Kajian Efektifitas Sanitizer untuk Peningkatan Higiene Sayuran Segar Di Tingkat Petani

(1)

DI TINGKAT PETANI

MOHAMMAD FUAD FAUZUL MU’TAMAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

KAJIAN EFEKTIFITAS SANITIZER

UNTUK PENINGKATAN HIGIENE SAYURAN SEGAR DI TINGKAT PETANI

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua data dan informasi yang digunakan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Desember 2005

Mohammad Fuad F.M.

NRP: F351030071


(3)

Peningkatan Higiene Sayuran Segar Di Tingkat Petani. Dibimbing oleh Ani Suryani,

Faqih Udin, dan S.Joni Munarso.

Komoditas hortikultura, khususnya sayuran dan buah memiliki peranan strategis dalam perekonomian nasional. Nilai ekspor komoditas hortikultura beserta produk olahannya pada tahun 2004 sebesar US$ 225 955 000 meningkat 14,53% dari tahun 2003 yang berjumlah US$ 197 282 150. Potensi produk sayuran yang demikian besar ternyata mempunyai beberapa kendala, terutama rendahnya mutu dan keamanan produk sayuran akibat kontaminasi mikroba patogen, cemaran insektisida dan logam berat.

Peningkatan mutu produk sayuran segar dapat dilakukan dengan melakukan penerapan teknologi produksi dan penanganan pasca panen yang intensif dan tepat. Penanganan pasca panen dengan cara pembilasan, perendaman dan penyemprotan dengan menggunakan larutan Sanitizer telah banyak digunakan dalam mengurangi berbagai kontaminasi yang ada pada sayuran segar. Penelitian ini bertujuan mendapatkan teknik penanganan pasca panen yang tepat yang dapat dilakukan ditingkat petani, yaitu dengan teknik perendaman dengan memakai larutan sanitizer sebelum sayuran segar dikonsumsi. Sanitizer yang digunakan adalah natrium hipoklorit dengan konsentrasi 50-150 ppm yang dikombinasikan dengan asam asetat konsentrasi 1-3%. Kombinasi sanitizer yang efektif ditentukan dengan menggunakan rancangan Response Surface Methodology (RSM).

Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa kombinasi sanitizer asam asetat 2%, natrium hipoklorit 100 ppm dengan waktu kontak 4 menit memberikan efektifitas yang tinggi terhadap inaktivasi mikroba patogen dengan parameter antara lain, inaktivasi rata-rata jumlah total bakteri sebesar 5,92 log CFU/g, inaktivasi E. coli rata-rata sebesar 5,46 log CFU/g dan inaktivasi Salmonella rata-rata sebesar 5,9 log CFU/g, sedangkan kombinasi asam asetat 2,75%, natrium hipoklorit 77 ppm dengan waktu kontak 3,5 menit memberikan efek penurunan residu insektisida sebesar 3,32%. Aplikasi kombinasi sanitizer tersebut ditingkat petani memberikan hasil, yaitu tingkat inaktivasi rata-rata jumlah total bakteri sebesar 5,59 log CFU/g dan tingkat pengurangan residu insektisida rata-rata sebesar 24,61%.


(4)

Sanitizer in Enhancing Fresh Vegetables Hygiene in Farmer Level. The guidance is by Ani Suryani, Faqih Udin, and S.Joni Munarso.

Horticultural commodities, especially vegetables and fruits, have strategic roles in the national economy. The export value of horticultural commodities and their processed products has increased about 14.53 percent from USD 197,282,150.00 in the year of 2003 to USD 225,955,000.00 in the year of 2004. The great potential of the horticultural commodities, nevertheless, faces a number of problems, i.e. low quality of the product and its safety because of contamination of micro-organism, pesticides, and heavy metal particles.

Improvement in fresh vegetable products can be made by the utilization of technology and proper intensive post-harvest handling. The post-harvest handling using the technique of rinsing, soaking, and spraying using sanitizer solution has been widely adopted to reduce the degree of the above-mentioned types of contamination. This study is aimed at inventing a proper technique in post-harvest handling that is implement able in farmer level, i.e. using technique of pre-consumption soaking with sanitizer solution. The sanitizer solution consists of sodium hypochlorite with 50-150 ppm concentration combined with acetic acid of 1-3% concentration. The effective sanitizer combination is determined using Response Surface Methodology (RSM).

The result of the study at the laboratorium has shown that the sanitizer combination of 2 percent acetic acid and 100 ppm sodium hypochlorite in 4 minutes of interaction has resulted in high effectiveness in inactivating pathogen microbe using parameters of among others: the average inactivating rate of total number of bacteria is 5.92 log CFU/g, inactivating rate to E. coli is 5.46 log CFU/g, and Salmonella 5.90 log CFU/g. Another combination, which is 2.75 percent of acetic acid and 77 ppm sodium hypochlorite in 3.5 minutes of interaction has resulted in 3.32 percent of reducing effect on the pesticide residue. The use of those sanitizer combination in farmer level has brought into result, i.e. the average inactivation rate of total number of bacteria is 5.59 log CFU/g, and the reducing rate of pesticide residue is 24.61 percent in average.


(5)

DI TINGKAT PETANI

MOHAMMAD FUAD FAUZUL MU’TAMAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(6)

NRP : F351030071

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua

Ir. Faqih Udin, MSc Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc.

Tanggal Ujian : 3 Oktober 2005 Tanggal Lulus : ...


(7)

sebagai putra kedua dari empat bersaudara, dari pasangan H. Masykur Yahya dan Hj. Istifadah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Hidayatul Murid pada tahun 1986 dan lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri Wuluhan Jember tahun 1989.

Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri Ambulu Jember. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jember dan lulus tahun 1997.


(8)

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam tesis yang berjudul Kajian Efektifitas Sanitizer untuk Peningkatan Higiene Sayuran Segar di Tingkat Petani, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Selama penyusunan usulan penelitian ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung sampai tersusunnya tesis ini. Pada kesempatan kali ini penulis bermaksud menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Faqih Udin, MSc. serta Dr. S. Joni Munarso, MS. selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan, bimbingan, pengertian dan bimbingannya yang telah diberikan untuk jangka waktu yang tidak singkat. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA. selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah banyak memberi masukan demi perbaikan tesis ini. Di samping itu, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Kepala Lab. Pengawasan Mutu Balai Besar Litbang Pascapanen dan Kepala Lab. Bakteriologi Balitvet, yang telah membantu selama penelitian.

Terima kasih penulis sampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman TIP angkatan 2003 yang memberikan dukungan dan masukan berarti dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Balai Besar Litbang Pascapanen, Departemen Pertanian yang telah berkenan memberikan dukungan finansial bagi pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberi masukan, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(9)

konstruktif. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Desember 2005

Mohammad Fuad Fauzul Mu’tamar


(10)

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 6

1.3. Ruang Lingkup Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1. Sayuran dan Mikrobiologi Sayuran ... 7

2.2. Insektisida Organofosfat ... 10

2.3. Residu Insektisida ... 12

2.4. Sanitizer... 14

2.5. Asam Asetat ... 19

2.6. Rekomendasi Sanitizer... 20

2.7. Aplikasi Sanitizer... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN... 25

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 25

3.2. Bahan dan Alat... 29

3.3. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

3.4. Desain Penelitian... 30

3.5. Rancangan Percobaan ... 32

3.6 Parameter Penelitian ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1. Formula Sanitizer... 36

4.2. Efektifitas Sanitizer dalam Inaktivasi Total Mikroba ... 39

4.3. Efektifitas Sanitizer dalam Inaktivasi E. coli... 43

4.4. Efektifitas Sanitizer dalam Inaktivasi Salmonella... 48

4.5. Efektifitas Sanitizer dalam Penurunan Residu Insektisida ... 52

4.6. Aplikasi Sanitizer... 58

4.7. Analisis Biaya Produksi Sanitizer... 62


(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 66 LAMPIRAN... 70


(12)

1. Nilai Ekspor Komoditas Hortikultura ... 1

1. Status Residu Insektisida Pada Sayuran... 3

2. Residu Insektisida Beberapa Jenis Sayuran ... 3

3. Kontaminasi Mikroba Pada Komoditas Sayuran ... 4

4. Inaktivasi Spora-Spora Bakteri oleh Iodofor ... 18

5. Rekomendasi Umum untuk Sanitizer... 21

6. Aktivitas Beberapa Sanitizer dalam Mereduksi E. faecium pada Permukaan Stainless... 22

7. Perbandingan Harga Beberapa Bahan Kimia untuk Sanitizer di Pasaran... 22

8. Hasil Penurunan Jumlah Salmonella dengan Cara Pencucian dan Berbagai Waktu Kontak pada Tauge Segar ... 23

9. Hasil Penurunan Jumlah Salmonella dengan Cara Pencucian dan Berbagai Waktu Kontak Pada Selada Segar ... 24

10. Matrik Satuan Percobaaan Efektifitas Sanitizer pada Sayuran Segar... 33

11. Komposisi Relatif Asam Hipoklorit pada Kisaran pH... 38

12. Data pH Kombinasi Sanitizer... 38

13. Analisis Keragaman Inaktivasi Total Mikroba ... 40

14. Analisis Keragaman Galat Inaktivasi Total Mikroba ... 40

15. Analisis Keragaman Inaktivasi E. coli... 44

16. Analisis Keragaman Galat Inaktivasi E. coli... 45

17. Analisis Keragaman Inaktivasi Salmonella... 49

18. Analisis Keragaman Galat Inaktivasi Salmonella... 49

19. Analisis Keragaman Pengurangan Residu Insektisida Profenofos ... 55

20. Analisis Keragaman Galat Inaktivasi E. coli... 55

21. Pengujian Sanitizer A pada Beberapa Parameter di Pacet Cipanas ... 59

22. Pengujian Sanitizer B pada Beberapa Parameter di Babelan Bekasi... 60

23. Analisis Biaya Produksi Sanitizer A ... 63

24. Analisis Biaya Produksi Sanitizer B ... 63


(13)

1. Struktur Kimia Senyawa Organofosfat ... 11

2. Proses Hidrolisis pada Formetanate ... 13

3. Degradasi Heptaklor dengan Sinar ... 13

4. Kerangka Pemikiran Penelitian... 28

5. Bagan Alir Penelitian ... 31

6. Plot Probabilitas Normal Inaktivasi Total Mikroba ... 41

7. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Natrium Hipoklorit terhadap Inaktivasi Total Mikroba ... 41

8. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Waktu Kontak terhadap Inaktivasi Total Mikroba ... 42

9. Plot Probabilitas Normal Inaktivasi E. coli... 45

10. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Natrium Hipoklorit terhadap Inaktivasi E. coli... 46

11. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Waktu Kontak terhadap Inaktivasi E. coli.... 47

12. Plot Probabilitas Normal Inaktivasi Salmonella... 50

13. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Natrium Hipoklorit terhadap Inaktivasi Salmonella... 50

14. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Waktu Kontak terhadap Inaktivasi Salmonella... 52

15. Struktur Bangun Profenofos... 52

16. Mekanisme Hidrolisis dan Oksidasi terhadap Phorate... 53

17. Plot Probabilitas Normal Pengurangan Residu Insektisida Profenofos ... 56

18. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Natrium Hipoklorit terhadap Pengurangan Residu Insektisida ... 56

19. Plot Interaksi Natrium Hipoklorit dengan Waktu Kontak terhadap Pengurangan Residu Insektisida ... 57


(14)

Halaman

1. Penentuan Konsentrasi Klorin dan Asam Asetat ... 70 2. Hasil Analisis data inaktivasi Total Mikroba

(Output SAS Versi 8; PROC.:Rsreg)... 71 3. Plot Interaksi Natrium Hipoklorit dengan Waktu Kontak pada

Inaktivasi Total Mikroba... 73 4. Hasil Analisis data inaktivasi E. coli (Output SAS Versi 8; PROC.:Rsreg)... 74 5. Plot Interaksi Natrium Hipoklorit dengan Waktu Kontak pada

Inaktivasi E. coli ... 76 6. Hasil Analisis data inaktivasi Salmonella (Output SAS Versi 8; PROC.:Rsreg) .. 77 7. Plot Interaksi Natrium Hipoklorit dengan Waktu Kontak pada

Inaktivasi Salmonella ... 79 8. Hasil Analisis data Pengurangan Residu Pestisida Profenofos

(Output SAS Versi 8; PROC.:Rsreg)... 80 9. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Waktu Kontak pada Pengurangan

Residu Insektisida ... 82 10. Kromatogram hasil pengujian pengurangan kandungan residu insektisida

profenofos pada tomat dengan menggunakan Cromatography GasShimadzu Model GC-4CM dengan menggunakan detektor 63Ni ECD

dengan kolom OV 17 ... 83 11. Kromatogram hasil pengujian pengurangan kandungan residu insektisida pada

sayuran segar di tingkat petani dengan menggunakan Cromatography Gas Shimadzu Model GC-4CM dengan menggunakan detektor 63Ni ECD dengan kolom OV 17 ... 84 12. Baku Mutu Air Golongan A: Air Baku Air Minum... 85 13. Analisis Biaya Produksi Sanitizer ... 87


(15)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi besar dalam memproduksi komoditas hortikultura baik sayuran, buah-buahan maupun tanaman hias. Pengembangan produksi hortikultura selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga diarahkan untuk menunjang ekspor komoditas non migas. Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa komoditas hortikultur beserta produk olahannya mempunyai kontribusi besar dalam menyumbang devisa negara.

