Kualitas Lanskap Ekosistem Terumbu Karang

31 bentuk penilaian melalui kuisioner kuisoner dengan memperlihatkan foto yang telah dipilih. Dari setiap foto yang ditampilkan, responden akan menilai setiap foto yang ditampilkan dengan memberikan skor 1-10, dimana skor 1 menunjukan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan nilai yang paling disukai. 4. Perhitungan nilai SBE Tahapan perhitungan nilai visual dengan metode SBE diawali dengan tabulasi data, perhitungan frekuensi setiap skor f, perhitungan frekuensi kumulatif cf dan cumulative probabilities cp. Selanjutnya dengan menggunakan table z ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk nilai cp = 1.00 atau cp = z = ± ∞ digunakan rumus perhitungan cp = 1 – 1 2n atau cp = 1 2n Bock dan Jones 1968 in Khakim 2009. Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap fotonya kemudian dimasukan dalam rumus SBE sebagai berikut : SBEx = Zx - Zo x 100 Keterangan : SBEx = Nilai penduga pada nilai keindahan pemandangan landskap melalui foto video ke-x Zx = Nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x Zo = Nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar Selanjutnya dari nilai SBE dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu nilai SBE tertinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana simplified rating menurut Hadi 2001 in Khakim 2009 dengan rumus : I Nilai tertinggi Nilai terendah Jumlah kelas 32 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Kabupaten Buton Kabupaten Buton merupakan daerah kepulauan, 82 wilayahnya adalah perairan laut dan terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi, termasuk dalam Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah Kabupaten Buton sebagian berada wilayah Pulau Buton, sebagian berada di wilayah Pulau Muna dan sebagian berada di bagian tenggara jazirah Pulau Sulawesi. Luas Kabupaten Buton adalah 2 488,71 km 2 atau 248 871 hektar. Luas laut Kabupaten Buton sekitar 21.054 km 2 tersebar di 21 kecamatan. Panjang garis pantainya 538 km dan terumbu karang seluas 21 833 ha DKP Buton, 2006. Ibukotanya adalah Pasar Wajo, yang berjarak sekitar 50 km dari kota Bau-Bau. Secara geografis Kabupaten Buton terletak antara 4,96° - 6,25° Lintang Selatan dan 120,00 - 123,34° Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Buton mempunyai batas-batas sebagai berikut : Bagian Utara : Kabupaten Muna Bagian Selatan : Laut Flores Bagian Barat : Kabupaten Bombana Bagian Timur : Kabupaten Wakatobi. Kabupaten Buton memiliki topografi yang bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Permukaan tanah pegunungan pada ketinggian 100 – 500 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan 40°. Permukaan wilayah pada umumnya berbatu-batu dengan profil tanah yang agak dangkal. Jenis tanah podzolik, alluvial, grumosol, mediteran, lotosol, umumnya mudah tererosi dan longsor. Sebagian pegunungan dan perbukitan terdiri dari batu kapur dan batu- batuan DKP 2007. Kabupaten Buton beriklim tropis dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Suhu pada siang hari sangat panas dan curah hujan yang cukup tinggi. Musim hujan dipengaruhi oleh angin Barat yang terjadi pada bulan Desember sampai April, ditandai oleh curah hujan tinggi, ombak besar dan angin kencang. Pada musim ini angin darat bertiup dari Benua Asia dan Lautan Pasifik. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai September, angin Timur bertiup dari Benua Australia yang kering. Pada bulan April-Mei arah angin dan curah hujan tidak menentu, dikenal dengan musim Pancaroba DKP Sulawesi Tenggara 2003. Wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Buton terdiri dari 21 Kecamatan, 185 DesaKelurahan yang terdiri dari 164 Desa dan 24 Kelurahan dengan Ibu Kotanya Pasarwajo. Menurut klasifikasi desakelurahan, dari 185 desakelurahan di Kabupaten Buton pada tahun 2005 ada sebanyak 169 desa 91,35 merupakan desa swadaya dan sisanya 16 desa 8,65 merupakan desa swakarya Bappeda 2009. Potensi sumber daya alam Kabupaten Buton yang menjadi andalan adalah aspal, sumberdaya ikan, dan jasa kelautan. Aspal Buton memiliki kualitas yang tinggi dan lebih baik mutunya dibandingkan aspal drum. Tambang aspal terletak di sebelah selatan Pulau Buton. Pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan melalui perikanan tangkap dan budidaya, sedangkan sektor pariwisata dikembangkan wisata bahari dan Hutan Lambusango. Jenis ikan komersial yang menjadi target penangkapan adalah ikan tuna, layang, cakalang, tongkol, ikan karang kerapu, sunu, lobster, dan teri nasi. Alat tangkap yang digunakan nelayan di kabupaten Buton pada umumnya adalah pancing ulur, bubu, gillnet, dan pukat cincin. Jumlah alat tangkap yang digunakan sekitar 20 jenis alat yang dikelompokkan yaitu kelompok Pukat payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, kelompok Pancing huhate, pancing rawai tuna, pancing rawai dasar, pancing tonda, pancing ulur, kelompok Alat Perangkap sero dan bubu, dan kelompok Bagan bagan tancap dan bagan perahu. Sebagian besar usaha perikanan tangkap bersifat perorangan dan sedikit sekali usaha perikanan tangkap berkelompok skala besar. Perikanan budidaya yang berkembang di kabupaten Buton adalah budidaya rumput laut, mutiara, dan kerapu. Budidaya rumput laut lebih berkembang luas daripada budidaya mutiara dan kerapu. Luas areal budidaya rumput laut terbesar terdapat di kecamatan Lakudo, Mawasangka, Batauga, dan Lasalimu Selatan. Budidaya kerapu berkembang pesat di Kecamatan Lakudo, sedikit di Kecamatan Siompu dan Gu. Sedangkan budidaya mutiara mabe hanya terdapat di Kecamatan Kapontri DKP Buton 2006. 4.2. Pulau Liwutongkidi 4.2.1. Lokasi dan Iklim Pulau Liwutongkidi terletak di antara Pulau Kadatua dan Pulau Siompu, yang secara administratif sebagian wilayahnya termasuk Kecamatan Kadatua dan sebagian lainnya termasuk Kecamatan Siompu. Pulau Liwutongkidi merupakan pulau kecil yang tidak berpenghuni yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Pulau Liwutongkidi mempunyai dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan lebih dari 2 000 mmtahun yang termasuk dalam ketegori daerah basah. Arah angin pada musim kemarau yakni pada bulan Mei- Oktober berhembus dari arah utara menuju tenggara. Khusus pada bulan April, arah angin tidak menentu demikian pula curah hujan sehingga pada bulan itu dikenal dengan bulan atau musim pancaroba DKP Sulawesi Tenggara 2003 .

