Latar Belakang Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan syariah pada sektor agribisnis

17

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut dicirikan oleh berbagai hal. Pertama, besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Badan Pusat Statistik 2006 melaporkan bahwa pada tahun 2005 ada sekitar 94,95 juta penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas yang menyatakan “bekerja selama seminggu yang lalu”. Kurang lebih 41,8 juta dari total penduduk yang bekerja tersebut 44 persen menyatakan bahwa mereka bekerja di sektor pertanian dalam arti luas pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan dan peternakan. Sekitar 18,9 juta orang 20 persen bekerja di sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel, dan 11,6 juta orang 12,3 persen bekerja di sektor industri pengolahan. Data ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang menyerap paling banyak tenaga kerja. Kedua, jumlah persentase luas lahan yang digunakan untuk usaha pertanian. BPS 2006 menyebutkan bahwa 71,33 persen dari seluruh luas lahan yang ada di Indonesia digunakan untuk usaha pertanian yang meliputi: tegalladangkebunhuma, tambak, kolamtebatempang, lahan untuk tanaman kayu-kayuan, perkebunan negaraswasta dan sawah. Besarnya penyerapan tenaga kerja dan luasnya lahan yang digunakan untuk usaha pertanian, merupakan dua faktor penting yang memberikan argumentasi kuat bahwa pembangunan sektor pertanian merupakan pilihan strategis dan harus mendapat prioritas utama dalam kerangka pembangunan nasional. Saat ini, sumber daya ekonomi yang dikuasai oleh rakyat di setiap daerah adalah sumber daya agribisnis, yaitu sumber daya agribinis berbasis tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Oleh karena itu, cara yang paling efektif untuk mengembangkan perekonomian adalah melalui pengembangan agribisnis. Pengembangan agribisnis yang dimaksud bukan hanya pengembangan pertanian primer atau subsistem on farm agribusiness, tetapi juga mencakup subsistem agribisnis hulu up stream agribusiness, yaitu industri-industri yang menghasilkan sarana produksi bagi pertanian primer, seperti industri pembibitanperbenihan, industri agro-otomotif, 18 industri agro-kimia, dan susbsistem agribisnis hilir down stream agribusiness, yaitu industri-industri yang mengeloh hasil pertanian primer menjadi produk olahan beserta kegiatan perdagangannya. Pengembangan agribisnis di setiap daerah jangan hanya puas pada pemanfaatan kelimpahan sumber daya yang ada factor driven atau mengandalkan keunggulan komparatif comparative advantage seperti sekarang ini, tetapi secara bertahap harus dikembangkan ke arah agribisnis yang didorong oleh modal capital driven dan kemudian kepada agribisnis yang didorong oleh inovasi innovation driven. Dengan perkataan lain, keunggulan komparatif agribisnis pada setiap daerah ditranformasi menjadi keunggulan bersaing competitive advantage melalui pengembangan mutu sumber daya manusia, teknologi, kelembagaan dan organisasi ekonomi lokal yang telah ada pada masyarakat setiap daerah bukan menggantikannya dengan sesuatu yang benar- benar baru. Transformasi agribisnis seperti ini, kemampuan rakyat untuk menghasilkan produk-produk agribisnis yang saat ini masih didominasi oleh produk-produk yang bersifat natural resources and unskill labor based, secara bertahap beralih kepada produk-produk agribisnis yang bersifat capital and skill labor based dan kemudian kepada produk yang bersifat knowledge and skill labor based. Dengan transformasi produk agribisnis yang demikian, maka produk- produk agribisnis yang