Sungai Alas (Studi Deskriptif Tentang Pola Pemanfaatan Sungai Alas, di Kecamatan Ketambe-Kabupaten Aceh Tenggara)

(1)

SUNGAI ALAS

(Studi Deskriptif Tentang Pola Pemanfaatan Sungai Alas di

Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara)

S K R I P S I

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Dalam Bidang Antropologi Sosial

Oleh:

SIDRIANI HANDAYANI

060905010

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Sidriani Handayani NIM : 060905010

Departemen : Antropologi Sosial

Judul :SUNGAI ALAS (Studi Deskriptif Tentang Pola

Pemanfaatan Sungai Alas, di Kecamatan Ketambe-Kabupaten Aceh Tenggara).

Medan, November 2010

Pembimbing Skripsi A N.KetuaDepartemen:

Sekretaris

Dr. R. Hamdani Harahap , M.Si Drs. Irfan Simatupang,M.Si

NIP: 196402271989031003 NIP: 196411041991031002

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Badarrudin, MSi NIP: 196805251992031002


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan oleh: Nama : Sidriani Handayani NIM : 060905010

Departemen : Antropologi Sosial

Judul :SUNGAI ALAS (Studi Deskriptif Tentang Pola

Pemanfaatan Sungai Alas, di Kecamatan Ketambe-Kabupaten Aceh Tenggara).

Pada Ujian Komfrehensif yang dilaksanakan pada: Hari

Tanggal : November 2010

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU Tim penguji terdiri dari :

1. Ketua : Dr. Fikarwin Zuska, M.A ( )

2. Anggota I : Drs. Yance, M.Si ( )


(4)

Halaman Persembahan

Seperti Mentari yang tanpa pamrih, selalu tulus

bersinar di kala pagi

Seperti Kasih yang tida henti memberikan damai

bagi insan Illahi

Seperti Rindu yang selalu mengebu walau menyiksa

naruni hati

Seperti itupula lah terimakasihku pada mu Allahu

Rabbi, dan Kedua Orang Tua ku….Atas nikmat

hidup dan lantunan doa hingga ku mampu menuliskan

bait kata dalam Skripsi ini…

Ayah dan Ibu tercinta…

Tiap tetes peluh, tiap gores luka, tiap detik perjuangan

untuk gadis kecil mu ini menjadi saksi penh cinta

dihadapanNya atas hak mu akan surga….

Terimakasih Ayah dan Ibu….

Akhirnya….


(5)

(6)

ABSTRAK

Sidriani Handayani 2010, judul :SUNGAI ALAS (Studi Deskriptif Tentang Pola Pemanfaatan Sungai Alas di Kecamatan Ketambe-Kabupaten Aceh Tenggara). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 180 halaman, 11 tabel, 2 skema dan 34 gambar. 16 daftar pustaka ditambah 15 sumber lain dan 13 lampiran.

Persoalan utama yang dihadapi manusia dalam kehidupan ini adalah bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Faktor utama yang menentukan keberhasilan manusia dalam kehidupannya, pada umumnya sangat ditentukan oleh adaptabilitas atau kemampuan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya. Cara-cara bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan inilah yang disebut kebudayaan. Kebudayaan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kehidupan manusia. Tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Mintargo, 2000)

Penelitian ini mengkaji tentang : “SUNGAI ALAS (Studi Deskriptif

Tentang Pola Pemanfaatan Sungai Alas di Kecamatan Ketambe-Kabupaten Aceh Tenggara)”. Penelitian ini bertempat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten

Aceh Tenggara, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini membahas permasalahan tentang bagaimana kebijakan Pemerintah Daerah setempat dalam mengelola atau memanfaatkan Sungai Alas, serta bagaimana pola pemanfaatan Sungai Alas oleh masyrakat setempat ditinjau dari kearifan lokal terhadap Sungai Alas.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat mendeskripsikan. Teknik pegumpulan data dengan observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola fikir masyarakat dan pemerintah daerah sehingga dapat dilihat bagaimana cara kedua elemen masyarakat tersebut memanfaatkan dan mengelola Sungai Alas dari hal tersebut ingin dicapai pemanfaatan Sungai Alas yang berkelanjutan.

Hasil analisis dan pengolahan data menggunakan ‘folk taxonomy’ masyarakat Kecamatan Ketambe mempunyai persepsi tersendiri dalam memandang dan mendefinisikan Sungai Alas. Adanya aturan dari Pemerintah Daerah tentang Sungai Alas tidak bisa sepenuhnya berjalan sesuai aturan tersebut. Tidak begitu kuatnya aturan adat juga mengakibatkan pelestarian Sungai Alas seadanya saja. Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat menjadi hal utama dalam proses pelestarian Sungai Alas.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim…

Maha suci Allah, sang pencipta alam jagat raya ini, sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Penguasa kehidupan seluruh makhluk ciptaanNya, bermula dan kemudian juga kembali berpulang padaNya. Maha suci Allah sang Maha Pengatur roda kehidupan dunia dan akherat. Dialah satu-satunya pemilik hukum alam semesta ini. Alhamdulillahirabbil’alamin kepada-Mu Rabb Azza wa Jalla sebagai bentuk rasa syukur atas segala kenikmatan yang tidak pernah lepas dari jasad, ruh serta kehidupan dalam dunia ini, serta salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan alam Rasulullah Muhammad SAW.

Akhirnya Skripsi penulis yang berjudul: SUNGAI ALAS (Studi

Deskriptif Tentang Pola Pemanfaatan Sungai Alas di Kecamatan Ketambe-Kabupaten Aceh Tenggara) rampung terselesaikan berkat keikut sertaan dari

banyak unsur dalam kehidupan sosial penulis. Merupakan sebuah penghargaan bagi penulis yang kiranya teramat sangat besar hingga dapat menyelesaikan Skripsi ini, tak lain adalah berkat bantuan, dorongan dan masukkan dari orang-orang tersayang dalam hidup penulis.

Penghargaan ini penulis persembahkan untuk masyarakat Aceh Tenggara, khususnya mereka yang perduli dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan Sungai Alas. Spesial penghargaan untuk Keluraga dan teman-teman penulis yang tiada henti-hentinya memberikan semangat dan hangat di hati. Serta seluruh jajaran Civitas Akademika Universitas Sumatera Utara, khususnya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang kiranya telah banyak memberikan pelajaran bagi


(8)

penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama Departeman Antropologi Sosial tercinta.

Dalam penyelesaian skripsi ini dari awal hingga akhir, penulis melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin,

M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memimpin

dan pemberi kebijaksanaan bagi seluruh Civitas Akademika FISIP USU. Penyelesaian skripsi ini juga tidak bisa lepas dari peran yang telah diberikan oleh Bapak Drs. Irfan Simatupang, M.Si selaku pejabat sementara Ketua Departemen Antropologi. Dosen penasehat akademik, Ibu Dra. Rytha Tambunan, M.Si. yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama mengikuti perkuliahan. Begitu juga dengan dosen pembimbing, Bapak Dr. R. Hamdani

Harahap, M.Si. sebagai pembimbing penulisan skripsi ini yang selalu dengan

begitu sabarnya membimbing penulis hingga akhir skripsi ini. Peran serta beliau yang bijak memahami kondisi mahasiswa serta sikap beliau yang bersahabat dan penuh kewibawaan menghantarkan penulis pada semangat keberhasilan, terutama dalam karier yang insyaAllah kedepannya bisa lebih baik lagi, semoga Ridho, Rahmat dan Berkah Allah SWT selalu tercurah pada kita.

Terlepas daripada itu penulis juga ucapkan ribuan terima kasih kepada seluruh staf pengajar yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, terutama sekali yang berada di Dapartemen Antropologi Sosial yang telah mentransferkan ilmu yang begitu bermanfaat bagi penulis, semoga akan selalu menjadi ilmu yang bermanfaat. Dalam mengurus segala kelengkapan dan administrasi, penulis


(9)

ucapkan terima kasih kepada pegawai dibagian kemahasiswaan, bagian akademik dan juga kepada Kak Nur yang juga berperan aktif dalam membantu pengurusan surat menyurat. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ketua penguji yaitu Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M.A. Bapak Drs. Yance, M.Si. sebagai penguji I dan Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si. sebagai penguji II, yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam menghadiri ujian meja hijau penulis.

Tidak lupa pula ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya terhadap seluruh jajaran Pemerintah Daerah dan Masyarakat Kabupaten Aceh Tenggara pada umumnya dan masyarakat Kecamatan Ketambe pada khususnya: Sabitah dan Pakcik TU yang telah menemani dalam wawancara di lapangan. Bapak Sekretaris BAPPEDA: Sunawardi Desky, Bapak Camat Ketambe: Zulkairnaen, SE, yang banyak mendukung dalam rangka melaksanakan penelitian ini. Selain itu juga, terima kasih kepada masyarakat Kecamatan Ketambe, yang banyak memberikan informasi, pengetahuan dan menjelaskan tentang banyak hal yang di butuhkan dalam penelitian ini.

Penghargaan terima kasih paling istimewa dan rasa cinta yang sebesar-besarnya penulis persembahkan untuk kedua orangtua penulis yaitu Ayahanda

AKBP Burhanuddin Desky, SH dan Ibunda Nurmini Sidra, S.Pd yang telah

mendidik dan membesarkan penulis dengan limpahan doa dan curahan kasih sayang, selalu mengingatkan betapa pentingnya pendidikan dan belajar yang tinggi disertai akhlak, moral dan iman yang teguh. Kepada Kakanda yang tersayang Dhinnie Maretha Desky, S.Psi beserta suami, JE Melky Purba, SH dan Kepenakanku yang memberikan keceriaan sekaligus gangguan dalam


(10)

penulisan skripsi ini, Randy Deardo Romhero Purba, serta kakandaku yang kedua Hanni Alqili Laury Desky, ST yang selalu memberikan motivasi dan masukkan membantu penulis dalam suka dan duka. Adik-adikku, Sidriana

Handayana Desky, SE, Rommy Kurniawan Desky dan Ronny Rivandhi Desky untuk dukungannya selalu.

Untuk semua teman-temanku di Departemen Antropologi Soisal FISIP USU 2006: Alfian Azis, Alloynina AP Ginting,S.Sos, Atika Rizkiyana,S.Sos, Badai A Sikumbang, Benny R Pardosi,S.Sos, Carles D Gultom, Daniel Aroes D, Denny N Silaen, Desy Zulfiani, Elmanuala Pasaribu, Enny E Sitanggang, Erika M Nadeak, Fadly R Siambaton, Feber R Sihotang, Firman J Tambunan, Heksanta N Bangun, Helena T Damanik, Hemalea Ginting, Hendra Gunadi, Imanuel Kevin, Inggrid I Sihotang, Lasmiyanti,S.Sos, Lisnawati Tinendung,S.Sos, Look Sun W Pakpahan, Mardiana Harahap, Masridanur, Melda E Sitohang, M. Ziad Ananta, Natalia G Nainggolan, Noprianto A Tarigan, Oemar Abdillah, Rebecca H Suastika, Ricardo P Siahaan, Ricky Ermawan, Rully H Tumanggor, Sari A Ginting,S.Sos, Sri Nofika Putri, dan Wilfrid Syah Putra terimakasih telah menjadi teman seperjuangan bagiku, terimakasih atas hari-hari bersama kalian sahabat...

Juga terimakasih untuk kakak dan abang Antropologi di Stambuk 2003, 2004, 2005. Adik-adikku di Stambuk 2007, 2008, 2009 dan 2010 yang sempat ku kenal, terimakasih untuk kekerabatan kita. Terimakasih juga untuk Kakak, Abang, Adik dan teman-teman seperjuanganku di Perss Mahasiswa SUARA USU, terimakasih untuk pengalaman dan pembelajaran bersama kita. Semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan untuk semua orang yang


(11)

dikenal atau mengenal penulis, terima kasih. Sekalipun nama kalian tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, namun sesungguhnya Allah Maha Teliti lagi Maha Mengetahui yang telah mencurahkan cinta, doa, dan kasih sayang yang mulia kepada kita semua.

