah lagi pada akhir tahun 1997 dengan adanya penutupan 38 bank yang tentunya mempengaruhi pasar modal. Chalimah 1996 menyatakan bahwa dampak dari penutupan bank ini adalah sangat besar karena bank sebagai sektor tersendiri dalam pasar modal dan proporsi nilai yang disumbangkan perbankan terhadap IHSG cukup besar. Untuk meredam melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia SBI yang pada bulan Juli 1998 menyentuh angka 70,81 persen pertahun. Bahkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank PUAB pada bulan Agustus 1998 sebesar 81,01 persen pertahun. Demikian juga bunga deposito berjangka menunjukkan peningkatan hingga pada akhir Juli 1998 mencapai 59,92 persen. Karena suku bunga terus meningkat maka ada kecenderungan investor akan mengalihkan modalnya ke deposito dan tentunya berakibat negatif terhadap pasar modal. Akibat lebih jauh lagi adalah harga saham di pasar modal mengalami penuruan yang sangat drastis. Keadaan ini diperburuk lagi bahwa 90 persen emiten secara teknis sudah bangkrut. Hal ini terlihat dari IHSG yang terus menurun dari tahun 1994 sampai tahun 1998. Pada periode setelah krisis, IHSG kembali mulai mengalami peningkatan. Tahun 1999 IHSG mencapai 676,92 poin dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Bahkan pada tahun 2005 IHSG dapat mencapai 1.029,61 poin. Hal ini dapat terjadi karena pada tahun 1999 Indonesia mulai membangun kembali perekonomian nasional yang terpuruk akibat krisis. Pemerintah berusaha memulihkan kondisi pasar modal dengan mengembalikan kepercayaan para investor baik domestik maupun asing agar mau menanamkan modalnya kembali. Berbagai informasi yang masuk di pasar modal maupun kejadian-kejadian yang tidak berhubungan dengan pasar modal dapat mempengaruhi volatilitas atau naik turunnya harga saham. Pergerakan IHSG dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Pengaruh-pengaruh eksternal seperti pergerakan tingkat suku bunga begitu juga dengan pergerakan indeks saham luar negeri dipercaya telah menjadi faktor dominan yang mempengaruhi IHSG. Sedangkan faktor internal lebih dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa dalam negeri seperti ekspektasi rasional investor serta pengaruh dari pergerakan variabel-variabel ekonomi makro lainnya seperti nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, tingkat inflasi, suku bunga Deposite Rate, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia SBI dan jumlah uang beredar money suply. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang berlangsung cukup tinggi, tidaklah secara otomatis mengakibatkan membaiknya situasi pasar modal. Tidak mungkin atau mustahil untuk melihat sebuah persamaan di mana indeks harga saham menjadi fungsi dari pertumbuhan ekonomi, rendahnya tingkat suku bunga, tingkat inflasi dan posisi pembayaran. Karena itu dibutuhkan penjelasan yang tidak bersifat persamaan atau bersifat ekonometris, namun tetap mengandung nalar, dalam pengertian masih dapat dijelaskan hubungan-hubungan tersebut dalam konsep ilmu ekonomi. Pertanyaan-pertanyaan yang langsung timbul adalah menyangkut segi-segi yang sulit dikategorikan sebagai konsep ekonomi atau ilmu ekonomi. Maksudnya bagaimana menempatkan regulasi, perlindungan hukum dan pengaturan transaksi dalam kaitannya dengan perkembangan bursa. Jadi, bila IHSG merosot terus-menerus, sementara pertumbuhan ekonomi berlangsung cukup tinggi dan tingkat inflasi serta tingkat suku bunga deposito menurun, maka memerlukan faktor penjelas yang mungkin sekali berada di luar masalah ekonomi. Seiring dengan kenaikan inflasi yang bergerak pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia SBI, maka dengan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia SBI tersebut akan mendorong pertumbuhan uang beredar, hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan juga krisis ekonomi yang masih terjadi. Namun untuk perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan IHSG cenderung mengalami kenaikan, karena adanya minat dari investor untuk menanamkan modalnya di bursa efek. Bila suku bunga cukup tinggi lebih tinggi dari capital gain dan deviden per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa orang akan memilih menyimpan uangnya di bank. Sebaliknya, bila suku bunga sudah melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa. Bila suku bunga SBI cukup tinggi lebih tinggi dari capital gain dan deviden per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa orang akan memilih menyimpan uangnya di bank dan IHSG turun. Sebaliknya, bila suku bunga sudah melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa Yuniarta, 2008. Faktor domestik yang mempengaruhi IHSG berupa faktor fundamental yaitu inflasi, pendapatan nasional, jumlah uang yang beredar, suku bunga, maupun nilai tukar rupiah. Berbagai faktor fundamental tersebut dianggap dapat berpengaruh terhadap ekspektasi investor yang akhirnya berpengaruh pada pergerakan indeks Pasaribu, Tobing, Manurung, 2008. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi Nopirin, 2000. Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi. Inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan permintaan Excess Demand terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang dan jasa secara umum bukan satu macam barang saja dan sesaat. Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi. Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects Nopirin, 2000. Bagaimana bursa merespon terhadap shock dari bursa lain, apabila terjadi shock di Amerika Serikat maka bursa-bursa regional tidak akan terlalu meresponnya. Hanya di Singapura, Hong Kong, Jepang dan Taiwan dan New Zealand yang akan langsung merespon, dan respon pun tidak cukup besar. Sebaliknya jika shock di Singapura, Australia atau Hong Kong, secara cepat shock tersebut akan ditransmisikan ke hampir semua bursa saham di Asia Pasifik, termasuk BEI. Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk membuat penelitian tentang faktor yang mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan IHSG di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi, dan Suku Bunga SBI Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia Periode 2009-2014

3 67 113

Analisis Pengaruh The Fed Rate, Indeks Dow Jones Dan Nikkei 225 Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2013

9 83 85

Pengaruh Tingkat Bunga Sertifikat Bank Indonesia, Nilai Tukar Rupiah, Dan Tingkat Inflasi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia

1 37 92

Analisis Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah Dan Indeks Dow Jones Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

2 18 83

Analisis Pengaruh Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi dan Suku Bunga SBI terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2006-2009

2 39 90

PENGARUH INFLASI,SUKU BUNGA, DAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG)DI BURSA EFEK INDONESIA

2 27 51

Analisis pengaruh harga emas dunia, variabel makro ekonomi dan indeks dow Jones terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa efek Indonesia ( BEI)

0 7 135

Pengaruh indeks Dow Jones dan kurs mata uang Rupiah terhadap perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI0

0 15 1

Analisis Pengaruh Inflasi, Kurs Rupiah dan Tingkat SBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia (BEI).

0 0 1

ANALISIS PENGARUH TINGKAT INFLASI , TINGKAT SUKU BUNGA SBI DAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 8