Tabel 1. Nilai Ekspor Komoditas Hortikultura Tahun Nilai Ekspor (US$)

2000 162 213 180

2001 163 885 060

2002 197 109 480

2003 197 282 150

2004 225 955 000

Sumber : BPS (2004)

Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai potensi besar dan dapat diandalkan, Hadi et al. (2000) menyatakan bahwa sayuran memiliki lima peranan strategis dalam perekonomian nasional. Pertama, sebagai bahan makanan bergizi sumber vitamin dan mineral bagi penduduk Indonesia. Kedua, sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan dan kesempatan berusaha bagi pengusaha. Ketiga, sebagai bahan baku agoindustri yang ikut menunjang proses industrialisasi, dimana beberapa komoditas sayuran diolah dan diawetkan sebelum dipasarkan ke pasar domestik maupun ekspor. Keempat, sebagai komoditas substitusi impor dan komoditas ekspor yang sangat penting kontribusinya terhadap devisa negara. Kelima, sebagai pasar bagi komoditas non pertanian seperti sektor industri misalnya industri pupuk, peralatan pertanian, dan sektor jasa seperti angkutan, dan keuangan.


(16)

Potensi produk sayuran yang demikian besar ternyata mempunyai beberapa kendala terutama rendahnya mutu dan keamanan produk sayuran akibat kontaminasi mikroba patogen, cemaran insektisida dan logam berat. Munculnya beberapa kasus mengenai keracunan makanan dan penyakit pada seseorang yang disebabkan oleh konsumsi sayuran segar, mengindikasikan bahwa kontaminasi produk sayuran oleh bahan kontaminan seperti pestisida dan mikroba patogen relatif tinggi. Kasus-kasus keracunan makanan akibat kontaminasi mikroba pada sayuran segar, walaupun di Indonesia belum dapat diungkap secara spesifik, namun demikian laporan penelitian dari Susilawati (2002) tentang adanya kandungan Salmonella pada sayuran segar di tingkat petani dan pedagang di Bogor mengindikasikan ketidakamanan sayuran segar apabila dikonsumsi segar secara langsung. Kasus keracunan akibat kontaminasi mikroba di luar negeri telah dilaporkan, misalnya pada tahun 2001 di Inggris terdapat kasus infeksi Salmonella-newsport akibat mengkonsumsi salad. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa pada tahun 1999 dan 2000 terjadi kasus wabah Salmonella karena mengkonsumsi kecambah mentah (Stewart et al., 2000).

Kontaminasi pestisida khususnya jenis insektisida pada umumnya terjadi pada waktu budidaya tanaman, sedangkan kontaminasi oleh mikroba patogen umumnya terjadi pada saat pemanenan, penanganan pasca panen dan rantai distribusi dari petani sampai kepada konsumen. Kontaminasi pestisida khususnya jenis insektisida pada sayuran segar diakibatkan karena penggunaan insektisida secara berlebihan oleh petani dalam pemberantasan hama dan penyakit tanaman, sehingga residu insektisida pada produk sayuran segar yang dihasilkan masih relatif tinggi. Status residu insektisida pada sayuran ditunjukkan pada Tabel 2. Pada tabel tersebut ditunjukkan bahwa residu insektisida pada sayuran dalam beberapa tahun lalu telah melebihi ambang batas residu pestisida.


(17)

Tabel 2. Status Residu Insektisida Pada Sayuran

No Pestisida Jenis Sayuran

Residu (ppb)

BMR

(ppb) Asal Sampel

1 Aldrin Wortel 170 100 Magelang (1987) 2 DDT Wortel 4422 1000 Magelang (1987) Wortel 1633 1000 Simalungun (1990) 3 Diazinon Sawi 227 5000 Salatiga (1987) 4. Ditiokarbamat Tomat 4913,3 3000 Bandung (1990) Kentang 570,3 100 Bandung (1990) 5 Endosulfon Wortel 625 200 Kuncen (1987) 6 Karbofuran Tomat 212 100 Dairi (1989) Kentang 550,1 500 Dairi (1989) 7 Klorpirifos Kubis Bunga 335,1 50 Bandung (1991) 8 Lindane Wortel 265 200 Cipanas (1987) 9 Metilklorpirifos Kubis 1258 100 Cianjur (1989) 10 Permetrin Tomat 2167 500 Sulawesi Selatan (1990)

BMR = Batas Maksimum Residu Sumber: Komisi Pestisida

Penelitian yang dilakukan oleh Munarso (2004) menunjukkan bahwa beberapa sayuran di tingkat petani mengandung beberapa jenis residu insektisida yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai jenis residu insektisida dari golongan organoklorin dan organofosfat pada beberapa jenis sayuran dapat di lihat pada Tabel 3. Tabel 3. Residu Insektisida Beberapa Jenis Sayuran

Residu Insektisida (ppm) Golongan

Organoklorin

Golongan Organofosfat

No Jenis Sayuran

Endosulfan Klorpirifos Profenopos Metidation

1 Tomat (PS. Cina) - - 0.0053 -

2 Tomat (PS. Pepen) - - 0.0048 0.0061

3 Tomat (PS. Senen) - - 0.0045 0.0046

4 Wortel (H. Ojat) 0.0087 0.0072 - - 5 Wortel (H. Tohaeni) 0.0056 0.0049 - - 6 Wortel (P. Zaenal) 0.0067 0.0054 - - 7 Wortel (PS. Minggu) 0.0047 - - 0.004 Sumber: Munarso (2004)


(18)

Munarso (2004) juga menyatakan kontaminasi mikroba pada sayuran segar di tingkat petani masih melebihi ambang batas kontaminasi mikroba yang ditetapkan oleh ICMSF (International commision on Microbiological Spesification for Foods) tahun 1996, dimana batas maksimal kontaminan mikroba patogen adalah 105-106 CFU/g. Kontaminasi produk sayuran oleh mikroba patogen di tingkat petani disajikan pada Tabel 4. Isyanti (2001) menyatakan bahwa di tingkat petani maupun pedagang di kabupaten Bogor, kontaminasi mikroba patogen pada sayuran segar seperti kemangi, daun poh-pohan, tauge, selada, kacang panjang dan kol, melebihi ambang batas yang telah ditetapkan akibat proses penanganan yang kurang baik.

Tabel 4. Kontaminasi Mikroba Pada Komoditas Sayuran

No. Jenis Sayuran Lokasi Sampel Kontaminasi (CFU/g) 1 Kubis Cugenang, Cipanas Petani 1,1 x 107

Pasir Cina, Cipanas Petani 8,0 x 107 Maleber, Cipanas Petani 3,2 x 106 2 Tomat Mariwati, Cipanas Petani 2,6 x 106 Pasir Cina I, Cipanas Petani 2,4 x 106 Pasir Cina II, Cipanas Petani 2,0 x 105 3 Wortel Suka Tani, Cipanas Petani 1,8 x 106 Sindang Jaya I,Cipanas Petani 3,4 x 106 Sindang Jaya II,Cipanas Petani 1,2 x 108 Sumber: Munarso (2004)

Berkaitan dengan adanya kontaminasi pada sayuran segar, baik berupa residu pestisida khususnya jenis insektisida maupun kontaminasi mikroba yang melebihi ambang batas, maka diperlukan suatu penanganan yang serius mengenai upaya penurunan kandungan residu pestisida khususnya jenis insektisida dan kontaminasi mikroba patogen yang ada dalam sayuran segar. Penerapan teknologi produksi dan penangan pasca panen yang intensif dan tepat merupakan suatu upaya peningkatan mutu produk sayuran segar yang mampu menjamin agar sayuran segar aman untuk


(19)

dikonsumsi. Usaha-usaha penanganan pascapanen telah dilakukan, diantaranya adalah penerapan teknik pembilasan, perendaman, dan penyemprotan sebelum sayuran dikonsumsi sehingga dapat mengurangi kontaminan yang ada pada sayuran. Penelitian oleh Marlis (2004) menunjukkan bahwa pembilasan dengan air mampu mengurangi kandungan mikroba pada selada segar sebesar 1,04 log CFU/g, sedangkan pada tauge segar, seperti yang dilaporkan oleh Wulandari (2004), mikroba dapat dikurangi sebesar 1,52 log CFU/g.

Selain penggunaan teknik pembilasan, perendaman dan penyemprotan, penggunaan bahan kimia untuk mengurangi kontaminasi pada sayuran juga telah banyak dilakukan terutama untuk pengurangan kontaminasi mikroba patogen pada sayuran, namun demikian penggunaan bahan kimia ini masih relatif kurang efektif. Fardiaz dan Jenie (1989) menyatakan bahwa berbagai jenis bahan kimia yang bersifat sebagai bahan sanitizer banyak ditemui di pasaran, tetapi belum ada satu pun jenis sanitizer yang ideal dalam setiap penggunaan dan untuk semua tujuan. Hal ini disebabkan oleh beragamnya kondisi bahan yang digunakan, perbedaan dalam cara kerja desinfektan dan banyaknya sel mikroba yang akan dihancurkan.

Perpaduan antara berbagai teknik penanganan pasca panen dan penggunaan bahan kimia sebagai sanitizer diharapkan dapat menghasilkan pengurangan kontaminasi pestisida khususnya insektisida dan mikroba dalam sayuran segar menjadi lebih efektif. Kombinasi beberapa bahan kimia sebagai sanitizer dengan penggunaan teknik aplikasi yang tepat dalam upaya mereduksi berbagai kontaminan pada sayuran segar perlu dilakukan terus menerus, sehingga dapat menghasilkan suatu teknik penanganan dan formulasi sanitizer yang tepat yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu dan keamanan pangan produk sayuran segar khususnya di tingkat petani.


(20)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mendapatkan formula sanitizer dan teknik aplikasi yang tepat yang dapat diterapkan di tingkat petani.

b. Mengevaluasi efektifitas sanitizer yang dihasilkan terhadap pengurangan kandungan kontaminan residu pestisida khususnya jenis insektisida dan mikroba pada sayuran segar.

c. Mengevaluasi kadar residu sanitizer yang digunakan pada sayuran segar untuk meningkatkan higiene sayuran segar di tingkat petani.

