Daya Dukung Kawasan TINJAUAN PUSTAKA 1

wisatawan dibedakan Davis dan Tisdel 1996; Scheleyer dan Tomalin 2000; Zakai dan Chad Wick 2002; de Vantier dan Turak 2004 . Pemanfaatan perairan kawasan Pulau Liwutongkidi sebagai kawasan wisata bahari hendaknya mengacu kepada daya dukung lokasi penyelaman, karena degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan penyelaman telah dinilai dalam hal penurunan persentase life hard coral cover atau meningkatnya kerusakan karang Schleyer dan Tomalin 2000. Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal jika di suatu kawasan dikelola dengan pemanfaatan di bawah konsep daya dukung, dan sebaliknya apabila pemanfaatannya diatas daya dukung, akan sangat meningkatkan kerusakan terumbu karang Hawkins dan Roberts 1993. Strategi pengembangan wisata bahari untuk selam dan snorkeling diarahkan berdasarkan potensi biofisik kawasan. Pariwisata bahari harus dikelola secara seimbang antara tujuan ekonomis dan ekologis dalam menjamin keberlanjutan kegiatan. Sebagai contoh strategi pengelolaan yang dilakukan di GBR Australia dalam mengurangi dampak kerusakan yakni dengan melakukan pembatasan musin, pengukuran ukuran grup wisatawan dengan izin dan control pemandu, penzonasian kawasan serta pengaturan dan pembatasan perizinan pengelolaan Harriot 2002. Dengan menggunakan konsep daya dukung, diperoleh daya dukung sebanyak 252 orang per hari untuk luas area wisata snorkeling 12 605 Ha sedangkan untuk wisata selam dengan luas 10 2921 Ha memiliki daya dukung sebanyak 205 orang per hari. Strategi pengembangan berdasarkan potensi biofisik kawasan, sejalan dengan yang diutarakan oleh Joyosuharto 2001, bahwa pembangunan kepariwisataan perlu memperhatikan tuntutan kebutuhan wisatawan, tetapi tidak perlu berorientasi pasar semata. Pembangunan kepariwisataan perlu keterpaduan dalam perencanaan maupun memformulasikan tujuan.

4.7 Evaluasi Aspek Visual Ekosistem Terumbu Karang

Pada tahap ini dilakukan analisis spasial dalam bentuk penilaian visual landscape yang merupakan metode penetapan penilaian kualitas landscape pemandangan dalam kaitannya dengan pengembangan wisata bahari. Metode yang digunakan untuk penilaian visual suatu landscape ini adalah dengan prosedur Scenic Beauty Estimation SBE. Hasil penilaian kualitas visual oleh responden merupakan skor untuk masing-masing foto. Dalam penelitian ini terdapat 36 foto, yang mewakili 12 stasiun pada lokasi penelitian. Setiap stasiun penelitian diwakili oleh 3 buah foto, berupa hamparan karang dan jenis-jenis ikan karang. Foto-foto tersebut dinilai oleh responden sebanyak 50 responden, dimana selama penelitian didapat 8 orang wisatawan asing 16 dan 42 wisatawan lokal termasuk didalamnya adalah pelaku wisata, penyelam dan aparatur bidang kelautan dan perikanan serta pariwisata 84. Dari 50 responden yang didapat, 25 orang bisa menyelam dan memiliki sertifikat menyelam 50 dan 25 orang tidak bisa menyelam dan tidak memiliki sertifikat menyelam 50 . Rata - rata nilai yang diperoleh dari hasil penilaian responden kemudian dimasukan dalam rumus SBE. Keseluruhan nilai visual untuk masing-masing foto dapat dilihat pada Lampiran 7. Skor tertinggi nilai SBE tertinggi menunjukan bahwa lanskap gambar tersebut paling banyak dipilih sebagai lanskapgambar yang indah, sedangkan skor rendah menggambarkan lanskap yang jelek atau kurang disukai. Hasil analisis dengan rumus SBE pada setiap lanskapgambar dari setiap stasiun penelitian dapat diketahui bahwa kecenderungan responden sangat menyukai lanskap lokasi yang kondisi tutupan terumbu karang hidupnya masih dalam kondisi baik 67.67. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa stasiun 12 yang terletak pada bagian utara pulau Siompu memiliki jumlah nilai SBE yang paling tinggi, dimana dari ketiga foto landscape –nya memiliki rata-rata kategori tinggi. Sedangkan stasiun 2 dibagian selatan pulau Liwutongkidi memiliki jumlah nilai SBE yang terendah. Hasil nilai SBE per fotogambar, menunjukan gambar 35 memiliki nilai SBE paling tinggi yakni 78.13.