Latar Belakang Tinjauan Kriminologis Dan Hukum Pidana Terhadap Peranan Kepolisian Dalam Menangani Pelaku Tindak Pidana Akibat Pengaruh Narkoba Suntik Di Kota Medan (Studi Di Polresta Medan)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara hukum rechstsaat dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945. 1 Masalah Penggunaan Narkoba Suntik IDU’s menurut asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan menunjukan sebab terjadinya tindakan kriminalitas, masalah ini merupakan realita sosial yang selalu menarik dan menuntut perhatian Ide negara hukum, terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1 supremacy of law; 2 equality before the law; 3 due process of law. Dalam Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termaktub dalam Pasal 27 ayat 1 yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 1 Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan. 1 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1981, hlm.10 Universitas Sumatera Utara yang serius dari masyarakat umum maupun pihak Kepolisian dalam rangka menciptakan suasana keamanan dan ketertiban di masyarakat yang kondusif. Sebenarnya Narkoba,Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya NAPZA bukanlah barang baru bagi umat manusia,sejak jaman dulu manusia sudah mengenal NAPZA yang digunakan untuk penghilang rasa sakit anastesi ataupun untuk keperluan pengobatan Kedokteran lainnya. Di Indonesia telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang penggunaan NAPZA Undang Undang No.5 Tahun 1997, dimana penggunaan NAPZA diluar yang telah ditentukan adalah dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana. Karena penggunaan NAPZA khususnya yang digunakan dengan cara disuntikkan kedalam tubuh yang dapat menimbulkan adiksi ketagihan dan dependensi ketergantungan. Penyalahgunaan jenis NAPZA ini dapat berakibat fatal,dimana kefatalan dalam penyalahgunaan NAPZA jenis suntik IDU’s akan menimbulkan gangguan mental organik yang disebabkan langsung oleh NAPZA jenis suntik IDU’s pada neuro transmitter sel-sel saraf pusat otak dan lama kelamaan seseorang akan merasa ketagihan dan tanpa disadari akan bertambah dosis,sampai pada dosis keracunan,mabuk dan katagihan Sakaw. Keadaan Sakaw tersebut yang sering kali memicu dilakukannya tindakan pidana untuk memenuhi kebutuhan akan NAPZA. Pada tingkat kecanduan inilah akan muncul berbagai macam permasalahan, khususnya yang disebabkan oleh perilaku pengguna Narkoba suntik untuk memenuhi kebutuhannya akan Narkoba. Tidak jarang mereka melakukan tindak pidana berupa pencurian, penipuan dan Universitas Sumatera Utara kejahatan lain untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk membeli Narkoba. Selama ini tampaknya Negara juga hanya melihat penguna Napza sebagai penerima vonis untuk menjalani hukuman di penjara. Selanjutnya apa yang pengguna Napza dapatkan? Kebanyakan diantara mereka kemudian dipaksa untuk bertahan di tengah rimba penjara yang sangat keras. Tidak heran apabila kondisi di dalam penjara juga kerap membuat kecanduan pengguna Napza semakin parah, karena di dalam penjara kebanyakan pengguna juga masih bisa mendapatkan Narkoba. Hal semacam ini dapat dikatakan merupakan dampak dari kebijakan praktis dan pragmatis yang cenderung mengkriminalkan pengguna Napza dan sekedar ditujukan untuk membuat efek jera bagi sebagian kalangan pengguna Napza. Menjebloskan pengguna Napza ke dalam penjara sebagai solusi untuk membuat mereka pulih jelas merupakan pilihan yang sia-sia. Kecanduan Napza adalah sebuah penyakit progresif yang berdampak secara fisik, psikis, sosial dan spiritual. Namun pada suatu titik tertentu, penyakit ini dapat disembuhkan melalui intervensi yang efektif. Hal ini misalkan diperkuat oleh argumentasi World Health Organization WHO, yang menyebutkan bahwa ketergantungan Narkoba merupakan sebuah penyakit atau “disease entitiy”. Dalam International classification of diseases and health related problem-tenth revision, 1992 ICD-10, kecanduan Napza digolongkan dalam “Mental and Behavioral disorders due psychoactive substance abuse ”. 