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini diarahkan untuk melakukan kajian penggunaan formula sanitizer yang tepat dan efektif dalam meningkatkan keamanan pangan sayuran segar di tingkat petani. Ruang lingkup penelitian ini meliputi beberapa kegiatan, antara lain : a. Melakukan studi pendahuluan berupa studi literatur tentang jenis jenis sanitizer

yang telah digunakan dan kemungkinan bahan kimia yang dapat digunakan sebagai sanitizer.

b. Melakukan pembuatan formula sanitizer dari beberapa bahan kimia yang dapat diterapkan sebagai sanitizer

c. Melakukan aplikasi perlakuan formulasi sanitizer dan teknik aplikasi untuk meningkatkan keamanan pangan sayuran segar.

d. Melakukan analisis efektifitas formulasi sanitizer dengan kombinasi teknik aplikasi yang dapat diterapkan di tingkat petani.

e. Melakukan analisis biaya produksi formulasi sanitizer yang dapat diterapkan di tingkat petani.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sayuran dan Mikrobiologi Sayuran

Sayuran didefinisikan sebagai tanaman atau bagian tanaman yang dapat di konsumsi sebagai makanan pelengkap atau sekedar pembangkit selera. Pengertian sayuran dapat berupa tanaman atau bagian tanaman yang dapat di makan dalam keadaan mentah maupun matang, bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sayuran meliputi daun, bunga, umbi dan batang muda, tergantung jenis sayurannya. (Agoes dan Lisdiana, 1995).

Setiap jenis sayuran atau varietas sayuran mempunyai warna, rasa, aroma, dan kekerasan yang berbeda, sehingga dapat menambah variasi pada hidangan, sayuran merupakan bahan pangan yang penting untuk memperoleh suatu keseimbangan konsumsi makanan, sayuran merupakan salah satu sumber pro vitamin A dan C, sumber kalsium dan zat besi dan menyumbangkan sedikit kalori serta sejumlah elemen mikro. Sayuran juga merupakan sumber serat makanan serta sejumlah antioksidan yang telah terbukti mempunyai peranan penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Selain itu sayuran juga memberikan rasa nikmat dan kepuasan pada makanan. (Muchtadi, 2000)

Sayuran selain mempunyai manfaat cukup besar bagi kesehatan tubuh juga dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan dengan adanya berbagai kontaminan yang ada di dalam sayuran. Kontaminasi mikroba seperti dilaporkan dalam penelitian Isyani (2001) menunjukkan bahwa sayuran segar seperti kemangi, daun poh-pohan, tauge, selada, kacang panjang, dan kol yang dikumpulkan di tingkat petani maupun pedagang di Bogor mengandung mikroba dalam jumlah tinggi. Kontaminasi mikroba dapat berupa bakteri, antara lain Pseudomonas, Enterobacter spp., Klebsiella spp., Serratia spp., Flavobacterium spp., Xanthomonas spp., Chromobacterium spp., dan Alcaligenes spp., bakteri ini terdapat pada sayuran terutama brokoli, kol, tauge, dan wortel. Di Amerika Serikat, patogen yang menjadi


(22)

perhatian utama pada buah dan sayuran segar adalah Salmonella, Shigella, Entamoeba histocolytica dan Ascaris spp.. (Ayres et al., 1980).

Menurut ICMSF (International commision on Microbiological Spesification for Foods) (1996) merekomendasikan sayuran yang akan di makan mentah maksimum mengandung E. coli kurang dari 103 CFU/g dan Salmonella harus tidak ada dalam 25 gram sampel, sedangkan menurut Ditjen POM (1989), mensyaratkan bahwa sayuran yang dimakan mentah maksimum mengandung E. coli dalam 102 CFU/g dan tidak mengandung Salmonella.

2.1.1. Salmonella

Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae, berbentuk batang, gram negatif, fakultatif anaerobik, dan aerogenik. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu antara 5-47°C, dengan suhu optimum 35-37°C, di samping itu Salmonella dapat tumbuh pada pH 4,1–9,0, dengan pH optimum 6,5-7,5. Nilai pH minimum tergantung pada serotipe, suhu inkubasi, komposisi medium, aW dan jumlah sel. Pada

pH di bawah 4,0 dan di atas 9,0, Salmonella akan mati secara perlahan, Salmonella pada umumnya dapat tumbuh pada medium dengan aW 0,945-0,999. pada aW 0,2-0,9

tingkat kematian akan naik dengan naiknya aW.

Kandungan salmonella pada suatu makanan tidak bisa di ketahui melalui perubahan dalam hal warna makanan, bau, maupun rasa dari makanan yang diduga terkontaminasi Salmonella. Semakin tinggi jumlah Salmonella dalam makanan, semakin besar timbulnya gejala infeksi pada manusia yang menelan makanan tersebut, dan semakin cepat pula waktu inkubasi sampai timbulnya gejala infeksi. Gejala Salmonellosis yang paling sering terjadi adalah gastroenteritis, beberapa species Salmonella juga dapat menimbulkan gejala penyakit lainnya misalnya demam enterik seperti demam tifoid dan demam paratifoid, serta infeksi lokal. Beberapa species Salmonella yang dapat menyebabkan infeksi makanan ialah S. enteritidis var. typhimurium dan varietas-varietas lain serta S. choleraesuis. (Supardi dan Sukamto, 1999)


(23)

Marriot (1999) menjelaskan bahwa Salmonella dapat tumbuh dan memproduksi endotoksin yang dapat menyebabkan penyakit. Pencegahan penyakit Salmonelosis telah banyak dilakukan misalnya meningkatkan dan memperbaiki pengawasan terhadap Salmonella pada pemasakan makanan yang tepat, menekan terjadinya kontaminasi silang pada peralatan produksi dengan perlengkapan fisik dan kontrol dengan pola aliran udara, memperbaiki perlakuan air, pengawasan yang lebih efektif pada hewan potong dan memberikan informasi tentang Salmonellosis secara luas (Pelczar dan Chan, 1989).

Menurut Supardi dan Sukamto (1999), menjelaskan perlakuan dengan asam asetat hidrogen peroksida, radiasi ionisasi, radiasi ultraviolet dan pemanasan dengan menggunakan oven mikrowave dapat membunuh Salmonella. Pemanasan merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk membunuh Salmonella namun alternatif lain adalah dengan mengatur pH, menambahkan bahan-bahan kimia, penyimpanan pada suhu rendah. Pemanasan yang direkomendasikan untuk membunuh Salmonella umumnya dilakukan pada suhu 66°C selama 12 menit atau pada suhu 60°C selama 78-83 menit (De-Figueiredo dan Splittstoesser, 1976).

2.1.2. Escherichia coli

Escherichia coli tergolong dalam familia Enterobactericeae, merupakan bakteri gram negatif dengan bentuk bakteri batang dengan ukuran panjang 2,0-6,0 mikron dan ukuran lebar 1,1-1,5 mikron,pHoptimum untuk pertumbuhannya sekitar 7,0-7,5 dengan pH minimum pertumbuhan pada 4,0 dan pH maksimum untuk dapat tumbuh adalah 9,0. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu antara 10°-40°C dengan suhu optimim pertumbuhan sebesar 37°C. (Supandi dan Sukamto, 1999). Aktivitas air (aw)

minimum yang memungkinkan pertumbuhan E. coli adalah 0,96. Pertumbuhan optimum dicapai pada aw media sebesar 0,995. Bakteri ini relatif sangat sensitif terhadap panas

dan dapat diinaktivkan pada suhu pasteurisasi selama pemasakan makanan (Frazier, 1967).

Menurut Fardiaz (1989), E. coli dapat tumbuh dengan baik pada medium yang hanya mengandung glukosa sebagai sumber nutrisi organik. Sedangkan kebutuhan


(24)

akan sumber nitrogen organik diperoleh selama pertumbuhannya, karena mampu mensin-tesa komponen-komponen nitrogen organik. Beberapa strain E. coli dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan dengan memproduksi enterotoksin dan menimbulkan gejala menyerupai kolera yang menyerang sel-sel epitelium saluran usus dengan melakukan adesi dan kolonisasi pada saluran usus halus serta mengeluarkan enterotoksin. Bakteri E. coli patogen dapat menimbulkan sidroma klinik yaitu gastroenteritis akut pada anak anak dan infeksi di saluran-saluran pencernaan.

Toksin yang dibentuk E. coli dapat berupa toksin thermostabil maupun thermolabil, toksin thermostabil tahan terhadap pemanasan pada suhu 100°C selama 15 menit sedangkan toksin thermolabil bersifat antigenik dan dapat diinaktivkan dengan pemanasan pada suhu 60°C selama 30 menit. Kontaminasi bakteri ini biasanya berasal dari air yang digunakan untuk mencuci, baik mencuci bahan makanan yang akan dikonsumsi maupun peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan. Diketahui bahwa E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, maka untuk mencegah pertumbuhan bakteri ini pada makanan, sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah. (Supandi dan Sukamto, 1999).

2.2. Insektisida Organofosfat

Insektisida merupakan bagian dari pestisida untuk membasmi serangga. Ditinjau dari obyek sasarannya, pestisida dapat digolongkan atas berbagai racun seperti akarisida (pembunuh tungau atau caplak), nematisida (pembunuh nematoda), rodentisida (pembunuh binatang pengerat), herbisida (pembunuh gulma), dan fungisida (pembunuh jamur atau cendawan). Pestisida yang paling banyak digunakan dalam jumlah yang cukup besar untuk meningkatkan produksi pertanian adalah insektisida, fungisida dan herbisida (Matsumura, 1985; Tarumingkeng, 1992).

Insektisida kimiawi telah dikenal sejak penggunaan bahan bahan racun seperti arsen, minyak bumi dan insektisida yang berasal dari tumbuhan. Insektisida sintetik pertama yang digunakan secara umum adalah senyawa-senyawa dinitro dan tiosianat.


(25)

Penemuan paling penting yang telah mengawali era insektisida sintetik adalah penemuan DDT (1,1,1 trikloro-2,2-bis(p-klorofenil)etan) oleh Zeidler pada Tahun 1874. Gelombang penemuan insektisida-insektisida mutakhir dimulai di Jerman oleh Gerhard Schrader, yang memelopori penggunaan senyawa fosfat-organik (organophosphates) sebagai insektisida. Dewasa ini bagian besar dari insektisida yang dipasarkan adalah dari golongan fosfat-organik ini. Golongan insektisida yang terakhir ditemukan adalah karbamat (carbamates) yang merupakan senyawa analog sintetik dari alkaloida-alkaloida fisostigmin dan eserin yang bersifat racun. (Taru-mingkeng, 1992)

Insektisida organofosfat terdiri dari satu gugus atau lebih fosfor yang terikat pada molekul organik.Organofosfat merupakan ester dari asam fosfat (P=O) atau asam fosforotionat (P=S) dengan struktur umum seperti pada Gambar 1. R1 dan R2 biasanya metil atau etil dan juga biasanya gugus fungsi berantai pendek, sedangkan X adalah gugus tergantikan (leaving group) yang bisa dari golongan alifatik, homosiklik atau heterosiklik. (Hassall, 1982).

R1

Gambar 1. Struktur Kimia Senyawa Organofosfat

R2

Sastroutomo (1992) menggolongkan insektisida organofosfat menjadi sub-kelas utama yaitu turunan alifatik, fenil dan heterosiklik.

a. Golongan alifatik merupakan senyawa organofosfat yang mempunyai rangkaian karbon yang lurus dan pendek. Sifat racunnya berbeda satu sama lain dan pada umumnya mempunyai daya larut tinggi dalam air. Termasuk dalam golongan ini adalah asefat, diklorvos, disulfoton, malation, monokrotofos dan neled.

b. Turunan fenil merupakan insektisida organofosfat yang mengandung benzen dengan satu rantai hidrogennya diganti oleh atom lain seperti Cl, NO2, CH3, CN,

S, atau atom lainnya. Turunan fenil biasanya lebih stabil dibanding golongan alifatik dan sebagai akibatnya residunya dapat bertahan lebih lama. Golongan


(26)

insektisida organofosfat turunan fenil adalah parathion, fention, fenofos, bromos etil, khlorfenvinfos, dan temefos.

c. Turunan Heterosiklik, senyawa heterosiklik merupakan senyawa yang mempunyai struktur cincin yang mempunyai atom-atom yang tidak sama. Dalam senyawa ini, satu atau lebih atom karbon digantikan baik oleh oksigen, nitrogen, atau sulfur sementara cincinnya dapat mempunyai tiga, lima atau enam atom. Pada umumnya senyawa ini mempunyai aktivitas yang lebih lama jika dibandingkan dengan turunan alifatik atau fenil. Termasuk dalam golongan ini yaitu diazinon, azinfosmetil, khlorpirifos, dan fosmet.

