BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Persoalan Kemiskinan
Krisis ekonomi yang menekan perekonomian Indonesia pada pertengahan 1997, yang juga diikuti dengan meningkatnya harga bahan pokok yang sulit dipenuhi
oleh setiap keluarga semakin menambah jumlah orang miskin secara substansial, kondisi ini juga berpengaruh pada kondisi makro ekonomi secara keseluruhan dan
juga kesejahteraan msyrakat, jumlah kemiskinan dapat dipercayai terus bertambah secara drastis, walaupun banyak pedapat bahwa kemiskinan itu sudah sangat banyak
berkurang, data kontemporer yang menggambarkan penambahan kemiskinan dari periode prakrisis 1996 sampai sekarang Sutyastie 2002: 4
Universitas Sumatera Utara
Secara umum pengertian kemiskinan adalah sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga khususnya pangan Mubyarto, 1983:171.
Standar minimal kebutuhan hidup ini berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Hal yang senada juga di kemukakan oleh Thee Kian Wie Dalam Sumardi dan
Evers, 1982: 2-3, mendefenisikan kebutuhan pokok sebagai suatu paket barang dan jasa yang oleh masyarakat di anggap perlu tersedia bagi setiap orang. Kebutuhan ini
merupakan tingkat minimum yang dapat dinikmati seseorang. Hal ini berarti bahwa kebutuhan pokok itu berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, dari suatu
negeri ke negeri lain. Jadi kebutuhan pokok itu dapat dikatakan tidaklah spesifik. Berdasarkan hasil identifikasi Setya Dewanta menyimpulkan bahwa penyebab
mengapa orang menjadi miskin adalah: 1. Perbedaan akses ekonomi yang dimiliki. Perbedaan ini telah muncul sejak lahir,
dimana masing-masing individu dapat lahir dengan orang tua yang kaya atau orang tua yang miskin. Dari hal ini terjadi perbedaan endowment kesempatan diantara
individu atau telah terjadi ketimpangan kepemilikan akses ekonomi. Memang endowment yang di miliki tersebut tetap harus dikembangkan sehingga tidak
menutup kemungkinan bagi si miskin berupaya untuk menjadi kaya, dan sebaliknya. Dalam pengembangan diri ini, kelompok miskin perlu dibantu agar memiliki
kemampuan keterampilan dan juga pendidikan. 2. Ketidakberuntungan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat miskin, kondisi
tersebut adalah deprevation trap, yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik,
Universitas Sumatera Utara
keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan masyarakat miskin dalam menghadapi perubahan-perubahan kebijaksanaan ekonomi dan non ekonomi,
fluktuasi pasar dan kekuatan ekonomi yang lebih kuat. 3. Ketimpangan Distribusi
Ketimpangan distribusi ini dapat disebabkan karena perbedaan beberapa factor produksi yang dimiliki. Pekerja yang hanya mengandalkan tenaga otot saja akan
menerima bagian yang lebih kecil, jika dibandingkan dengan pekerja yang mengandalkan kemampuan intelektualskill dalam berproduksi.
4. Pembangunan Sebagai Ideologi Pancasila yang seharusnya menjadi ideologi pembangunan dan telah digeser oleh
pembangunan itu sendiri. Akibatnya pembangunan itu menyebabkan dialektika pembangunan. Pembangunan
itu sendiri telah dijadikan sebagai alat ampuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Peristiwa penggusuran demi pembangunan adalah suatu bentuk yang
konkrit yang dapat kita amati bagi pembangunan sebagai ideologi. 5. Strategi Pembangunan dan Industrialisasi
Pemilihan strategi pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan akan mengakibatkan aspek pemerataan menjadi tertinggal.
6. Intervensi Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan pemerintah memang dibutuhkan untuk melakukan investasi sosial dan melakukan pemihakan terhadap si miskin. Namun pada sisi lain, pemerintah
melakukan kebijakan makro yang justru kurang menguntungkan bagi kebijakan pengentasan kemiskinan. Bias birokrasi ini mengakibatkan kebijakan pemerintah
yang sering lebih menguntungkan kelompok yang kaya dibandingkan kelompok yang miskin. Bias ini disebabkan karena kurang tanggapnya kelompok yang
miskin terhadap perubahan yang baru, dan pemilihan program yang kurang mengikutsertakan kelompok yang dikenai.
Di dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan dan pemberdayaan Masyarakat” Dr Sunyoto Usman mengatakan, bahwa kemiskinan merupakan salah
satu problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu di lakukan dalam membahas masalah ini adalah mengidentifikasikan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan miskin, atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya?
Sedikitnya ada dua perspektif yang lazim digunakan untuk mendekati masalah kemiskinan yaitu: perspektif kultural Cultural perspektif dan perspektif struktural
atau situasional situational perspektif. Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan, dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganalisis masalah
kemiskinan. Perspektif kultural mendekati kemiskinan pada tiga analisis yaitu: individual,
keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat
Universitas Sumatera Utara
yang lazim disebut dengan a strong feeling of marginality seperti sikap parokial, apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung pada inferior. Pada
tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota yang besar, dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum
miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. Sedangkan menurut perspektif struktural, masalah kemiskinan dilihat sebagai akibat dari sistem ekonomi
yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern. Secara Sosiologis, kemiskinan dimensi struktural dapat ditelususri melalui
institusional arrangements yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada “ kelemahan
diri”, sebagaimana yang dipahami dalam perspektif kultural. Kemiskinan semacam ini justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi
yang selama ini dicanangkan serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu sendiri.
2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Masyarakat