Perbandingan Kadar dan Profil Disolusi serta Mutu Fisik Tablet Glimepirid 2 mg Generik dan Generik Bermerek

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERBANDINGAN KADAR DAN PROFIL DISOLUSI

SERTA MUTU FISIK TABLET GLIMEPIRID 2 MG

GENERIK DAN GENERIK BERMERK

SKRIPSI

ZAENAB SALSABILA AL-KAFF

1112102000084

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2016


(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERBANDINGAN KADAR DAN PROFIL DISOLUSI

SERTA MUTU FISIK TABLET GLIMEPIRID 2 MG

GENERIK DAN GENERIK BERMERK

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ZAENAB SALSABILA AL-KAFF

1112102000084

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

vi ABSTRAK

Nama : Zaenab Salsabila Al-kaff Program Studi : Farmasi

Judul : Perbandingan Kadar dan Profil Disolusi serta Mutu Fisik Tablet Glimepirid 2 mg Generik dan Generik Bermerek

Glimepirid merupakan senyawa golongan sulfonilurea generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan diabetes melitus tipe II yang pada dosis rendah dapat memberikan onset cepat, durasi kerja yang lama dan efek samping hipoglikemia yang kecil. Glimepirid termasuk dalam Biopharmaceutical Classification System

(BCS) kelas II, yaitu permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah. Penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan mutu sediaan glimepirid. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel yang digunakan berjumlah 4 sampel, yaitu satu tablet glimepirid generik dan tiga generik bermerek. Terhadap keempat sampel tersebut dilakukan uji penetapan kadar, uji disolusi dan kualitas fisik berupa organoleptis, kekerasan dan keseragaman kandungan. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan uji disolusi menggunakan alat tipe II (bentuk dayung) yang berkecepatan 75 rpm dalam medium dapar fosfat pH 7,8. Hasil dari penetapan kadar tablet glimepirid generik, generik bermerek A, B dan C secara berturut-turut yaitu 98,19%, 99,69%, 98,92% dan 101,79%. Hasil dari uji disolusi menunjukkan bahwa keempat sampel tablet memiliki pola profil disolusi yang sama dengan persen kumulatif tablet glimepirid generik, generik bermerek A, B dan C secara berturut-turut adalah 93,79%, 96,34%, 95,17% dan 98,75%. Hasil uji kekerasan tablet glimepirid generik, generik bermerek A, B dan C yaitu 4,46 Kg, 7,33 Kg, 2,34 Kg dan 8,35 Kg. Hal ini menunjukkan bahwa tablet glimepirid generik bermerek B tidak memenuhi persyaratan, namun hal ini tidak mutlak karena tidak ada syarat baku dari buku resmi Farmakope Indonesia untuk uji kekerasan. Berdasarkan data yang diperoleh tidak ada perbedaan mutu dalam hal terpenuhinya syarat baku yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi V.


(7)

vii ABSTRACT

Name : Zaenab Salsabila Al-kaff Program Study : Pharmacy

Title : Comparison of Assay, Dissolution Profile and Physical Quality of Generic and Branded Generic of 2 mg Glimepiride Tablet

Glimepiride is a third generation of sulfonylurea type compound that was used on Type II Diabetes Mellitus on a low dosage that can give a fast onset, long duration of action and small hypoglycemia side effect. Glimepiride was included in Class 2 of Biopharmaceutical Classification System (BCS), which means that it has a low level of solubility. This study was performed to test the quality of glimepiride tablet. The sampling method used in this research was purposive sampling. There were 4 samples that used in this study. 1 sample was a generic glimepiride, while the other 3 were branded generic glimepirides. Four of the samples were given assay test, dissolution profile and physical quality form of organoleptic, hardness and content similarity test. Methods that were used in this study were High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method for assay and dissolution test using by type 2 (paddle shape) with 75 rpm speed in a medium of pH 7,8 phosphate buffer. Results from generic glimepiride, branded generic A, B and C tablets assay sequentially are 98,19%, 99,69%, 98,92% dan 101,79%. The dissolution test shows that all samples have the same dissolution profile, with cumulative percentage generic glimepiride, branded generic A, B and C sequentially are 93,79%, 96,34%, 95,17% and 98,75%. Results from hardness test of generic glimepiride and branded generic A, B and C tablets sequentially are 4,46 Kg, 7,33 Kg, 2,34 Kg dan 8,35 Kg. This result shows that branded generic B do not meet the requirement that was needed, however this result is not absolute due to the absence of standard requirement from Indonesian Pharmachopoeia. Based on data that was obtained, there was noquality difference in compliance requirement of the fifth edition ofIndonesianPharmachopoeia.

Keywords : Glimepiride Tablets, Dissolution Profile, HPLC, Assay, Physical Quality


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, rasa syukur serta pujian senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang melimpah rahmat dan hidayah-Nya serta segala anugrah-nya berupa kesehatan, pemikiran dan ide sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang senantiasa mengikuti sunnahnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Imu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun judul skripsi ini adalah “Perbandingan Kadar dan Profil Disolusi serta Mutu Fisik Tablet Glimepirid 2 mg Generik dan Generik Bermerk

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku pembimbing I dan Yuni Anggraeni M.Farm., Apt selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dengan sabar membimbing dan mengajari sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr.Azrifitria, M.Si., Apt selaku Penasehat Akademik yang telah membimbing dan memberikan saran dalam perkuliahan selama 4 tahun. 5. Ibu dan bapak Dosen serta Staf Akademik Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Staf laboran : Kak Eris, Mba Rani, Kak Lisna, Kak Yaenab, Kak Walid, Kak Ramadi, Kak Tiwi yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ayahanda tercinta, Ja’far Ahmad Al-kaff dan Ibunda tercinta, Ida Farida Al-attas beserta kakak-kakak Kak Zahra, Kak Shihab dan Kak Radhi


(9)

(10)

(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesa ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Uraian Zat Aktif ... 4

2.1.1 Monografi Zat Aktif ... 4

2.1.2 Efek Farmakologis ... 4

2.1.3 Penggunaan Terapeutik ... 4

2.1.4 Mekanisme Kerja ... 5

2.1.5 Farmakokinetik... 5

2.1.6 Efek Samping ... 6

2.2 Pengertian Generik dan Paten ... 6

2.2.1 Obat Generik ... 6

2.2.2 Obat Paten ... 7

2.3 Tablet ... 8

2.4 Penetapan Kadar ... 10

2.5 Disolusi ... 12

2.6 Spektrofotometri Ultraviolet ... 17

2.7 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 18

2.7.1 Cara Kerja KCKT... 18

2.7.2 Komponen KCKT ... 19

2.7.2.1 Pompa ... 19

2.7.2.2 Injektor ... 19

2.7.2.3 Kolom ... 19

2.7.2.4 Detektor ... 20

2.7.2.5 Wadah Fase Gerak ... 20

2.7.2.6 Fase Gerak ... 20

2.8 Validasi Metode ... 21


(12)

xii

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Alat dan Bahan ... 23

3.2.1 Alat ... 23

3.2.2 Bahan ... 23

3.3 Prosedur Penelitian ... 23

3.3.1 Pengambilan sampel ... 23

3.3.2 Sifat Fisik ... 25

3.3.2.1 Uji Organoleptis ... 25

3.3.2.2 Uji Kekerasan ... 25

3.3.2.3 Keseragaman Kandungan ... 26

3.3.3 Penetapan Kadar ... 26

3.3.3.1 Pembuatan Dapar fosfat ... 26

3.3.3.2 Pembuatan Fase Gerak ... 26

3.3.3.3 Pembuatan Larutan Induk Glimepirid ... 26

3.3.3.4 Penetapan Panjang Gelombang ... 26

3.3.3.5 Verifikasi Metode ... 27

3.3.3.5.1 Linearitas ... 27

3.3.3.5.2 Akurasi... 27

3.3.3.6 Penetapan Kadar ... 27

3.3.4 Uji Disolusi ... 27

3.3.4.1 Pembuatan Larutan Induk ... 27

3.3.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ... 28

3.3.4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 28

3.3.4.4 Uji Disolusi Sampel Tablet Glimepirid ... 28

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Hasil Evaluasi Sifat Fisik Tablet... 29