2 2 http:commonroom.info2010analitik-menggelitik-penanggulangan-hiv-aids-dan-napza-di- indonesia-oleh-ginan-koesmayadi-rumah-cemara Universitas Sumatera Utara Semenjak di terapkan UU Narkoba dan Psikotropika tahun 1997, dalam pelaksanaan UU tersebut telah menempatkan pengguna napza sebagai pelaku kriminal. Penegakkan hukum bagi pengguna napza dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tentunya telah terdapat konsekwensi bagi pengguna napza itu sendiri maupun lingkungan masyarakat disekitarnya. Penegakkan hukum bagi pengguna napza di harapkan dapat membuat efek jera bagi pelaku penyalahgunaan napza tersebut. Hal ini bagi pelaksana hukum harus menjalankan amanah UU tersebut serta mendapat dukungan dari semua pihak, mengingat UU telah menyatakan hal tersebut. Tentunya, pelaksanaan penegakkan hukum tersebut harus sesuai dengan isi hukum maupun tata laksana hukum itu sendiri, termasuk didalamnya adalah para perangkat pelaksana hukumnya. Namun, pada kenyataanya, pelaksanaaan penegakkan hukum bagi pengguna napza, telah terdapat ketimpangan yang cukup berarti. Permasalahan-permasalahan yang baru timbul dalam penegakkan hukum tersebut. 3 Dalam penegakkan hukum bagi pengguna napza seringkali para pelaksana hukum belum sepenuhnya mengoptimalisasikan isi tata laksana hukum maupun penegakkan prosedur hukum. Sehingga, permasalahan-permasalahan Hak Asasi Manusia HAM bagi pengguna napza sebagai warga Negara tidak terpenuhi dalam koridor hukum tersebut. Seperti halnya tertera dalam UU tersebut bahwa pengguna napza dapat menerima sanksi vonis rehabilitasi, akan tetapi hingga kini ketetapan hukum tersebut hampir tidak pernah di dapatkan oleh pengguna napza 3 http:health.groups.yahoo.comgroupmethadone-indonesiamessage516 Universitas Sumatera Utara ketika berhadapan dengan hukum. Pada akhirnya, proses hukuman pemenjaraan seringkali diterima 4 Dari pelaksanaan UU tersebut, Negara telah berhasil menyumbangkan hunian terbesar narapidana kasus napza sejumlah 110,000 WNI. Dari jumlah tersebut 70 persennya adalah pengguna napza. Prosentase pelanggaran kasus napza dibanding pelanggaran kasus lain terus naik dari 10.6 pada tahun 2002 menjadi 28.4 pada tahun 2006. Disisi lain, proses hukum dengan pemenjaraan pengguna napza berdampak pada multi faktor. Terdapat tiga bagian dari factor- faktor tersebut. Pada awal proses hukuman, faktor HAM bagi pengguna napza seringkali belum terpenuhi dengan tidak terdapatnya prosedur hukum yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Sehingga, seringkali di temui pelangaran-pelangaran HAM pada saat penyidikan maupun penyelidikan yang di sertai dengan kekerasan, pemerasan dan pelecehan seksual. Sedangkan pada bagian selanjutnya, dalam menjalani proses hukuman, belum terdapatnya faktor layanan-layanan kesehatan yang memadai dalam mengakomodir permasalahan pengguna napza, mengingat dampak dari penggunaan napza sangat berpengaruh pada kesehatan pengguna napza itu sendiri. Disamping itu, perilaku pengguna napza yang sulit melepas ketergantungannya, di penjara pun mereka dapat menggunakan napza. . 