BAB IV PENEGAKAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM PERDAGANGAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
A. Perlindungan Konsumen
Perlindungan hukum
merupakan perlindungan terhadap subjek dan objek hukum, yaitu melindungi hak dan kewajiban para pihak serta objek yang
menjadi hubungan hukum antar para pihak tersebut. Pada perlindungan tersebut, dapat dijadikan pedoman utama dalam perlindungan konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen agar terwujudnya
tujuan perlindungan konsumen di Indonesia.
121
Adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen memberikan dampak ekonomi yang positif bagi
dunia usaha, dunia usaha dipacu untuk meningkatkan kualitasmutu produk barang dan jasa sehingga produknya memiliki keunggulan kompetitif di
dalam dan luar negeri.
122
Teori perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
123
Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum adalah benteng untuk
121
Endang Sri Wahyuni, Op.cit, hal 91
122
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukum Lainnya, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal 263
123
UUPK, Pasal 1 Angka 1
91
Universitas Sumatera Utara
menghalangi kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum.
124
Pelaksanaan perlindungan konsumen dapat dilaksanakan melalui hukum konsumen, Hukum konsumen menurut Az. Nasution adalah keseluruhan azas-
azas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyedia dan penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat.
125
Dalam UUPK menentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa
yang ditujukan untuk perdagangan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku di setiap dokumen danatau perjanjian apabila :
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang telah dibeli konsumen 3.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh
konsumen. 4.
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
124
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Op.cit, hal 2
125
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, Op.cit, hal 22
Universitas Sumatera Utara
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
kemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. 6.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan danatau perubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dimana konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
126
Dalam UUPK Pasal 18 angka 2 menentukan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
127
Faktor-faktor yang terkait dengan perlindungan konsumen antara lain adalah :
1. Faktor Pemerintah, yang memberikan peraturan perundang-undangan
yang memiliki kekuatan hukum serta memberi sanksi yang tegas. Selain itu perlu dibentuk lembaga penyelesaian sengketa konsumen
serta lembaga lain yang ikut memberikan perlindungan konsumen.
126
UUPK, Pasal 18 Angka 1
127
Ibid, Pasal 18 Angka 2
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor pelaku usaha, dimana perlu diubah orientasi bisnis yang
dijalankan oleh pelaku usaha sebagai objek sasaran untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya.
3. Faktor Konsumen, dengan mengingat latar belakang lahirnya
perlindungan konsumen, maka diperlukan kesadaran konsumen akan hak-haknya yang memegang peranan penting yang harus dilindungi
agar berlaku efektif.
128
Hubungan pelaku usaha dan konsumen timbul karena kesepakatan, pada Pasal 1320 KUHPerdata memberikan syarat sah suatu perjanjian, yaitu kata
sepakat, kecakapan untuk membuat perikatan, mengenai hal atau objek tertentu, serta adanya dasar atau sebab yang halal. Dengan dibelinya produk
barang yang dipasarkan berarti pelaku usaha sepakat dengan konsumen, bahwa barang yang dibeli konsumen tersebut bermutu. Disisi lain tidak boleh
ada pemaksaan, kekhilafan, terlebih penipuan pelaku usaha terhadap konsumen. Konsekuensinya, jika terjadi penipuan berupa pemalsuan merek
produk barang, konsumen dapat mengugat ganti rugi, berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum onrechmatige daad. Tetapi
kesulitan akan timbul, jika konsumen atau penggugat harus membuktikan dirinya mengalami kerugian.
129
Dalam UUPK dikatakan bahwa Pelaku usaha yang menolak atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka
128
Endang Sri Wahyuni, Op.cit , hal 98
129
Ibid , hal 177
Universitas Sumatera Utara
dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK atau mengajukan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.
130
Selain itu, yang dapat mengugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha adalah :
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
class action. Di Indonesia gugatan class action dikenal dengan istilah gugatan kelas
atau gugatan perwakilan kelompok, gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa
orang yang bertindak sebagai wakil kelompok
131
, rumusan yuridis class action terdapat dalam Perma Nomor 1 Tahun 2002 Pasal 1 huruf
a : “suatu cara pengajuan yang dilakukan satu orang atau lebih bertindak mewakili kelompok untuk diri sendiri dan sekaligus
mewakili anggota kelompok yang jumlahnya banyak dan antara yang mewakili kelompok dengan anggota kelompok yang diwakili,
memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum”.
132
Prisip class action : 1
Numerousity, menandakan suatu gugatan mewakili kepentingan kelompok yang terdiri dari banyak orang.