4.1.1Organoleptik ... 29

4.1.2 Uji Kekerasan ... 29

4.1.3 Keseragaman Kandungan ... 30

4.2 Penetapan Kadar ... 31

4.2.1 Panjang Gelombang Maksimum dalam Medium Fase Gerak ... 31

4.2.2 Kurva Kalibrasi ... 31

4.2.3 Akurasi ... 31

4.2.4 Penetapan Kadar ... 32

4.3 Uji Disolusi ... 33

4.3.1 Panjang Gelombang Maksimum dalam Medium Fosfat pH 7,8 ... 33

4.3.2 Kurva Kalibasi ... 34

4.3.3 Uji Disolusi ... 34

4.3.4 Analisa Statistik Uji Disolusi ... 36

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1 Kesimpulan ... 39


(13)

xiii


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi ...15

Tabel 3.1 Tablet Glimepirid Generik Bermerek yang Beredar di Pasaran ...24

Tabel 3.2 Tablet Glimepirid Generik yang Beredar di Pasaran ...25

Tabel 4.1 Hasil Uji Organoleptis ...29

Tabel 4.2 Hasil Uji Kekerasan ...30

Tabel 4.3 Hasil Uji Keseragaman Kandungan ...30

Tabel 4.4 Hasil Uji Akurasi ...32

Tabel 4.5 Hasil Penetapan Kadar ...33

Tabel 4.6 Hasil Uji Disolusi Tablet...35


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Glimepirid ...4

Gambar 2.2 Pengaduk Tipe 1 (Bentuk Keranjang ...13

Gambar 2.3 Pengaduk Tipe 2 (Bentuk Dayung) ...14


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alat Uji Disolusi ... 43

Lampiran 2. Spektrofotometri UV-VIS ... 43

Lampiran 3. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 44

Lampiran 4. Sonikator ... 44

Lampiran 5. Hardness Tester ... 45

Lampiran 6. Bagan Alur Penelitian ... 45

Lampiran 7. Sertifikat Analisis Natrium Dihidrogen Fosfat ... 46

Lampiran 8. Sertifikat Metanol Grade HPLC ... 47

Lampiran 9. Sertifikat Analisis Standar Glimepirid ... 48

Lampiran 10. Kromatogram Hasil Analisa Standar Glimepirid ... 50

Lampiran 11. Kromatogram Hasil Analisa Sampel ... 51

Lampiran 12. Kurva Kalibrasi Glimepirid Dalam Metanol: Fosfat ... 53

Lampiran 13. Kurva kalibrasi Glimepirid Dalam Fosfat pH 7,8 ... 53

Lampiran 14. Data Kurva Kalibrasi Dalam Metanol: Fosfat ... 54

Lampiran 15. Data Kurva Kalibrasi Dalam Fosfat pH 7,8 ... 54

Lampiran 16. Prosedur Pembuatan larutan yang Digunakan ... 55

Lampiran 17. Hasil Uji Akurasi ... 56

Lampiran 18. Hasil Uji Kekerasan Tablet... 56

Lampiran 19. Data Penetapan Kadar ... 57

Lampiran 20. Keseragaman Kandungan Tablet Generik dan Generik Bermerek A ... 58

Lampiran 21. Keseragaman Kandungan Tablet Bermerek A dan B ... 59

Lampiran 22. Hasil Persen Pelepasan Kumulatif Tablet Inovator ... 60

Lampiran 23. Hasil Persen Pelepasan Kumulatif Tablet Generik ... 61

Lampiran 24. Hasil Persen Pelepasan Kumulatif Tablet Bermerek A ... 62

Lampiran 25. Hasil Persen Pelepasan Kumulatif Tablet Bermerek B ... 63

Lampiran 26. Analisa Statistik Pelepasan Glimepirid ... 64

Lampiran 27. Perhitungan Persen Kadar Uji Penetapan Kadar ... 77

Lampiran 28. Perhitungan Persen Kadar Uji Keseragaman Kandungan ... 77


(17)

1

UIN Syarif Hidayatullah

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini jenis obat yang beredar di pasaran terbagi atas obat generik dan obat inovator atau paten. Obat generik ini pun dibagi lagi menjadi 2, yaitu obat generik dan obat generik bermerk. Obat generik merupakan obat dengan nama resmi International Nonpropietary Names (INN) yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik bermerek atau bernama dagang merupakan obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan. Obat inovator atau paten merupakan obat yang masih memiliki hak paten dalam jangka waktu tertentu (Permenkes, 2010). Setelah habis masa patennya, obat yang dulunya paten dengan merk dagangnya kemudian masuk ke dalam kelompok obat generik bermerk atau obat bermerk (Idris dan Widjajarta, 2006).

Dalam sudut pandang masyarakat biasanya mutu obat generik kurang baik dibandingkan dengan obat bermerk. Harga obat generik yang terbilang relatif murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat tersebut memiliki kualitas. Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata oleh masyarakat (Idris dan Widjajarta, 2006).

Mutu dijadikan dasar acuan untuk menetapkan kebenaran khasiat (efikasi) dan keamanan (safety). Mutu suatu sediaan obat dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain aspek teknologi yang meliputi stabilitas fisik dan kimia dimana sediaan obat (tablet, kapsul dan sediaan lainnya) harus memenuhi kriteria yang dipersyaratkan Farmakope (Harianto dkk, 2006). Mutu obat yang berbeda antara produk-produk obat dari zat berkhasiat sama bisa jadi karena perbedaan formula yang digunakan, metode dari produk pabrik pembuat yang digunakan, kerasnya prosedur kontrol kualitas dalam proses pembuatan, dan bahkan metode penanganan, peralatan, pengemasan dan penyimpanan (Ansel dkk, 1999). Maka dari itu kontrol kualitas terhadap obat generik sangat penting untuk membantu kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang kesehatan.


(18)

UIN Syarif Hidayatullah

tentang obat generik yaitu sebesar 31,9%. Dimana hanya 14,1% yang memiliki pemahaman mengenai obat generik yang benar, sedangkan 85,9% masih memiliki pemahaman yang salah mengenai obat generik. Sumber informasi tentang obat generik sendiri paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan, yaitu sebesar 63,1%. Oleh karena itu, masih sangat dibutuhkan informasi mengenai obat generik secara strategik terutama di era Jaminan Kesehatan Nasional.

Salah satu obat generik yang beredar dipasaran adalah tablet Glimepirid (GMP). Glimepirid adalah senyawa golongan sulfonilurea generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan diabetes melitus tipe II yang pada dosis rendah dapat memberikan onset cepat, durasi kerja yang lama dan efek samping hipoglikemia yang kecil. Glimepirid termasuk dalam Biopharmaceutical Classification System

(BCS) kelas II, yaitu permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah (Ammar, 2006). Untuk obat yang mempunyai kelarutan rendah laju disolusi merupakan tahap penentu pada proses absorpsi obat (Shargel & Yu, 1999; Leuner & Dressman, 2000). Oleh karena itu dilakukan uji disolusi untuk mengetahui seberapa banyak persentase zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi di dalam tubuh (Syamsuni, 2007).

Parameter penting lain untuk menentukan mutu obat adalah penetapan kadar zat aktif, yang bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung di dalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut kemungkinan tidak akan memberikan efek terapi yang optimal, sehingga kedua uji ini merupakan faktor penting dalam menentukan efektivitas suatu obat dalam tubuh manusia. Hal ini tidak hanya dapat digunakan sebagai alat utama untuk memantau konsistensi dan stabilitas produk obat tetapi juga sebagai teknik yang relatif cepat dan murah untuk memprediksi penyerapan suatu sediaan obat (Zhang et. al, 2010).

Harga tablet Glimepirid generik adalah Rp. 945,- per tablet. Harga tablet glimepirid inovator adalah Rp. 5.600,- per tablet, Glimepirid generik bermerk A adalah Rp. 4.500,- per tablet dan generik bermerk B adalah Rp. 4.114,- per tablet. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa harga tablet glimepirid generik bermerk lebih mahal dibanding obat generik yang beredar dipasaran.