Dengan menyadari sepenuhnya keterbatasan yang ada pada diri penulis, skripsi ini masih banyak kekurangannya. Kendatipun demikian, penulis berharap agar isi yang ada dalam skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu Antropologi dan masyarakat Aceh Tenggara. Selain itu, penulis juga berharap agar penelitian ini ada yang dapat melanjutkannya lebih dalam lagi. Paling tidak, kerabat-kerabat mahasiswa di Departemen Antropologi dapat memanfaatkannya sebagai bahan bacaan untuk menulis skripsi dalam isu yang sama. Akhir kata, Kekurangan milik manusia. Kesempurnaan hanya dimilik Allah SWT. Terimah kasih atas segala dukungan, perhatian dan semoga bermanfaat.

Wassalam

Medan, November 2010

Sidriani Handayani 060905010


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ...ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ...iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ..vi

DAFTAR TABEL ... .vii

DAFTAR SKEMA ... viii

DAFTAR FOTO ... ix

BAB I: PENDAHULUAN ...1

I.1. Latar Belakang ...1

I.2. Rumusan Masalah ...8

I.3. Lokasi penelitian ...8

I.4. Tujuan Penelitian ...9

I.5. Manfaat Penelitian ...9

I.6. Tinjauan Pustaka ... 10

I.7. Metode Penelitian ... 17

I.7.1. Teknik Pengumpulan Data ... 17

a.) Data Primer ... 17

b.) Data Sekunder ... 20

I.7.2. Teknik Analisis Data ... 21

BAB II: GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 22

II.1. Sejarah Kabupaten Aceh Tenggara ... 22

II.1.1. Letak Geografis dan Lingkungan Alam ... 28

II.1.2. Pariwisata Aceh Tenggara ... 30

II.1.3. Pertanian Aceh Tenggara ... 35

II.2. Sejarah Singkat Kecamatan Ketambe... 36

II.3.1. Letak Geografis dan Keadaan Umum Kecamatan ... 37

II.4.Gambaran Masyarakat Kecamatan Ketambe ... 38

II.4.1. Komposisi Penduduk dan Jenis Kelamin ... 38

II.4.2. Agama dan Suku Bangsa ... 40

II.4.3. Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian ... 41

II.5. Sarana dan Prasarana... 46

II.5.1. Sarana Perhubungan (Transportasi dan Komunikasi) ... 46

II.5.2. Sarana Perdagangan dan Jasa ... 50

II.5.3. Pola Aktifitas Masy di Bidang Kesehatan dan Lingk ... 53


(13)

BAB III: PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP SUNGAI ALAS

SEBAGAI SUMBERDAYA ALAM MILIK BERSAMA ... 56

III.1.Persepsi Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara Mengenai Sungai Alas ... 56

III.2. Persepsi Masyarakat Kecamatan Ketambe Mengenai Sungai Alas ... 60

III.2.1 Air Biasa ... 62

III.2.2 Kehidupan Saling Berpengaruh (Kompleks) ... 64

III.2.3. Hiburan atau Wisata ... 65

III.3.Kondisi Perairan Sungai ... 70

III.3.1. Topografi ... 74

III.3.2. Hidrologi ... 75

III.3.3. Hidrometeorologi ... 76

III.3.4. Geomorfologi ... 77

III.3.5. Letak Geografis Sungai Alas, DAS dan Sistem Sungai Alas ... 78

III.3.6. Debit Banjir ... 80

BAB IV: PEMANFAATAN SUNGAI SEBAGAI SUMBER DAYA ALAM MILIK BERSAMA DAN KEARIFAN LOKAL SUNGAI ALAS ... 90

IV.1. Kegiatan Pemanfaatan dan Pemeliharaan ... 90

IV.2. Peran Pemerintah Dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Sungai Alas ... 96

IV.2.1. Badan Perencana Pembangunan Daerah ... 98

IV.2.2. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah ... 99

IV.2.3. Dinas Kebudayaan dan pariwisata ... 99

IV.2.4. Dinas Pengairan ... 101

IV.2.5. Dinas Bina Marga dan Cipta Karya ... 103

IV.2.6. Dinas Kehutanan dan Perkebunan ... 104

IV.3. Peran Masyarakat Ketambe Dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Sungai Alas ... 108

IV.3.1. Partisipasi... 109

IV.3.2. Pentingnya Partisipasi ... 111

IV.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi ... 113

IV.4. Muatan Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan Sungai Alas ... 116

IV.4.1. Aturan-aturan Tentang Pemanfaatan Sungai Alas ... 117

IV.4.1.1. Aturan pemerintah dan Sanksi ... 117

IV.4.1.2. Aturan Adat dan Sanksi ... 118

IV.4.2. Jenis-jenis Kearifan Lokal ... 120

IV.4.3.Kearifan Lokal yang Masih Bertahan dan yang Sudah Hilang ... 126

BAB V: KESIMPULAN dan SARAN ... 127 DAFTAR PUSTAKA ...

Lampiran:

Dokumentasi Peta Aceh Tenggara


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Tabel Halaman

1.) Tabel I.1. Metode Penelitian ... 2.) Tabel II.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara Menurut

Kecamatan tahun 2006-2008 ... 3.) Tabel II.2. Nama Ibukota Kecamatan Serta Jarak Ibukota Kabupaten, Luas

Pembagian Daerah Administrasi dan Jumlah Kemukiman Desa, berikut Kelurahan Tahun 2008 ... 4.) Tabel II.3. Komposisi Penduduk dan Jenis Kelamin Menurut Sex Ratio

Dirinci Perdesa Dalam Kec.Ketambe tahun 2008... 5.) Tabel II.4. Jumlah Pemeluk Agama Dirinci Menurut Agama Dalam

Kec.Ketambe Tahun 2008 ... 6.) Tabel II.5. Status Sekolah TK, SD, MIN/MIS, SLTP, MTs/MTsS, SMA,

MAN/MAS dan SMK/SMKS dalam Kec. Ketambe Tahun 2008 ... 7.) Tabel II.6. Jumlah Keluarga Pertanian dan Keluarga Buruh Tani Dirinci

Perdesa Dalam Kec. Ketambe Tahun 2008 ... 8.) Tabel II.7. Kantor POS dan Sarana Komunikasi Menurut Jenis

Dimasing-masing Desa dalam Kecamatan Ketambe Tahun 2008 ... 9.) Tabel II.8. Sarana Perekonomian di masing-masing Desa dalam Kec.

Ketambe Tahun 2008 ... 10.)

DAFTAR SKEMA

Skema Pembagian Persepsi Terhadap Sungai Alas Menurut Masy Ketambe Skema Pemanfaatan Sungai Secara Nasional

Skema Pemanfaatan Sungai di Kecamatan Ketambe

DAFTAR FOTO

Foto 1. Bandar Udara Alas Leuser

Foto 2. Ruas Jalan Ketambe Dengan Pepohonan

Foto 3. Ruas Jalan Ketambe Dengan Perumahan Penduduk Foto 4. Ruas Jalan Ketambe Dengan Lokasi Longsor Foto 5. Hari Pekan (Pasar Tradisional)

Foto 6. Aktivitas Mandi, Cuci dan BAB Foto 7. Anak Mandi Sungai

Foto 8. Pedagang Ikan Pepes Foto 9. Pedagang Makanan Ringan Foto 10. Mandi Meugang

Foto 11. Makan Di Pinggir Sungai


(15)

ABSTRAK

Sidriani Handayani 2010, judul :SUNGAI ALAS (Studi Deskriptif Tentang Pola Pemanfaatan Sungai Alas di Kecamatan Ketambe-Kabupaten Aceh Tenggara). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 180 halaman, 11 tabel, 2 skema dan 34 gambar. 16 daftar pustaka ditambah 15 sumber lain dan 13 lampiran.

Persoalan utama yang dihadapi manusia dalam kehidupan ini adalah bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Faktor utama yang menentukan keberhasilan manusia dalam kehidupannya, pada umumnya sangat ditentukan oleh adaptabilitas atau kemampuan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya. Cara-cara bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan inilah yang disebut kebudayaan. Kebudayaan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kehidupan manusia. Tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Mintargo, 2000)

Penelitian ini mengkaji tentang : “SUNGAI ALAS (Studi Deskriptif

Tentang Pola Pemanfaatan Sungai Alas di Kecamatan Ketambe-Kabupaten Aceh Tenggara)”. Penelitian ini bertempat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten

Aceh Tenggara, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini membahas permasalahan tentang bagaimana kebijakan Pemerintah Daerah setempat dalam mengelola atau memanfaatkan Sungai Alas, serta bagaimana pola pemanfaatan Sungai Alas oleh masyrakat setempat ditinjau dari kearifan lokal terhadap Sungai Alas.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat mendeskripsikan. Teknik pegumpulan data dengan observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola fikir masyarakat dan pemerintah daerah sehingga dapat dilihat bagaimana cara kedua elemen masyarakat tersebut memanfaatkan dan mengelola Sungai Alas dari hal tersebut ingin dicapai pemanfaatan Sungai Alas yang berkelanjutan.

Hasil analisis dan pengolahan data menggunakan ‘folk taxonomy’ masyarakat Kecamatan Ketambe mempunyai persepsi tersendiri dalam memandang dan mendefinisikan Sungai Alas. Adanya aturan dari Pemerintah Daerah tentang Sungai Alas tidak bisa sepenuhnya berjalan sesuai aturan tersebut. Tidak begitu kuatnya aturan adat juga mengakibatkan pelestarian Sungai Alas seadanya saja. Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat menjadi hal utama dalam proses pelestarian Sungai Alas.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Sungai adalah jalan atau ke sungai yang lain. Sungai terdiri dari beberapa bagian, bermula dari membentuk sungai utama. Aliran air ini biasanya berbatasan dengan saluran yang dasar dan tebingnya berada di sebelah kiri dan kanannya. Penghujung sungai di mana sungai bertemu laut dikenali sebagai muara sungai.

Sungai merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi1. Air dalam sungai umumnya terkumpul dari presipitasi2, seperti hujan, embun, mata air, limpasan bawah tanah dan di beberapa negara tertentu air sungai juga berasal dari lelehan es/salju. Selain air, sungai juga mengalirkan sedimen3 dan polutan4

1

Hidrologi (berasal dar

. Manfaat

yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas

2

Dalam merupakan fenomena atmosferik) adalah setiap produk dari terjadi ketika atmosfer (yang merupakan suatu kemudian terkondensasi dan keluar dari larutan tersebut (terpresipitasi)

3

Batuan endapan atau batuan sedimen adalah salah satu dari tiga kelompok utam (bersama denga pengendapan (precipitation) dari

4

Polutan atau baha secara langsung maupun tidak langsung, seperti


(17)

terbesar sebuah sungai adalah unt

pertanian, bahan baku air minum, sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah, bahkan sebenarnya potensial untuk dijadikan objek wisata sungai. Di

Kalau Afrika boleh berbangga dengan Sungai Nil yang terpanjang di dunia, hingga tak kurang membelah sembilan negara, yaitu Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania, Rwanda, Burundi, Sudan dan tentu saja Mesir dengan panjang aliran sungai 6.650 km atau 4.13 dengan sungai terpanjangnya, Sungai Kapuas di Kalimantan Barat dengan panjang total 1.143 km serta menjadi rumah dari lebih 300 jenis ikan (www.wikipedia.com/sungai). Maka Pulau Sumatera, lebih tepatnya masyarakat Aceh Tenggara akan berbangga dengan Sungai Alasnya.