dihasilkan oleh setiap daerah dapat mampu bersaing dan memasuki segmen pasar yang lebih luas di pasar internasional. Pengembangan produk yang demikian juga akan memperbesar manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh rakyat. Pengembangan agribisnis harus juga disertai dengan pengembangan organisasi ekonomi, khususnya rakyat petani, agar manfaat ekonomi yang dihasilkan dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat dan daerah. Di masa lalu, rakyat petani bahkan daerah sentra-sentra agribisnis hanya menikmati nilai tambah dari subsistem on farm agribisnis yang umumnya relatif kecil. Nilai tambah yang paling besar, yakni pada subsistem agribisnis hulu dan hilir, dinikmati oleh para pedagang atau pengusaha luar daerah. Hal inilah yang 19 menyebabkan mengapa pendapatan petani tetap rendah dan ekonomi daerah sentra-sentra agribisnis kurang berkembang. Berdasarkan hal tersebut permasalahan pengembangan agribisnis yang ada di Indonesia sangatlah kompleks. Permasalahan pengembangan pasar dan tata niaga, kepemilikan lahan, birokrasi di pemerintahan, keterampilan, tekhnologi, mentalitas, organisasi tani, kebijakan pertanian, informasi dan modal pertanian Apriyantono, 2004. Namun, dalam hal ini permasalahan yang akan fokus dibahas adalah permasalahan modal pertanian. Permasalahan modal yang melanda petani membuat usaha pertanian semakin sulit untuk bertahan dengan usahanya. Permasalahan modal di pertanian pun disebabkan kurang pedulinya perbankan terhadap petani dan belum adanya proteksi bagi petani seperti asuransi pertanian serta banyaknya sistem ijon yang terjadi di petani dan pertanian di Indonesia. Berdasarkan Departemen Pertanian, panca yasa pembangunan pertanian salah satunya ialah fasilitas pembiayaan. Namun, dalam hal ini perlu ada segementasi pelaku usaha agribisnis ditinjau dari sisi perbankan. Ada empat segmentasi yaitu, pertama kelompok usaha agribisnis yang feasible dan bankable, kedua kelompok usaha agribisnis yang feasible tapi tidak bankable, ketiga kelompok usaha agribisnis yang tidak feasible tapi bankable dan keempat kelompok usaha agribisnis yang tidak feasible dan tidak bankable 1 . Saat ini tantangan paling besar dalam permodalan dibidang pertanian terletak pada jumlah proporsi dari UMKM yang usaha menengah sebesar 0.5 persen, usaha kecil sebesar 1.5 persen dan usaha mikro sebesar 98 persen atau sebanyak 42, 398 juta unit usaha pertanian. Besarnya jumlah proporsi usaha mikro mengakibatkan sebagian besar bank tidak tertarik untuk menyalurkan dananya dalam pembiayaan pertanian. Pihak bank beranggapan bahwa usaha pertanian tersebut masuk dalam segmentasi usaha yang feasible dan tidak bankable. Pihak lembaga keuangan bank dan non-bank yang tidak mendukung pembiayaan kepada sektor agribisnis menunjukan bahwa hal tersebut sangat bertolak-belakang dengan rencana pembangunan pertanian. Oleh karena itu, perlu sebuah inovasi baru dan 1 Disampaikan oleh Dr. Mat Syukur dalam Seminar Ekonomi Syariah IPB SENSASI dengan Judul Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian. IPB 14 Desember 2008 20 kontinu untuk mendukung pembangunan pertanian. Salah satunya ialah dengan perbaikan dalam sistem pembiayaan pertanian. Menurut Hafidhuddin 2008 Sejarah pembangunan pertanian di Indonesia mencatat bahwa kredit adalah salah satu sumber pembiayaan pertanian yang sangat penting. Sejak awal pembangunan pertanian dilaksanakan pada tahun 1960an, kredit telah disediakan oleh pemerintah dan lembaga keuangan, sebagai bagian dari paket pembangunan pertanian. Kredit memberikan manfaat kepada pelaku usaha