(19)

UIN Syarif Hidayatullah

pembuat obat tidak perlu menanggung biaya yang tinggi untuk melakukan riset dan promosi. Sedangkan pada obat generik bermerk atau obat paten memiliki biaya riset dan operasional yang tinggi dari biaya kemasan hingga promosi sehingga harganya bisa jauh lebih mahal dari obat generik. Penetapan harga obat generik sepenuhnya ditentukan pemerintah. Sementara harga obat bermerk dan paten masih diserahkan pada mekanisme pasar karena di Indonesia belum ada mekanisme regulasi harga obat (Anwar, 2010).

Untuk memastikan bahwa kualitas produk tablet glimepirid generik tidak lebih rendah dari kualitas tablet glimepirid bermerek, maka dilakukan penelitian perbandingan mutu fisik, profil disolusi serta penetapan kadar tablet glimepirid generik dan generik bermerk.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan kadar, profil disolusi serta mutu fisik sediaan tablet glimepirid generik dan generik bermerek?

1.3 Hipotesa

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan suatu hipotesis bahwa kadar, profil disolusi serta mutu fisik sediaan tablet glimepirid generik dan generik bermerek tidak memiliki perbedaan bermakna.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kadar, profil disolusi serta mutu fisik tablet glimepirid generik dan generik bermerek.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat, apoteker, dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain tentang kualitas produk sediaan tablet glimepirid generik dan generik bermerek.


(20)

4

UIN Syarif Hidayatullah

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Zat aktif 2.1.1 Monografi Zat Aktif

Zat aktif : Glimepirid Rumus molekul : C24H34N4O5S

Berat Molekul : 490,62 Struktur kimia :

Gambar 2.1 Struktur Glimepirid (Sumber: Pharmawiki, 2007) Pemerian : Serbuk; putih sampai hampir putih

Kelarutan : Larut dalam dimetilformamida; sukar larut dalam metanol; agak sukar larut dalam metilen klorida; praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM, 2014).

2.1.2 Efek farmakologis

Glimepirid adalah senyawa golongan sulfonilurea generasi ketiga yang digunakan untuk pengobatan diabetes melitus tipe II yang pada dosis rendah dapat memberikan onset cepat, durasi kerja yang lama dan efek samping hipoglikemia yang kecil.

2.1.3 Penggunaan Terapeutik

Glimepirid merupakan obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea derivat sulfonamide. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologik pada


(21)

UIN Syarif Hidayatullah

Diabetes Melitus Tipe 2. Pada DM tipe 2 terjadi defek sekresi insulin dari pankreas, resistensi insulin di perifer dan gangguan regulasi produksi glukosa hati. Terapi DM tipe 2 meliputi modifikasi gaya hidup termasuk di dalamnya diet dan latihan jasmani serta terapi farmakologik berupa obat hipoglikemik oral (OHO) dan insulin.

2.1.4 Mekanisme Kerja

Glimepiride memiliki efek pankreatik dan ekstrapankreatik. Efek pankreatik berupa sekresi insulin, terjadi setelah obat ini berikatan dengan reseptornya di sel Beta dan menyebabkan penutupan KATP channel yang

menimbulkan depolarisasi membran sel dan pelepasan insulin. Meskipun bekerja melalui mekanisme yang sama, glimepiride terikat pada reseptor yang berbeda dengan obat golongan sulfonilurea lainnya. Glimepiride terikat pada protein dengan berat molekul 65 kD sedangkan sulfonilurea berikatan dengan protein berberat molekul 140 kD. Perbedaan ini menyebabkan glimepiride lebih spesifik terhadap sulfonilurea receptor (SUR1) pada sel Beta dibandingkan glibenclamide.

Implikasinya adalah turunnya risiko iskemia miokardium. Glimepiride membutuhkan konsentrasi 3 kali lebih besar dibandingkan glibenclamide untuk dapat menghambat KATP channel miokardium. Berbeda dari golongan sulfonilurea

lainnya yang meningkatkan sekresi insulin pada fase akut, glimepiride dikatakan dapat memperbaiki baik fase akut maupun fase lambat sekresi insulin. Meskipun demikian, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memperjelas mekanisme aksi ini (Paulus W, Ignatia SM., 2004).

2.1.5 Farmakokinetik

Glimepiride diabsorpsi hampir sempurna melalui saluran cerna. Kadar glimepiride darah akan menurun bila diberikan bersama-sama dengan makanan. Volume distribusi glimepiride adalah 8,8 L dan berikatan dengan protein plasma lebih dari 95%. Glimepiride mengalami metabolisme oksidasi di hati terutama oleh enzim sitokrom P450 II C9. Metabolit glimepirid diekskresi melalui urin sebesar 80-90% dan sisanya melalui feses.


(22)

UIN Syarif Hidayatullah

2.1.6 Efek Samping

Gejala saluran cerna dan sakit kepala. Gejala hematologik termasuk trombositopenia, agranulositosis, dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Glimepirid dapat meningkatkan Anti Diuretik Hormon (ADH), dan dengan frekuensi sangat jarang menyebabkan hiponatraemia dan fotosensitivitas. Hipoglikemia dapat terjadi bila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat; juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada orang usia lanjut (Sukandar, 2008).

2.2 Pengertian Generik dan Paten 2.2.1 Obat Generik

Obat Generik menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 adalah obat dengan nama resmi International Nonpropietary Names (INN) yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Nama generik ini ditempatkan sebagai judul dari monografi sediaan obat yang mengandung nama generik tersebut sebagai zat tunggal.

Ada dua macam Obat generik yaitu obat generik tanpa merek dagang dan obat generik dengan merek dagang. Obat generik bermerek atau bernama dagang merupakan obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan (Permenkes, 2010). Satu nama generik dapat diproduksi berbagai macam sediaan obat dengan nama dagang yang berlainan.

Produksi obat generik merupakan salah satu upaya penyediaan obat yang bermutu dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Obat generik umumnya memiliki harga yang lebih murah, beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, antara lain:

1. Dalam harga obat nama dagang, terdapat komponen biaya promosi yang cukup tinggi mencapai sekitar 50% dari HET (Harga Eceran Tertinggi) baik melalui iklan untuk obat bebas/obat bebas terbatas dan melalui detailer untuk obat keras, sedangkan obat generik tidak dipromosikan secara khusus (Yunarto N., 2010).


(23)

UIN Syarif Hidayatullah

2. Harga obat dengan nama dagang biasanya ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar dengan memperhitungkan harga kompetitor, sedangkan harga obat generik lebih didasarkan pada biaya kalkulasi nyata (Yunarto N., 2010).

3. Harga obat dengan nama dagang biasanya mengikuti harga inovator dari obat yang sama, sedang obat generik di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Yunarto N., 2010).

Di Indonesia, pembuatan obat generik maupun obat bermerek oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) diatur dalam Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Persyaratan registrasi obat sangat ketat, BPOM baru akan menyetujui obat generik mendapatkan nomor registrasi dan beredar jika sudah memenuhi syarat seperti: produsen memiliki sertifikat CPOB dari BPOM, obat tersebut sudah tervalidasi baik proses, maupun analisanya, serta mesin dan peralatan yang digunakan untuk produksi dan analisa sudah terkualifikasi. Selain itu produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemuraian (Yunarto N., 2010).

Contoh obat generik antara lain Paracetamol, Diazepam, Dekstrometorfan, Difenhidramin, Chlorpheniramin maleat, Amoksisilin, Eritrnomisin, dan lain - lain. Sedangkan contoh obat generik bermerek antara lain Amoxsan (amoksisilin), Voltadex (Natrium diklofenak), dll.

2.2.2 Obat Paten

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.

HK.02.02/MENKES/068/I/2010 obat paten merupakan obat yang masih memiliki hak paten. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Selama masa 20 tahun itulah, perusahan farmasi pemegang hak paten memiliki hak eksluksif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud.

Setelah habis masa patennya, obat yang dulunya paten dengan merk dagangnya kemudian masuk ke dalam kelompok obat generik bermerk atau obat bermerk. Meskipun masa patennya sudah selesai, merk dagang dari obat yang


(24)

UIN Syarif Hidayatullah

dipasarkan selama 20 tahun pertama tersebut tetap menjadi milik perusahaan yang dulunya memiliki hak paten atas obat tersebut. Contoh dari obat paten antara lain Norvasc®, Actic®, Imitrex®, Zymar® dan lain-lain.