Sungai Alas mengalir jauh sepanjang 350 kilometer, memulainya dari aliran

kecil air jernih di dalam rimbun hutan Gunung Bipak, sekitar Keudah, kawasan Simpang Jernih kabupaten Gayo Lues, membelah Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) dan melintasi ratusan desa di Kawasan Ekosistem Lauser/KEL. (Buletin Lauser, Vol.6 2008 No.15, Juli 2008/Di Alas Mereka Gantungkan Hidup)

. Yuliana Rini DY dari Litbang Kompas, memaparkan bahwa, Paru-paru dunia ada di Kabupaten Aceh Tenggara. Pernyataan ini tidak berlebihan, karena Aceh Tenggara menjadi salah satu pemilik kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan seluas 1.094.692 hektar ini masuk dalam wilayah beberapa kabupaten, yaitu Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Tengah,

5


(18)

Gayo Lues, dan Langkat (Provinsi Sumatera Utara). Alirannya berakhir di muara kota Singkil dengan air telah berubah menjadi coklat berlumpur.

Daerah aliran sungai (DAS) Alas merupakan salah satu DAS terbesar di Nangroe Aceh Darussalam. Sungai ini melintasi 4 kabupaten, yakni Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subussalam dan Singkil. DAS Alas merupakan kesatuan 18 Sub DAS. Ratusan sungai kecil dan besar alirannya bermuara ke Alas. Di Gayo Lues dan Aceh Tenggara sungai utamanya disebut Lawe Alas, di Subusallam Lae Soraya dan di Singkil di sebut Sungai Singkil. Beberapa sungai masuk dalam DAS Alas. Di Gayo Lues ada Weh Agusan, Weh Blang Bebeke, Alur Barawing Suluh, dll. Di Aceh Tenggara ada Lawe Gurah, Lawe Ketambe, Lawe Kompas, dan Lawe Serakut, dll. Di Subusallam ada Lawe Bengkung dan Lawe Singgersing.

Ribuan orang di desa-desa yang dilalui Sungai Alas mengantungkan kehidupan mereka dari jasa-jasa ekologi6

6

Ekologi adalah

dan ekonomi dari sungai tersebut. Pertanian di wilayah ini bergantung pada sumber air dari Alas. Sungai ini memberikan berkah tak ternilai bagi para petani, nelayan (peternak ikan), penyedia jasa transportasi air, hingga pemandu wisata arung jeram. Penggemar olahraga arung jeram pun dapat menjajal keganasan Sungai Alas yang sudah sangat termasyur sebagai lokasi pembuktian nyali untuk berarung jeram. Sambil mengarungi Sungai Alas ini, penggemar arung jeram akan disuguhi kesegaran air Sungai Alas, panorama keindahan alam hutan tropis Aceh, dan perkampungan

yang lainnya.


(19)

rakyat tradisional. Kawasan Sungai Alas antara Muara Situlen - Batu Injin merupakan objek ekowisata terkenal karena merupakan favorit turis asing untuk kegiatan arung jeram. Biasanya arung jeram dilakukan hingga ke Desa Gelombang Subulussalam. Namun rusaknya hutan TNGL di sepanjang sungai, menyebabkan pemandu wisata setempat tak berani lagi menawarkan keindahan TNGL kepada turis. Dari tahun 1994 – 2003 beberapa penduduk setempat, bekerja sebagai pemandu wisata. Setiap bulan mereka membawa 40 orang turis asing untuk arung jeram di Sungai Alas dan tracking ke dalam TNGL untuk melihat satwa. Namun setelah itu turis asing sama sekali tak pernah datang lagi ke sana. Kini hanya orang lokal yang datang berkunjung. Kawasan sepanjang Sungai Alas merupakan objek wisata yang menakjubkan yang bisa mereka promosikan hingga ke manca negara. Namun rusaknya hutan TNGL, akibat perambahan hutan yang menyebabkan erosi sungai, banjir bahkan longsor membuat mereka khawatir tak dapat lagi menawarkan keindahan Leuser pada para turis. (www.agaramedia.com)

Di waktu tertentu Sungai Alas begitu tak bersahabat, kerusakan hutan yang terjadi di areal DAS Alas setiap tahunnya menyebabkan bencana banjir dan longsor yang merugikan masyarakat. Pada tahun 2005 Sejumlah warga di Desa Lawe Mengkudu, Kecamatan Badar, Aceh Tenggara terpaksa merubuhkan rumah mereka karena Sungai Alas kian lebar. Banjir bandang mengakibatkan sungai melebar lebih dari 5 meter. Tepian sungai melebar antara 1 hingga 8 meter pada beberapa titik. Tepi kiri dan kanan sungai tergerus. Karena pondasi rumah sudah hilang saat diterjang banjir bandang yang turut membawa batu dan kayu gelondongan, mustahil bagi warga untuk bersikukuh tinggal di daerah tersebut.


(20)

Bahkan sebagian rumah yang terkena banjir sudah hanyut. Banjir mengikis tepi sungai sehingga semakin lebar. Desa Lawe Mengkudu cukup parah terkena banjir. Rumah warga paling banyak hilang, rusak berat, atau tertimbun tanah, batu, dan kayu. Pada tahun 2008 Perambahan di sepanjang Sungai Alas ini sangat merisaukan dan yang mengkhawatirkan adalah rusaknya hutan di pinggiran sungai menyebabkan bencana banjir besar semakin mengancam hilir Sungai Alas yang ada di Subulussalam dan Singkil. Saat ini saja di kedua wilayah itu setiap tahun terjadi musibah banjir yang menelan korban jiwa dan harta. Erosi sungai Alas mengakibatkan delapan desa sekitar sungai itu hilang dan 5.000 hektare lahan rusak. Sungai Alas sering disebut “Sungai Jantan” artinya, apabila meluap akan merusak lahan, rumah, dan saranan umum lainnya. Untuk mencegah terjadinya bencana alam yang lebih besar perlu dibuat dinding pengaman atau bronjong yang dapat mengurangi erosi, apabila sungai itu meluap.

Pemerintah kabupaten Aceh Tenggara membutuhkan dana sedikitnya Rp. 240 Miliar untuk melakukan normalisasi Sungai Alas dalam upaya mencegah terjadinya erosi dan banjir apabila meluap. Normalisasi sungai alas sudah sangat mendesak, saat ini Pemkab Agara sudah membentuk Unit Pengelolaan Teknis Dearah (UPTD) untuk melakukan normalisasi di bawah dinas pengairan

otonomi khusus yang besarnya Rp20 miliar per tahun. Kalau mengandalkan dana Otsus, maka 12 tahun baru selesai. Diharapkan, Pemerintah Aceh bisa menganggarkan dana minimal Rp80 miliar per tahun. Apabila proyek tersebut


(21)

bisa terealisasi, maka tidak hanya mencegah banjir, tapi juga bisa dimanfaatkan

untuk irigasi, karena daerah tersebut merupakan wilayah pertanian, khususnya untuk sawah. Apalagi mengingat Visi dan Misi Bupati Aceh Tenggara, dimana Visi Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara adalah: “Terwujudnya masyarakat

Kabupaten Aceh Tenggara yang sejahtera, berbudaya, berwawasan agroekonomi7

• Terbentuk suatu masyarakat yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, berkompetensi, dan berdisiplin;

berasaskan iman dan takwa” Pernyataan visi di atas disertai

dengan harapan bahwa pada akhirnya

• Terbentuknya suatu etos kerja yang baik pada diri aparatur Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat;

• Terbentuknya masyarakat yang memahami dan mendukung upaya pelestarian lingkungan hidup (green-society); dan

• Tumbuhnya perasaan ikut memiliki dan kebanggaan sebagai bagian dari masyarakat Aceh Tenggara.

Sedangkan Misi Kabupaten AGARA adalah

• Pengembangan perekonomian masyarakat berdasarkan konsep ekonomi kerakyatan.

• Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) Aceh Tenggara.

7


(22)

• Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan sinergis antar pelaku pembangunan.

• Penguatan unsur-unsur Syariat Islam.

• Penegakkan supremasi hukum.

• Pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) serta pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) untuk kesejahteraan rakyat Aceh Tenggara.

Belakangan ini sungai ini sering meluap dan banjir, akibat aktivitas perambahan hutan dan illegal logging di sungai ini. Walaupun demikian Sungai Alas tetap menjadi denyut nadi bagi kehidupan masyarakat di sepanjang aliran sungai ini, dapat menjadi tujuan wisata alam untuk penikmat arung jeram, dan selain itu juga merupakan sumber mata pencaharian untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi Nelayan (peternak atau penangkap ikan) dengan menjala, serta menggunakan keramba dengan memanfaatkan aliran Sungai Alas yang dialiri pada sebuah kolam ikan. Pertanian juga diwilayah ini bergantung pada sumber air Sungai Alas.

1.2Rumusan Masalah

Dari uraian yang dipaparkan dalam Latar Belakang diatas maka permasalahan yang ingin saya angkat dalam penelitian ini adalah:


(23)

1) Bagaimana kebijakan pemerintah setempat dalam mengelola atau memanfaatkan Sungai Alas.

2) Bagaimana pola pemanfaatan Sungai Alas oleh masyarakat setempat ditinjau dari kearifan lokal terhadap Sungai Alas.

1.3Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian akan diambil di kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, dimana lokasi ini merupakan lokasi yang sangat strategis untuk melihat kehidupan sosial budaya masyarakat pinggiran Sungai Alas dan apa-apa saja yang terjadi serta memberikan dampak dan pengaruh terhadap masyarakat sekitar. Pada lokasi ini juga di ketahui banyak dari masyrakatnya yang mengantungkan hidup dari adanya aliran Sungai Alas, baik itu sebagai pemandu wisata arung jeram, nelayan penangkap ikan dan lain sebagainya sehingga lokasi ini menurut saya layak untuk mewakili aliran Sungai Alas yang panjang tersebut.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian saya ini adalah untuk tercapainya pemanfaatan Sungai Alas yang berkelanjutan dengan menganalisis kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat pinggiran Sungai Alas dalam memanfaatkan dan menjaga Sungai Alas, dan bagaimana kebijakan Pemerintah serta pemanfaatan yang telah dilakukan. Sehingga saya bisa menuliskannya dalam


(24)

bentuk penelitian ilmiah yang melihat bagaimana kondisi Sungai Alas di Kabupaten Aceh Tenggara.

Melihat lebih dalam lagi lingkungan yang terdapat di pinggiran Sungai Alas, bagaimana masyarakat memperlakukan lingkungannya, bagaimana turun serta Pemerintah dalam mengelola dan menjaga ekosistem Sungai Alas serta bagaimana peran Masyarakat dan Pemerintah terhadap keberlangsungan Sungai Alas.

1.5Manfaat Penelitian

Tentunya penelitian ini diharapkan sangat bermanfaat bagi Masyarakat sekitar dan Pemerintah daerah setempat untuk menjadi masukan dan acuan dalam menjaga keseimbangan dan kestabilan berkehidupan dan berdampingan dengan alam, Sungai Alas tentunnya, dalam hal membuat berbagai macam kebijakan dan kearifan lokal untuk pemeliharaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Penelitian ini juga saya harapkan dapat digunakan untuk memahami bagaimana cara yang tepat untuk menjaga lingkungan (Sungai Alas) dari sisi Antropologis tentunya, sehingga bisa menjadi rujukan ataupun solusi untuk memperhatikan lingkungan. Karena lingkungan dan masyarakatnya tidak bisa dipisahkan, dari lingkungan dan masyarakatlah lahir kebudayaan, ada sisi timbal balik yang saling tarik-menarik. Dimana lingkungan dapat memenuhi kehidupan manusia, manusia juga harus menjaga lingkungan agar kenyamaan dapat dirasakan dalam menjalankan kehidupan Berbudaya.