2.3. Residu Insektisida

Menurut komisi pestisida (1997) residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tak lansung dari penggunaan pestisida. McEwen dan Stephenson (1979) menyatakan, residu pestisida khususnya jenis insektisida dalam bahan makanan khususnya sayuran, selain dari pestisida yang langsung diaplikasikan pada tanaman dapat juga karena terkontaminasi atau karena tanaman ditanam pada tanah yang mengandung residu insektisida yang persisten. Besar residu tergantung dari besar dosis insektisida yang diaplikasikan dan cara pengolahannya.

Residu insektisida dapat hilang atau terurai, proses ini kadang-kadang berlangsung dengan laju yang konstan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah penguapan, pencucian, pelapukan (weathering), degradasi enzimatik dan translokasi. Dalam jumlah yang sedikit, insektisida dalam tanaman dapat hilang sama sekali karena proses metabolisme yang berkaitan dengan proses pertumbuhan tanaman itu sendiri. Menurut Tarumingkeng (1992) dan Matsumura (1985), residu permukaan dapat menghilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan dan hi-drolisis. Pembilasan bukan hanya untuk insektisida yang larut dalam air, tetapi juga terhadap insektisida lipolitik. Dalam waktu 1 - 2 jam setelah tanaman diperlakukan dengan insektisida, kemungkinan besar 90% deposit telah hilang karena tercuci j i k a terjadi hujan. Sisanya terurai oleh sinar ultraviolet.


(27)

Proses degradasi karena pencucian menurut Mc Ewen dan Stephonson (1979) dipengaruhi oleh kelarutan insektisida dalam air, insektisida dengan kelarutan tinggi dalam air akan lebih cepat tercuci dan terikut di dalam air begitu sebaliknya. Proses degradasi dapat juga akibat proses hidrolisis terhadap insektisida seperti yang diterangkan oleh Matsumura (1985) pada degradasi Formetanate dengan kondisi pH 8 seperti tampak pada Gambar 2

Gambar 2. Proses Hidrolisis pada Formetanate

Demikian juga diterangkan bahwa proses degradasi insektisida dapat terjadi karena adanya cahaya matahari selama proses aplikasi di lahan pertanian pada saat insektisida diaplikasikan pada tanaman, seperti tampak pada Gambar 3 proses degradasi heptaklor oleh sinar matahari

Gambar 3. Degradasi Heptaklor dengan Sinar


(28)

2.4. Sanitizer

Sanitizer adalah suatu bahan yang dapat mengurangi mikroba kontaminan sampai 99,9% yang sedang tumbuh. Efektifitas sanitizer terutama sanitizer kimia dipengaruhi oleh faktor fisik kimia seperti waktu kontak, suhu, konsentrasi, pH, kebersihan peralatan, kesadahan air, dan serangan bakteri. (Marriot, 1999)

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk tujuan antimikrobial beragam jenisnya seperti detergen yang sudah banyak dikenal, antiseptik, sampai dengan desinfektan-desinfektan yang mengandung toksik tinggi bagi mikroorganisme untuk mensterilkan alat-alat seperti pada rumah sakit ataupun beberapa industri. (McKane dan Kandel, 1996). Beberapa jenis sanitizer utama yang sudah dikenal adalah senyawa fenol dan fenolik, alkohol, halogen, logam berat, zat warna, deterjen, senyawa ammonium quarterner, asam dan alkali. Substansi-substansi untuk tujuan dekontaminasi secara kimia telah dilakukan terhadap permukaan karkas, substansi-substansi ini harus dapat diterima melalui pertimbangan terhadap toksitasnya, karena jika dipergunakan pada makanan harus dipertimbangkan residu sanitizer pada produk akhir. (Smulders, 1995)

Sanitizer yang ideal menurut Marriot (1999), harus memiliki beberapa hal seperti di bawah ini:

1. Memiliki sifat menghancurkan mikroba, aktivitas spektrum melawan fase vegetatif bakteri, kapang, dan khamir

2. Tahan terhadap lingkungan (efektif pada lingkungan yang mengandung bahan organik, deterjen, sisa sabun, kesadahan air, dan perbedaan pH)

3. Mampu membersihkan dengan baik

4. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi 5. Larut dalam air dalam berbagai konsentrasi 6. Bau dapat di terima

7. Konsentrasi stabil 8. Mudah digunakan 9. Mudah didapat 10. Tidak mahal


(29)

Sedangkan tipe sanitizer dapat dibedakan menurut teknik yang digunakan menjadi tiga. Pertama, pemanasan misalnya penggunaan uap panas dan air panas. Kedua, radiasi seperti ultraviolet. Ketiga, dengan bahan kimia misalnya klorin, iodine, asam, hidrogen peroksida dan ozone. Teknik pemanasan dan radiasi kurang digunakan dalam fasilitas produksi pangan dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia.

Fardiaz dan Jenie (1989), menyatakan bahwa berbagai jenis bahan kimia yang bersifat sebagai bahan sanitizer banyak ditemui di pasaran, tetapi belum ada satu-pun jenis sanitizer yang ideal dalam setiap penggunaan dan untuk semua tujuan. Hal ini disebabkan oleh beragamnya kondisi dimana bahan digunakan, perbedaan dalam cara kerja desinfektan dan banyaknya sel mikroba yang akan dihancurkan.

Sanitizer kimia umumnya dikelompokkan berdasarkan senyawa kimia yang mematikan mikroorganisme yaitu (1) senyawa-senyawa klorin, (2) senyawa quarternary ammonium, (3) Iodofor dan (4) senyawa amfoterik. (Jenie,1988)

2.4.1. Senyawa Klorin

Hipoklorit merupakan senyawa klorin yang paling sering digunakan dalam industri makanan. Sanitizer yang berbahan dasar klorin membentuk asam hipoklorit dalam larutan. Persamaan kimia klorin dalam larutan air dapat digambarkan sebagai berikut:

Klorin mampu menyebabkan reaksi mematikan pada membran sel dan dapat mempengaruhi DNA. NaOCl bereaksi dengan DNA sel hidup, meyebabkan mutasi oleh reaksi oksidasi basa purin dan pirimidin. Bakteri vegetatif umumnya lebih terpengaruh oleh sifat inaktivasi klorin daripada mikroba yang membentuk spora. Evaluasi natrium hipoklorit yang dilakukan terhadap mikroorganisme patogen seperti Listeria monocytogenes, Campilobacter jejuni, dan Yersinia enterolitica

NaOCl + H2O ↔ HOCl + NaOH


(30)

menunjukkan tingkat resistensi yang berbeda beda dalam inaktivasinya, namun dengan memperhatikan kondisi saat perlakuan yaitu waktu kontak, suhu, dan konsentrasi mampu mengefektifkan klorin untuk menginaktivasi beberapa jenis bakteri. (Davidson dan Branen, 1993).

Penggunaan klorin dengan konsentrasi 200 ppm mampu mereduksi E. coli sampai 1,7 x 105 CFU sedangkan asam peroksiasetat dengan konsentrasi 80 ppm mampu mereduksi E. coli sampai 1,5 x 105 CFU pada buah apel segar yang dicobakan (Wisneiwsky et al., 2000). Percobaan yang dilakukan Takeuchi dan Frank (2001) dengan menggunakan 1% NaCl-NaHCO3 pada pencucian buah dan sayur

mampu mereduksi E. coli sampai 0,4 log CFU/cm2. Inaktivasi E. coli juga dilakukan oleh Floros (2001) dengan menggunakan gas ClO2 dengan konsentrasi 0,5 mg/lt

mampu mereduksi sampai 5-log mikroba E. coli.

Penelitian yang dilakukan Beuchat et al. (1998) memperlihatkan untuk mengevaluasi efektifitas aplikasi klorin dengan cara penyemprotan dalam membunuh Salmonella, E. coli O157:H7, L. monocytogenes, khamir, dan kapang dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan penurunan populasi akibat perlakuan dengan klorin adalah sebesar 0,35 sampai 2,30 log CFU/cm2. Klorin 2000 ppm lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan konsentrasi 200 ppm pada tomat, apel dan daun selada. Inaktivasi mikroorganisme akan muncul selama 1 menit setelah perlakuan dengan klorin.

2.4.2. Senyawa Ammonium Quarterner (QACs)

Senyawa ini dikenal sebagai quaternaries, quats atau QACs. Sering digunakan untuk lantai, dinding, vernis dan perlengkapan lain, lebih mudah berpenetrasi sehingga sesuai untuk permukaan yang porous. Senyawa Ammonium Quarterner ini juga potensial untuk mengurangi jumlah bakteri dalam industri pengolahan makanan, peralatan makanan dan minuman di rumah makan dan peralatan penanganan pada pengolahan susu (Salle, 1961).


(31)

Menurut Jenie (1988), senyawa ini merupakan bakterisida yang sangat aktif terhadap bakteri gram positif, kurang efektif terhadap bakteri gram negatif kecuali bila ditambah dengan sekuestran, mempunyai ketahanan aktivitas pada kisaran pH yang lebar, tetapi paling aktif pada kondisi sedikit alkali dan aktivitas akan turun dengan cepat pada pH di bawah 5,0.

Keuntungan penggunaan sanitizer ini adalah sifat kombinasinya sebagai germisidal dan deterjen sekaligus, dengan toksisitas relatif rendah, daya larut dan stabilitas tinggi serta non-korosif, sehingga banyak diaplikasikan sebagai pembersih dan desinfektan (Pelczar dan Chan, 1986). Jenie (1988) menyebutkan pula beberapa keuntungan lainnya yaitu stabilitas QACs terhadap reaksi dengan bahan organik dan panas. Ketahanan terhadap korosi logam, non iritasi kulit dan elektif pada pH tinggi, tetapi terdapat beberapa kerugian dari Senyawa Ammonium Quarterner yaitu efektivitas terbatas, tidak dapat bekerjasama dengan deterjen sintetik anionik dan pembentukan film pada peralatan penanganan dan pengolahan pangan.

2.4.3. Iodofor

Senyawa Iodium utama yang digunakan untuk sanitasi adalah larutan-larutan Iodofor, alkohol-Iodium dan larutan Iodium cair. Kedua larutan umumnya digunakan sebagai desinfektan kulit. Iodofor mempunyai manfaat yang besar untuk pembersihan dan desinfeksi peralatan dan permukaan-permukaan dan sebagai antiseptik kulit. (Jenie, 1988).

Sanitizer tipe Iodium lebih stabil dengan adanya bahan organik daripada senyawa-senyawa klorin. Oleh karena kompleks Iodium stabil pada pH yang sangat rendah, senyawa ini dapat digunakan pada konsentrasi yang sangat rendah (6,25 ppm) dan digunakan pada 12,5 - 25 ppm. Sanitizer Iodium lebih efektif dari sanitizer lain terhadap virus. Hanya dibutuhkan 6,25 ppm untuk lolos dari uji Chamber dalam waktu 30 menit. Senyawa-senyawa Iodium non selektif dapat mematikan sel-sel vegetatif dan spora-spora serta virus. Sanitizer Iodofor digunakan pada konsentrasi yang direkomendasikan, biasanya 50 - 70 mg/l Iodium bebas dan menghasilkan pH 3 atau kurang dalam air dengan kesadahan sedang.


(32)

Iodofor memberikan efek mematikan dengan cepat terhadap bakteri pada umumnya dan menyerupai hipoklorit, tetapi senyawa-senyawa ini juga mempertahankan aktivitas yang cukup dengan adanya buangan organik dengan pH tidak lebih dari 4 dan kuantitas limbah tidak berlebihan, namun Iodofor lebih kurang aktif terhadap spora-spora dari hipoklorit.