pertanian terutama yang menjalankan skala usaha kecil. Pertama, kredit merupakan modal kerja bagi pelaku usaha pertanian yang memiliki keterbatasan modal sendiri. Kedua, kredit dapat menjadi pendorong bagi pelaku usaha pertanian untuk mandiri sehingga dapat terlepas dari ketergantungan pada pedagang perantara maupun tengkulak yang merugikan pelaku usaha pertanian. Namun demikian, ketersediaan kredit untuk pembiayan pertanian masih sangat minim. Pembiayaan pertanian saat ini dapat dilakukan dengan dua alternatif pembiayaan, yaitu pembiayaan konvensional dan pembiayaan syariah, hal lama yang tampak baru yaitu pembiayaan syariah untuk pertanian sangatlah menarik untuk dikaji lebih mendalam. Adanya pembiayaan usaha pertanian agribisnis syariah tersebut diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah permodalan petani. Era pembiayaan syariah di Indonesia mulai dikenal sejak berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992. Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan, memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Pemberlakuan undang-undang perbankan syariah mengakibatkan praktek industri perbankan syariah mulai berkembang secara signifikan. Sebagai sebuah skim pembiayaan, pembiayaan syariah dapat dimanfaatkan untuk investasi di sektor riil maupun konsumsi, skim pembiayaan syariah masih tergolong relatif baru dalam khasanah pasar keuangan financial market nasional. Namun, perkembangan pembiayaan sistem syariah selama beberapa tahun terakhir peningkatannya terlihat cukup pesat, tidak hanya pada jumlah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah, tetapi juga dalam mobilisasi dana pihak ketiga dan pembiayaan yang disalurkan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dimana 21 jumlah dana yang tersalurkan tiap tahunnya mengalami peningkatan, pada april 2009 pembiayaan syariah yang tersalurkan secara total mencapai sebesar Rp 39.726 Milyar dan untuk sektor pertanian mampu mencapai jumlah pembiayaan sebesar Rp 1.298 Milyar. Tabel 1 . Penyaluran Pembiayaan Bank Umum Syariah BUS dan Unit-unit Usaha Syariah UUS Berdasarkan Sektor Ekonomi Tahun 2005- 2009 Penyaluran Pembiayaan Bank Umum Syariah dalam milyar rupiah SEKTOR EKONOMI 2005 2006 2007 2008 Dec 2009 Mar 2009 Apr Laju Pertumbuhan 2005-2008 Tahun Pertanian. kehutanan dan sarana pertanian 687 701 837 1.177 1.303 1.298 84 Pertambangan 395 375 511 965 1.021 1.032 77 Perindus trian 933 940 1.371 1.340 1.305 1.236 90 Listrik. gas dan air 66 17 166 248 299 352 155 Konstruksi 1.548 1.637 2.371 3.368 3.248 3.217 78 Perdagangan. Restoran dan Hotel 1.716 3.041 4.152 4.426 4.745 4.853 74 Pengangkutan. pergudangan dan komunikasi 1.261 1.165 1.569 2.759 2.839 2.849 80 Jasa dunia usaha 4.504 5.458 8.425 11.757 11.606 11.819 73 Jasa sosial masyarakat 1.208 1.456 1.904 2.463 2.476 2.529 79 Lain-lain 2.913 5.655 6.639 9.693 10.465 10.542 68 Total 15.232 20.445 27.944 38.195 39.308 39.726 74 Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia April 2009 Selain itu, kerjasama yang dilakukan oleh BMT tidak hanya dilakukan dengan BUS dan UUS. Namun, kerja sama pun dilakukan dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS. Perkembangan pembiayaan yang terus meningkat untuk sektor ekonomi menunjukan bahwa pembiayaan syariah yang disalurkan tiap tahunnya selalu bertumbuh kembang dengan baik. Pembiayaan yang disalurkan untuk sektor pertanian meningkat tiap tahunnya hingga tahun 2009 mencapai 1.298 Milyar Rupiah. Pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Umum Syariah dan Unit-Unit Usaha Syariah ini dilakukan dengan cara Linkage Program dengan Lembaga Keuangan Mikro LKM 2 . Lembaga Keuangan Mikro ini menjadi bagian dari lembaga yang melakukan 2 Merza Gamal. Pola Kemitraan Syariah pada usaha Mikro. Republika 9 April 2005. 