(25)

1.6Tinjauan Pustaka

Persoalan utama yang dihadapi manusia dalam kehidupan ini adalah bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Faktor utama yang menentukan keberhasilan manusia dalam kehidupannya, pada umumnya sangat ditentukan oleh adaptabilitas atau kemampuan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya. Sumber Daya Alam yang berlimpah dan sangat potensial dibeberapa daerah, bila tidak dikelola dengan baik oleh manusia bisa berubah menjadi bencana alam, seperti banjir, longsor, dan lain sebagainya. Pada umumnya merupakan manifestasi dari ketidak mampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mengelilingi mereka. Penyesuaian diri terhadap situasi yang dihadapi manusia, karena ini merupakan hal yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Cara-cara bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan inilah yang disebut kebudayaan. Kebudayaan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kehidupan manusia. Tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Mintargo, 2000)

Hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan,karena sangat sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri beberapa refleks, proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta, karena kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia


(26)

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 2002:180). Kebudayaan yang juga disebut sistem sosial, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari.

Sungai Alas yang menjadi salah satu rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat membutuhkan pengelolaan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) demi berlangsungnya kehidupan masyarakat kabupaten Aceh Tenggara. Pentingnya pembangunan berkelanjutan di Indonesia dituangkan dalam pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahun 2002. Sustainable Development lebih difokuskan pada tujuan jangka panjang, dimana “Pembangunan adalah terpenuhinya kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang” (Western Cape Education Department/WCED, 1987 ) sedangkan dalam defenisi yang lain “Pembangunan adalah meningkatkan kualitas hidup manusia dengan memelihara kapasitas untuk mendukung ekosistem” (United Nations

Environmental Program, Geneva 1991, dalam Manajemen Aset. Siregar. Doli D

2004: 55)

Pembangunan berkelanjutan harus mencakup tidak hanya sekedar pemeliharaan sumber daya alam, tetapi juga menyediakan kebutuhan umat manusia dengan semakin bertambahnya jumlah manusia di dunia. Simbiosis dari


(27)

ekonomi, sosial dan sistem lingkungan harus ditekankan. Ekonomi yang berkelanjutan dalam hubungannya dengan kehidupan sosial sangat tergantung dari lingkungan negara tersebut dan sebaliknya. Kunci dari pembangunan yang berkelanjutan adalah adanya saling support antara kegiatan ekonomi yang menimbulkan limbah dan pembangunan untuk meningkatkan kualitas ekologi sehingga menimbulkan keseimbangan lingkungan.

Jadi pembangunan berkelanjutan menaruh perhatian pada pertumbuhan ekonomi dalam kerangka menaikkan standar kualitas hidup dengan tetap melindungi dan bila dimungkinkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Hal tersebut perlu disadari, bukan hanya demi menjaga kelestarian lingkungan hidup, tetapi cepat atau lambat dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang akan membawa dampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi, dan kualitas hidup manusia. Pertumbuhan ekonomi dan keuntungan dari terpeliharanya lingkungan hidup harus dipastikan dapat dinikmati oleh siapa saja dan tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang memanfaatkan Sungai Alas.

Kebijakan sentralisasi8 pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini telah menimbulkan kemubaziran (ineficiency) dan sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme, KKN (Anwar, 1999 dalam Keanekaragaman Hayati Laut, Dahuri.Rokhmin 2003:274). Ini terjadi karena pembangunan yang sentralistis9

8

penyatuan segala sesuatu ke suatu tempat (daerah dsb) yg dianggap sbg pusat; penyentralan; pemusatan: saat ini sedang diusahakan -- tanaman tebu di sekitar pabrik gula;

, dalam pelaksanaannya hanya melakukan pendekatan dari atas atau pusat (Top

9


(28)

Down Approach), sehingga banyak program yang dilaksanakan tidak sesuai

dengan kebutuhan daerah.

Kecendrungan pemerintah untuk menghomogenkan program pembangunan di seluruh wilayah Indonesia telah merusak tatanan dan nilai-nilai adat (Social

Capital) lokal, serta menyebabkan kreativitas dan inisiatif baik dari pemerintah

maupun masyarakat daerah menjadi lumpuh dan tumpul, bahkan sangat bergantung pada pemerintah pusat. Dalam proses realisasi program pembangunan ini, tidak jarang terjadi praktek KKN, sehingga negara dirugikan. Fenomena tersebut membuktikan bahwa telah terjadi kegagalan kebijakan pemerintah akibat kebijakan dan strategi pembanguann bersifat sentralistis.

Menyadari hal itu, pemerintah mulai melakukan pergeseran paradigma pembangunan ke arah desentralisasi10

10

1 sistem pemerintahan yg lebih banyak memberikan kekuasaan kpd pemerintah daerah; 2

penyerahan sebagian wewenang pimpinan kpd bawahan (atau pusat kpd cabang dsb);

, yaitu melalui pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada setiap daerah yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Dengan demikian daerah akan lebih diberdayakan, dan konsep pembangunan yang akan dilaksanakan dirumuskan melalui pendekatan dari bawah (bottom-up approach), dengan memanfaatkan sistem norma dan adat istiadat setempat. Dengan semakin meningkatnya kemampuan pemerintah dan masyarakat daerah dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan, diharapkan pelayanan publik, termasuk juga kedalamnya manfaat sumber daya alam (Sungai Alas) semakin membaik, lebih jauh rasa tanggung jawab bersama terhadap kelestarian (sustainability). Dengan demikian, setiap


(29)

daerah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia akan menjadi makmur dan berkeadilan secara berkelanjutan.

Manusia seutuhnya adalah produk lingkungan (Friedrich Ratzel dan Ellen C Semple dalam Fedyani 2006:12-15), satu teori yang kemudian disebut

determinisme lingkungan. Teori ini menegaskan bahwa seluruh aspek kebudayaan

dan prilaku manusia disebabkan secara langsung oleh pengaruh-pengaruh lingkungan.

Dua gagasan yang esensial bagi pandangan ekologis melekat dalam konsep kausalitas resiprositas: gagasan bahwa lingkungan maupun kebudayaan tidaklah terjadi begitu begitu saja, melainkan masing-masing didefenisikan menurut yang lain, dan gagasan bahwa lingkungan memainkan peranan aktif, tidak hanya semata-mata memainkan peranan yang terbatas, atau selektif, dalam kehidupan manusia. Pada saat yang sama harus pula kita ingatbahwa pengaruh relative dari lingkungan dan kebudayaan dalam suatu hubungan umpan balik tidak setara (Dalam Antropologi Kontemporer, Saifuddin. Achmad Fedyani 2006, Kaplan dan Manners, 1972:79). Menurut pandangan ini, kadang-kadang kebudayaan memainkan peranan lebih aktif dan kadang-kadang lingkunganlah yang lebih menentukan.

Sektor-sektor tertentu kebudayaan cendrung tunduk pada hubungan dengan lingkungan yang kuat dan bahwasanya analisis ekologi dapat digunakan untuk menjelaskan kesamaan-kesamaan lintas budaya hanya dalam “inti kebudayaan” ini. “Inti kebudayaan terdiri dari sektor ekonomi masyarakat, ciri-ciri itulah yang


(30)

paling dekat dengan kegiatan-kegiatan subsistensi dan tatanan ekonomi” (Ibid, Steward,1955:37). Selanjutnya “metode” ekologi kebudayaan meliputi analisis:

1. Hubungan antara lingkungan dan teknologi eksploratif atau prodiktif.

2. Hubungan antara pola-pola “prilaku” dan teknologi eksploratif. 3. Seberapa jauh pola-pola prilaku itu memengaruhi sector-sektor lain

dari kebudayaan (Steward, 1955: 40-41)

Ekologi kebudayaan mempertahankan pandangan posibilisme untuk unsur-unsur kebudayaan spesifik. Tujuan Steward adalah “untuk menjelaskan asal usul cirri kebudayaan tertentu dan pola-pola kebudayaan yang membesarkan cirri khas daerah-daerah yang berbeda-beda” (1955:36). Metodenya menuntut agar kajian-kajian yang rinci mengenai kelompok lokal di lingkungan bisa dilaksanakan sebagai prasyarat untuk membangun generalisasi (Vayda dan Rappaport, 1968:489 Dalam Antropologi Kontemporer, Saifuddin. Achmad Fedyani 2006).

Andrew Vayda dan Roy Rappaport (1968:483-87) Dalam Antropologi Kontemporer, Saifuddin. Achmad Fedyani 2006), mengakui pentingnya kontribusi Steward, melontarkan kritik terhadap pendekatan pendekatan tersebut sebagai tidak memadai. Steward mengemukakan tujuan utamanya adalah penjelasan tentang asal usul cirri-ciri kebudayaan tertentu. Akan tetapi, pendekatannya adalah: pertama, untuk menunjukkan bagaimana suatu cirri kebudayaan dan cirri lingkungan saling berkaitan secara fungsional, dan kedua untuk menunjukkan bahwa hubungan yang sama dapat berulang di daerah-daerah


(31)

yang secara historis berlainan. Vayda dan Rappaport berpendapat bahwa pendekatan ini tidak perlu berarti bahwa lingkungan menyebabkan terjadinya suatu kebudayaan karena alasan-alasan berikut:

1. Prosedur sample tidak mencukupi untuk menghilangkan kemungkinan korelasi-korelasi lain.

2. Meskipun korelasi itu secara statistic bermakna, korelasi-korelasi tidak harus berarti hubungan sebab-akibat.

3. Meskipun korelasi-korelasi yang signifikan dan kausalitas di tunjukan, tidaklah perlu berarti hubungan tersebut niscaya ada, sebagaimana yang diyakini Steward.

Kelemahan pendekatan ekologi kebudayaan Steward yang lain adalah perlakuannya bahwa inti kebudayaan seolah-olah hanya mencakup teknologi. Berbagai kajian menunjukkan bahwa ritual dan ideologi juga berinteraksi dengan lingkungan.

1.7Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, nantinya saya akan menggambil tipe penelitian deskriptif dengan metode data kualitatif, dimana untuk menunjang kebutuhan yang akan dicapai, semisal melihat hal nyata yang terjadi dipinggiran sungai Alas, daerah Ketambe, Kutacane-Aceh Tenggara. Metode data kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan


(32)

sedalam-dalamnya secara terperinci dan mendetail yang didasarkan dari pengamatan dan wawancara.

Untuk memperoleh kedua sumber data tersebut, saya sangat memperhatikan aspek manusia, yang sangat menunjang untuk memperoleh informasi dengan berusaha mengembangkan hubungan yang baik dengan para informan.

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data

1.Data Primer

Data primer meupakan data yang diperoleh dari observasi (pengamatan) dan wawancara. Dimana observasi melihat secara langsung kehidupan sehari-hari dari objek penelitian (Masyarakat yang menjadi objek penelitian adalah masyarakat yang tinggal di daerah Ketambe). Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan berperan serta (Observasi Partisipasi), dimana pengamatan berperan serta maksud saya adalah saya sebagai peneliti berperan serta untuk masuk dalam lingkungan masyarakat, melihat dan memahami masalah atau kegiatan yang ada di daerah tersebut. Berperan serta dalam hal ini bukan berarti saya ikut serta terhadap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan berkelanjutan Sungai Alas. Misal pembangunan beronjong, tentunya saya tidak ikut serta dalam kegiatan pengelolaan berkelanjutan, tapi tidak menutup kemungkinan saya ikut berada di lokasi untuk mengamati, serta memperoleh data dan informasi. Selain itu juga saya melakuakan kunjungan kepada rumah-rumah penduduk atau sekedar bercerita di jalan untuk mendukung dan mendapatkan data dari pengamatan.


(33)

Informan tersebut tidak mutlak, bisa saja berubah. Bergantung pada kebutuhan penelitian dan seberapa besar masukan yang dapat bermanfaat untuk penelitian ilmiah, skripsi saya ini.