5 Bagi pengguna napza suntik, permasalahan timbul ketika perilaku tersebut tidak didukung dengan media pendukung akses layanan kesehatan , maka tingkat permasalahan penggunaan napza pun sering kali terjadi dan menjadikan hal tersebut sebagai penyumbang HIV yang cukup signifikan dari pengguna napza 4 http:health.groups.yahoo.comgroupmethadone-indonesiamessage516 5 http:health.groups.yahoo.comgroupmethadone-indonesiamessage516 Universitas Sumatera Utara suntik. Sedangkan pada bagian terakhir, dampak pemenjaraan ketika setelah mengalami proses hukuman adalah semakin meningkatnya angka kriminalitas yang di lakukan oleh pengguna napza. Hal ini terjadi, dengan pertimbangan pada saat pengguna napza menjalani proses hukuman, pencampuran dengan narapidana kasus lain yang memungkinkan pengguna napza tersebut mendapatkan ilmu yang di dapatnya sewaktu di dalam penjara untuk dapat menjadi lebih ahli dari sebelumnya. Sementara itu, disisi lain, dampak psikologis dan sosial penerimaan pengguna napza di tengah masyarakat sangat berpengaruh dengan semakin tingginya stigma dan diskriminasi yang di alami pengguna napza tersebut. Pelaksanaan UU tersebut telah berdampak pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, permasalahan tersebut tidak hanya terjadi pada pengguna napza. Turunan kebijakan napza yang berada pada tatanan system birokrasi pemerintahan maupun pada aturan-aturan yang telah ada di masyarakat, semakin memperburuk keadaan di lingkungan masyarakat itu sendiri. Kebijakan di sector pendidikan maupun di lapangan pekerjaan telah menempatkan aturan- aturannya yang belum mengakomodir permasalahan pengguna napza. Sehingga yang terjadi adalah pemenuhan hak bagi pengguna napza pada sector tersebut seringkali tidak terpenuhi. Begitu juga pada aspek kesehatan, dampak-dampak yang timbul akibat penggunaan napza , hingga saat ini, masih terdapat kontroversi dalam penangganannya yang berhubungan dengan penegakkan hukum. Sehingga dampak kesehatan bagi pengguna napza telah merembet hingga ke permasalahan masyarakat maupun dipemerintahan. 6 6 http:health.groups.yahoo.comgroupmethadone-indonesiamessage516 Universitas Sumatera Utara Permasalahan napza tidak hanya terselesaikan melalui aspek hukum dengan pendekatan penegakkan hukumnya bagi pengguna napza. Melainkan, pendekatan pada semua aspek yang berspektif korban merupakan solusi yang tepat bagi pengguna napza itu sendiri. Aspek pendidikan, kesehatan; pengobatan dan perawatan, social serta budaya merupakan beberapa aspek yang mereka perlukan. Oleh karena itu, sudah sangat jelas bahwa penerapan UU Narkoba dan Psikotropika telah menempatkan pengguna napza sebagai korban dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini tentunya semakin menempatkan pengguna napza di tempat yang terpuruk, tertindas dan serta memprihatinkan dalam penanganannya. Dari hukum nasional yang mengatur mengenai tindak pidana NAPZA, juga ada penegasan pecandu NAPZA selain adalah pelaku kejahatan juga adalah sebagai korban. Dalam konteks UU no. 51997 tentang psikotropika dan UU no. 352009 tentang Narkoba dinyatakan sebagai berikut: a. pasal 37 ayat 1 UU no. 51997 menyatakan: “pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan dan atau perawatan”. b. pasal 44 ayat 1 UU No. 352009 tentang Narkoba, intinya menegaskan “bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawatan pengguna Narkoba dapat memiliki, menyimpan dan membawa Narkoba, dengan syarat Narkoba tersebut diperoleh secara sah. Pada pasal 45 undang- undang tersebut dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan” 7 7 http:electrojunky.blogspot.com2010_06_01_archive.html Universitas Sumatera Utara Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, maka secara implisit dinyatakan bahwa pengguna NAPZA adalah korban yang sepatutnya mendapatkan hak- haknya sebagai korban terutama hak atas rehabilitasi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Pecandu NAPZA adalah merupakan korban sehingga berhak untuk mendapatkan hak atas rehabilitasi . Hak ini sesungguhnya telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang terkait dengan pecandu NAPZA diantaranya adalah: 1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika; 2. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkoba; 3. KEPMENKES 996MENKESSKVIII2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA; 4. SEMA No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban penyalahgunaan dan Pecandu Narkoba ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Selama ini program rehabilitasi terhadap korban terfokus pada rehabilitasi secara medis, sedangkan rehabilitasi sosial sering diabaikan. Padahal rehabilitasi sosial memegang peranan yang sama pentingnya dengan rehabilitasi medis. Sekalipun rehabilitasi medis telah berhasil menghilangkan kecanduan seseorang terhadap psikotropika, jika tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial, orang tersebut akan dengan mudah kembali ke tempat lingkungan lamanya, kemudian akan Universitas Sumatera Utara menjadi pecandu obat-obat terlarang. 8 Kebijakan pelarangan NAPZA telah diberlakukan di Indonesia sejak pemerintahan Soeharto berkuasa. Pada 1976, pemerintah meratifikasi konvensi tunggal Narkoba 1961 beserta protokol yang mengubahnya melalui UU No. 81976. Dua puluh tahun kemudian, giliran Konvensi Psikotropika 1971 yang diratifikasi melalui UU No 81996. Pemerintah kemudian meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkoba dan Psikotropika United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances melalui UU No. 71997 yang Problematika ini seringkali dihadapi oleh para pengguna NAPZA. Rehabilitasi medis dalam prakteknya kerap menerapkan metode isolasi sebagai upaya pemulihan medis terhadap korban. Metode ini tentunya punya konsekwensi logis, bahwa para korban kehilangan “persentuhan sosial” selama proses tersebut dijalankan. Pada tingkat yang sama, ketika para korban sudah selesai pada tahapan rehabilitasi medis, kerap tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial sehingga ketika pecandu tersebut kembali ke kehidupan masyarakat, mereka “gagap sosial”. Seringkali terjadi ketidaksiapan untuk beradaptasi dalam kehidupan sosial sehingga korban punya kans besar untuk kembali ke lingkungan lamanya yang dianggap lebih nyaman dan kemudian kembali kecanduan relaps. 8 http:gendo.multiply.comjournalitem7 URGENSI_VONIS_REHABILITASI_TERHADAP_KORBAN_NAP ZA_DI_INDONESIA Universitas Sumatera Utara dilanjutkan dengan pemberlakuan UU No. 51997 tentang Psikotropika dan UU No. 352009 tentang Narkoba. 9 Apapun pernyataan peraturan perundangan tentang pengguna NAPZA, sebenarnya selama penguna NAPZA masih berstatus sebagai manusia, maka sangat layak membicarakan perlindungan Hak Azasi Manusia pengguna NAPZA tersebut. Ada dua alasan ; pertama, karena sesuai hakikatnya, Hak Azasi Manusia ada pada setiap orangmanusia tanpa mempedulikan ras, agama, atau suku atau faham politikidiologi. Kedua, meski Hak Azasi Manusia adalah sesuatu yang kodrati, tetapi norma-norma HAM baik berupa konvensi atau berbagai peraturan perundangan haruslah dioperasionalkan agar harkat dan martabat manusia menjadi terhormat. Dengan demikian keseluruhan ketentuan tentang HAM yang terdapat baik dalam UU 45, UU 3999, UU 112005, UU 12 2005 berlaku dan harus diimplementasikan untuk melindungi HAM pengguna NAPZA. Sebaik apapun peraturan perundangan dan setegas apapun pembagian kewenangan antara lembaga, sangat jelas bahwa posisi Sumber Daya Manusia sangat penting dan ini tergantung pada ketersediaan manusia yang memiliki kapasitas dan visi kerja yang