Postpurchase Evaluation Cognitive Dissonance

BAB II LANDASAN TEORI

A. POSTPURCHASE DISSONANCE

1. Postpurchase Evaluation

Postpurchase pasca pembelian adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan sejumlah konsep, antara lain harapan konsumen, kepuasan, keraguan dan mekanisme umpan balik. Kepuasan merupakan emosi penting dari tahap ini dan merupakan penentu untuk perilaku membeli di masa yang akan datang Loudon Bitta, 1993. Postpurchase juga merupakan kondisi setelah pembelian purchase yang melibatkan kegiatan evaluasi terus menerus dari individu dengan melibatkan sikap dan perasaannya Solomon, 2007. Ditambahkan pula oleh Hanna Wozniak, 2001 bahwa postpurchase consideration adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan perasaan puas atau tidak puas pada konsumen yang akan mempengaruhi untuk membeli ulang suatu produk. Berdasarkan sejumlah definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa postpurchase evaluation adalah suatu aktivitas evaluasi terus menerus terhadap produk yang dibeli dengan melibatkan sikap dan perasaan individu yang nantinya akan menghasilkan perasaan puas atau tidak puas dan mengarah pada keputusan untuk mengulang atau tidak produk yang sama.

2. Cognitive Dissonance

Menurut Solomon 2007, teori cognitive dissonance adalah salah satu dari pendekatan terhadap tingkah laku yang paling penting berdasarkan pada prinsip konsistensi. Teori ini mengemukakan bahwa orang termotivasi untuk mengurangi keadaan negatif dengan cara membuat keadaan sesuai satu sama lainnya. Elemen kognitif adalah sesuatu yang Universitas Sumatera Utara dipercayai oleh seseorang bisa berupa dirinya sendiri, tingkah lakunya atau juga pengamatan terhadap sekelilingnya. Pengurangan disonansi dapat timbul baik dengan menghilangkan, menambah, atau mengganti elemen-elemen kognitif. Disonansi kognitif merupakan suatu kondisi yang membingungkan, yang terjadi pada seseorang ketika kepercayaan mereka tidak sejalan bersama dengan kenyataan yang ada. Kondisi ini mendorong mereka untuk merubah pikiran, perasaan dan tindakan mereka agar sesuai dengan pembaharuan. Disonansi dirasakan ketika seseorang berkomitmen pada dirinya sendiri dalam melakukan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan perilaku dan kepercayaan mereka yang lainnya East, 1997. Menurut Festinger dalam Loudon Bitta, 1993 cognitive dissonance adalah pernyataan psikologis yang muncul ketika seseorang menerima dua pemikiran, yang mana keduanya ia yakini benar, namun tidak sesuai sehingga terlihat tidak konsisten. Disonansi menghasilkan ketegangan sehingga individu mencari kesesuaian terhadap ketidakkonsistenannya untuk mengurangi ketegangan secara psikologis. Disonansi dapat muncul melalui tiga cara, yaitu: 1. Ketidaksesuaian logis logical inconsistency dapat memunculkan disonansi. Contoh: Semua permen rasanya manis; permenku rasanya asam. 2. Disonansi muncul ketika seseorang mengalami ketidakkonsistenan antara sikap dengan perilakunya atau antara kedua perilakunya. Contoh: David sangat tidak menyetujui adanya perjudian, akan tetapi ia ikut berjudi di pertandingan bola. Michael memuji produk sepatu Nike pada setiap kesempatan, namun ia membeli sepatu Adidas. 3. Disonansi muncul ketika harapan kuat individu ditolak. Contoh: Margaret berharap menemukan barang murah untuk menghemat dipinggir jalan, tapi yang ia temukan hanya barang rongsok. Universitas Sumatera Utara Cognitive dissonance terjadi setelah keputusan sudah dibuat. Keputusan tersebut membuat seseorang harus berkomitmen terhadap sikapnya agar terhindar dari disonansi. Untuk itu, terdapat tiga cara yang dilakukan individu untuk mengurangi cognitive dissonance, yaitu: 1. Rasionalisasi, 2. Mencari informasi tambahan yang mendukung atau konsisten terhadap perilakunya, dan 3. Individu dapat mengubah atau menghilangkan elemen disonansi dengan cara melupakan ataupun mengubah sikapnya.

3. Postpurchase Dissonance