130
UUPK, Pasal 23
131
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Op.cit, hal 125
132
Perma Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 1, huruf a
Universitas Sumatera Utara
2 Commonality, prinsip kesamaan, yang berkenaan dengan fakta
atau dasar hukum dan kesamaan tuntutan c.
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Legal standing adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan secara perdata yg dilakukan oleh satu atau lebih Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang memenuhi syarat atas
suatu tindakan atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang telah menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.
133
Persyaratan yang dapat mengajukan legal standing :
1 Berbentuk badan hukum atau yayasan.
2 Dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perkara yang digugat tersebut.
3 Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
133
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Op.cit, hal 126
Universitas Sumatera Utara
d. Pemerintah danatau instansi terkait apabila barang danatau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar atau korban yang tidak sedikit.
134
Jika terjadi sengketa atau konflik yang bersumber dari adanya perbedaan pendapat atau ketidaksesuaian di antara para pihak maka dapat ditempuh cara-cara
penyelesaian sengketa. Apabila pihak-pihak tidak berhasil menemukan bentuk penyelesaian yang tepat, maka perbedaan pendapat ini dapat berakibat buruk bagi
kelangsungan hubungan di antara keduanya. Oleh karena itu, setiap menghadapi perbedaan pendapat sengketa, para pihak selalu berupaya menemukan cara-cara
penyelesaian yang tepat. Persoalan ini tidak bisa diatasi hanya dengan upaya-upaya di level nasional. Jika ada masyarakat yang melakukan upaya hukum, mereka hanya
diwajibkan menghitung kerugian yang diderita. Sementara yang membuktikan penyebab kecelakaan dan kesalahan yang terjadi adalah tanggung jawab pelaku
usaha.
135
Pelaku usaha yang menolak danatau tidak memberi dantidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat digugat melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen BPSK atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
136
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
137
Sehingga jika terjadi sengketakonflik antara pelaku usaha dan
134
UUPK, Pasal 46 Angka 1
135
http:hukumpositif,com, Sengketa Perdagangan Elektronik, diakses 5 Maret 2010
136
UUPK, Pasal 23
137
Ibid, Pasal 45
Universitas Sumatera Utara
konsumen dalam suatu perdagangan maka terdapat beberapa cara yang dapat membantu penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, proses
penyelesaian sengketa tersebut adalah : 1.
Melalui Jalur Pengadilan Litigasi melalui jalur pengadilan pada umumnya akan menimbulkan suasana
permusuhan yang dapat berkepanjangan bagi para pihak yang berperkara, litigasi untuk pelaku ekonomi atau masyarakat bisnis internasional juga
membawa dampak lain, misalnya mengenai system hukum yang berbeda, penentuan tempat berlitigasi, hubungan bisnis yang menjadi buruk serta
pertanyaan mengenai penegakan serta pelaksanaan keputusan.
138
Disamping itu litigasi juga memerlukan waktu, biaya, ditambah dengan alasan teknis
yaitu penumpukan jumlah perkara dipengadilan, maka peluang alternatif untuk penyelesaian sengketa sangat diperlukan.
139
Sengketa-sengketa di Indonesia dan juga negara lainnya yang diajukan melalui jalur pengadilan litigasi ternyata memiliki beberapa kelemahan, diantaranya :
1. Litigasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim memerlukan
pembelaan 2.
Litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-
kelemahan pihak lainnya
138
Ningrum Natasya Sirait, Intisari Perkuliahan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Atau Non Litigasi, 2008
139
Ibid
Universitas Sumatera Utara
3. Proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal
4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.
140
2. Alternatif Penyelesaian Sengketa Penyelesaian sengketa melalui Alternative Dispute Resolution adalah
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
141
Usaha-usaha untuk menemukan bentuk penyelesaian sengketa alternatif terjadi pada saat Warren Burger mantan Chief
Justice diundang pada suatu konferensi yaitu Roscoe Pound Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice Pound
Conference di Saint Paul, Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum, serta pengacara yang menaruh perhatian pada masalah sengketakonflik berkumpul
bersama pada konferensi tersebut. Beberapa makalah yang disampaikan pada saat konferensi, akhirnya disusun menjadi suatu pengertian dasar basic understanding
tentang penyelesaian sengketa saat itu.
142
Beberapa tahun berikutnya, penyelesaian sengketa alternatif Alternative Dispute Resolution mulai diterapkan secara
sistematis. Hakim seringkali memerintahkan kepada para pihak untuk ikut berpartisipasi dalam suatu persidangan. Peraturan di pengadilan senantiasa
140
Ahmad M. Ramli, Op.cit, hal 56
141
Ningrum Natasya Sirait, Intisari Perkuliahan Aspek Hukum Perjanjian Kontrak Perjanjian Arbitrase, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008.