2.3 Tablet

Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengikat, zat penghancur, dan zat pelicin (Anief, 1994).

Untuk menjaga mutu tablet tetap sama, dilakukan uji-uji sebagai berikut: 1. Uji Sifat Fisik

1.) Uji keseragaman sediaan

Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari 2 metode yaitu:

a. Keragaman bobot Pengujian

Keragaman bobot dilakukan jika tablet yang diuji mengandung 50 mg atau lebih zat aktif tunggal yang merupakan 50% atau lebih dari bobot satuan sediaan.

b. Keseragaman kandungan

Pengujian keseragaman kandungan dilakukan jika jumlah zat aktif kurang dari 50 mg per tablet atau kurang dari 50% dari bobot satuan sediaan (Siregar, 2008).

2.) Uji Keseragaman Ukuran

Diameter tablet tidak lebih dari 3X dan tidak kurang dari 1⅓ tebal

tablet (Anonim, 1979).Alat yang digunakan adalah jangka sorong. Sebuah tablet diletakkan pada ujung alat dengan posisi horizontal, digerakkan jangka sorongnya hingga menyentuh tablet, kemudian diameter tablet dibaca pada skala.

3.) Uji kekerasan tablet

Pada umumnya tablet harus cukup keras dan tahan pecah waktu dikemas, dikirim dan waktu penyimpanan tetapi tablet juga harus cukup lunak untuk hancur dan melarut dengan sempurna begitu digunakan atau


(25)

UIN Syarif Hidayatullah

dapat dipatahkan dengan jari bila tablet perlu dibagi dalam pemakaiannya. Tablet diukur kekuatannya dalam kg, pound atau dalam satuan lainnya. Alat yang digunakan sebagai pengukur kekerasan tablet biasanya adalah hardness tester (Ansel, 1989).

4.) Uji keregasan tablet

Keregasan tablet dapat ditentukan dengan menggunakan alat friabilator. Pengujian dilakukan pada kecepatan 25 rpm, tablet dijatuhkan sejauh 6 inci pada setiap putaran, dijalankan sebanyak 100 putaran. Tablet ditimbang sebelum dan sesudah diputar, kehilangan berat yang dibenarkan yaitu lebih kecil dari 0,5% sampai 1% (Lachman, dkk, 1994).

5.) Uji Waktu hancur

Waktu hancur adalah waktu yang dibutuhkan tablet pecah menjadi partikel-partikel kecil atau granul sebelum larut dan diabsorbsi. Peralatan uji waktu hancur terdiri dari rak keranjang yang mempunyai 6 tabung yang terletak vertikal di atas ayakan mesh nomor 10. Selama percobaan, tablet diletakkan pada tiap lubang keranjang, kemudian keranjang tersebut bergerak naik turun dalam larutan transparan(Ansel H.C., 1989). Masing-masing sediaan tablet mempunyai prosedur uji waktu hancur dan persyaratan tertentu. Uji waktu hancur tidak dilakukan jika pada etiket dinyatakan tablet kunyah, tablet isap, tablet dengan pelepasan zat aktif bertahap dalam jangka waktu tertentu (Siregar, 2008).

2. Uji penetapan kadar zat berkhasiat

Uji penetapan kadar zat berkhasiat dilakukan untuk mengetahui apakah tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Uji penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sesuai pada masing-masing monografi antara lain di Farmakope Indonesia (Dirjen POM, 1995).

3. Uji disolusi

Obat yang telah memenuhi persyaratan kekerasan, waktu hancur, keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus


(26)

UIN Syarif Hidayatullah

dilakukan pada setiap produksi tablet. Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan pada suatu medium (Dirjen POM, 1995).

2.4 Penetapan Kadar Tablet

Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung di dalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk dikonsumsi.

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam amino, asam-asam nukleat, dan protein-protein dalam cairan fisiologis; menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat, produk hasil samping proses sintesis, atau produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi; memonitor sampel-sampel yang berasal dari lingkungan; memurnikan senyawa dalam suatu campuran; memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu campuran; kontrol kualitas; dan mengikuti jalannya reaksi sintetis.

Dalam penetapan kadar zat aktif untuk glimepirid dapat dilakukan dengan berbagai macam metode, antara lain:

1. Farmakope Indonesia edisi V (2014)

Metode penetapan kadar untuk tablet glimepirid dilakukan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi. Dengan menggunakan fasa gerak natrium fosfat monobasa P yang dilarutkan dalam air dan kemudian diatur pH nya hingga 2,1-2,7 dengan penambahan asam fosfat 10%, serta penambahan 500 ml asetonitril P. Pengencer dibuat dengan mencampurkan asetonitril P-air (9:1). Larutan standar: sejumlah glimepirid dilarutkan dalam pengencer hingga kadar lebih kurang 0,1 mg/ml. Larutan uji: 5 tablet dimasukkan ke dalam labu ukur yang sesuai untuk memperoleh kadar 0,1 mg/ml, berdasarkan jumlah yang tertera pada etiket. Tambahkan air lebih kurang 10 % dari volume labu, kocok hingga semua tablet larut. Tambahkan asetonitril P lebih kurang 70% volume labu dan goyangkan. Sonikasi pada suhu tidak lebih dari 200 selama 5 sampai 10


(27)

UIN Syarif Hidayatullah

menit, dengan sesekali dikocok. Biarkan hingga suhu ruang, tambahkan asetonitril P sampai tanda dan saring. Sistem KCKT yang digunakan pada metode ini dilengkapi dengan detector 228 nm dan kolom 4 mm x 12,5 cm berisi bahan pengisi L1. Laju alir lebih kurang 1 ml/menit.

2. Kumar et al (2015) dalam Journal of Chemical and Pharmaceutical Research

Metode penetapan kadar untuk tablet gilmepirid dilakukan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi. Fasa gerak yang digunakan merupakan dapar fosfat 25% (7,0 g kalium dihidrogen orto-fosfat dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 ml, dilarutkan dengan air. Adjust

dengan asam fosfat hingga pH 3.0) dan metanol (Grade HPLC) 75%. Fasa gerak juga dapat digunakan sebagai pengencer. Larutan standar: 10 mg glimepirid dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambahkan 70 ml pengencer dan sonikasi. Tambahkan dengan pengencer yang sama hingga garis tanda. Dari larutan tersebut dipipet 1,0 ml dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, ditambahkan dengan pengencer hingga garis tanda untuk mendapatkan konsentrasi akhir. Larutan uji: 10 mg glimepirid dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, ditambahkan 7 ml pengencer dan sonikasi. Tambahkan dengan pengencer yang sama hingga garis tanda.pipet 1,0 ml dari larutan dan masukkan ke dalam labu ukur 10 ml, tambahkan dengan pengencer hingga garis tanda untuk mendapatkan konsentrasi akhir. Sistem kromatografi yang digunakan dilengkapi dengan detektor 254nm dan kolom 4,6 x 150 mm; 5 µm. Laju alir lebih kurang 1 mL per menit. Volume injeksi 20 µl.

2.5 Disolusi

Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi. Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi sistemik agaknya bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang biasanya lebih penting adalah


(28)

UIN Syarif Hidayatullah

laju disolusi dari obat padat tersebut. Seringkali disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam penglepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin, 2008).

Proses disolusi merupakan langkah penentu dari proses absorbsi, maka faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi akan mempengaruhi kecepatan absorbsi bahan obatnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi tersebut adalah :

1. Sifat-sifat fisika kimia obat

Sifat-sifat fisika kimia yang mempengaruhi laju disolusi meliputi : kelarutan, betuk kristal, dan kompleksasi serta ukuran partikel (Shargel dan Yu, 1999).

2. Faktor formulasi sediaan

Berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan pengolahan (processing). Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan zat aktif yang terkandung di dalamnya (Shargel dan Yu, 1993).

3. Faktor alat uji disolusi dan parameter disolusi

Dapat meliputi : wadah, suhu, media pelarutan dan alat disolusi yang digunakan, dan faktor-faktor lain seperti bentuk sediaan, lama penyimpanan dan kondisi penyimpanan produk (Shargel dan Yu, 1993). Ada 2 macam alat yang digunakan untuk uji disolusi yaitu jenis alat uji disolusi dengan pengaduk berbentuk keranjang dan pengaduk berbentuk dayung.

a. Pengaduk Bentuk Keranjang

Alat ini terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Sebagian wadah tercelup di dalam suatu tangas air yang berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37oC ± 0,5 selama


(29)

UIN Syarif Hidayatullah

pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap (Dirjen POM, 1995).