Disini saya belum menetukan siapa informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa, karena informan yang dianggap representatif atau informan yang berkompeten nantinya akan didapat sewaktu saya turun ke lapangan. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawaban dari berbagai versi tidak bisa disebutkan oleh informan kunci atau biasa. Bisa jadi informan kunci berubah posisi menjadi informan biasa, contoh: ketika saya menayakan kepada Bupati yang dianggap sebagai informan kunci, ternyata yang lebih tahu dan berkompeten untuk menjawab serta benar-benar paham keadaan lingkungan sekitar adalah Masyarakat.

Pada dasarnya mengobservasi adalah mengamati suatu gejala yang berada dalam kehidupan sosial disebuah lokasi penelitian yang sudah ditentukan, dengan kata lain saya akan mengamati kegiatan yang ada di pinggiran Sungai Alas, serta mencoba memahami yang saya amati tersebut dengan menggunakan kacamata orang-orang yang saya teliti (emic view). Setelah itu hasil dari pengamatan akan saya tuangkan kedalam catatan pengamatan lapangan dan saya juga mempergunakan alat bantu yang dapat mempermudah penelitian diantaranya alat perekam berupa tape recorder, dan kamera untuk foto.

Dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data saya menggunakan beberapa teknik wawancara untuk mendapatkan informasi dan data dari informan.


(34)

Diantaranya adalah wawancara mendalam (Depth Interview) dan wawancara sambil lalu. Wawancara mendalam yang ditujukan pada informan kunci dan menggunakan Interview Guide, sedangkan wawancara sambil lalu tanpa pedoman wawancara.

Wawancara mendalam diarahkan pada informan kunci yang dianggap berkapasitas untuk memberikan informasi mengenai penelitian ini, diantaranya adalah pihak-pihak yang berkompeten untuk menjawab. Sedangkan yang menjadi informan biasa (bisa saja berubah menjadi informan kunci) adalah masyarakat yang berada di daerah aliran Sungai Alas, daerah Ketambe.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki ketekaitan fungsi dan kegunaan dengan salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini adalah:

Studi kepustakaan, sebagai teknik pengumpulan data selanjutnya untuk mendukung pencarian data dan informasi lebih banyak dari berbagai buku.


(35)

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yang menganalisis pola pemanfaatan Sungai Alas. Analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data hasil observasi dan wawancara. Setelah semua data terkumpul selanjutnya akan diproses untuk menemukan titik kesimpulan yang dapat menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sistematis


(36)

Lebih jelas Metode penelitian dapat dilihat pada Tabel I.1 berikut ini:

No Rumusan Masalah Jenis data Sumber Data Metode Pengumpulan Data

Metode Analisis Data 1 Bagaimana pola

pemanfaatan Sungai Alas oleh masyarakat setempat ditinjau dari kearifan lokal terhadap Sungai Alas

Data Primier Masyarakat Observasi dan wawancara pada masyarakat.

Deskriptif

2 Bagaimana kebijakan pemerintah setempat dalam mengelola atau memanfaatkan Sungai Alas.

Data Primier dan Data Sekunder

Pemerintah Daerah Wawancara dan pengumpulan surat keputusan Pemda setempat.


(37)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

II. 1 Sejarah Kabupaten Aceh Tenggara

Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah sat Provinsi Nanggroe disingkat dengan nama AGARA dahulunya adalah bagian dari kabupaten Aceh Tengah, yang dimekarkan menjadi sebuah Kabupaten. Pembentukan Kabupaten ini ditetapkan dengan Undang-Undang No.4/1974 tentang pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara.

Sejarah perjuangan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh membebaskan diri dari penjajahan tidak bisa dilepaskan dari perang yang terjadi di Lembah Alas dan dataran tinggi Gayo Lues, dua wilayah tersebut yang menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Aceh Tenggara. Adanya beberapa kali perang besar yang terjadi di Tanah Alas dan Gayo Lues, (seperti perang Likat dan perang Kuta Rih), membuat susunan pemerintahan di seluruh Aceh mulai dibenahi pada awal tahun 1946 dengan mengelompokkan daerah-daerah yang berada “di tengah” Aceh, seperti: Takengon, Gayo Lues, dan Tanah Alas ke dalam satu keluhakan yang disebut Keluhakan Aceh Tengah. Ibukota keluhakan direncanakan digilir setiap enam bulan antara Takengon, Blangkejeren, dan Kutacane.

Jarak yang sangat jauh dan waktu tempuh yang sangat lama antara Kutacane ke Takengon (sekitar 250 km ditempuh dalam waktu 5-8 hari dengan jalan kaki) atau kalau menggunakan kenderaan harus melalui Medan, Aceh


(38)

Timur, dan Aceh Utara dengan menempuh jarak sekitar 850 km, mengakibatkan pelaksanaan pemerintahan tidak berjalan efektif dan semestinya. Terlebih lagi saat meletusnya Peristiwa Aceh (Daud Bereueh) pada tanggal 21 September 1953, yang mendorong beberapa tokoh asal Provinsi Sumatera Utara untuk mencoba menarik Tanah Alas ke dalam wilayah Sumatera Utara. Namun dari itu, upaya ini tidak mendapat dukungan dari rakyat di Tanah Alas, masyarakat Aceh Tenggara menolak.

Pada tahun 1956 Pemerintah Pusat menyadari bahwa salah satu penyebab meletusnya Peristiwa Aceh adalah dileburnya Provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara dan memutuskan untuk mengembalikan status provinsi kepada Aceh. Hal ini semakin mendorong pemimpin di Tanah Alas dan Gayo Lues untuk membentuk kabupaten sendiri, terlepas dari Kabupaten Aceh Tengah. Sehingga awal berdirinya Kabupaten Aceh Tenggara adalah ketika pada tanggal 6 Desember 1957 terbentuk suatu Panitia Tuntutan Kabupaten Aceh Tenggara melalui sebuah rapat di sekolah MIN di daerah Prapat Hulu dengan dihadiri sekitar 60 orang pemuka masyarakat Tanah Alas dan Gayo Lues. Hasil rapat menunjuk T. Syamsuddin menjadi ketua formatur untuk membentuk panitia tuntutan rakyat Tanah Alas dan Gayo Lues, dengan dibantu oleh beberapa tokoh masyarakat. Rekomendasi dari rapat tersebut adalah (1) ibukota kabupaten Aceh Tengah dipindahkan dari Takengon ke Kutacane, dan (2) jika tidak memungkinkan memindahkan ibukota ke Kutacane, Kewedanan Tanah Alas dan Kewedanan Gayo Lues dijadikan satu kabupaten tersendiri yang tidak terlepas dari Propinsi Aceh. Pada tanggal 18 Desember terbentuk Panitia Aksi Tuntutan


(39)

Rakyat Tanah Alas dan Gayo Lues dengan ketua terpilih T. Syamsuddin. Pada tahun 1957 diadakan rapat raksasa di Kutacane dengan dihadiri sekitar 200.000 orang untuk menyatakan sikap mendukung pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara.

Kehadiran Lettu Syahadat pada tahun 1957 sebagai Kepal Staf Sektor VII KDMA membawa angin segar bagi upaya pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara. Gubernur Aceh kemudian menunjuk Syahadat sebagai Kepala Perwakilan Kabupaten Aceh Tengah untuk Tanah Alas dan Gayo Lues di Kutacane, yang kemudian menyusun Catur Program Pembangunan Aceh Tenggara. Setalah melalui perjuangan tanpa kenal lelah, akhirnya Mayor Syahadat berhasil meyakinkan Pangkowilhan I Letjend. Koesno Oetomo untuk secara de facto menyatakan mengesahkan Daerah Tanah Alas dan Gayo Luas Menjadi Kabupaten Aceh Tenggara pada tanggal 14 Nopember 1967. Pada 22 Desember 1972 Pemerintah Pusat mengirim tim yang dipimpin Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Mayjend. Sunandar Priyosudharmo (belakangan menjadi Gubernur Jawa Timur) untuk mengecek persiapan terakhir di Kutacane. Pada tahun 1974, setelah berjuang selama 17 tahun sejak tahun 1956, Pemerintah akhirnya menerbitkan UU No. 4/1974 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara dan peresmiannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri H. Amir Machmud pada tanggal 26 Juni 1974 dalam suatu acara yang khidmat di Kutacane. Pada hari itu juga Gubernur/KDH Istimewa Aceh A. Muzakkir Walad melantik Syahadat sebagai Pejabat Bupati/KDH Aceh Tenggara. Pada tanggal 24 Juli 1975 Syahadat secara definitif diangkat sebagai Bupati Aceh Tenggara yang


(40)

pertama. (http://gayoaceh.wordpress.com/2009/10/20/aceh-tenggara-masa-lalu-hingga-masa-kini/)

Aceh Tenggara didiami oleh masyarakatnya yang sebagian besar bersuku Alas. “Ukhang Alas”, “Khang Alas” atau “Kalak Alas” begitu masyrakat disini biasa menyebut diri mereka dalam bahasa alas yang berarti “Orang Alas” untuk menunjukan jati diri mereka sebagai orang yang bersuku asli Alas dan telah lama mendiami Lembah Alas. Kata "Alas" dala berkaitan dengan keadaan daerah ini yang membentang datar seperti tikar atau landasan karena berbentuk lapangan yang sangat luas di sela-sela Selain suku Alas, terdapat juga suku-suku lain yang ikut memberikan keragaman di daerah yang juga lazim disebut Tanah Alas ini. Seperti Suku Gayo, Batak, Jawa, Minang, dan sebagainya.

Saat ini kepadatan penduduk di Kabupaten Aceh Tenggara sudah mencapai ± 175.501. Hal ini dapat diartikan sudah semakin banyaknya penduduk yang bermukim di Tanah Alas, dengan kepadatan 32 jiwa/km2. Dengan tingkat pertumbuhan 1,67% pertahun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel jumlah penduduk di bawah ini:

Tabel II.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara Menurut Kecamatan Tahun 2006-2008

NO Kecamatan 2006 2007 2008 1 Lawe Alas 12.210 12.382 12.462 2 Babul Rahmah 7.510 7.616 7.665 3 Tanoh Alas 4.175 4.234 4.261


(41)

4 Lawe Sigala 17.333 17.577 17.691 5 Babul Makmur 11.656 11.820 11.897 6 Semadam 10.285 10.430 10.498 7 Leuser 3.403 3.451 3.473 8 Bambel 15.105 15.318 15.417 9 Bukit Tusam 9.379 9.511 5.487 10 Lawe Sumur 5.376 5.452 9.573 11 Babussalam 23.962 24.300 24.457 12 Lawe Bulan 14.729 14.937 15.034 13 Badar 12.327 12.501 12.582 14 Darul Hassanah 11.005 11.160 11.233 15 Ketambe 8.558 8.679 8.735 16 Deleng Pokhisen 4.993 5.003 5.035

Jumlah 171.933 174.371 175.501

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tenggara

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa setiap tahunnya kepadatan penduduk di Kabupaten Aceh Tenggara terus meningkat. Apalagi semakin berkembangnya sarana pendukung untuk transportasi memasuki kabupaten ini, seperti transportasi darat yang menggunakan mobil atau motor. Saat ini sarana transportasi udara juga sudah beroperasi di Kabupaten Aceh Tenggara.