Jumlah Iodium bebas akan menentukan aktivitas Iodofor. Surfaktan yang ada tidak menentukan aktivitas Iodofor tetapi dapat mempengaruhi sifat-sifat bakterisidal dari Iodium. Aktivitas Iodofor terhadap beberapa spora-spora bakteri dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Inaktivasi Spora-Spora Bakteri oleh Iodofor

Organisme pH Konsentrasi

(ppm)

Waktu untuk mereduksi 90% (menit)

B-cereus 6,5 50 10

6,5 25 30

2,3 25 30

B-subtilis - 25 5

C. botulinum tipe A 2,8 100 6

Iodofor mahal sehingga tidak banyak digunakan, tetapi senyawa-senyawa ini tidak korosif, tidak mengiritasi, tidak toksik dan sedikit berbau tetapi harus dibilas dengan baik setelah penggunaan. Beberapa bahan-bahan plastik dapat mengabsorbsi Iodium dan menjadi berubah warnanya bila terkena senyawa-senyawa ini, karet juga cenderung mengabsorbsi Iodium sehingga waktu kontak yang lama Iodofor harus dihindarkan untuk mencegah kemungkinan pengkaratan pada makanan. Salah satu keuntungan dari Iodofor adalah senyawa-senyawa ini tidak dipengaruhi oleh garam-garam air sadah. Stabil dalam bentuk pekat walaupun dengan penyimpanan yang lama pada suhu kamar yang tinggi masih mungkin terjadi kehilangan aktivitas. (Jenie, 1988)

Kelemahan Iodofor tidak efisien pada kondisi operasi suhu rendah, selain itu Iodofor dapat menguap pada suhu lebih dari 50°C. Kelemahan lain adalah dapat menyebabkan off flavor pada makanan sehingga sanitizer ini terbatas penggunaannya untuk sanitasi makanan. (Duran dan Marshall, 2002)


(33)

2.4.4. Senyawa Amfoterik

Senyawa amfoterik seperti etil β-olesipropinik ionidizol merupakan senyawa-senyawa aktif sebagai bakterisidal bila berada dalam keadaan kationik. Pada umumnya senyawa-senyawa ini lebih mahal dari sanitizer lain dan tidak merupakan bakterisida yang kuat, walaupun dapat dicampur dengan QACs untuk meningkatkan efisiensinya. Desinfektan amfoterik tidak begitu dipengaruhi oleh bahan organik atau oleh kesadahan air, tidak korosif, tidak beracun dan tidak berbau dan stabil, bahkan dalam bentuk encer, untuk waktu yang lama. Akan tetapi cenderung membentuk busa dan karena mahal serta aktivitasnya terbatas, senyawa amfoterik tidak banyak digunakan dalam industri pangan (Jenie, 1988)

2.5. Asam Asetat

Asam paling sedikit mempunyai dua pengaruh anti mikrobial, yaitu karena pengaruhnya terhadap pH dan sifat keracunan yang khas dari asam-asam yang terurai, yang beragam untuk asam-asam yang berlainan. Pada pH yang sama, asam asetat lebih bersifat menghambat terhadap mikroba tertentu dibandingkan asam laktat, dimana asam laktat bersifat menghambat dibandingkan asam sitrat (Buckle et al., 1985)

Asam asetat dan asam laktat merupakan asam-asam organik yang sering digunakan sebagai bahan pengawet. Asam asam organik seperti asam asetat, asam laktat, asam propionat, asam benzoat, dan turunan-turunanya biasa digunakan sebagai agen-agen antimikroba (Nycas, 1995)

Asam asetat lebih letal dibandingkan asam laktat terhadap Salmonella sp. Asam asetat menghambat E. coli O157:H7 lebih baik dibandingkan asam laktat, asam malat, atau asam sitrat. Keuntungan dalam menggunakan asam asetat adalah harga yang relatif murah, berstatus GRAS (Generally Recognize As Safe), dan relatif tidak beracun. Pada level molar sama, asam organik (asam lemah) memiliki aktivitas antimikrobial yang lebih kuat dibandingkan asam-asam inorganik. Sifat antimikrobial dari asam lemah akan meningkat dengan menurunnya pH. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas asam organik secara langsung terhubung dengan jumlah molekul yang tidak terdisosiasi yang akan meningkat jika pH menurun karena bertambahnya jumlah proton. Ketika asam asetat dilarutkan, ia akan berdisosiasi


(34)

untuk melepaskan protein bebas, yang akan menurunkan pH. Jumlah proton yang meningkat di permukaan luar mikroorganisme dapat merusak fungsi membran dengan mendenaturasi enzim dan mengubah sifat permeabel membran sehingga menjadi tidak stabil (Marshall et al., 2000).

Perbandingan berbagai konsentrasi asam asetat dan asam laktat untuk tujuan dekontaminasi pada karkas hewan, menunjukkan bahwa kemampuan dekontaminasi yang paling efektif dimiliki oleh asam asetat. Secara umum penggunaan konsentrasi asam (1-3%) merupakan cara yang efektif dalam menghambat bakteri-bakteri patogen seperti Campyllobacter jejuni, Yersinia enterocolitica dan efektif pula dalam menghambat Salmonella (Smulders, 1995)

Penelitian oleh Wulandari (2004) menunjukkan bahwa kombinasi hidrogen peroksida 5% dan asam asetat 3% mampu mereduksi Salmonella sebesar 3,42 log CFU/g pada tauge segar yang dicobakan, peneliti lain yang dilakukan oleh Marlis (2004) kombinasi hidrogen peroksida 5% dan asam asetat 3% sebagai sanitizer yang dicobakan pada selada segar mampu mereduksi Salmonella sebanyak 3,85 log CFU/g.

2.6. Rekomendasi Sanitizer

Pemilihan sanitizer menurut Jenie (1988), juga didasari beberapa hal menurut tujuan spesifik yang akan dicapai. Pemilihan sanitizer yang tepat diharapkan nantinya memberi dampak yang optimal terhadap tujuan yang akan dicapai.


(35)

Tabel 6. Rekomendasi Umum untuk Sanitizer

Sanitizer yang direkomendasikan Tujuan Spesifik

dengan urutan yang lebih disukai

Jenis Mikroba

Spora bakteri Klorin

Bacteriophage Klorin, Anionik asam

Coliform Hipoklorit, Iodofor

Salmonella Hipoklorit, Iodofor

Psikotrops Gram (-) Klorin

Sel Vegetatif Gram (+) QACs, Iodofor, Klorin

Virus Klorin , Iodofor, Anionik asam

Kondisi Air

Air Sadah Anionik asam, Hipoklorit,Iodofor Air dengan besi tinggi Iodofor

Penanganan Air Hipoklorit

Ruang/peralatan

Peralatan Aluminium Iodofor, QACs

Udara berkabut (fogging) Klorin, Iodofor, QACs Sanitasi tangan Iodofor

Peralatan pada saat

digunakan Iodofor, Klorin Peralatan yang akan

disimpan QACs

Dinding QACs, Klorin

Permukaan Porous dan

putih Klorin, QACs

Kerja fisik yang diinginkan

Lapisan bakteriostatik QACs Pencegahan terbentuknya

Film Iodofor, QACs

Kontrol bau QACs

Penetrasi Iodofor, QACs

Film residu QACs

Kontrol visual Iodofor

Hubungan Ekonomi

Harga rendah Klorin

korosif Klorin Non-korosif QACs Stabilitas Iodofor,QACs, Anionik asam Stabilitas larutan bekas Anionik asam, QACs

Stabilitas suhu Anionik asam, QACs Sumber: Jenie (1988)


(36)

Penelitian yang dilakukan oleh Andrade et al. (1997) menunjukkan bahwa efektifitas beberapa sanitizer yang dicobakan untuk mengurangi kandungan Enterococcus faecium pada peralatan stainless menunjukkan perbedaan pada masing masing sanitizer dengan kombinasi perlakuan waktu kontak dan konsentrasi.

Tabel 7. Aktivitas Beberapa Sanitizer dalam Mereduksi E. faecium pada Permukaan Stainless

Waktu Kontak

30 detik 2 menit Reduksi E. faecium Reduksi E. faecium Jenis Sanitizer Konsentrasi

(mg/lt)

(log CFU/chip) (log CFU/chip)

NatriumHipoklorit 100 1.88 1.27

Paracetic Acid Plus 60 0.68 0.62

Paracetic Acid 120 1.21 1.03

Quaternary Ammonium 200 1.34 0.70

Organik Acid 90 1.23 0.96

Anionic Acid 200 2.08 1.68

Sumber: Andrade et al. (1997)

Pemilihan sanitizer, juga didasari kemudahan dalam penggunaan dan nilai ekonomi dari sanitizer yang digunakan. Harga sanitizer yang terlalu tinggi walaupun cukup efektif tidak akan memberi dampak positif untuk peningkatan keamanan pangan sayuran segar, karena petani akan enggan menggunakannya karena alasan ekonomi. Beberapa bahan kimia yang ada dipasaran menunjukkan bahwa senyawa pelepas klorin dan asam asetat mempunyai kemungkinan besar dipilih sebagai sumber sanitizer yang optimal digunakan untuk mengurangi kandungan mikroba patogen dan residu pestisida khususnya jenis insektisida pada sayuran segar. Pemilihan ini didasari dari segi harga yang murah dan ketersediaan dipasaran yang mudah untuk didapatkan.

Tabel 8. Perbandingan Harga Beberapa Bahan Kimia untuk Sanitizer di Pasaran Jenis Sanitizer Konsentrasi Harga (Rp/Lt)

NatriumHipoklorit 10% 4000

Hidrogen Peroksida 50% 7500

Asam Asetat 98% 16000

Asam Laktat - 55000

Asam Benzoat - 35000


(37)

2.7. Aplikasi Sanitizer

Sanitizer dapat diaplikasikan dengan cara sirkulasi, perendaman, penggunaan sikat, fogging (pembentukan kabut), dan penyemprotan. Sirkulasi sanitiser dapat dilakukan dengan memompakan larutan sanitasi ke dalam wadah. Alat-alat kecil dan alat-alat makan dan minum disanitasi dengan perendaman selama paling sedikit 2 menit, kemudian ditiriskan. Wadah-wadah yang besar dan terbuka, sanitasinya paling baik dilakukan dengan dibantu sikat. Wadah-wadah tertutup seperti tanki susu, efektif dengan fogging. Untuk tujuan ini kekuatan larutan sanitiser umumnya harus dua kali penggunaan biasa. Demikian pula apabila sanitizer diaplikasikan dengan penyemprotan pada permukaan-permukaan yang luas dan terbuka, kekuatan larutan harus dua kali penggunaan biasa. (Jenie, 1988)

Penelitian Wulandari (2004) menunjukkan bahwa aplikasi sanitizer dengan cara perendaman lebih efektif dibandingkan dengan penyemprotan untuk mengurangi kandungan Salmonella pada tauge segar dalam percobaan yang dilakukan.

Tabel 9. Hasil Penurunan Jumlah Salmonella dengan Cara Pencucian dan Berbagai Waktu Kontak pada Tauge Segar

Penurunan Jumlah Perlakuan

Salmonella (Log CFU/g)

Kontrol -

Bilas Air 1,52

H2O2 5%+ Asam Asetat 3% (perendaman 2 menit) 3,15

H2O2 5%+ Asam Asetat 3% (perendaman 5 menit) 2,97

H2O2 5%+ Asam Asetat 3% (penyemprotan 2 menit) 2,25


(38)

Efektifitas teknik aplikasi sanitizer juga dilakukan oleh Marlis (2004) dengan membandingkan teknik aplikasi perendaman dengan penyemprotan untuk mengurangi kandungan Salmonella pada selada segar, dalam percobaan menunjukkan bahwa teknik aplikasi sanitizer dengan perendaman lebih besar kemampuannya dalam mengurangi Salmonella jika dibandingkan dengan penyemprotan.

Tabel 10. Hasil Penurunan Jumlah Salmonella dengan Cara Pencucian dan Berbagai Waktu Kontak Pada Selada Segar

Penurunan Jumlah Perlakuan

Salmonella (Log CFU/g)

Kontrol -

Bilas Air 1,04

H2O2 5%+ Asam Asetat 3% (perendaman 2 menit) 3,17

H2O2 5%+ Asam Asetat 3% (perendaman 5 menit) 2,94

H2O2 5%+ Asam Asetat 3% (penyemprotan 2 menit) 1,12


(39)

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Sayuran sebagai salah satu komoditas hortikultura yang cukup potensial ternyata masih mempunyai kendala berupa rendahnya mutu dan keamanan pangan produk sayuran segar, seperti tingginya residu pestisida dan mikroba patogen. Kendala ini cukup rumit untuk dipecahkan karena melibatkan berbagai pihak dalam rantai produksi sayuran sampai ke tangan konsumen. Residu pestisida diakibatkan karena penggunaan pestisida khususnya jenis insektisida yang berlebihan selama budidaya tanaman oleh petani, sedangkan kontaminasi oleh mikroba patogen disebabkan karena penanganan pasca panen yang kurang tepat. Kedua hal tersebut menyebabkan sayuran segar kurang aman untuk dikonsumsi.

