dialami oleh remaja putri SMA Swasta Kristen Immanuel Medan adalah jerawat atau lesi kulit 27,1.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pawestri Utari 2014 didapati bahwa mayoritas gejala fisik sindrom pramenstruasi yang dialami adalah
perubahan nafsu makan 72,2. Didapati juga hasil gejala fisik lain yaitu timbulnya jerawat atau lesi 71,9, ketidaknyaman panggul 68,9, nyeri tekan dan
pembengkakan payudara 56,8, sakit kepala dan perubahan pola buang air besar 25,8, perut kembung 15,9, mual 12,1, rasa panas serta kemerahan pada
leher dan limbung 7,6, palpitasi 6,8, edema perifer 4,5, dan gangguan penglihatan 2,3. Hasil penelitian lain yang dilakuan oleh Rizal 2013 didapati
mayoritas gejala fisik sindrom pramenstruasi yang selalu dialami adalah nyeri perut 30. Didapati juga hasil gejala fisik lain yaitu sakit pinggang 12,5, nyeri
punggung 5, nyeri dan pembengkakan payudara 2,5.
5.2.3 Berdasarkan Gejala Emosional Sindrom Pramenstruasi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Di SMA Swasta Kristen Immanuel Medan didapati mayoritas gejala emosional sindrom pramenstruasi yang
selalu dialami adalah mood yang berubah-ubah dan kemarahan yang muncul tanpa provokasi 32,2. Terdapat hasil gejala emosional lain yang selalu dialami adalah
suka marah 23,7, irritabilitas atau mudah tersinggung 22,0, merasa lelah 16,9, gelisah 13,6, menangis 11,9, perasaan lepas kendali, perubahan alam
perasaan, ansietas, penurunan konsentrasi serta keinginan menyendiri 8,5, tegang
Universitas Sumatera Utara
dan panik 6,8, rasa bermusuhan dan bingung 5,1, merasa agresif dan depresi 3,4, dan pelupa 1,7 .
Penurunan transmisi serotin yang berperan sebagai salah satu agen penyeimbang afek diotak dapat menimbulkan efek kemarahan. Estrogen dan
progesteron telah terbukti mampu memodulasi neurotransmiter pada beberapa jalur serotin, termasuk mengatur respon reseptor terhadap stimulasi serotin Suparman,
2011. Serotin adalah suatu neurotransmiter yang merupakan suatu bahan kimia yang terlibat dalam pengiriman pesan sepanjang saraf didalam otak, tulang belakang, dan
seluruh tubuh. Serotin sangat mempengaruhi suasana hati Saryono Sejati, 2009. Gejala mood yang berubah-ubah timbul akibat ketidakseimbangan hormon
progesteron dan estrogen dimana hormon estrogen terlalu tinggi dibandingkan progesteron Sibagariang, Pusmaika Rismalinda, 2010. Peningkatan estrogen
terkait dengan penurunan endofrin diotak sehingga menyebabkan perubahan suasana hati atau perubahan mood seseorang Meschino, 2002.
Defisiensi produksi progesteron dapat menimbulkan gejala mudah tersinggung Manuaba, dkk, 2009. Stimulasi susunan saraf pusat yang berlebihan
dan penurunan transmisi serotin dapat menimbulkan irritabilitas atau mudah tersinggung Suparman, 2011. Gejala suka marah dapat disebabkan oleh estrogen
serum tinggi dan progesteron serum rendah Baradero, Dayrit Siswadi, 2006. Teori lain mengatakan, pada masa transisi remaja terjadi perubahan hormonal dalam
tubuh yang berhubungan erat dengan peningkatan perubahan emosi. Remaja sering
Universitas Sumatera Utara
memperlihatkan ketidakstabilan emosi seperti cepat tersinggung, dan suka marah Kusmiran, 2014.