jelas. Kendala kecerdasan dan moralitas SDM telah menjadi bagian dari karakter kinerja kelembagaan. Terutama dalam rangka perlindungan HAM, SDM yang bertanggung jawab menjalankan lembaga - lembaga yang terkait dengan penegakan hukum terkait dengan NAPZA haruslah memiliki pemgetahuan yang cukup dibidang HAM. Ini dimaksudkan untuk 9 http:health.groups.yahoo.comgroupmethadone-indonesiamessage533 Universitas Sumatera Utara menjamin atau memberi kepastian bahwa implementasi hukum selalu bersandar pada perspektip HAM Pelaksanaan undang - undang pada umumnya diamanat kan ke lembaga- lembaga baik yang dibentuk secara khsusus untuk melaksanakan undang - undang yang bersangkutan maupun lembaga yang mengemban mandat undang - undang secara umum. Seringkali, terdapat banyak lembaga yang diberi mandat oleh undang - undang. Oleh karena itu, issue penting dalam kaitan kelembagaan adalah pertama issue tentang kejelasan lingkup kewenangan lembaga. Kedua issue tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Ketiga issue koordinasi antar lembaga. Secara ideal mestinya ketiga issue tersebut tidak boleh kabur karena akan mengaburkan pelaksanaan perlindungan HAM yang dalam konteks ini adalah perlindungan pada pengguna NAPZA. Untuk memenuhi harapan ideal dalam rangka perlindungan HAM bagi pengguna NAPZA mestinya lembaga tersebut memikul tanggung jawab untuk melakukan tindakan protektip terutama bagi pengguna NAPZA. Memang perlu diperjelas siapakah yang disebut dengan pengguna Napza ? karena dalam kehidupan praktis, tidak mudah untuk memastikan misalnya apakah seorang A adalah semata pengguna illegal NAPZA ataukah sekaligus pengedar illegal atau kah juga penyimpan illegal NAPZA dsb. Memahami dan berupaya untuk mengerti tentang visi, misi dan arah kebijakan Pemerintah dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Napza, sebagaimana tertuang dalam UU No. 352009 tentang NARKOBA amp; UU No. 51997 tentang PSIKOTROPIKA, rasanya sangat sulit mengingat Universitas Sumatera Utara ada 2 kepentingan yang harus diadopsi oleh Pemerintah dalam 1 satu kebijakan yakni disatu sisi Pemerintah berupaya menjamin ketersediaan NAPZA untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan sementara disisi lain Pemerintah juga harus berupaya melakukan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Napza. Dari 2 dua peran yang harus dijalankan sekaligus tersebut pada akhirnya Pemerintah terbentur pula pada masalah persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materisubstansi dari ketentuan-ketentuan yang diaturnya dan harmonisasi eksternal internasionalglobal yakni penyesuaian perumusan pasal-pasal tindak pidana NAPZA dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan substansi United Nation Convention Againts Illicit Traffict in Narcotic Drugs and Psychotropic Subs- tances tahun 1988 yang telah diratifikasi pemerintah dengan UU Nomor 7 tahun 1997 dan UU Nomor 8 Tahun 1996 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Psikotropika. Dari persoalan harmonisasi diatas pada akhirnya mau tidak mau telah menunjukkan bahwasanya Pemerintah telah memperlakukan kebijakan kriminalisasi bagi masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Napza. Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kemudian, di dalam Pasal 13 disebutkan Universitas Sumatera Utara bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : 1 memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2 menegakkan hukum dan; 3 memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai penegak hukum, Polisi masuk dalam jajaran sistem peradilan pidana, sebagai salah satu subsistem. Subsistem yang lain adalah Kejaksaan, Kehakiman, dan Pemasyarakatan. Dalam sistem peradilan pidana, Polisi merupakan “pintu gerbang” bagi para pencari keadilan. Dari sinilah segala sesuatunya dimulai. Posisi awal ini menempatkan Polisi pada posisi yang tidak menguntungkan. Sebagai penyidik Polisi harus melakukan penangkapan dan bila perlu penahanan, yang berarti Polisi harus memiliki dugaan yang kuat bahwa orang tersebut adalah pelaku kejahatan. Dari rangkaian tugas penegakan hukum dapat diketahui bahwa tugas Kepolisian bukan merupakan tugas yang ringan. Dengan segala keterbatasan, ketrampilan dalam melakukan penyidikan masih tetap harus ditingkatkan guna “mengejar” modus kriminalitas yang semakin kompleks. Sering terjadi keluhan dalam masyarakat, bahwa tugas yang dilakukan oleh Kepolisian dalam rangka penegakan hukum, acapkali melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan. 10 10 http:balianzahab.wordpress.commakalah-hukumhukum-kepolisianpolisi-sebagai-akses-ke- pengadilan Aparat Kepolisian dianggap tidak menghormati hak-hak yang dimiliki tersangka serta sering melakukan kekerasan dalam memeriksa tersangka. Kekuasaan yang dimiliki oleh penyidik, masih menjadi faktor penentu dalam melakukan penegakan hukum, sehingga terdapat kecenderungan ketidakpercayaan pada lembaga Kepolisian. Hal ini tentunya sangat merugikan pihak Kepolisian serta proses peradilan pidana secara keseluruhan. A. Landasan Yuridis Tugas Universitas Sumatera Utara Polisi, baik sebagai penyelidik maupun penyidik, telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Jika ditelaah ketentuan yang berkaitan dengan tugas penyelidikan dan penyidikan, nampak bahwa tugas-tugas yang dilakukan sudah cukup terperinci. Selain apa yang tercantum dalam KUHAP, tugas Kepolisian dalam rangka penegakan hukum juga harus mengacu pada UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari berbagai tugas dan kewenangan yang dimiliki Polri dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum, yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 UU No.2 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa “dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Polri senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Dari ketentuan tersebut, penghormatan terhadap hak asasi manusia telah mendapatkan penekanan khusus dalam rangka pelaksanaan tugas Polri. Penghormatan hak asasi manusia dalam peradilan pidana telah dimulai dengan memberikan serangkaian hak kepada tersangkaterdakwa. 11 Sayangnya apabila dikaji secara cermat, pemberian hak kepada tersangkaterdakwa ternyata tidak dibarengi dengan kewajiban dari aparat penegak hukum, sehingga serangkaian hak tersebut hanyalah sebagai ketentuan normatif yang tidak memiliki kekuatan hukum. Selain itu pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berkaitan dengan hak-hak tersangka juga tidak dibarengi sanksi, sehingga pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak yang telah diberikan 11 http:iwaninlawschool.wordpress.com20100519polisi-sebagai-pintu-gerbang-akses-ke- peradilan-pidana-iptu-agung-prasetyo-kasat-reskrim-polres-aceh-besar Universitas Sumatera Utara KUHAP masih tetap berlangsung. Permasalahan yang berkaitan dengan tugas Kepolisian dalam melaksanakan penegakan hukum, juga harus berpedoman pada ketentuanketentuan internasional. Deklarasi PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia perlu pula diperhatikan. Misalnya, UU No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia, perlu pula dipergunakan sebagai patokan dalam melaksanakan tugas, meskipun hingga kini negara kita belum menindaklanjuti dengan membentuk suatu UU. Semuanya berawal dari suatu proses penyelidikan atau penyidikan, yang merupakan tugas dan wewenang aparat Kepolisian. Salah satu dari kewenangan yang diberikan dalam KUHAP adalah melakukan upaya paksa yang meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. 