Kondisi komoditas sayuran segar dengan berbagai kontaminan yang tinggi menimbulkan pemikiran mengenai bagaimana cara menurunkan jumlah kontaminasi mikroba patogen maupun residu pestisida khususnya jenis insektisida pada sayuran segar. Salah satu cara adalah dengan penggunaan sanitizer yang cocok dan aplikasi perendaman untuk mengurangi kandungan kontaminan mikroba patogen sekaligus mengurangi residu pestisida khususnya jenis insektisida yang ada di sayuran segar. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sanitizer yang berasal dari hipoklorit, asam peroksiasetat menunjukkan efektifitas yang cukup tinggi dalam membunuh mikroba, namun demikian belum ada laporan mengenai pengaruh efektifitas kedua sanitizer tersebut terhadap pengurangan residu pestisida khususnya jenis insektisida.

Penggunaan natrium hipoklorit sebagai sanitizer mempunyai beberapa keunggulan, antara lain daya bakterisidalnya tinggi, harganya cukup murah dan banyak tersedia dipasaran, selain itu penggunaannya di industri sayuran segar telah banyak dilakukan. Industri tomat segar di California, telah menggunakan larutan natrium hipoklorit dengan dosis 100 sampai 150 ppm dalam mencuci tomat segar sebelum dilakukan pengepakan untuk mengurangi kandungan mikroba patogen yang menempel pada tomat (www.tomatto.org). Industri pengolahan kedelai edamame beku melakukan pencucian dengan menggunakan natrium hipoklorit dengan dosis


(40)

150 ppm untuk mengurangi kandungan mikroba patogen yang ada pada kedelai edamame sebelum dibekukan dan di kemas dalam keadaan matang (Mitra Tani 27, 2004).

Pemilihan asam asetat sebagai bahan kimia yang akan dikombinasikan dengan larutan sanitizer natrium hipoklorit didasari atas beberapa pertimbangan, yaitu:

1. Pada pH yang sama, asam asetat lebih bersifat menghambat terhadap mikroba tertentu dibandingkan asam laktat, sedangkan asam laktat lebih bersifat menghambat dibandingkan asam sitrat,

2. Asam asetat lebih letal dibandingkan asam laktat terhadap Salmonella sp.

3. Asam asetat menghambat E. coli O157:H7 lebih baik dibandingkan asam laktat, asam malat, atau asam sitrat.

4. Keuntungan dalam menggunakan asam asetat adalah harga yang relatif murah, berstatus GRAS (Generally Recognize As Safe), dan relatif tidak beracun.

Secara umum penggunaan asam (1-3%) merupakan cara yang efektif dalam menghambat bakteri-bakteri patogen seperti Campyllobacter jejuni, Yersinia enterocolitica dan efektif pula dalam menghambat Salmonella (Smulders, 1995)

Penggunaan natrium hipoklorit 50-150 ppm sebagai sanitizer dengan asam asetat 1-3% merupakan suatu pilihan yang diharapkan nantinya memiliki efek sinergis untuk mengurangi kandungan mikroba patogen dan residu pestisida khususnya jenis insektisida, hal ini dimungkinkan karena adanya asam asetat dapat memberikan suasana asam sehingga berpengaruh terhadap pengurangan residu pestisida khususnya jenis insektisida. Noblet et al. (1996) menyebutkan salah satu faktor untuk mempercepat hidrolisis insektisida adalah kondisi pH, dimana ada golongan insektisida yang terhidrolisis pada pH asam dan ada juga yang lebih mudah terhidrolisis pada pH alkali. Suasana asam yang diperoleh memberikan peluang cukup besar untuk membebaskan kontaminasi mikroba, logam berat dan pestisida pada sayuran segar. Agar aplikasi pemakaian sanitizer diharapkan tidak mempersulit proses penanganan sayuran segar di tingkat petani, maka teknik perendaman dipilih sebagai aplikasi dengan sanitizer dalam mengurangi kandungan kontaminan mikroba patogen dan pengurangan residu pestisida khususnya jenis insektisida yang ada di


(41)

komoditas sayuran segar untuk meningkatkan keamanan pangan. Matsumura (1985), residu permukaan dapat menghilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan dan hidrolisis.

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan formulasi sanitizer yang tepat dan teknik aplikasi perendaman yang sesuai sehingga dapat dilaksanakan di tingkat petani untuk meningkatkan keamanan produk sayuran segar di tingkat petani. Gambar 4 menunjukkan kerangka pemikiran terhadap penelitian yang dilakukan.


(42)

P o ten si K o m o d itas say u ran seg ar

Id en tifik asi M asalah S ay u ran S eg ar

P em ilih an S a n itizer d an T ek n ik A p lik asi

P en g u jian S a n itizer

A p likasi P em ak aian S a n itizer d i T in gk at P etan i

P en in g k a ta n k ea m a n a n P a n g a n S a y u ra n seg a r : - P en in g k atan K eam an an say u ran seg ar d i tin g k at p etani - P em b erd ay aan p etan i dalam p en erap an p ascap an en y an g b aik - P en g u ran g an terjad in y a k asu s k eracu n an p ang an

P o ten si S a n itizer (sifat fisik , k im ia,

ek o n o m is)

A n alisis L ab o rato riu m


(43)

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan Baku

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sayuran segar yang diperoleh dari petani di sentra produksi sayuran yaitu Cipanas kabupaten Cianjur Jawa Barat dan Babelan Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Sayuran segar yang diambil meliputi: sayuran buah (tomat, terong, mentimun), sayuran daun (bayam, sawi, caisin) dan sayuran umbi (wortel, selada) pada sentra produksi sayuran.

3.2.2. Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan adalah natrium hipoklorit untuk bahan sanitizer, asam asetat, alkohol 70% untuk desinfeksi peralatan, aquades, Aseton, Heksana, Natrium sulfat anhidrat, florisil, air minum.

3.2.3. Media

Media untuk uji mikrobiologis digunakan antara lain Plate Count Agar (PCA), Nutrient Broth (NB), Xylose Lysine Desoxycholate Agar (XLDA), Mc Conkey Agar (MCA).

3.2.4. Alat

Alat yang digunakan adalah autoklaf, oven, lemari pendingin, Cool Box,. neraca analitik, pH meter, cawan petri, erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, pinset, jarum ose, tabung sentrifuse, tabung reaksi, mikropipet, tips, bunsen, stomacer, vortex, inkubator, baskom, colonicounter, mikroskop, stomacer, beaker glass, blender, homogenizer, labu bundar

3.3. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada Bulan Pebruari 2005 – Juni 2005, sedangkan tempat penelitian dibagi dalam dua kategori. Pertama, penelitian di laboratorium dengan melakukan formulasi sanitizer dan melakukan uji efektifitas dilakukan di Laboratorium Pengawasan Mutu Balai Besar Litbang Pascapanen Cimanggu, Laboratorium Bakteriologi BALITVET Cimanggu dan Laboratorium Biopestisida BALITBIOGEN Cimanggu. Kedua, teknik aplikasi dilapangan pada sentra produksi sayuran segar di UD Pacet Segar Cipanas Cianjur dan Packing House Agropolitan Babelan Bekasi.


(44)

3.4. Desain Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu: 1. Penelitian Tahap I

Pada tahap ini penelitian diarahkan untuk menentukan komposisi formula sanitizer yang akan di gunakan pada sayuran segar dan melakukan pengujian terhadap efektifitas sanitizer yang didapatkan terhadap parameter yang akan diukur. Parameter yang diukur adalah pengurangan kandungan mikroba, di dalam sayuran termasuk pengukuran kandungan salmonella, E. coli dan kandungan residu insektisida sebelum dan sesudah perlakuan penggunaan sanitizer. Gambar 5 menunjukkan desain penelitian yang akan dilakukan pada tahap I

2. Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II dilakukan dengan menggunakan komposisi formula sanitizer di lapangan dan melakukan serangkaian uji terhadap efektifitas sanitizer yang digunakan dengan teknik aplikasi perendaman. Parameter yang diuji antara lain: uji total mikroba, residu insektisida dan residu sanitizer yang digunakan.


(45)

Sayuran Segar

Pencucian

Pencucian

Pengujian Efektifitas Sanitizer Meliputi:

- Uji Total Plate Count - Uji Salmonella - Uji E. coli - Uji Residu Pestisida - Uji Residu Sanitizer NaOCl

100 ppm

NaOCl 150 ppm

CH3COOH 1%

CH3COOH 2%

CH3COOH 3% NaOCl

50 ppm

Perlakuan Perendaman 2, 4, 6 menit dalam Sanitizer

dengan kombinasi perlakuan


(46)

3.5. Rancangan Percobaan

Penentuan formulasi sanitizer yang efektif untuk meningkatkan keamanan pangan sayuran segar dilakukan melalui percobaan tiga faktor, yaitu: 1) konsentrasi klorin , 2) konsentrasi asam asetat, 3) lama waktu aplikasi perendaman. Konsentrasi klorin terdiri dari tiga yaitu taraf 50 ppm, 100 ppm, dan 150 ppm. Konsentrasi asam asetat terdiri dari 3 taraf yaitu 1%, 2%, dan 3% (perhitungan konsentrasi klorin dan asam asetat disajikan pada Lampiran 1). Faktor aplikasi lama perendaman juga terdiri dari 3 taraf yaitu 2 menit, 4 menit, dan 6 menit.

Rancangan percobaan menggunakan Response Surface Methodology (RSM) yang memungkinkan diperolehnya tingkat konsentrasi klorin, asam asetat dalam sanitizer dan lama perendaman yang optimum.

Persamaan matematik yang digunakan adalah η = f(x1,x2,x3)

x1 = Konsentrasi Klorin

x2 = Konsentrasi Asam Asetat

x3 = lama Perendaman

dengan fungsi matematik sebagai berikut:

η =β0+

+

+ +

= 3 1 i i ix β = 3 1 2 i i iix β

∑∑

= ≠ 3 1 3 1 i j j i ijx x

β εi

η = Rata-rata respon β0 = intersep

βi = koefisien linier

βii = koefisien kuadratik

βij = koefisien interaksi

xi = faktor percobaan ( x1, x2, x3)

i

ε = galat

Penelitian ini dilakukan dengan 8 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan di titik pusat. Nilai kombinasi pusat perlakuan adalah asam asetat 2% , natrium hipoklorit


(47)

100 ppm dan waktu 4 menit. Tabel 11 menunjukkan matrik satuan percobaan efektifitas sanitizer pada sayuran segar.

Tabel 11. Matrik Satuan Percobaaan Efektifitas Sanitizer pada Sayuran Segar

Kode Nilai Nilai Asli

No

X1 X2 X3

CH3COOH (%) NaOCl (ppm) Waktu (menit)

1 -1 -1 -1 1 50 2

2 1 -1 -1 3 50 2

3 -1 1 -1 1 150 2

4 1 1 -1 3 150 2

5 -1 -1 1 1 50 6

6 1 -1 1 3 50 6

7 -1 1 1 1 150 6

8 1 1 1 3 150 6

9 0 0 0 2 100 4

10 0 0 0 2 100 4

11 0 0 0 2 100 4

Pengkodean xi diekspresikan dengan persamaan:

xi =

i i i u u ∆ − 0 dimana

ui0 =

2 min , max , min , i i i u u

u + −

∆i = ui,maxui0... (Box dan Hunter, 1978)

3.6. Parameter Penelitian

Parameter penelitian yang akan dilaksanakan meliputi parameter yang menunjukkan jumlah kontaminasi mikroba patogen dan kandungan residu pestisida khususnya jenis insektisida dan sanitizer setelah proses perlakuan terhadap sayuran segar.