Dengan dibukannya Bandar Udara Alas Leuser Agara, yang terletak di Kecamatan Simpang Semadam, sekitar 17 KM dari Ibukota Kabupaten di Kutacane, maka mulai saat itu pula langit Aceh Tenggara dapat dihiasi oleh “Burung Besi” yang sesekali berseliweran dan buminya disinggahi oleh beberapa maskapai penerbangan yang melayani jasa penerbangan dengan menggunakan


(42)

pesawat mini jenis Casa. Diantaranya NBA (Nusantara Buana Air) dimana harga tiketnya masih disubsidi oleh Pemkab Agara, yang memberikan subsidi kepada masyarakat sebesar Rp 100.000 per seat dari delapan seat yang tersedia. Selain pesawat mini NBA, ada juga pesawat Susi Air (tidak disubsidi oleh pemerintah daerah). Kesemua pesawat ini melayani penerbangan tujuan Kutacane, Penerbangan dilakukan setiap hari dalam seminggu. Meskipun dengan pesawat mini masyarakat bisa menikmati perjalanan menuju Medan atau Banda Aceh hanya dalam sekejab. Jalan tempuh via darat dari Kutacane menuju Medan atau Banda Aceh, relatif sangat jauh dan memakan waktu. Dengan adanya akses transportasi udara seperti ini menunjukkan semakin terbukanya Kabupaten Aceh Tenggara kepada dunia luar.

Bandar Udara Alas Leuser Agara. Bandara yang terletak di Kecamatan Simpang Semadam ini

merupakan salah satu akses menuju Kutacane dalam waktu yang singkat. (Foto: Sidriani Handayani)


(43)

II.1.1 Letak Geografis dan Lingkungan Alam

Kabupaten Aceh Tenggara yang beribu kotakan Kutacane ini memiliki jarak tempuh sekitar 900 KM dari ibukota kabupaten ke ibukota provinsi di Kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan untuk letak geografis Aceh Tenggara terletak antara 03055’23”-04016’37 Lintang Utara dan 96043’23’ 98010’32 Bujur Timur. Dengan luas wilayah kabupaten 4.231,41 KM2 yang berbatasan dengan beberapa Kabupaten dan Provinsi di sekitarnya, yaitu:

• Di sebelah utara Aceh Tenggara berbatasan dengan kabupaten Gayo Lues,

• Di sebelah selatan Aceh Tenggara berbatasan dengan kabupaten Aceh Selatan/ Aceh Singkil dan Kabupaten Dairi (Sumatera Utara)

• Di sebelah timur Aceh Tenggara berbatasan dengan provinsi Sumatera Utara dan Aceh Timur

• Di sebelah barat Aceh Tenggara berbatasan dengan kabupaten Aceh Selatan.

Kabupaten Aceh Tenggara merupakan daerah hujan tropis yang didukung dengan curah hujan yang cukup tinggi setiap tahunnya (14, 33 mm). Kabupaten ini berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter diatas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Lauser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar terdapat di kabupaten ini. Tidak heran jika berada di Kabupaten ini kemana mata memandang, kita bisa selalu melihat gunung karena Kabupaten ini merupakan daerah yang berada persis


(44)

di lembah Leuser, bentuk kabupaten ini bila dilihat dari udara jelas berbentuk seperti danau yang kering (mirip kuali). Sebab, daerahnya dikelilingi oleh gunung. Diantaranya Gunung Leuser dan Bukit Barisan. Daerah Kabupaten Aceh Tenggara juga memiliki 16 Kecamatan, 51 Mukim, dan 385 Desa/Kelurahan. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel II.2 Nama Ibukota Kecamatan Serta Jarak ke Ibukota Kabupaten, Luas Pembagian Daerah Administrasi, dan Jumlah Kemukiman,

Desa, berikut Kelurahan Tahun 2008.

NO Kecamatan Ibukota Kecamatan Jarak ke Ibukota Kabupaten (KM) Luas (KM2)

Desa/ Kelura han 1 Lawe Alas Ngkeran 13,6 426,5 28 2 Babul Rahmah Lawe Sumur 23,0 231,38 27 3 Tanoh Alas Tenembak Alas 22,0 5590,9

5

14 4 Lawe Sigala Lawe Sigala 23,0 57,85 35 5 Babul Makmur Sejahtera 30,0 12,48 21 6 Semadam Simpang

Semadam

17,0 35,34 19 7 Leuser Kane Mende 50,0 38,7 23 8 Bambel Kuta Lang

Lang

7,0 48,15 33 9 Bukit Tusam Lawe Dua 8,7 57,5 23 10 Lawe Sumur Lawe Perlak 7,0 1,961 18 11 Babussalam Kutacane 1,7 43,36 27 12 Lawe Bulan Simpang Empat 2,0 807,00 24 13 Badar Purwodadi 5,0 360,03 18 14 Darul Hassanah Mamas 11,0 655,45 28 15 Ketambe Lawe Beringin 19,0 750,32 25 16 Deleng Pokhisen Biring Naru 10,0 156,4 22

Jumlah 4.231,

41

385


(45)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, Kecamatan Ketambe yang sebagai lokasi penelitian penulis memiliki jarak tempuh 19KM dari ibukota kabupaten di Kecamatan Babussalam. Namun hal tersebut tidak membuat Kecamatan Ketambe terisolasi karena adanya jarak yang cukup jauh tersebut, hal ini dapat dibuktikan dari masih banyaknya sarana perhubungan yang memadai di Kecamtan tersebut untuk berkomunikasi dengan masyarakat luar. Sedangkan jarak tempuh yang sangat jauh dari tabel diatas dapat dilihat adalah Kecamatan Leuser yang memiliki jarak 50 KM dari ibukota kabupaten.

II.1.2. Pariwisata Aceh Tenggara

Pada dasarnya wilayah Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk pariwisata, diantaranya adalah wisata alam Sungai Alas yang sudah dikenal luas sebagai tempat olah raga Arung Jeram (Rafting) yang sangat menantang ataupun sebagai sarana rekreasi sungai pada umumnya. Pariwisata Aceh Tenggara cukup besar, hal ini dapat dilihat dari kekayaan alam yang dimiliki wilayah ini. Ada beberapa lokasi yang sangat strategis untuk dikembangkan maupun telah menjadi objek wisata di kabupaten ini seperti Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL), Taman Wisata Lawe Gurah, Sungai Alas, Gua Lawe Sikap, Gunung Deleng Pokhisen, Air Terjun Lawe Dua, Pemandian Alam Pantai Barat, Pemandian Air Panas Uning Sigugur, dan lain-lain, seperti:


(46)

Taman Nasional Gunung Lauser atau biasa disingkat dengan nama TNGL adalah sebuah daerah cagar alam nasional terbesar yang terdapat di kabupaten ini. Taman ini juga taman terbesar di Indonesia dengan luas sekitar 850.000 ha dan mewakili seluruh ekosistem hutan hujan yang ada dari daerah rawa sampai dataran tinggi. Di daerah hutan hujan ini, setiap pengunjung dapat menikmati berbagai kehidupan Flora dan Fauna, seperti Bunga “Rafflesia Arnoldii” atau bunga Padma raksasa yang merupakan jenis bunga yang terpopuler di antara 3500 spesies tumbuhan yang terdapat di kawasan ini. Bunga ini merupakan bahkan merupakan bunga terbesar di Aceh Tenggara. Kehidupan fauna yang bias kita lihat disini,seperti Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Orang Utan (Pongo abelii), Siamang (Symphalangus syndactylus), Gibbon Bertangan Putih, bermacam Serangga, Burung, dan jenis binatang lainnya yang ada di TNGL Kabupaten Aceh Tenggara.

o Taman Wisata Lawe Gurah

Taman Wisata Lawe Gurah adalah bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser yang sering dituju oleh para wisatawan dengan jarak tempuh sekitar 35 km dari Kutacane. Bungalow, rumah makan, lokasi berkemah, pos keamanan, menara pengamat, dll terdapat di lokasi ini, sehingga memudahkan dan memberi kenyamanan untuk setiap pengunjung yang ingin melihat Taman Wisata Lawe Gurah. Di samping itu, berbagai sarana pendukung juga telah dibangun saat ini, seperti sudah tersedianya jalan setapak untuk para pengunjung yang akan menikmati keindahan alam hutan disini.


(47)

o Sungai Alas

Sungai Alas atau masyarakat setempat biasa menyebutnya dengan nama Lawe

Alas adalah sungai yang memiliki arus air yang cukup kuat, sehingga sangat

strategis untuk kegiatan wisata arung jeram. Nama Sungai Alas sudah termasyur dalam olah raga arung jeram karena memiliki arus sungai Grade 4. Banyak turis asing maupun penikmat arung jeram dalam negeri yang datang ke daerah ini untuk menantang kuatnya arus Sungai Alas. Selain arus sungai yang sangat deras untuk olahraga arung jeram, Sungai Alas juga memiliki pemandian alam dengan kesejukan air pegunungan. Ikan sungai yang dapat dinikmati oleh wisatawan adalah jenis ikan Jurung, Lele, Ikan Mas, Nila, Mujair, dan Ikan Dundung.

o Gua Lawe Sikap

Diantara objek wisata yang ada di Kabupaten Aceh Tenggara ini, salah satu objek wisata yang cukup menarik adalah gua kelelawar Lawe Sikap yang terdapat di kecamatan Lawe Alas. Gua ini memiliki daya tarik tersendiri karena terdapat gantungan bebatuan. Kita dapat menikmati keindahan stalagtit dan stalagmit dalam gua ini. Adanya tumpukan guano dan adanya sumber mata air minum yang bersih. Jarak tempuh dari Kutacane sekitar 5 km dengan waktu tempuh sekitar 25 menit untuk mencapai Gua Lawe Sikap.

o Gunung Deleng Pokhisen

Puncak gunung Deleng Pokhisen yang terdapat pada Kecamatan Deleng Pokhisen merupakan sebuah tantangan khusus bagi para pecinta alam dan pendaki gunung untuk menaklukkannya. Dari atas puncak gunung terdapat berbagai


(48)

panorama dan pemandangan yang sangat indah, kemudian juga terdapat dataran yang berfungsi sebagai camping ground untuk setiap pengunjung yang ingin mencoba bermalam di Gunung Deleng Pokhisen ini.

o Air Terjun Lawe Dua

Air Terjun Lawe Dua terdapat di Kecamatan Bukit Tusam. Air terjun ini masih sangat asli dan alami, airnya yang sejuk dan dingin belum dikelola dan disentuh secara terorganisir oleh pihak-pihak tertentu sehingga memberikan sebuah daya tarik tersendiri untuk menikmati pemandian alam yang bersumber murni dari air terjun.

o Pemandian Alam Pantai Barat

Pemandian Alam Pantai Barat merupakan sarana rekreasi keluarga yang terdapat di Sungai Kali Bulan Kecamatan Badar. Sungai untuk pemandian ini sudah dikelola dengan seksama dan setiap minggunya memberikan hiburan kepada para pengunjung. Banyak pondok-pondok peristirahatan di sekitar sungai, menjadikan tempat pemandian ini semakin digemari masyarakat untuk merasakan air sungai yang sejuk dan dingin.

o Pemandian Air Panas Uning Sigugur

Pemandian alam air panas Uning Sigugur memberikan suatu daya tarik tersendiri sebab mata air disekitar objek wisata mengeluarkan air panas yang juga memberikan manfaat kesehatan bagi para pengunjung. Mata air ini terdapat di kecamatan Baburahmah. Tingkat suhu air panas mencapai sekitar 80 derajat


(49)

celcius. Banyak masyrakat yang percaya dan datang ke pemandian air panas ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Selain untuk berekreasi, objek-objek wisata tersebut dapat juga kita manfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian ataupun olahraga. Untuk tujuan pendidikan sudah ada laboratorium penelitian dan camping ground yang dapat digunakan oleh siswa dan mahasiswa, serta peneliti dari lembaga-lembaga penelitian dan universitas dalam bidang biologi, kehutanan, ekologi, zoologi, dan iklim. Untuk rekreasi dan olahraga, arus deras Sungai Alas menawarkan tantangan yang menggairahkan bagi pengarung jeram. Dengan menggunakan jasa pemandu lokal, yang biasanya adalah pemuda-pemuda kampung setempat, wisatawan sudah bisa menikmati keindahan rimba raya alam Aceh Tenggara tanpa perlu takut tersesat.

Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Tenggara sendiri telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung promosi dan perbaikan sarana dan prasaran pariwisata di kabupaten ini, karena mengingat juga pengembangan pariwisata di kabupaten ini diarahkan pada pemanfaatan sektor pariwisata untuk meningkatkan PAD dengan penekanan pada pariwisata alam (natural tourism). Sasaran dari pembangunan pariwisata adalah meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik dari tahun ke tahun. Beberapa tahun yang lalu pariwisataan di kabupaten ini tidak bisa berjalan dengan baik karena adanya masalah keamanan, sehingga menyebabkan banyak orang takut untuk berkunjung ke Aceh. Namun, setelah disepakatinya Memorandum of Understanding (MoU)


(50)

antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), pariwisata di Kabupaten Aceh Tenggara dapat menggeliat lagi.

II. 1. 3. Pertanian Aceh Tenggara

Apabila dilihat secara umum dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah Kabupaten Aceh Tenggara dapat dimasukkan dalam zona pertanian dimana kabupaten ini bisa dikatakan sebagai lumbun Darussalam. Dengan lahan sawah berkisar antara 29000 Ha menghasilkan komoditas unggulan pertanian, seperti Padi, Palawija dan Jagung. Dimana Sungai Alas berperan penting bagi pertanian di Aceh Tenggara yang mengalirkan air ke lahan-lahan persawahan dengan irigasi sebagai sarana untuk penyediaan, pengambilan dan pengaturan air ke setiap petak sawah masyarakat yang memerlukan air. Sebenranya tidak hanya untuk mengaliri tanaman padi saja, tapi juga untuk kepentingan rumah tangga, peternakan, dan perikanan air tawar.


(51)

II.2. Sejarah Singkat Kecamatan Ketambe

Penelitian tentang Pola Pemanfaatan Sungai Alas ini peneliti lakukan di Kecamatan Ketambe yang memiliki 25 Desa, tapi tidak seluruh desa peneliti ambil untuk memperoleh informasi penelitian karena dengan beberapa desa saja rasanya sudah cukup representative menghantarkan data yang ingin dicari. Desa-desa yang menjadi lokasi penelitian saya adalah, Desa Jonggar, Desa Lawe Penanggalan, Desa Jambur Lak-Lak, Desa Lawe Mengkudu, Desa Ketambe dan Desa Lawe Gekh-Gekh.

Kecamatan Ketambe memiliki latar belakang pembentukan kecamatan dikarenakan masyarakat di kecamatan ini merasakan adanya kesulitan dalam mengakses semua bidang kebutuhan mereka. Jauhnya Kecamatan Ketambe yang saat itu masih dalam bagian Kecamatan Badar, membuat masyarakat menginginkan pemekaran kecamatan untuk memudahkan dan mengurus segala kebutuhan mereka termasuk kebutuhan administrasi pemerintahan. Lalu pada tahun 2006 berdirilah Kecamatan Ketambe sabagai satu Kecamatan lepas dari kecamatan Badar. Kawasan Ketambe mempunyai sejarah lama sebagai lokasi yang dijaga lingkungannya oleh warga masyarakat sekitar. Hutan di kiri kanan membentang dan di bawahnya Sungai Alas dengan air yang jernih mengalir. Di Kecamatan Ketambe juga kita bisa menjumpai ada beberapa Air Terjun, Air Panas,Kapur Gunung dan Gua.


(52)

II.2.1 Letak Geografis dan Keadaan Umum Kecamatan

Kecamatan Ketambe yang ber Ibu Kota Kecamatan Lawe Beringin ini, memiliki luas kecamatan 5.005 Ha, dengan batas-batas kecamatan:

• Sebelah Utara : Kabupaten Gayo Lues

• Sebelah Selatan : Kecamatan Badar

• Sebelah Barat : Kecamatan Darul Hasanah

• Sebelah Timur : Provinsi Sumatera Utara

Dengan letak geografis kecamatan, Lintang Utara: 03.60926 0N dan Bujur Timur: 097.72992 0N. Ketambe adalah Kecamatan yang terletak di kaki gunung Leuser Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekitar 19,0 Km sebelah barat Kutacane atau satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor menggunakan transportasi darat. Kecamatan ini merupakan sebuah cagar alam yang dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan besar dan hewan-hewan tropis. Panorama yang masih segar dan alami serta belum tersentuh oleh modernisasi perkotaan dapat dijumpai di kecamatan ini. Tempat ini juga dijadikan sebagai Stasiun penelitian oleh para ilmuan baik dari dalam maupun dari luar negeri, khususnya dibidang flora dan fauna. Dipinggir Kecamatan Ketambe mengalir sebuah induk sungai yang diberi nama Sungai Alas yang diambil dari nama suku yang mendiami daerah tersebut, yaitu Suku Alas. Dalam bahasa Alas “Sungai” disebut dengan kata “Lawe” yang Juga berarati “Air”


(53)

II.3 Gambaran Masyarakat Kecamatan Ketambe

Masyarakat yang berada di Kecamatan Ketambe ini pada umumnya didominasi oleh dua Suku yaitu Alas dan Gayo. Penduduk yang ada di Kecamatan Ketambe ini juga ada yang bersuku Jawa, Minang, Batak dan-lain-lain. Sebenarnya dahulu suku yang ada di daerah ini adalah Alas dan Gayo. Akan tetapi setelah berkembangnya kehidupan masyarakat, banyak penduduk lain yang datang dan bermungkim di Kecamatan ini tersebut. Termasuk Warga Negara Asing (WNA) yang tengah berwisata atau melakukan penelitian di daerah Ketambe. Adanya percampuran budaya antara satu suku dengan suku yang lainnya telah membuat perubahan secara adat istiadat pada masyarakat Ketambe itu sendiri. Dahulu masyarakatnya masih sangat memegang teguh adat istiadatnya. Namun setelah bercampur baurnya penduduk antar satu suku dengan suku yang lainnya telah membuat pergeseran nilai budaya bagi masyarakat Ketambe.

II.3.1 Komposisi Penduduk dan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk Kecamatan Ketambe yang terdiri dari 25 Desa adalah berkisar 10, 599 Jiwa, dengan rincian Laki-laki 5,119 dan Perempuan 5,480 Jiwa. Untuk Lebih jelasnya, jumlah penduduk untuk masing-masing desa dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel II. 4 Komposisi Penduduk dan Jenis Kelamin Menurut Sex Ratio Dirinci Per Desa Dalam Kecamatan Ketambe Tahun 2008

NO Desa Laki-laki Perempuan Total Sex Ratio 1 Deleng Damar 170 155 325 109.68 2 Simpang III Jongar 239 231 470 103.46 3 Penyebrangan

Cingkam

184 215 399 85.58 4 Jongar 300 420 720 71.43


(54)

5 Lawe Penanggalan 347 473 820 73.36 6 Jambur Lak Lak 223 185 408 120.54 7 Lawe Mengkudu 300 417 717 71.94 8 Aunan Sepakat 167 175 342 95.43 9 Ketambe 279 221 499 126.24 10 Rumah Bundar 116 109 225 106.42 11 Kayu Mentangur 211 197 408 107.11 12 Lawe Sembekan 181 186 367 97.31 13 Lawe Gekh Gekh 95 92 187 103.26 14 Lawe Beringin 103 120 223 85.83 15 Bener Berpapah 175 199 374 87.94 16 Datuk Pinding 167 150 317 111.33 17 Penungkunen 175 146 321 119.86 18 Jati Sara 153 158 311 96.84 19 Leuser 288 270 558 106.67 20 Bukit Baru 106 212 318 50.00 21 Kati Maju 150 175 325 85.71 22 Lawe Aunan 438 440 878 99.55 23 Bintang Bener 156 162 318 96.30 24 Suka Rimbun 210 190 400 110.53 25 Simpur Jaya 186 182 368 102.20 Sub Jumlah 5,119 5,480 10,599 93,41

Sumber : Registrasi Penduduk Akhir Tahun (diolah) Kecamatan Ketambe

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Ketambe berdasarkan jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin Perempuan (5,480) dibandingkan dengan jenis kelamin Laki-laki (5,119) dengan total keseluruhan penduduk kecamatan Ketambe 10,599 jiwa.

II.3.2 Agama dan Suku Bangsa

Untuk kecamatan Ketambe sendiri, suku bangsa yang ada di kecamatan ini terdiri dari suku Alas dan Gayo, sedangkan dari agama, Islam yang mendominasi hingga mencapai 100% pemeluknya. Untuk lebih jelas, dapat dilihat dari tabel jumlah pemeluk agama di kecamatan Ketambe, berikut ini:


(55)

Tabel II. 5 Jumlah Pemeluk Agama Dirinci Menurut Agama Dalam Kecamatan Ketambe Tahun 2008.

N O

Desa Islam Protestan Katolik Hindu Budha Jumla h 1 Deleng Damar 325 - - - - 325 2 Simpang III

Jongar

470 - - - - 470

3 Penyebrangan Cingkam

399 - - - - 399

4 Jongar 720 - - - - 720 5 Lawe

Penanggalan

820 - - - - 820

6 Jambur Lak Lak 408 - - - - 408 7 Lawe

Mengkudu

717 - - - - 717

8 Aunan Sepakat 342 - - - - 342 9 Ketambe 499 - - - - 499 10 Rumah Bundar 225 - - - - 225 11 Kayu

Mentangur

408 - - - - 408

12 Lawe Sembekan

367 - - - - 367

13 Lawe Gekh Gekh

187 - - - - 187

14 Lawe Beringin 223 - - - - 223 15 Bener Berpapah 374 - - - - 374 16 Datuk Pinding 317 - - - - 317 17 Penungkunen 321 - - - - 321 18 Jati Sara 311 - - - - 311 19 Leuser 558 - - - - 558 20 Bukit Baru 318 - - - - 318 21 Kati Maju 325 - - - - 325 22 Lawe Aunan 878 - - - - 878 23 Bintang Bener 318 - - - - 318 24 Suka Rimbun 400 - - - - 400 25 Simpur Jaya 368 - - - - 368 Sub Jumlah 10,599 - - - - 10,59

9

Sumber : Kantor UrusanAgama Kecamatan Ketambe

Dapat disimpulkan bahwa semua penduduk di Kecamatan Ketambe memeluk agama Islam, walau ada beberapa pendatang yang memeluk agama bukan Islam. Biasanya pendatang ini adalah Warga Negara Asing (WNA) yang


(56)

tengah melakukan penelitian di Stasiun Penelitian Ketambe-Taman Nasional Gunung Leuser. Kehidupan umat beragama di Kecamatan ini berlangsung damai, saling menghargai dan memiliki toleransi yang tinggi antar umat beagama. Warga Ketambe terbuka terhadap pendatang, hal ini dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat yang dengan ramah terhadap WNA walaupun berlainan agama. Selain itu masyarakat Ketambe juga memiliki kegiatan keagamaan seperti wirit ataupun

pengajian yang diadakan oleh warga bersamaan dengan tetangga mereka,

Biasanya kegiatan ini terlaksana di rumah salah satu warga secara bergantian.