Gejala kelelahan dapat disebabkan oleh stres yang dialami oleh seseorang Wijayaningsih, 2014. Salah satu faktor resiko meningkatnya gejala sindrom
pramenstruasi adalah stres Sibagariang, Pusmaika Rismalinda, 2010. Penurunan transmisi serotin sebagai salah satu agen penyeimbang afek diotak dapat
menimbulkan perasaan lelah Suparman, 2011. Rendahnya kadar dan aktivitas serotin pada seseorang yang mengalami sindrom pramenstruasi dapat menimbulkan
kelelahan Saryono Sejati, 2009. Defisiensi produksi progesteron dapat menimbulkan perasaan gelisah
Baradero, Dayrit Siswadi, 2006. Salah satu faktor penyebab resiko meningkatnya sindrom pramenstruasi adalah stres Sibagariang, Pusmaika Rismalinda, 2010.
Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan perasaan gelisah Wijayaningsih, 2014. Teori lain mengatakan perubahan hormonal pada tubuh remaja berhubungan
erat dengan peningkatan kehidupan emosi. Remaja sering memperlihatkan ketidakstabilan emosi seperti sering gelisah Kusmiran, 2014.
Gejala keinginan
menangis ditimbulkan
oleh faktor
stres dan
ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen Sibagariang, Rismalinda Pusmaika, 2010. Estrogen serum tinggi dan progesteron serum rendah dapat
menimbulkan keinginan menangis Baradero, Dayrit Siswadi, 2006. Serotin sangat mempengaruhi suasana hati seseorang sehingga mudah menangis Saryono
Sejati, 2009. Hal ini disebabkan oleh estrogen dan progesteron yang telah terbukti
Universitas Sumatera Utara
mampu memodulasi neurontrasmiter pada beberapa jalur serotin termasuk mengatur respon reseptor terhadap stimulasi serotin Suparman, 2011. Teori lain mengatakan
bahwa perubahan emosi pada remaja dapat menimbulkan kondisi sensitif atau kepekaan sehingga mudah menangis, hal ini sering terjadi pada remaja puteri, terlebih
sebelum menstruasi Widyastuti, Rahmawaty Purnamaningrum, 2010. Perasaan lepas kendali lepas kendali dan rasa bermusuhan diakibatkan oleh
penurunan transmisi serotin yang berperan sebagai afek diotak Suparman, 2011. Hai ini juga dapat disebabkan oleh perubahan emosi, dimana remaja dalam masa
pencarian identitas diri dan kebebasan diri sehingga mudah berkelahi atau bermusuhan Pinem, 2009. Perubahan alam perasaan disebabkan oleh peningkatan
rasio estrogen terkait dengan penurunan endofrin diotak Meschino, 2002. Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron saat siklus menstruasi dapat
menimbulkan perubahan perasaan Sibagariang, Pusmaika Rismalinda, 2010. Gejala ansietas dapat disebabkan oleh estrogen serum tinggi, progesteron
serum rendah, dan andogen adrenal tinggi Baradero, Dayrit Siswadi, 2006. Penurunan drastis kadar progesteron pada fase luteal akhir siklus haid memicu
terjadinya gangguan fungsi kognitif dan ketidakstabilan afek yang dapat menimbulkan kecemasan pada seseorang yang mengalami sindom pramenstruasi
Suparman, 2011. Rasa cemas diakibatkan oleh ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dimana terjadi peningkatan hormon estrogen Sibagariang, Pusmaika
Rismalinda, 2010. Rendahnya kadar dan aktivitas serotin pada seseorang yang mengalami sindrom pramenstruasi dapat menimbulkan gejala kecemasan dan faktor
Universitas Sumatera Utara
psikis, yaitu stres, dimana dapat sangat hebat pengaruhnya terhadap kejadian sindrom pramenstruasi Saryono Sejati, 2009.