12 Penangkapan dan penahanan jelas melanggar hak yang paling asasi dari manusia yaitu untuk bergerak, beraktifitas dengan bebas, karena dengan penangkapan dan penahanan kebebasannya menjadi terbatas atau mungkin hilang. Sifat dari pelaksanaan upaya paksa disatu sisi adalah sebagai upaya untuk menciptakan ketentraman di masyarakat, misal munculnya pernyataan di masyarakat “ penjahatnya telah ditangkap oleh pak Polisi”, “penjahatnya sudah dikerangkeng di kantor Polisi” atau “2 kilogram ganjanya kemarin sudah ada ditangan pak Polisi” dan sebagainya. Akan tetapi di sisi lain, apabila upaya paksa dilaksanakan telah terjadi apa yang dinamakan dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia HAM. 12 http:iwaninlawschool.wordpress.com20100519polisi-sebagai-pintu-gerbang-akses-ke- peradilan-pidana-iptu-agung-prasetyo-kasat-reskrim-polres-aceh-besar Universitas Sumatera Utara Penggeledahan baik terhadap badan atau rumah kediaman, barang yang menjadi miliknya jelas telah mengurangi hak seseorang untuk dapat menikmati sesuatu yang menjadi “miliknya”. Lebih-lebih lagi kalau aparat melakukan penyitaan, tidak hanya mengurangi, tapi bahkan telah menghilangkan hak seseorang untuk dapat menikmati sesuatu yang menjadi “miliknya”. Karena undang-undanglah yang telah memberikan kewenangan untuk melanggar hak asasi manusia, maka seakan-akan telah diberikan kondisi sah-sah saja kalau hal tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun ternyata persoalan yang berhubungan dengan pelaksanaan upaya paksa khususnya yaitu penahanan, tidak menutup kemungkinan didapatkan kondisi sebagai berikut 13 13 http:balianzahab.wordpress.commakalah-hukumhukum-kepolisianpolisi-sebagai-akses-ke- pengadilan : Ketidakjelasan yang menjadi tujuan dari pelaksanaan upaya paksa penahanan tersebut. Ketidakjelasan tujuan menyangkut seputar pertanyaan : 1. apakah memang untuk keperluan atau kepentingan kasus, perlu dilakukan penahanan dengan maksud untuk memudahkan dilakukan pemeriksaan oleh petugas guna memperoleh keterangan informasi yang diperlukan?; 2. apakah penahanan dilakukan sebagai suatu “penciptaan kondisi”, yang maksudnya sebagai sarana untuk melakukan pemaksaan agar yang bersangkutan mau memberikan keterangan sesuai dengan keinginan peminta keterangan?; 3. apakah penahanan dilakukan sebagai suatu cara atau jalan untuk menyelesaikan kasus di luar jalur sistem peradilan pidana, tapi dengan mempergunakan “kedok” penegakan hukum dengan sistem peradilan pidana?; 4. apakah penahanan dilakukan sebagai suatu bentuk strategi yang diljalankan oleh petugas?. Universitas Sumatera Utara Penulis mencoba mengangkat persoalan tersebut diatas dengan mengadakan penelitian dengan judul “Tinjauan Kriminologis dan Hukum Pidana Terhadap peranan Kepolisian dalam menangani Pelaku Tindak Pidana akibat pengaruh Narkoba Suntik di Kota Medan Studi di Polresta Medan”. Dari penelitian tersebut akan didapatkan beberapa kesimpulan antara lain dari faktor intern terdiri dari individu dan keluarga,termasuk faktor ekstern berupa pengaruh lingkungan sekitar tempat tinggal yang sangat besar peranannya membentuk perilaku,serta peranan pihak Kepolisian dalam upaya penanggulangan penggunaan NAPZA jenis suntik IDU’s. Karena banyaknya kasus tindak pidana yang dilakukan oleh pengguna Narkoba jenis suntik IDU’s,sehingga ditemukan pengguna Narkoba jenis Suntik yang dipidana bukan karena yang bersangkutan pengguna Narkoba,tapi karena telah melakukan tindak pidana lain untuk memenuhi kebutuhannya akan Narkoba jenis suntik tersebut.

B. Permasalahan