3.6.1. Analisis Mutu Mikrobiologis Sayuran di Tingkat Petani

a. Uji Total Plate Count (AOAC, 1999)

Uji Total Plate Count (TPC) dilakukan dengan mengambil sampel secara acak dan dilakukan penimbangan sebanyak 25 g, dimasukkan ke dalam plastik steril dan ditambahkan 225 ml larutan pengencer steril. Sampel tersebut dihancurkan


(48)

dalam stomacher selama 2 menit, hasil penghancuran dilakukan pengenceran dengan beberapa tingkat pengenceran.

Sebanyak ± 12 – 15 ml media PCA disiapkan dan dimasukkan dalam cawan kemudian diinokulasikan substrat hasil pengenceran dengan pipet sebanyak 1 ml, dilakukan penggoyangan dan ditunggu sampai membeku media PCA, cawan diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37°C selama 48±2 jam dan jumlah koloni yang terbentuk pada cawan dihitung berdasarkan Standard Plate Count (SPC)

b. Uji Salmonella

Sampel hasil pengenceran pada uji Total Plate Count dimasukkan sebanyak 100 µl dengan menggunakan mikropipet pada media Xylose Lysine Desoxycholate Agar (XLDA) sebanyak ± 12 – 15 ml dalam cawan yang sudah disiapkan dalam keadaan beku. Setelah perataan sampel di atas media Xylose Lysine Desoxycholate Agar (XLDA) yang sudah membeku, cawan di inkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37°C selama 48±2 jam dan jumlah koloni tipikal Salmonella yang terbentuk pada cawan dihitung berdasarkan Standard Plate Count (SPC)

c. Uji E. coli

Sampel hasil pengenceran pada uji Total Plate Count dimasukkan sebanyak 100 µl dengan menggunakan mikropipet pada media Mc Conkey Agar (MCA). sebanyak ± 12 – 15 ml dalam cawan yang sudah disiapkan dalam keadaan beku. Setelah perataan sample di atas media Mc Conkey Agar (MCA). yang sudah membeku, cawan di inkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37°C selama 48±2 jam dan jumlah koloni tipikal Salmonella yang terbentuk pada cawan dihitung berdasarkan Standard Plate Count (SPC)

3.6.2. Analisis Residu Insektisida dan Sanitizer a. Analisis Residu Pestisida

Analisis residu insektisida dilakukan dengan menggunakan Metode Homogenezer (AOAC, 1999) dengan menggunakan Cromatography Gas Shimadzu Model GC-4CM dengan menggunakan detektor 63Ni ECD dengan kolom OV 17. Tahapan


(49)

analisis residu insektisida secara umum dimulai dengan sampel sayuran yang masih segar dirajang halus dan dihomogenkan dan ditimbang sebanyak 25 gram, dimasukkan ke dalam cup homogenizer, kemudian dilakukan penambahan pelarut aseton sebanyak 75 ml, dan dilakukan homogenoizer selama 20 menit dengan kecepatan 100 rpm. Setelah selesai di filtrasi dengan corong buhnert, filtrat yang dihasilkan ditampung dalam labu bundar 300 ml.

Filtrat yang dihasilkan dievaporasi sampai pelarut tersisa ±1 ml, kemudian dilakukan pemurnian dengan melewatkan dalam kolom kromatografi yang telah di isi florisil dan natrium sulfat anhidrat dan dielusi dengan pelarut n-heksan sebanya 50 ml, setelah selesai filtrat dievaporasi sampai ±1 ml, sampel ±1 ml ditampung pada tabung uji, kemudian labu dibilas dengan aseton secara bertahap dan hasil bilasan di tampung dalam tabung uji sampai didapatkan volume sampel 10 ml, larutan sampel yang dihasilkan dilakukan analisis kuantitatif berupa penyuntikan 2-5 µl sampel dan larutan standar insektisida ke dalam kromatografi gas. Konsentrasi residu pestisida dalam sampel dihitung dari kromatogram yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan kromatogram standar.

b. Analisis Residu Sanitizer

Analisis residu klorin pada sayuran yang telah disanitasi dilakukan dengan menggunakan metode tritrasi iodometrik. Hasil sampel yang telah ditambah reagen asam asetat dan KI kemudian dititrasi menggunakan natrium tiosulfat,


(50)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Formula Sanitizer

Penggunaan formula sanitizer kombinasi antara asam asetat dan natrium hipoklorit didasarkan beberapa pertimbangan baik dari sisi sifat-sifat kimiawi yang melekat pada bahan kimia tersebut juga dari pertimbangan ekonomis dan ketersediaan di pasar. Status GRAS (Generally Recognize As Safe) merupakan faktor utama sebagai pertimbangan digunakannya asam asetat sebagai bahan sanitizer. Faktor pendukung yang tidak kalah penting adalah sifat-sifat kimia yang dimiliki oleh asam asetat dalam kemampuannya sebagai bakterisidal maupun bakteriostatik. Kemampuan asam asetat berhubungan dengan pengaruhnya terhadap pH dan sifat keracunan yang khas dari asam-asam yang terurai. (Buckle et al., 1985). Asam asetat akan terdisosiasi dalam air menjadi CH3COO- dan H+, tingkat disosiasi ini tergantung

dari kondisi lingkungan, jika kondisi lingkungan asam akan terjadi peningkatan ion H+ sehingga kesetimbangan akan menuju ke bentuk yang tidak terurai, bentuk ini mempunyai sifat larut dalam lemak sehingga dapat menembus membran sel dan menyebabkan pH internal sel berubah, aktivitas enzim dan asam nukleat terganggu dan sel menjadi mati (Garbutt, 1997). Secara umum penggunaan konsentrasi asam 1-3% memberikan pengaruh yang efektif dalam menghambat bakteri patogen pada bahan pangan.

Natrium hipoklorit merupakan salah satu jenis sanitizer yang banyak digunakan dalam industri untuk membunuh bakteri patogen. Senyawa ini merupakan golongan senyawa senyawa pelepas klorin, menurut Jenie (1988) senyawa senyawa penghasil klorin merupakan sanitizer yang paling kuat dengan spektrum luas meliputi bakteri gram positif dan gram negatif juga terhadap aktivitas spora bakteri. Asam hipoklorit merupakan senyawa klorin yang berasal dari natrium hipoklorit yang terdisosiasi dalam air, mampu mematikan sel mikroba dengan cara penghambatan oksidasi glukosa oleh gugus sulfhidril. Selain itu menurut Cords dan Dychdala dalam Davidson dan Branen (1993) menyebutkan klorin mampu menyebabkan reaksi mematikan pada membran sel dan dapat mempengaruhi DNA, NaOCl bereaksi dengan DNA sel hidup menyebabkan mutasi oleh reaksi oksidasi basa purin dan pirimidin.


(51)

Penggunaan Natrium hipoklorit dengan tujuan sanitasi untuk mencuci buah dan sayuran dengan konsentrasi 50 sampai 200 ppm dan waktu kontak 1-2 menit menunjukkan adanya efek bakterisidal walaupun penurunan populasi mikroba kurang dari 100 kali. (Naidhu dan Khanna, 2000). Penggunaan natrium hipoklorit pada industri pertanian telah banyak dilakukan, industri pengemasan tomat di California menggunakan natrium hipoklorit dengan konsentrasi antara 100-150 ppm untuk mencuci tomat sebelum dilakukan pengepakan (www.tomato.org). Industri pengepakan kedelai edamame segar juga melakukan pencucian dengan menggunakan natrium hipoklorit dengan dosis 150 ppm untuk mengurangi kandungan mikroba yang ada pada kedelai edamame sebelum dikemas (Mitra Tani 27), selain itu dalam upaya mengurangi kandungan mikroba yang ada di dalam sayuran caisin, industri sayuran segar di Pacet Cianjur juga menggunakan natrium hipoklorit dengan dosis 100 ppm (Pacet Segar, 2005).

Efektifitas natrium hipoklorit sebagai sanitizer dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu dan pH. Pengaruh pH berhubungan dengan disosiasi natrium hipoklorit dalam air menjadi Cl2, HOCl dan Cl-, dimana ketiga komponen tersebut mempunyai daya

bakterisida yang berbeda. Pada pH 4-5 natrium hipoklorit akan terdisosiasi dalam air membentuk asam hipoklorit sehingga konsentrasi asam hipoklorit dalam larutan meningkat, bila terjadi penurunan pH dibawah 4 natrium hipoklorit akan terdisosiasi membentuk Cl2 sehingga jumlah Cl2 meningkat, sedangkan jika dalam kondisi pH di

atas 5 natrium hipoklorit akan terdisosiasi membentuk OCl- sehingga terjadi peningkatan konsentrasi OCl- dalam air. Asam hipoklorit mempunyai kemampuan daya bunuh terhadap bakteri yang lebih tinggi dibanding Cl2 maupun OCl-, sehingga

untuk efektifitas sanitizer, larutan natrium hipoklorit sebaiknya pada kisaran pH 4-5.(Cords dan Dychdala, 1993). Tabel 12 menunjukkan komposisi relatif asam hipoklorit pada beberapa kisaran pH.


(52)

Tabel 12. Komposisi Relatif Asam Hipoklorit pada Kisaran pH. pH Jumlah Klorin yang terdapat sebagai HOCl (%)

4,5 100 5 98 6 64 7 75 8 23 9 4 10 0 Sumber: Baker (1959)

Kombinasi antara asam asetat dan natrium hipoklorit, bertujuan untuk meningkatkan efektifitas natrium hipoklorit terhadap daya bunuh mikroba patogen. Suasana asam khususnya kisaran pH 4-5 akan memberikan efek peningkatan pembentukan asam hipoklorit dari natrium hipoklorit yang terdisosiasi dalam air. Asam hipoklorit merupakan suatu senyawa yang berperan paling efektif terhadap daya bunuh mikroba patogen. Kombinasi antara asam asetat dengan natrium hipoklorit akan memberikan efek pH pada kisaran pH optimum dalam membentuk asam hipoklorit. Tabel 13 menunjukkan pengaruh pengkombinasian asam asetat dengan natrium hipoklorit terhadap pH.

Tabel 13. Data pH Kombinasi Sanitizer

Data Pengamatan pH Sanitizer

CH3COOH

0%

CH3COOH

1%

CH3COOH

2%

CH3COOH

3%

NaOCl 0 ppm - 3,18 3,05 2,98

NaOCl 50 ppm 11,23 4,02 3,69 3,63

NaOCl 100 ppm 11,46 4,34 4,08 3,86

NaOCl 150 ppm 11,55 4,59 4,26 4,02

Kisaran pH yang dihasilkan dari pengkombinasian asam asetat dan natrium hipoklorit menunjukkan pH terendah 3,63 dan pH tertinggi 4,59. Kisaran pH yang diperoleh ini diperkirakan dapat memberikan efek yang baik terhadap daya bakterisidal senyawa sanitizer yang diaplikasikan.


(53)

4.2. Efektifitas Sanitizer dalam Inaktivasi Total Mikroba

Pengamatan efektifitas sanitizer dalam hal inaktivasi total mikroba yang ada pada sayuran tomat yang dicobakan, dilakukan dengan menggunakan Plate Count Agar (PCA). Koloni yang tumbuh pada media PCA merupakan jenis-jenis bakteri gram negatif maupun gram positif yang nantinya akan dihitung untuk menentukan efektivitas sanitizer yang digunakan dalam menginaktivasi bakteri.

Pengujian data pengamatan terhadap respon inaktivasi total mikroba dengan menggunakan Program software SAS V8, memberikan persamaan permukaan respon sebagai berikut:

Y= 1,2854 + 0,13785CH3 + 0,00145Na – 0,00402T – 0,12070CH32 + 0,000341

CH3*Na + 0,052885CH3*T – 0,000396Na*T

Keterangan :

Y = Respon terhadap Inaktivasi Total mikroba CH3 = Konsentrasi Asam Asetat

Na = Konsentrasi Natrium Hipoklori T = Waktu

Persamaan model di atas memberikan informasi bahwa peningkatan konsentrasi asam asetat memberikan pengaruh yang positif terhadap inaktivasi total mikroba, begitu juga dengan penambahan natrium hipoklorit, namun faktor waktu memberikan respon yang negatif jika dilakukan penambahan waktu kontak dalam proses inaktivasi total mikroba oleh sanitizer. Penambahan natrium hipoklorit memberikan efek yang nyata secara linier positif sedangkan penambahan asam asetat berpengaruh kuadratik negatif secara nyata dengan taraf α 0,05.