Stres dapat membuat seseorang merasakan perasaan takut yang berlebih atau panik Wijayaningsih, 2014. Panik merupakan kecemasan yang berhubungan dengan
ketakutan, karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Hal ini terjadi karena
peningkatan motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, serta persepsi yang menyimpang Stuart Sundeen, 1998
Salah satu faktor yang meningkatkan terjadinya sindrom pramenstruasi adalah stres, dimana stres dapat memperberat gejala sindrom pramenstruasi Sibagariang,
Pusmaika Rismalinda, 2010. Menurut Wijayaningsih 2014 stres dapat membuat seseorang mengalami penurunan konsentrasi. Aktivitas serotin berhubungan dengan
gejala penarikan diri dan agresif. Hal ini diakibatkan rendahnya kadar dan aktivitas serotin pada seseorang yang mengalami sindrom pramenstruasi Saryono Sejati,
2009. Penurunan transmisi serotin yang berperan sebagai salah satu agen penyeimbang afek diotak dapat menimbulkan gejala agresif. Hal ini dikarenakan
hormon estrogen dan progesteron telah terbukti mampu mengatur respon reseptor terhadap stimulasi serotin Suparman, 2011. Teori lain mengatakan bahwa agresif
yang dirasakan dapat diakibatkan oleh perubahan emosi pada remaja, dimana masih dalam proses pencarian identitas diri dan kebebasan diri Pinem, 2009.
Peningkatan estrogen, dan rendahnya progesteron, serta andogen adrenal yang tinggi dapat menyebabkan kebingungan dan cepat lupa pada seseorang yang
Universitas Sumatera Utara
mengalami sindrom pramenstruasi Baradero. Dayrit Siswadi, 2006. Hal ini sejalan teori lain, ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron, serta
faktor stres yang dapat menyebabkan kebingungan dan cepat lupa Sibagariang, Pusmaika Rismalinda, 2010. Penurunan drastis kadar progesteron pada fase luteal
akhir siklus haid dapat memicu terjadinya gangguan fungsi kognitif dan ketidakstabilan afek yang menyebabkan gejala depresi, dan penurunan transmisi
serotin sebagai penyeimbang afek diotak juga dapat menimbulkan gejala depresi Suparman, 2011. Menurut Wijayaningsih, stres berat dapat menimbulkan depresi
pada seseorang. Berdasarkan teori, salah satu faktor terjadinya peningkatan gejala sindrom
pramenstruasi adalah stres Saryono Sejati, 2009; Sibagariang, Pusmaika, Rismalinda, 2010. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rihu
Zulaikhah 2014, bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan sindrom pramenstruasi. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Mayyane 2011
bahwa ada hubungan antara tingkat stres dengan kejadian sindrom pramenstruasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bungasari, Tandean
Suparman 2015 didapati mayoritas gejala emosional sindrom pramenstruasi yang dialami yaitu perubahan mood 96,3. Didapati hasil gejala emosional lain yaitu
mudah marah 87,1, mudah tersinggung 72,2, rasa cemas 68,5, dan tegang 53,7. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa
mayoritas gejala emosional sindrom pramenstruasi yang dialami remaja putri SMA Swasta Kristen Immanuel Medan adalah mood yang berubah-ubah 32,2.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pawestri Utari 2014 didapati bahwa mayoritas gejala emosional yang dialami adalah irritabilitasmudah
tersinggung 87,1. Didapati hasil gejala emosional lain adalah mudah lelah 82,6, penurunan konsentrasi 51,5, perubahan alam perasaan 47,7, cemas
46,9, gelisah 44,7, tegang 24,2, dan depresi 9,8. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rizal 2013 didapati mayoritas gejala emosional yang selalu
dialami adalah bad mood 20, mudah marah dan tersinggung 15, mudah sedih 7,5, serta tegang, depresi, dan penurunan daya konsentrasi 2,5.
Dari beberapa hasil penelitian diatas, gejala cemas merupakan salah satu gejala yang selalu dialami saat sindrom pramenstruasi. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lestari 2015 bahwa ada hubungan sindrom pramenstruasi dengan tingkat kecemasan, dimana semakin berat sindrom
pramenstruasi maka semakin berat tingkat kecemasan yang dialami responden. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Ricka Wahyuni 2010 didapati bahwa terdapat
hubungan signifikan antara tingkat kecemasan dengan sindrom pramenstruasi, dimana semakin ringan tingkat kecemasannya maka sindrom pramenstruasi juga
semakin ringan.
5.2.4 Berdasarkan Gejala Perilaku Sindrom Pramenstruasi