Gambar 2.2 Pengaduk Tipe 1 (Bentuk Keranjang)

b. Pengaduk Bentuk Dayung

Alat ini sama seperti alat pertama, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Sejumlah volume media disolusi seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dimasukkan ke dalam wadah, pasang alat, biarkan media disolusi hingga suhu 37oC ± 0,5o, dan angkat termometer. Masukkan 1 tablet atau 1 kapsul ke dalam alat, hilangkan gelembung udara dari permukaan sediaan yang diuji dan alat dijalankan pada laju kecepatan sesuai dengan yang tertera pada masing-masing monografi. Dalam interval waktu yang ditetapkan atau pada tiap waktu yang dinyatakan, cuplikan yang diambil adalah cuplikan yang berada di daerah pertengahan antara permukaan media


(30)

UIN Syarif Hidayatullah

disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung.

Gambar 2.3 Pengaduk Tipe 2 (Bentuk Dayung)

Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilanjutkan sampai tiga tahap kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S1 atau S2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persentase kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q (Dirjen POM, 1995).


(31)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 2.1. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi Tahap Jumlah

yang diuji

Kriteria Penerimaan S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+5%

S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah sama dengan atau

lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15%

S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1+ S2+S3) adalah sama dengan atau

lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15% dan tidak satu unit pun yang lebih kecil dari Q-25%

Beberapa metode uji disolusi yang dapat digunakan untuk zat aktif glimepirid, antara lain:

1. U.S. Pharmacopeia

a. Metode 1

Pada metode ini digunakan medium dapar fosfat dengan pH 7.8 (0.58 g Kalium fosfat and 8.86 g Natrium fosfat anhidrat dalam 1000 ml aquadest, adjust dengan 10% asam fosfat atau 1 N NaOH hingga pH 7,8. Tipe pengaduk 2 (bentuk dayung) dengan kecepatan 75 rpm selama 15 menit. Fasa gerak: 0.5 g Natrium fosfat anhidrat dilarutkan dalam 500 ml aquadest. Adjust dengan 10% asam fosfat hingga pH 2,1-2,7. Tambahkan 500 ml asetonitril. Larutan pengencer: metanol dan air (1:1). Larutan standar di preparasi dengan campuran asetonitril : air (90:10) dengan kosentrasi 0,125 mg/ml, diambil 4,0 ml dari larutan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 200 ml, encerkan dengan medium dan aduk, diambil 15 ml dari larutan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, encerkan dengan larutan pengencer hingga garis tanda dan aduk. Sehingga didapatkan konsentrasi akhir glimepirid yaitu 0,00075 mg/ml.


(32)

UIN Syarif Hidayatullah

Larutan sampel: diambil sekitar 10 ml larutan uji dan dipindahkan ke tabung sentrifuge. Sentrifuge selama 5 menit pada 2500 rpm. Dipipet 3,0 ml dari supernatan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, encerkan dengan larutan pengencer hingga garis tanda, dan aduk. Sistem kromatografi yang digunakan dilengkapi dengan detektor UV 228 nm. Kolom: 4.0-mm × 12.5-cm; L1. Laju alir 1,0 ml/menit. Volume injeksi 50 µ L.

b. Metode 2

Jika produk sesuai dengan tes ini, pada pelabelannya menunjukkan bahwa memenuhi disolusi USP metode 2. Medium: pH 7,8 dapar fosfat (tambahkan 250 mL 0,2 M Kalium fosfat ke dalam 223 ml 0,2 M NaOH, encerkan dengan aquadest hingga 1 L, adjust dengan 0,2 M NaOH atau asam fosfat hingga pH 7,8 ; 900 ml. Tipe pengaduk 2 dengan kecepatan 75 rpm selama 45 menit. Dapar pH 5,3: 4,0 g/L amonium asetat dalam aquadest, adjust dengan asam asetat hingga pH mencapai 5,3. Fase gerak: asetonitril dan dapar pH 5,3 (1:1). Pengencer: metanol dan asetonitril (1:1). Larutan induk standar: 0,22 mg/ml glimepirid dalam pengencer. Larutan standar: (L/1000) mg/ml dalam medium, dari larutan induk standar. Dimana L adalah berat (mg) tablet dalam label. Dari larutan uji diambil beberapa ml larutan kemudian disaring dengan penyaring yang cocok. Sistem kromatografi yang digunakan dilengkapi dengan detektor UV 225 nm. Kolom: 4.6-mm × 10-cm; 5- µm; L1. Laju alir 1,3 ml/menit. Volume injeksi 100 µL.

2. Induri M., et al dalam Journal of Chemistry

Dalam jurnal ini uji disolusi dilakukan dengan menggunakan medium 900 ml dapar fosfat pH 7,8. Tipe pengaduk 2 dengan kecepatan 75 rpm selama 30 menit. Larutan induk standar: 10,0 mg standar dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, sejumlah 30 ml NaOH ditambahkan kedalam labu dan sonikasi. Tambahkan metanol hingga garis tanda. Larutan sampel: Dari larutan uji diambil beberapa ml larutan kemudian diencerkan dengan medium disolusi. Absorbansi


(33)

UIN Syarif Hidayatullah

diamati di spektrofotometri UV-VIS yang diukur pada panjang gelombang 225 nm.

2.6 Spektorfotometri Ultraviolet

Spekrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang (Khopkar, 2008). Bila cahaya (monokromatik maupun campuran) jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar masuk akan dipantulkan sebagian diserafp dalam medium itu, dan sisanya diteruskan (Basset, dkk., 1994).

Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual, yang dengan studi lebih mendalam dari absorpsi energi radiasi oleh macam-macam zat kimia sehingga dilakukannya pengukuran ciri-ciri serta kuantitatifnya dengan ketelitian yang lebih besar (Day dan Underwood, 1983). Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya (Sudjaji dan Rohman, 2007).

Pengukuran serapan cahaya oleh larutan molekul diatur dengan hukum Lambert- Beer, yang ditulis sebagai berikut:

Log I0/It = A = ε bc

Dengan I0 adalah intensitas radiasi yang masuk, It adalah intensitas radiasi

yang ditransmisikan, A dikenal sebagai absorbans dan merupakan ukuran jumlah cahaya yang diserap oleh sampel, ε adalah tetapan yang dikenal sebagai koefisien ekstingsi molar dan merupakan absorbans larutan 1 M analit tersebut, b adalah panjang jalur sel dalam cm, biasanya 1 cm, dan c adalah konsentrasi analit dalam mol per liter (Watson, 2010).


(34)

UIN Syarif Hidayatullah

Dalam produk farmasi, konsentrasi dan jumlah biasanya dinyatakan dalam gram atau miligram dan bukan dalam mol sehingga untuk keperluan analisis produk ini, hukum Lambert-Beer ditulis dalam bentuk berikut ini:

A = A (1%, 1cm) bc

A adalah absorbans yang diukur, A (1%, 1cm) adalah absorbans larutan 1% b/v (g/100 ml) dalam satu sel berukuran 1 cm, b adalah panjang jalur dalam cm, dan c adalah konsentrasi sampel dalam g/100 ml. Karena pengukuran biasanya dibuat dalam sel berukuran 1 cm (Watson, 2010).

2.7 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi cair kinerja tinggi atau KCKT atau sering disebut dengan HPLC (High Performance Liuid Chromatography) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan pada awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas dan paling cepat berkembang untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel.

Kegunaan umum KCKT adalah untuk: pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian (impurities); analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non-volatil); penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam jumlah banyak dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Gandjar & Rohman, 2007 ; Harmita, 2006).

2.7.1 Cara Kerja KCKT

Kromatografi merupakan teknik dimana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel.


(35)

UIN Syarif Hidayatullah

Pada dasarnya, instrumentasi KCKT terdiri atas delapan komponen pokok, yaitu: wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan sampel, kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung, dan suatu komputer atau integrator atau perekam (Gandjar & Rohman, 2007).