22 pembiayaan terhadap usaha pertanian agribisnis. Salah satu jenis LKM yang pesat berkembang di Indonesia adalah Baitul Maal Wat Tamwil BMT yang menjalankan prinsip syariah agama Islam. Perkembangan BMT dari sisi kuantitas telah mencatat hasil yang cukup mengesankan. Contohnya BMT Tumang, Desa Cepogo, Boyolali misalnya. didirikan tanggal 1 Oktober 1998, dengan modal awal Rp.7.050.000.- terkumpul dari 60 orang pendirinya. BMT Tumang berkembang dari asset Rp 18 juta akhir Oktober 1998. Rp 95 juta di akhir 1999, Rp.212 juta di akhir 2000, Rp.406 juta di akhir 2001 dan hampir Rp 2 Milyar di akhir 2003, melayani lebih dari 1.000 anggota peminjam pengrajin-pengrajin tradisional dan semi-modern alat-alat rumah tangga dan kerajinan seni untuk perlengkapan rumah tangga dan perkantoran, disamping menerima simpanan dari lebih 1800 anggota penabung PKES 2008. Tabel 2 . Penyaluran Pembiayaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah berdasarkan Sektor Ekonomi Tahun 2005-2009 Penyaluran Pembiayaan Pada BPRS dalam juta rupiah SEKTOR EKONOMI 2005 2006 2007 2008 Dec 2009 Mar 2009 Apr Laju Pertumbuhan 2005-2008 Tahun Pertanian. kehutanan dan sarana pertanian 11.874 17.720 24.436 41.613 43.618 44.483 66 Pertambangan 138 485 944 1.287 2.206 1.528 51 Perindustrian 9.207 12.465 12.447 15.885 17.095 17.323 84 Listrik. gas dan air 109 748 367 1.146 557 928 83 Konstruksi 3.495 6.570 16.051 26.536 34.913 31.685 52 Perdagangan. restoran dan hotel 190.583 255.559 295.195 370.907 428.840 446.070 80 Pengangkutan. pergudangan dan komunikasi 3.618 8.704 9.075 17.697 19.729 19.670 63 Jasa dunia usaha 49.031 72.194 99.050 140.989 147.575 151.237 70 Jasa sosial masyarakat 5.155 5.632 6.402 22.609 11.494 9.400 69 Lain-lain 144.072 235.392 422.148 617.942 626.391 638.589 62 Total 417.282 615.469 886.117 1.256.610 1.332.419 1.360.913 69 Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia April 2009 Munculnya Baitul Maal Wat Tamwil BMT yang berpihak kepada pengusaha mikro, kecil, dan menengah termasuk sektor pertanian tentu memberikan dampak positif tersendiri bagi para pengusaha tersebut. Sistem bagi hasil yang ditawarkannya mengakibatkan para pengusaha kecil menjadi leluasa 23 bergerak karena tidak terbebani akan adanya bunga yang terus bertambah. BMT dipandang sebagai salah satu alternatif sehubungan dengan usaha memperjuangkan nasib pengusaha kecil dan petani. Baitul Maal Waat Tamwill dapat mengurangi atau meniadakan syarat-syarat dipandang memberatkan para pengusaha kecil dan petani tersebut. Namun, perkembangan BMT yang semakin bertambah jumlahnya harus terkendali. Baitul Maal Waat Tamwill harus mampu berkembang tidak hanya kuantitas lembaganya saja, tapi juga kualitasnya yang pada akhirnya diarahkan pada efesiensi dan efektivitas kerja. Pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis yang terdapat pada KBMT dilihat perkembangannya, sehingga pembiayaan syariah yang ada pada KBMT Tadbiirul Ummah dapat menjadi alternatif pembiayaan untuk sektor agribisnis. Oleh karena itu, perlu dikaji secara lebih mendalam mengenai skim pembiayaan syariah yang ada pada KBMT Tadbiirul Ummah. Selain itu, perlu juga untuk mengetahui efektivitas pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis. Hal tersebut dimanfaatkan pula untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi realisasi pembiayaan syariah untuk sektor

1.2. Perumusan Masalah