4.2.2. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya.

Karena Pulau Liwutongkidi tidak berpenghuni, untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya digunakan indikator pengganti surrogate, yaitu kondisi masyarakat yang ada di daerah yang terdekat yaitu Kecamatan Kadatua dan Kecamatan Siompu. Selain daerah terdekat dengan Pulau Liwutongkidi, Kecamatan Kadatua dan Siompu merupakan kecamatan binaan COREMAP II di Kabupaten Buton.

4.2.2.1. Kecamatan Kadatua

Kecamatan Kadatua terletak sekitar 40 mil dari Bau-Bau, atau sekitar 15 menit dengan transportasi laut. Secara geografis Kecamatan Kadatua terletak di sebelah barat Pulau Buton yang terdiri dari Pulau Kadatua dan sebagian Pulau Liwutongkidi. Pulau Kadatua terletak di sebelah utara Pulau Liwutongkidi. Kecamatan Kadatua terletak antara 5.29 - 5.59 Lintang Selatan dan 122.14 - 122.38 Bujur Timur. Kecamatan ini berbatasan di sebelah utara dengan Laut Flores, di sebelah selatan dengan Selat Siompu, di sebelah timur dengan Selat Masiri dan di sebelah barat juga dengan Laut Flores. Kecamatan ini terdiri dari 6 enam desa yaitu: Desa Lipu luas 7,08 km 2 , Desa Kapoa 4.91 km 2 , Desa Banabungi 4.13 km 2 , Desa Waonu 3.26 km 2 , Desa Uwemaasi 2.90 km 2 , dan Desa Kaofe 1.39 km 2 . Tahun 2008 jumlah penduduk di Kecamatan Kadatua adalah 9 590 jiwa terdiri dari 4 807 laki-laki dan 4 783 perempuan yang tersebar dalam 2 343 rumah tangga dengan kepadatan penduduk 303 jiwakm 2 . Dari jumlah penduduk itu tercatat 3 202 orang pekerja produktif dengan dominasi pekerjaan yang dipili adalah nelayan sebanyak 26.9 atau 862 orang Bappeda 2009. Kecamatan Kadatua dipandang oleh penduduknya maupun pemerintah setempat sebagai miskin sumber daya alam. Kondisi tanah bebatuan berkapur, sulit air bersih, menjadikannya dianggap sebagai miskin sumber daya alam. Sumber daya di kecamatan Kadatua dapat dibagi menjadi sumber daya alam di daratan dan sumber daya alam di lautan Nagib et al. 2006. Usaha penangkapan ikan berkembang baru terjadi beberapa tahun terakhir ini setelah adanya alat tangkap redi pukat cincin. Tetapi penggunaan alat penangkapan ini memerlukan investasi yang tinggi, sehingga usaha penangkapan ikan dengan redi hanya berkembang di Desa Banabungi. Kini penduduk banyak mencurahkan waktunya untuk mencari bulu babi, gurita, kerang-kerangan dan usaha budidaya rumput laut, selain usaha penangkapan ikan dengan target ikan karang, layang, dan tongkol. Sebenarnya masih banyak potensi ikan yang belum dimanfaatkan seperti ikan pari sebagai hasil tangkapan yang dibuang atau dibiarkan membusuk di tepi pantai oleh para nelayan Nagib et al, 2006. Para nelayan Kecamatan Kadatua mempunyai kebiasaan merantau untuk berdagang, sehingga aktivitasnya sebagai nelayan hanya dilakukan apabila sedang berada di lokasi. Pendapatan yang tinggi di kecamatan ini diperoleh dari penduduk yang bekerja di luar negeri dan nelayan redi pukat cincin. Bagi masyarakat Kadatua, kelompok penduduk ini dikategorikan sebagai kelas ekonomi tinggi. Sarana ekonomi yang ada di Kecamatan Kadatua adalah : a Pasar tradisional desa yang aktif seminggu sekali.