2.7.2 Komponen KCKT 2.7.2.1 Pompa

Pompa atau sistem penghantaran fase gerak pada KCKT bertujuan untuk menjamin berlangsungnya proses penghantaran fase gerak secara tepat, reprodusibel, konstan dan bebas dari gangguan. Pompa yang digunakan untuk KCKT harus memenuhi syarat sebagaimana syarat wadah pelarut, yaitu pompa harus inert terhadap fase gerak. Bahan pompa ang digunakan harus terbuat dari bahan yang tahan terhadap eluen, seperti gelas, baja tahan karat, teflon dan batu nilam (Gandjar & Rohman, 2007).

2.7.2.2 Injektor

Cuplikan harus dimasukkan ke dalam pangkal kolom (kepala kolom) dengan cara diinjeksikan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir dibawah tekanan tertentu menuju kolom dengan menggunakan suntikkan yang terbuat dari bahan tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal dan eksternal. Diusahakan agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom (Gandjar & Rohman, 2007 : Johnson & Stevenson, 1991).

2.7.2.3Kolom

Kolom merupakan jantung kromatograf yang berfungsi untuk memisahkan masing-masing komponen. Untuk menahan tekanan tinggi, kolom dibuat dari bahan yang kokoh seperti stainless steel atau campuran logam dengan gelas (Gandjar & Rohman, 2007).


(36)

UIN Syarif Hidayatullah

2.7.2.4 Detektor

Detektor berfungsi untuk mendeteksi atau mengidentifikasi adanya komponen cuplikan yang ada dalam eluat dan mengukur jumlahnya. Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor universal (mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik dan selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti UV-Vis, detektor fluoresensi dan elektrokimia (Gandjar & Rohman, 2007 : Harmita, 2006).

2.7.2.5 Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Adah pelarut kosong ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Sebelum digunakan, fase gerak ini harus dilakukan degassing (penghilangan gas), karena adanya gas pada fase gerak akan berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis. Sedangkan adanya partikel yang kecil dapat terkumpul dalam kolom atau dalam tabung yang sempit, sehingga dapat mengakibatkan suatu kekosongan pada kolom atau tabung tersebut. Oleh karena itu, fase gerak sebelum digunakan harus dsaring terlebih dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil tersebut (Gandjar & Rohman, 2007).

2.7.2.6 Fase Gerak

Fase gerak merupakan suatu peubah yang dapat mempengaruhi proses pemisahan dalam sistem KCKT. Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan


(37)

UIN Syarif Hidayatullah

meningkatnya polaritas pelarut (Gandjar & Rohman, 2007 : Johnson & Stevenson, 1991).

Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran larutan bufer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase normal, fase gerak yang paling sering digunakan adalah campuran pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol. Pemisahan dengan fase normal ini kurang umum dibanding dengan fase terbalik (Gandjar & Rohman, 2007).

2.8 Metode Validasi

Validasi metode analisis menurut United States Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan akurat, spesifik, reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis.

2.8.1 Akurasi

Akurasi adalah kedekatan hasil penetapan yang diperoleh dengan hasil sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai hasil perolehan kembali dari analit yang ditambahkan. Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan membandingkan hasil rujukan dengan bahan rujukan standar. Syarat akurasi yang baik yaitu 98-102%.

% ℎ � = ℎ � � ���ℎ � � %

(Harmita, 2006 : Johnson&Stevenson, 1991).

2.8.2 Linearitas

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transportasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan dan linearitas yang dapat diterima.

Dalam prakteknya, digunakan satu seri larutan yang berbeda konsentrasinya antara 50-150% kadar analit dalam sampel. Didalam pustaka,


(38)

UIN Syarif Hidayatullah

sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0-200%, jumlah sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya delapan buah sampel.

� =�

Sxo : Standar deviasi dari fungsi

Parameter lain yang harus dihitung adalah simpangan baku residual (Sy)

� = √ Σ � − �

Dimana Y1 : a+bx


(39)

23

UIN Syarif Hidayatullah

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian II dan laboratorium Formulasi Sediaan Padat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Januari – Juni 2016.

3.2 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat

Alat-alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah Dissolution Tester

(ERWEKA), Spektrofotometer Ultraviolet (HITACHI U-2910), High Performance Liquid Chomatoghraphy (Dionex), membran filter, sonicator

(Elmasonic), Stopwatch, Neraca analitik (KERN ACJ/AC5), pH meter (HORIBA),

mikro pipet, alat-alat gelas dan alat laboratorium lainnya.

3.3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol (grade HPLC), aquadest, aquabidest, asam fosfat, potassium dihydrogen ortho phosphate, Dibasic sodium phosphate anhidrat, sodium dihydrogen phosphate dihydrate (grade analisis), standar glimepirid, tablet glimepirid generik (Dexa Medica), Amaryl (Aventis), Amadiab (LAPI) dan Metrix (Kalbe Farma).

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan cara pengambilan sampel sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu penarikan sampel yang didasari pada keperluan penelitian (Sugiyono, 2012). Sampel yang digunakan untuk penelitian sebanyak 4 sampel, di mana terdapat 1 generik dan 3 generik bermerek. Sampel diperoleh dari beberapa apotek di Jakarta Timur, di mana dipilih berdasarkan pertimbangan kelengkapan tersedianya tablet glimepirid 2 mg dengan


(40)

UIN Syarif Hidayatullah

tahun kadaluarsa yang sama yaitu tahun 2017. Tempat pengambilan sampel dipilih sesedikit mungkin atas alasan meminimalkan perbedaan faktor kesalahan luar yang dapat menurunkan mutu obat begitu pula dengan pemilihan tahun kadaluwarsa yang sama.

Sampel yang digunakan adalah tablet glimepirid generik dan tablet glimepirid generik bermerk dengan tahun kadaluarsa yang sama yang diambil dari apotek di Jakarta Timur. Sampel yang digunakan yaitu tablet glimepirid generik yang diproduksi oleh Dexa Medica, sedangkan untuk tablet glimepirid generik bermerek yaitu Amaryl yang diproduksi oleh Sanovi Aventis, Metrix yang diproduksi oleh Kalbe Farma dan Amadiab yang diproduksi oleh LAPI. Berikut adalah tablet glimepirid yang beredar dipasaran:

Tabel 3.1 Tablet Glimepirid Generik Bermerek yang Beredar di Pasaran

No Nama Pabrik

1. Actaryl Actavis

2. Amadiab LAPI

3. Amaryl Sanovi Aventis

4. Anpiride Sanbe

5. Diaglime Kalbe Farma

6. Friladar Interbat

7. Glamarol Guardian Pharmatama

8. Gluvasc Dexa Medica

9. Glimetic Hexapharm jaya

10. Glimexal Sandoz

11. Gliperid Merck

12. Glucoryl Bernofarm

13. Metrix Kalbe Farma

14. Paride Pharos

15. Relide 2 Fahrenheit

16. Solosa Sanovi Aventis


(41)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 3.2 Tablet Glimepirid Generik yang Beredar di Pasaran

No. Nama Pabrik

1. Glimepirid Hexapharm jaya

2. Glimepirid Kimia farma

3. Glimepirid Dexa Medica

Menurut Gay, jumlah sampel minimal yang dapat diterima yaitu 10% dari populasi, namun untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimal 20% dari populasi (Husein, 2005). Berikut adalah perhitungan jumlah sampel yang digunakan terdapat dari nelitian:

Generik = 3 x = 0,6 atau = 1 sampel generik

Generik Bermerek = 17 x = 3,4 atau = 3 sampel generik bermerek

Pemilihan sampel generik (1 dari 3) atau generik bermerek (3 dari 17) ini dipilih berdasarkan pertimbangan kelengkapan tersedianya tablet glimepirid 2 mg yang beredar di beberapa apotek di Jakarta Timur dengan kecocokkan tahun kadaluarsa yang sama atau mendekati sama satu sama lain.

3.3.2 Sifat Fisik 3.3.2.1Uji Organoleptis

Tablet diamati secara visual meliputi : warna (homogenitas), bentuk (bundar, permukaan rata/cembung), cetakan (garis patah, tanda, logo, pabrik), dll.