Analisis keragaman pada inaktivasi total mikroba pada Tabel 14 menunjukkan kesesuaian model yang dikembangkan, dimana nilai P total model sebesar 0,0013 kurang dari taraf signifikan 0,05. Terlihat pula nilai P interaksi antara ketiga faktor sebesar 0,0024, menunjukkan pengaruh nyata dengan taraf nyata 95%. Nilai


(54)

koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0,9980 menunjukkan relatif tingginya korelasi antara nilai-nilai observasi dan nilai dugaan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 99,61%, menunjukkan kesesuaian model dimana hanya sekitar 0,39% dari total keragaman yang tidak terjelaskan oleh model.

Tabel 14. Analisis Keragaman Inaktivasi Total Mikroba Sumber

Keragaman dB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F-hitung Pr > F Total Model 7 0,344610 0,9961 110,21 0,0013

Linier 3 0,208443 0,6025 155,54 0,0009

Kuadratik 1 0,031787 0,0919 71,16 0,0035

Interaksi 3 0,104380 0,3017 77,89 0,0024

Galat 3 0,001340 0,000447

Uji penyimpangan model (Lack of Fit) menunjukkan penyimpangan model tidak nyata dengan nilai α>0,05 yaitu sebesar 0,1534. Hasil pengujian penyimpangan model ditunjukkan pada Tabel 15.

Tabel 15. Analisis Keragaman Galat Inaktivasi Total Mikroba Sumber

Keragaman dB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F-hitung Pr > F

Lack of Fit 1 0,000961 0,000961 5,06 0,1534 Galat Murni 2 0,000380 0,000190

Galat Total 3 0,001340 0,000447

Hasil uji kenormalan galat model menggunakan Kolmogorov-Smimov Normality Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P > 0,15. Plot hasil uji kenormalan tampak pada Gambar 6. Hasil analisis keragaman proses inaktivasi pada total mikroba selengkapnya disajikan pada Lampiran 2. (keluaran SAS Versi 8; PROC.:Rsreg)


(55)

Approximate P-Value > 0.15 D+: 0.197 D-: 0.144 D : 0.197 Kolmogorov-Smirnov Normality Test

N: 11 StDev: 1.35930 Average: -0.0000000

1 0

-1 .999

.99 .95 .80 .50 .20 .05 .01 .001

P

robabil

ity

Galat Plot Probabilitas Normal

Gambar 6. Plot Probabilitas Normal Inaktivasi Total Mikroba

Pengaruh interaksi antar faktor yang dicobakan terhadap respon inaktivasi total mikroba dapat dilihat pada Gambar 7. Plot interaksi dilakukan pada pengaruh asam asetat yang dikombinasikan dengan natrium hipoklorit sebagai sanitizer terhadap inaktivasi total mikroba (Plot interaksi antar faktor ditampilkan pada Lampiran 3).

Gambar 7. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Natrium Hipoklorit terhadap Inaktivasi Total Mikroba

Pengaruh asam asetat terhadap jumlah total mikroba pada kondisi optimum terdapat pada konsentrasi sekitar 1-1,25% sedangkan untuk konsentrasi natrium hipoklorit berkisar antara 125 ppm sampai 150 ppm. Kombinasi kedua sanitizer yang


(56)

dicobakan dengan kisaran konsentrasi tersebut memberikan tingkat inaktivasi total mikroba diatas 99,88%.

Plot interaksi asam asetat sebagai sanitizer yang dikombinasikan dengan waktu kontak terhadap inaktivasi total mikroba dapat dilihat pada Gambar 8. Plot interaksi antara kombinasi asam asetat dengan waktu kotak memberikan respon inaktivasi total mikroba optimum terletak pada kisaran konsentrasi asam asetat 1-1,5% dengan waktu kontak mulai dari 2 menit sampai 6 menit, pada kondisi operasi ini memberikan tingkat inaktivasi diatas 97,2%.

Gambar 8. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Waktu Kontak terhadap Inaktivasi Total Mikroba

Persamaan model statistik yang didapatkan, memprediksikan bahwa titik optimum dalam menginaktivasi total mikroba diperoleh pada konsentrasi asam asetat 2,18%, konsentrasi natrium hipoklorit 281,2 ppm dengan waktu kontak 5,5 menit. Kombinasi sanitizer di titik pusat pengulangan (konsentrasi asam asetat 2%, konsentrasi natrium hipoklorit 100 ppm dengan waktu kontak 4 menit) memberikan tingkat inaktivasi sebesar 99,95%. Pengurangan total mikroba oleh sanitizer yang dicobakan menunjukkan bahwa rata-rata pengurangan sekitar 6,26 log CFU/g. Inaktivasi terhadap jumlah total mikroba pada sayuran tomat yang dicobakan berasal dari efek sinergis yang ditimbulkan oleh pengkombinasian asam asetat dan natrium hipoklorit. Asam asetat dengan kondisi pH asam dalam larutan sanitizer akan membentuk molekul asam yang tidak terdisosiasi, molekul ini mampu berpenetrasi ke


(57)

dalam sel dengan cara difusi yang kemudian berdisosiasi dan mengasidifikasi interior sel, hal ini mempengaruhi metabolisme seluler yang berakibat menurunkan aktivitas enzim dan terganggunya aktivitas asam nukleat sehingga sel menjadi mati.

Pengaruh lain yang menyebabkan inaktivasi mikroba adalah terdisosiasinya natrium hipoklorit dalam larutan sanitizer menjadi asam hipoklorit. Adanya asam asetat menjadikan pH larutan sanitizer berada pada kisaran 4-4,5 yang menyebabkan pembentukan asam hipokorit dalam larutan sanitizer akan semakin meningkat. Peningkatan asam hipoklorit berpengaruh posistif terhadap inaktivasi total mikroba, asam hipoklorit merupakan agen antimikrobial yang sangat efektif dalam membunuh mikroba dengan cara bereaksi dengan DNA sel hidup, menyebabkan mutasi dengan adanya reaksi basa purin dan pirimidin. Melihat model statistik yang didapatkan menunjukkan bahwa pengaruh natrium hipoklorit lebih besar jika dibandingkan dengan asam asetat, pengaruh natrium hipoklorit memberikan pengaruh yang nyata dengan taraf α 0,05, dengan demikian natrium hipoklorit memberikan efek yang dominan terhadap proses inaktivasi total mikroba.

4.3. Efektifitas Sanitizer dalam Inaktivasi E. coli

Keberadaan Escherichia coli merupakan salah satu indikator ketidakamanan sayuran segar jika melebihi batas, oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengurangi kandungan Escherichia coli dalam sayuran segar sebelum dikonsumsi. Keberadaan mikroba patogen ini perlu diinaktivasi di dalam sayuran segar dengan menggunakan jenis-jenis sanitizer tertentu untuk keamanan sayuran segar. Jenis sanitizer asam asetat dengan kombinasi natrium hipoklorit merupakan salah satu pilihan untuk proses inaktivasi E. coli di sayuran segar.

Respon inaktivasi terhadap E. coli pada pengujian efektifitas sanitizer dihasilkan persamaan permukaan respon sebagai berikut:

Y= 0,646037 + 0,49986CH3 + 0,002399Na + 0,099309T – 0,080279CH32


(1)

Lampiran 9. Plot Interaksi Asam Asetat dengan Waktu Kontak pada Pengurangan Residu Insektisida

A. Plot Respon Residu Insektisida


(2)

Lampiran 10. Kromatogram hasil pengujian pengurangan kandungan residu insektisida profenofos pada tomat dengan menggunakan Cromatography Gas Shimadzu Model GC-4CM dengan menggunakan detektor 63Ni ECD dengan kolom OV 17


(3)

Lampiran 11. Kromatogram hasil pengujian pengurangan kandungan residu insektisida pada sayuran segar di tingkat petani dengan menggunakan Cromatography Gas Shimadzu Model GC-4CM dengan menggunakan detektor 63Ni ECD dengan kolom OV 17


(4)

Lampiran 12. Baku Mutu Air Golongan A: Air Baku Air Minum Parameter Yang

Diinginkan Yang Diperbolehkan Satuan I. FISIK

Daya Hantar Listrik 500 500 Micromhos/Cm

Kekeruhan <100 150 NTU Suhu Normal Normal Celcius Warna <50 100 Skala Pt-Co Material Terlarut <500 500 mg/l

II. KIMIA

Amonia-N 0.01 2 mg/l-N

Air raksa 0.0005 0.001 mg/l

Arsen Nihil 0.05 mg/l

Barium Nihil 1 mg/l

Besi <1 2 mg/l

Boron <1 1 mg/l

Fluorida 0.5-1.5 0.5-1.5 mg/l Hidrogen Sulfida Nihil Nihil mg/l

Kadmium Nihil 0.01 mg/l

Khlorida 25 100 mg/l

Khrom Nihil 0.02 mg/l

Kesadahan 100 100 mg/l

Mangan 0.05 1 mg/l

Nikel 0.1 0.1 mg/l

Nitrat 5 10 mg/l

Nitrit Nihil 2 mg/l

Perak Nihil Nihil mg/l

pH 6-8.5 6-8.5 mg/l

Phospat 0.5 0.5 mg/l

Selenium Nihil Nihil mg/l

Seng 1 1 mg/l

Sulfat <50 100 mg/l

Tembaga Nihil 0.1 mg/l


(5)

lanjutan

Parameter Yang Diinginkan

Yang

Diperbolehkan Satuan III. ORGANIK

Ekstrak Karbon

Chloroform 0.04 0.04 mg/l

Senyawa Aktif

Biru Metilen Nihil 1 mg/l Minyak dan Lemak Nihil Nihil mg/l

Cyanida Nihil 0.05 mg/l

Phenol 0.001 0.05 mg/l

Pestisida

Organoklorin Nihil Nihil mg/l Organofosfat Nihil Nihil mg/l IV. KHUSUS

BOD 5 10 mg/l

COD 10 20 mg/l

DO >3 >3 mg/l

Zat Tersuspensi 100 150 mg/l V. BAKTERIOLOGIS

Jumlah Total Bakteri 10x103 10x103 MPN/100ml Coliform 20x102 20x102 MPN/100ml


(6)

Lampiran 13. Analisis Biaya Produksi Sanitizer A. Analisis Biaya Produksi Sanitizer A

Penentuan konsentrasi HOCl 77ppm dalam 1 L larutan Sanitizer V1M1 = V2M2

a ml NaOCl x 70.469,80 ppm = 1.000 ml x 77 ppm a ml NaOCl = 1.09 ml

Penentuan konsentrasi asam Asetat 2.75% dalam 1 L larutan Sanitizer V1M1 = V2M2

a ml CH3COOH x 98% = 1.000 ml x 2.75%

a ml CH3COOH = 28.06 ml

Penentuan harga

Harga Natrium Hipoklorit 1 Lt = Rp. 4000 Harga Asam Asetat 1 Lt = Rp. 16000

1000 mlNaOCl

x 4000 = Rp

1000 09 . 1

x 4000 = Rp 4

1000

3COOH mlCH

x 16000 = Rp

1000 06 . 28

x 16000 = Rp 449

B. Analisis Biaya Produksi Sanitizer B

Penentuan konsentrasi HOCl 100ppm dalam 1 L larutan Sanitizer V1M1 = V2M2

a ml NaOCl x 70.469,80 ppm = 1.000 ml x 100 ppm a ml NaOCl = 1.42 ml

Penentuan konsentrasi asam Asetat 2% dalam 1 L larutan Sanitizer V1M1 = V2M2

a ml CH3COOH x 98% = 1.000 ml x 2%

a ml CH3COOH = 20.41 ml

Penentuan harga

Harga Natrium Hipoklorit 1 Lt = Rp. 4000 Harga Asam Asetat 1 Lt = Rp. 16000

1000 mlNaOCl

x 4000 = Rp

1000 42 . 1

x 4000 = Rp 6

1000

3COOH mlCH

x 16000 = Rp

1000 41 . 20