142
Ibid, Intisari Perkuliahan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Atau Non Litigasi, Op.cit
Universitas Sumatera Utara
mensyaratkan dalam hal ini hanya akan dibahas mengenai arbitrase, karena cara arbitrase yang sering digunakan di beberapa kontrak serta adanya kesamaan dengan
proses pembuktian dalam badan peradilan biasa.para pihak untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu seperti: malpraktek diselesaikan melalui arbitrase, bahkan di
beberapa pengadilan, pihak-pihak disyaratkan untuk mencoba terlebih dahulu menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui cara mediasi sebelum
menempuh jalur pengadilan.
143
Istilah Penyelesaian Sengketa Alternatif merupakan istilah yang umum dipergunakan sebagai terjemahan dari Alternative Dispute
Resolution ADR. Ada berbagai istilah yang dipakai untuk menunjuk pada bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti: Mekanisme Alternatif Penyelesaian
Sengketa MAPS, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Alternatif Penyelesaian Sengketa APS sebagaimana judul dari Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 30
bahkan tidak mempergunakan istilah khusus, tetapi hanya menyebut Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan.
144
Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh pihak yang bersengketa.
145
Pemilihan lembaga arbitrase untuk
143
www.accountingcommunity.blogspot.com, E-commerce dan Permasalahannya, 2008, diakses 5 Maret 2010
144
Fahmi Firman, Permasalahan Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Elektronik, artikel dalam http:hukumpositif.com, diakses 5 Maret 2010.
145
Ningrum Natasya Sirait, Intisari Perkuliahan Aspek Hukum Perjanjian Kontrak Perjanjian Arbitrase, Op.cit
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan sengketa yang timbul di antara para pihak dilandasi oleh banyaknya keuntungan yang diperoleh, antara lain:
a. Keuntungan dari satu peradilan arbitrase sebagaimana tersebut di atas ialah
menang waktu, karena dapat dikontrol oleh para pihak sehingga kelambatan dalam proses peradilan pada umumnya dapat dihindari
b. Di samping keuntungan tersebut, kerahasiaan proses penyelesaian sengketa suatu
hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia usaha dapat dikatakan lebih terjamin c.
Macam-macam bukti dalam penyelesaian perselisihan yang tidak terletak dalam bidang yuridis pun dapat digunakan, sehingga tidak perlu terlambat karena
ketentuan undang-undang mengenai pembuktian yang bersangkutan d.
Suatu putusan arbitrase pada umumnya terjamin, tidak memihak, mantap, dan jitu karena diputuskan oleh orang ahli yang pada umumnya menjaga nama dan
martabatnya oleh karena berprofesi dalam bidang tersebut.
146
Christopher Kuner tidak memberikan definisi tentang Alternative Dispute Resolution, ia hanya menyatakan: The term ‘alternative dispute resolution” can
include a wide variety of dispute resolution mechanism outside the court system, including arbitration, mediation, consumer compalint systems, etc., so that it can be
difficult to define exactly what is meant by the term. Sekalipun banyak pendapat yang berbeda tentang definisi Penyelesaian Sengketa Alternatif, tetapi apabila
memperhatikan unsur-unsurnya terdapat beberapa persamaan yaitu: merupakan suatu
146
Agnes M. Toar, Uraian Singkat Tentang Arbitrase Dagang di Indonesia, Artikel tentang Arbitrase di Indonesia, Jakarta : Ghalia, 1995, hal 44
Universitas Sumatera Utara
suatu lembaga penyelesaian sengketa serta proses penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan out of court.
147
Untuk mengurangi sekaligus menghindari kemungkinan timbulnya masalah berkaitan dengan penggunaan lembaga peradilan,
pelaku bisnis beralih pada penyelesaian sengketa alternatif untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul dalam aktivitas bisnis mereka. Ada beberapa
keuntungan yang diperoleh para pihak apabila memilih penyelesaian sengketa alternatif sebagai lembaga yang akan membantu menyelesaikan sengketa yang timbul
di antara mereka, antara lain: a.
Waktu, melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa relatif singkat.
b. Biaya, karena waktu dan mekanismenya relatif sederhana sehingga membawa
akibat biaya yang dikeluarkanpun lebih murah c.
Keahlian, pihak yang turut serta dalam membantu proses penyelesaian sengketa berasal dari kalangan ahli di bidangnya, sehingga keputusan yang
diambil relatif dapat dipertanggungjawabkan d.
Kerahasiaan, karena mekanisme penyelesaian tidak dipublikasikan, sehingga kerahasiaan dari masing-masing pihak tetap terjaga. Seperti kita ketahui,
masalah kerahasiaan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi siapapun juga, tidak terkecuali bagi pelaku usaha.