3.3.2.2Uji Kekerasan

Uji kekerasan dilakukan dengan mengambil masing-masing 10 tablet dari tiap sampel, yang diukur dengan memberi tekanan terhadap diameter tablet. Alat yang biasa digunakan adalah hardness tester. Alat ini diharapkan dapat mengukur berat yang diperlukan untuk memecahkan tablet. Persyaratan kekerasan tablet umumnya berkisar 4-8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan (Soekemi, A. R., 1987).


(42)

UIN Syarif Hidayatullah

3.3.2.3 Keseragaman Kandungan

Dilakukan penetapan keseragaman sediaan yaitu keseragaman kandungan, dengan cara ditimbang 10 sediaan satu per satu dan dihitung rata-ratanya, kemudian ditetapkan kadar zat aktifnya dari masing-masing sediaan sesuai dengan metode penetapan kadar. Kecuali dikatakan lain dalam masing-masing monografi persyaratan keseragaman kandungan dipenuhi jika kadar zat aktif antara 85,0% - 115,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatifnya kurang dari atau sama dengan 6,0% (Dirjen POM, 1995).

3.3.3 Penetapan Kadar

3.3.3.1Pembuatan Dapar Fosfat

Ditimbang seksama sejumlah 7,0 gram potassium dihydrogen ortho phosphate, dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 ml. Dilarutkan dengan aquadest hingga garis tanda. Adjust pH akhir pada buffer hingga mencapai 3,0 menggunakan asam fosfat (Kumar et al., 2015).

3.3.3.2 Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak dipreparasi dengan campuran 250 ml (25%) buffer dan 750 ml (75%) metanol (grade HPLC) kemudian dihilangkan gelembungnya dengan

sonicator selama 10 menit. Kemudian larutan disaring menggunakan membran filter 0,45 µ. Fase gerak dapat digunakan juga sebagai pelarut (Kumar et al., 2015).

3.3.3.3 Pembuatan Larutan Induk Glimepirid

Ditimbang saksama sejumlah 50,0 mg standar glimepirid, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Ditambahkan pelarut fase gerak ke dalam labu hingga garis tanda dan sonikasi (Kumar et al., 2015).

3.3.3.4 Penentuan Panjang Gelombang

Dibuat larutan standar glimepirid dengan konsentrasi 3 µg/mL, kemudian dilakukan pemindaian dengan spektrofotometri UV-VIS pada panjang gelombang 200-400 nm, ditentukan panjang gelombang maksimumnya (Kumar et al., 2015).


(43)

UIN Syarif Hidayatullah

3.3.3.5 Verifikasi Metode 3.3.3.5.1 Uji Linearitas

Dibuat larutan standar glimepirid dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5 µg/mL, kemudian masing-masing konsentrasi disuntikkan sebanyak 20 µl ke sistem KCKT pada kondisi kolom C18 (4,6x150 mm, 5 µm), pH 3,0, laju alir 1,0

ml/menit dan panjang gelombang 254 nm. Lalu dicatat luas puncaknya yang ditunjukkan pada kromatogram dan dibuat kurva kalibrasi serta dihitung persamaan regresinya (y = a + bx). Dihitung koefisien korelasi (r) dari kurva tersebut (Kumar et al., 2015).

3.3.3.5.2 Akurasi

Dibuat larutan glimepirid dengan konsentrasi 1 µg/mL, 3 µg/mL dan 5 µg/mL. Kemudian disuntikkan ke KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl. Dilakukan sebanyak tiga kali. Kemudian dihitung persentase akurasi (% diff) dari masing-masing konsentrasi larutan tersebut (Kumar et al., 2015).

3.3.3.6 Penetapan Kadar

Ditimbang dan serbukkan tidak kurang dari 20 tablet. Timbang saksama sejumlah serbuk tablet setara dengan lebih kurang 10 mg glimepirid, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Pelarut fase gerak ditambahkan kedalamnya hingga garis tanda dan sonikasi. Dipipet 125 µl dari larutan tersebut dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, kemudian ditambahkan pelarut hingga garis tanda. Diinjeksikan lebih kurang 20 µl ke sistem KCKT dan dideteksi pada panjang gelombang 254 nm dengan laju alir 1 mL/menit (Kumar et al., 2015).

3.3.4 Uji Disolusi

3.3.4.1 Pembuatan Larutan Induk

Dibuat larutan induk standar glimepirid dengan menimbang 50,0 mg standar glimepirid, masukkan ke dalam labu ukur 25 ml, sejumlah 7,5 ml NaOH 0,1 M ditambahkan ke dalam labu dan sonikasi. Tambahkan metanol hingga garis tanda (Induri M. et al., 2012).


(44)

UIN Syarif Hidayatullah

3.3.4.2Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Dibuat larutan dengan konsentrasi 2 µg/mL dari larutan induk, kemudian dideteksi dengan spektrofotometri UV-VIS pada panjang gelombang 200-400 nm. Dicatat panjang gelombang maksimumnya (Induri M. et al., 2012).

3.3.4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi

Dibuat larutan dengan konsentrasi 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 dan 4 µg/mL dari larutan induk. Masing-masing konsentrasi diamati absorbansinya di spektrofotometri UV-VIS yang diukur pada panjang gelombang maksimum. Digunakan metanol sebagai blanko (Induri M. et al., 2012).

3.3.4.4 Uji Disolusi Sampel Tablet Glimepirid yang Dijual di Apotek

Sebanyak 6 tablet glimepirid sampel dimasukkan ke dalam alat disolusi dengan alat disolusi tipe 2 yang berisi medium dapar fosfat pH 7,8 sebanyak 900 ml pada suhu 37oC. Dengan kecepatan pengadukan 75 rpm selama 20 menit. Pengambilan cuplikan sampel sebanyak 5 ml dilakukan pada detik ke 30, menit ke 1, 2, 3, 5, 10, 15, dan 20. Setiap pengambilan sampel diganti dengan media disolusi dengan volume yang sama (Induri M. et al., 2012). Apabila hasil pengujian tidak memenuhi tabel penerimaan untuk S1 yaitu tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+15%, maka pengujian dilanjutkan ke tahap S2 yaitu dengan menguji kembali 6 tablet glimepirid lainnya. Rata-rata dari 12 unit tersebut (S1+S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit pun yang lebih kecil dari Q-15%. Apabila hasil pengujian tidak pula memenuhi tabel penerimaan untuk S2, maka pengujian dilanjutkan sampai tahap S3. Tahap S3 dilakukan dengan menguji kembali 12 tablet glimepirid lainnya dengan rata-rata dari 24 unit tersebut (S1+S2+S3) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15% dan tidak satu unit pun yang lebih kecil dari Q-25% (Ditjen POM, 1995).


(45)

29

UIN Syarif Hidayatullah

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Evaluasi Sifat Fisik Tablet Glimepirid

4.1.1 Hasil Uji Organoleptis

Pada pemeriksaan fisik berupa organoleptis tablet diamati secara visual. Keempat sampel tablet memiliki warna, bentuk dan cetakan yang berbeda-beda. Namun apabila dilihat dari sisi rabaan, keempat sampel tablet memiliki permukaan yang halus tidak ada permukaan yang berlubang ataupun cacat.

Tabel 4.1 Hasil Uji Organoleptis

4.1.2 Kekerasan Tablet

Tablet yang baik harus cukup keras untuk dapat tahan, tidak pecah dan tidak rapuh selama proses pengemasan, distribusi, penyimpanan, hingga saat digunakan. Untuk itu, dilakukan uji kekerasan tablet. Berdasarkan literatur, kekerasan tablet yang dianggap baik ialah minimal 4-10 Kg (Sulaiman, 2007). Uji kekerasan dilakukan terhadap keempat sampel yang masing-masingnya menggunakan 10 tablet uji. Pada tablet glimepirid generik bermerek B memiliki nilai kekerasan di bawah persyaratan, yaitu 2,34 Kg. Ketiga sampel lain memiliki kekerasan rata-rata yang berkisar antara 4,46 - 8,35 Kg, sehingga dapat dikatakan bahwa ketiganya memenuhi persyartan uji kekerasan.