II.3.3 Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian

Saat ini terdapat beberapa sarana sekolah mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai pada tingkat SMU. Di Kecamaatn Ketambe saat ini tercatat ada 2 (dua) unit Taman Kanak-kanak berstatus swasta, 1(satu) unit MIN negeri, 1 (satu) unit MIS Swasta, 5 (lima) unit SD yang berstatus negri, 1 (satu) unit MTsN, 1(satu) Unit MTsS, 2 (Dua) unit SMP, satu negeri dan satunya lagi bersatus swasta, 1(satu) unit MAS, 1(satu)SMA Negeri, dan 1(satu) unit SMKS. Sekolah-sekolah yang ada di kecamatan Ketambe ini cukup memadai untuk pendidikan masyarakat setempat. Akan tetapi tidak semua desa yang ada di Kecamatan Ketambe memiliki sarana pendidikan. Untuk lebih jelasnya, sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Ketambe dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(57)

Tabel II. 6 Status Sekolah TK, SD, MIN/MIS, SLTP, MTsN/MTsS, SMA, MAN/MAS, & SMK/SMKS Dalam Kecamatan Ketambe Tahun 2008

N O

Desa Nama Sekolah Negeri Swas ta 1 Deleng Damar TK Qurrata Ayun  2 Jongar Raya TK Swasta Sambinoe 

3 Jongar MIN Jongar 

4 Suka Rimbun MIS Suka Rimbun  5 Ketambe SDN Balai Lutu  6 Jambur Lak-Lak SDN Jambur Lak lak 

7 Jongar SDN Jongar 

8 Kubang Lohob SDN Kubang Lohob  9 Lawe Aunan SDN Lawe Aunan  1

0

Jl Kutacane-Belangkejeren MTsN Jongar  1

1

Lawe Penanggalan MTsS Badrul Ulum  1

2

Jl Kutacane-Belangkejeren SMPN 1 Ketambe  1

3

Jongar SMPN 3 Badar 

1 4

Lawe Penaggalan SMPS BAdrul Ulum  1

5

Lawe Penanggalan MAS Badrul Ulum  1

6

Jongar Raya SMAN 2 Badar  1

7

Lawe Penanggalan SMKS BAdrul Ulum 

Sumber: Dinas Pendidikan dan Pengajaran Aceh Tenggara

Tetapi dari segi tingkat dan mutu pendidikan, warga Ketambe masih digolongkan ke dalam tingkat pendidikan yang masih rendah terutama mereka yang sudah berusia di atas tiga puluhan. Warga yang berusia di atas tiga puluhan hanya berstatus pendidikan dasar. Untuk pemuda yang tidak sekolah biasanya diakibatkan oleh tidak mampunyai biaya sekolah, sehingga banyak dari mereka yang menjadi pengangguran. Pemuda-pemuda yang putus sekolah ini biasanya bekerja sebagai buruh bangunan atau juga buruh kebun. Mereka yang bekerja


(58)

sebagai buruh bangunan akan keluar dari desanya dan merantau di desa lain yang masih dalam ruang lingkup Kabupaten. Tapi bagi pemuda yang bekerja sebagai buruh kebun biasanya menetap di desa dengan bekerja di kebun milik orang tuanya atau di kebun milik orang lain. Walaupun banyak pemuda yang tidak bersekolah, ada juga pendidikan informal di desa. Pendidikan informal ini berupa pengajian rutin di Masjid.

Sedangkan untuk mata pencaharian atau pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia pada zaman sekarang ini, karena apabila seseorang tidak memiliki pekerjaan, tentunya ia akan mengalami kesulitan dalam hidup bermasyarakat, yang menuntut terpenuhinya segala kebutuhan baik sandang, pangan maupun papan. Oleh karena itu, setiap orang harus berusaha untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga penduduk di kecamatan Ketambe lebih banyak kepada Petani Perkebunan walaupun ada pekerjaan lainnya seperti 1) Pegawai, 2) Pedagang, 3) Wiraswasta, 4) Tukang Bangunan dan lain-lain. Penduduk Kecamatan Ketambe mayoritas bekerja sebagai buruh kebun/tani dan keluarga perkebunan/pertanian. Maksud dari buruh kebun/tani adalah orang-orang yang menggarap atau menyewa ladang dari orang lain, bukan milik sendiri. Banyak para pegawai swasta/negeri yang merangkap juga sebagai buruh kebun. Selain kebun yang ditanami dengan tanaman besar seperi Karet dan Kemiri, ada juga ladang yang mereka garap untuk menanam tanaman jagung, terong, tebu, singkong, ubi jalar, dan lain sebagainya. Menggarap ladang merupakan salah satu dari mata pencaharian bagi mereka untuk


(59)

menyambung hidup lebih jelasnya keadaan mata pencaharian penduduk di Kecamatan Ketambe dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel II.7 Jumlah Keluarga Pertanian dan Keluarga Buruh Tani Dirinci Per Desa Dalam Kecamatan Ketambe Tahun 2008

NO Desa Jumlah Keluarga Keluarga Pertanian (%) Keluarga Buruh Tani (%) Lain-lain

1 Deleng Damar 106 75 49 2 Simpang III Jongar 114 70 65 3 Penyebrangan

Cingkam

103 96 75

4 Jongar 166 95 90

5 Lawe Penanggalan 147 95 35 6 Jambur Lak Lak 104 98 30 7 Lawe Mengkudu 102 98 46 8 Aunan Sepakat 72 95 5

9 Ketambe 102 95 32

10 Rumah Bundar 60 98 10 11 Kayu Mentangur 102 95 95 12 Lawe Sembekan 97 85 42 13 Lawe Gekh Gekh 80 75 15 14 Lawe Beringin 75 85 40 15 Bener Berpapah 73 99 1 16 Datuk Pinding 72 90 10 17 Penungkunen 80 99 11 18 Jati Sara 71 99 20

19 Leuser 139 96 50

20 Bukit Baru 82 99 22 21 Kati Maju 75 98 32 22 Lawe Aunan 149 95 35 23 Bintang Bener 84 99 21 24 Suka Rimbun 82 98 32 25 Simpur Jaya 84 99 45 Sub Jumlah 2.421 - -

Sumber : Registrasi penduduk Akhir tahun (diolah) Kecamatan Ketambe

Dari tabel tersebut angka-angka yang menunjukan informasi Jumlah Keluarga Pertanian dan Keluarga Buruh Tani dirinci per desa dalam kecamatan Ketambe tahun 2008 tidaklah mutlak. Tidak mutlak dalam arti bukan tidak mungkin seseorang memiliki pekerjaan lebih dari satu dibidang yang berbeda. Hal


(60)

ini seperti, seorang petani yang kesehariannya menjadi seorang petani perkebunnan juga memiliki usaha dagang makanan ringan di depan rumahnya. Atau kasus lainnya, dengan demikian dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan pekerjaan sampingan dari pekerjaan utamanya.

Selain itu pekerjaan atau mata pencaharian penduduk di Kecamatan Ketambe yang dominan adalah sebagai Petani, yang dibagi menjadi dua, yaitu petani perkebunan dan petani padi. Petani perkebunan maksudnya adalah seorang petani yang bekerja di kebun dengan memanfaatkan kebun-kebun di sekitar Ketambe, misal kebun karet, kebun jagung, dan lain sebagainya. Sedangkan petani padi maksudnya adalah seorang petani yang bekerja di sawah, di bidang pertanian. Di Kecamatan Ketambe sendiri, lahan untuk persawahan termasuk sedikita dan bergantung musim atau bias dikatakan tidak ada karena daerah Ketambe meupakan daerah dataran tinggi dimana air untuk persawahan hanya bergantung pada gujan dan tidak bias dialiri oleh air sungai. Usaha bersawah atau berkebun di Kecamatan Ketambe mengikuti musim, dimana sebenarnya mata pencaharian ini merupakan mata pencaharian yang dominan digeluti masyarakatnya. Mengikuti musim maksudnya adalah menunggu datangnya saat yang tepat untuk melukan usaha bersawah cocok tanam padi, menggingat turunnya hujan, ataupun hal-hal lain.

II. 4. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Kecamatan Ketambe sudah dapat dikatakan memadai, walau belum sepenuhnya sempurna. Mulai dari sarana


(1)

3. Permasalahan lingkungan yang semakin komplek, dimana Sungai Alas tidak berdiri sendiri, Sungai Alas ikut ditopang oleh gunung yang berada disekitarnya menuntut untuk mengelola sumber daya alam sehingga dapat menunjang kehidupan masyarakat dengan baik.

4. Pemerintah seakan acuh tak acuh terhadap pengelolaan Sungai Alas, pemerintah daerah juga seakan tidak sadar makna penting sungai alas bagi kehidupan masyarakat. Pemerintah daerah harus berani mengeluarkan anggaran yang tidak main-main apalagi dipermainkan oleh elite tidak bertanggung jawab untuk pengelolaan Sungai Alas secara baik.

V. 2. SARAN.

1. Salah satu upaya pelestarian potensi sumber daya alam tersebut adalah pemeliharaan lingkungan sehingga dalam waktu jangka panjang, mampu mendukung segala aktivitas manusia diatasnya. Pelestarian ini dapat dilakukan melalui rehabilitasi lahan-lahan kritis dan melaksanakan teknik-teknik konservasi yang benar dalam pemanfaatan dan pengelolaan sungai

2. Pemanfaatan sungai sebagai objek wisata harus seiring dengan pelestariannya. Seseorang yang melakukan rekreasi wisata sungai pada umumnya menginginkan kemudahan untuk mencapai sungai dari tepian sungai. Keinginan-keinginan tersebut dapat menimbulkan gangguan dan perusakan terhadap lingkungan sungai. Oleh karena itu pengaturan yang terencana dengan baik sangat diperlukan. Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam usaha pelestarian sungai atau yang berkaitan dengan pemeliharaan kualitas air sungai adalah bahwa


(2)

sendiri. Dengan demikian, usaha pelestarian sungai di daerah rekreasi akan kecil kemungkinan keberhasilannya tanpa disertai peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya dan penyampaian cara pelestarian tersebut. Akan lebih bermanfaat jika masyarakat yang berekreasi mendapatkan tambahan pengetahuan tentang pelestarian sungai dengan cara tertentu hingga masyarakat juga bisa mendapatkan tambahan dari apa yang mereka harapkan sebelumnya dari rekreasi sungai.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aditjondro, George Junus

2003, Pola-Pola Gerakan Lingkungan (Refleksi Untuk Menyelamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal), Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Arikunto, Suharsimi

1998. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Jakarta: PT. Rineka Cipta

Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tenggara

2009, Aceh Tenggara Dalam Angka 200, Kutacane : Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tenggara

Dahuri, Rokhmin

2003. Keanekaragaman Hayati Laut (Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Dove, Michael R

1987, Manusia dan Alang-Alang di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Dove, Michael R

1988, Sistem Perladangan Di Indonesia (Suatu Studi Kasus Dari Kalimantan Barat), Gadjah Mada University Press

Koentjaraningrat

2002, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta: Jakarta Mintargo, Bambang S

2000, Tinjauan Manusian dan Nilai Budaya, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Purba, Iskandar Arif

2009, Skripsi, Pengaruh Pembangunan Terhadap Kehidupan Masyarakat di Kota Medan (Studi Deskriptif Mengenai Masalah di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan), Tidak Diterbitkan


(4)

1996, Ragam Pendekatan Konseptual Dalam Pengkajian Ekologi Manusia, Medan: Pusat Kajian Antropologi Pembangunan.

Saifuddin, Achmad Fedyani

2006, Antropologi Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Siregar, Doli D

2004, Manajemen Aset (Strategi penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan secara Nasional dalam Konteks Kepala Daerah sebagai CEO’s pada Era Globalisasi & Otonomi Daerah), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Susilo, Rahmad K. Dwi

2008, Sosiologi Lingkungan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Yansen, Hendra Helpi

2009. Skripsi: Hutan Kholifah (Tanah Ulayat) : Kajian Tentang Pelestarian Hutan Pada Masyarakat Mandailing-Pasir Pangarayan, Rokan Hulu, Riau. Tidak diterbitkan.

Jurnal

Prisma, edisi 25 Tahun 1971-1996 (Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan)

Harian

Kompas, Selasa 9 Maret 2010 (Jelajah Musi 2010) • Majalah

Buletin Lauser, Vol.6 2008 No.15, Juli 2008

Tempo, Edisi 17-23 Agustus 2009 (Lingkungan Hidup, Mengelola Alam Berkelanjutan) • Internet - -


(5)

- (http://wisata-ketambe.awardspace.com/)

-

-


(6)