148
147
Christhoper Kuner, Legal Obstacle to ADR, Artikel Electronic Commerce, 2000, hal 1
148
Munir Fuady, Op.cit, hal 3
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sangat sedikit mengatur mengenai prosedur berarbitrase pada arbitrase institusional. Ketentuan yang ada dalam undang-
undang tersebut lebih banyak ditujukan untuk arbitrase ad hoc. Kesimpulan semacam itu disandarkan pada ketentuan Pasal 34 sebagai berikut :
1 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan
menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
2 Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.
Arbitrase dilakukan melalui arbitrase institusional atau lembaga arbitrase, maka peraturan prosedur yang berlaku adalah peraturan yang berlaku di lembaga tersebut
atau peraturan yang disetujui oleh para pihak.
149
Dari beberapa lembaga penyelesaian sengketa alternatif ADR yang ada, lembaga Arbitrase merupakan yang paling
popular dipergunakan dibandingkan dengan lembaga penyelesaian lainnya. Ciri khas yang paling menonjol dari lembaga arbitrase dibandingkan dengan lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya antara lain: proses beracaranya lebih formal, bahkan memiliki kemiripan dengan lembaga peradilan, kekuatan putusannya bersifat
final and binding, sehingga memiliki jaminan kepastian pelaksanaan dari putusan yang dihasilkan, adanya keterikatan dengan hukum yang berlaku, dan sebagainya.
149
Paulinus Siburian, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta : Djambatan, 2004, hal 126
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul melalui lembaga arbitrase, maka pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk
memeriksanya, sebagaimana dinyatakan di dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
150
Selanjutnya dikatakan bahwa : Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
151
Prosedur arbitrase
perlu dipahami untuk melihat apakah prosedur arbitrase konvensional seperti yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999 dapat diterapkan menjadi mekanisme online. Secara garis besar, prosedur arbitrase dapat dibagi ke dalam tiga tahap sebagai berikut.
1. Prosedur sebelum dengar pendapat. Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, diawali dengan prosedur sebelum dengar pendapat yang terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :
a. Pemberitahuan kepada arbiter tentang penunjukannya. Langkah
pertama yang perlu dilakukan untuk melakukan arbitrase adalah pemberitahuan secara tertulis kepada seorang ahli bahwa ia telah
dipilih sebagai arbiter untuk menyelesaikan suatu sengketa.
150
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 11 Ayat 1
151
Ibid, Ayat 2
Universitas Sumatera Utara
b. Persiapan arbiter. Hal penting yang perlu diperhatikan oleh arbiter
adalah penunjukkannya sudah dilakukan berdasarkan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c. Pemeriksaaan pendahuluan. Berdasarkan praktek, biasanya arbiter
mengadakan pertemuan terlebih dahulu dengan para pihak sebelum mengadakan dengar pendapat secara resmi.
d. Prosedur pelaksanaan tugas arbiter. Berdasarkan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999, arbiter berwenang untuk memerintahkan dan melakukan interogasi dalam proses dengar pendapat. Dalam proses
tersebut, arbiter dapat bersikap aktif, yaitu arbiter bertindak mencari data. Namun, arbiter juga dapat bersikap pasif, yaitu para pihak lah
yang menyampaikan data-data sedangkan arbiter cukup mendengarkan saja.
e. Menentukan waktu dan dengar pendapat. Jika ada salah satu pihak
yang tidak datang pada saat dengar pendapat, maka arbiter tetap dapat melakukan dengar pendapat tersebut.
f. Komunikasi perorangan para pihak. Apabila salah satu pihak dalam
proses arbitrase menghubungi arbiter tanpa sepengetahuan pihak lain, arbiter wajib menolaknya.
2. Prosedur pada waktu dengar pendapat. Arbiter memiliki kedudukan
sebagai seorang hakim berdasarkan adanya kesepakatan penunjukan para pihak yang bersengketa. Penunjukan oleh para pihak ini memberikan
Universitas Sumatera Utara
wewenang kepada arbiter untuk dapat memutus berdasarkan fakta yang diberikan kepadanya. Pada saat proses arbitrase berlangsung pihak
ketiga atau pihak lain umum tidak diperbolehkan hadir dalam proses. Hal ini merupakan cerminan dari sifat arbitrase yang menjaga kerahasian
para pihak yang bersengketa. 3.
Pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan putusan arbitrase ada tata cara pelaksanaan yang harus ditempuh. Berdasarkan Pasal 59 Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999, tata cara pelaksanaan pokok-pokok di dalam putusan tergantung pada telah didaftarkannya di pengadilan atau
belum.
B. Pilihan hukum dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Elektronik