Sampel Warna

(Homogenitas)

Bentuk (Bundar, permukaan rata/cembung)

Cetakan (Garis patah, tanda, logo pabrik) Generik Hijau muda,

homogen

Bulat, permukaan rata Garis patah ditengah, logo pabrik (DX) &

(GL) Generik bermerek A Hijau muda, homogen Oval, permukaan cembung

Garis patah ditengah, logo pabrik (LAPI) Generik

bermerek B

Hijau muda, homogen

Oval, permukaan rata Garis patah, logo pabrik (KALBE) Generik

bermerek C

Merah muda, homogen

Oval, permukaan rata Garis patah ditengah, tanda pabrik (NMM)


(46)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 4.2 Hasil Uji Kekerasan Tablet Sampel Bobot rata-rata

(mg)

Kekerasan (Kg)

Generik 168,55 4,46

Generik Bermerek A 171,00 7,33

Generik Bermerek B 51,12 2,34

Generik Bermerek C 170,42 8,35

Menurut Lachman dkk (1994), perbedaan kekerasan dapat terjadi karena beberapa faktor seperti perbedaan tekanan kompresi yang diberikan atau perbedaan massa granul yang mengisi die pada saat pencetakan tablet. Selain itu, berbedanya nilai kekerasan juga dapat diakibatkan oleh variasi jenis dan jumlah bahan tambahan yang digunakan pada formulasi. Bahan pengikat adalah contoh bahan tambahan yang bisa menyebabkan meningkatnya kekerasan tablet bila digunakan terlalu banyak.

4.1.3 Keseragaman Kandungan

Hasil uji Keseragaman kandungan menunjukkan bahwa sepuluh tablet generik, generik bermerek A, B, dan C memiliki kadar yang masuk dalam persyaratan keseragaman kandungan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia V yaitu kadar glimepirid terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada etiket, dan simpangan baku rekatif tidak lebih dari 6%.

Tabel 4.3 Hasil Uji Keseragaman Kandungan Tablet Glimepirid Generik dan Generik Bermerek

No

Kadar (%) Generik Generik

Bermerek A

Generik Bermerek B

Generik Bermerek C

1 99,16 100,40 99,80 100,59

2 97,41 96,24 100,10 98,61

3 97,79 100,00 98,83 102,82

4 100,10 100,67 100,82 103,54

5 102,39 99,32 98,31 103,33

6 96,94 99,42 95,06 98,31

7 99,53 101,98 98,08 99,69

8 98,62 99,63 99,76 99,36

9 96,55 103,10 99,36 101,12

10 98,20 98,01 99,51 100,98

Rata-rata 98,67±1,73 99,88±1,92 98,90±1,60 100,83±1,90 RSD


(47)

UIN Syarif Hidayatullah

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hasil uji keseragaman kandungan tablet glimepirid yang paling besar yaitu tablet glimepirid generik bermerek C sebesar 100,83±1,90, disusul dengan tablet glimepirid generik A sebesar 99,88±1,92, kemudian tablet glimepirid generik B sebesar 98,90±1,60 dan yang terakhir tablet glimepirid generik sebesar 98,67±1,73. Hal ini berarti bahwa baik tablet glimepirid generik maupun generik bermerek semuanya memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia edisi V.

Uji keseragaman kandungan ini dilakukan karena jumlah zat aktif tablet glimepirid kurang dari 50 mg per tablet atau kurang dari 50% dari bobot satuan sediaan, sehingga dapat menjamin bahwa setiap tablet mengandung jumlah zat aktif sesuai spesifikasi dengan variasi yang kecil dalam batch. Selain itu, untuk memastikan apabila uji disolusi memberikan hasil yang tidak semestinya hal itu bukan dikarenakan jumlah kadar dari zat aktif yang dikandung dalam masing-masing tablet.

4.2 Penetapan Kadar

4.2.1 Penentuan Panjang Gelombang pada Medium Fase Gerak (Metanol:Fosfat)

Penentuan panjang gelombang maksimum dalam medium fase gerak (metanol:fosfat) terdeteksi pada panjang gelombang 254 nm. Menurut Kumar et al., dalam medium fase gerak (metanol:fosfat) glimepirid memberikan panjang gelombang maksimum 254 nm. Hal ini sesuai dengan rujukan yang digunakan dalam penelitian. Panjang gelombang maksimum dipilih karena pada panjang gelombang tersebut zat akan memberikan respon yang maksimum, terutama apabila konsentrasi analit yang akan dianalisis kecil konsentrasinya.

4.2.2 Kurva Kalibrasi

Kurva kalibrasi standar glimepirid dalam fase gerak metanol:dapar fosfat (75:25) dihasilkan garis lurus dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,9996, nilai tersebut memenuhi syarat linearitas yaitu r ≥ 0,999 (Synder, Kirkland dan Glajch, 1997). Persamaan regresi linear yang diperoleh adalah y = 0,1665x + 0,1686. Berdasarkan persamaan y = a + bx, maka diperoleh nilai a (intercept) = 0,1686 dan b (slope) = 0,1665.


(48)

UIN Syarif Hidayatullah

4.2.3 Akurasi

Uji Akurasi dilakukan pada 3 konsentrasi sampel, yaitu pada 1 µg/mL, 3 µg/mL dan 5 µg/mL dilakukan sebanyak 3 kali untuk masing-masing konsentrasi. Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan membandingkan hasil rujukan dengan bahan rujukan standar. Syarat akurasi yang baik yaitu 98-102%. Hasil uji rata-rata dapat dilihat pada tabel 4.4 dan data hasil percobaan selengkapnya tercantum pada lampiran 17 halaman 56.

Tabel 4.4 Hasil Uji Akurasi

*Keterangan: Rata-rata diperoleh dari 3 data

Uji Akurasi dilakukan untuk mengetahui kedekatan hasil penetapan yang diperoleh dengan hasil sebenarnya. Akurasi diperiksa dengan membandingkan konsentrasi standar glimepirid yang di dapat dengan konsentrasi standar glimepirid sesungguhnya dikalikan dengan 100%. Nilai uji akurasi pada konsentrasi 1 µg/mL berkisar 99,139%, konsentrasi 3 µg/mL berkisar 98,712% , dan pada konsentrasi 5 µg/mL berkisar 100,629%. Sehingga, dapat dikatakan bahwa hasil uji akurasi ini telah memenuhi persyaratan.

4.2.4 Penetapan Kadar

Penetapan kadar bertujuan untuk menjamin efikasi, keamanan dan mutu obat yang beredar. Penetapan kadar ini merupakan salah satu syarat yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia V. Menurut Farmakope Indonesia edisi V, tablet glimepirid mengandung tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Dari hasil penetapan kadar pada tabel 4 dapat dilihat bahwa semua tablet glimepirid baik generik maupun generik bermerek memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi V.

C (µg/mL)

Rata-rata Puncak (µAU)

Rata-rata Uji Akurasi (%)

RSD (%)

1 0,334 99,14±0,45 1,358

3 0,662 98,71±0,61 0,924


(49)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 4.5 Data Hasil Penetapan Kadar Tablet Glimepirid

Merk Kadar (%) Rata-rata (%) RSD (%)

Generik

99,34

98,19±1,02 1,09 97,39

97,83 Generik Bermerek A

98,85

99,69±1,55 1,55 101,48

98,74 Generik Bermerek B

97,71

98,92±1,07 1,09 99,32

99,74 Generik Bermerek C

100,83

101,79±0,87 0,81 102,03

102,52

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa kadar glimepirid dalam tablet berkisar antara 98,19% sampai 101,79% dimana kadar terendah diperoleh pada tablet glimepirid generik dan kadar tertinggi pada tablet glimepirid generik bermerek C. Data kadar tablet dapat dilihat pada lampiran 19 halaman 58 dan contoh perhitungan dapat dilihat pada lampiran 27 halaman 77.

4.3 Uji Disolusi

4.3.1 Panjang Gelombang Maksimum dalam Medium Fosfat pH 7,8

Panjang gelombang maksimum dari standar glimepirid dalam medium fosfat pH 7,8 terdeteksi pada 225,8 nm. Menurut Induri M. et al (2011), glimepirid dalam dapar fosfat memberikan panjang gelombang maksimum 225 nm. Sedangkan menurut Farmakope Indonesia edisi V (2015) dan USP (2010), glimepirid dalam dapar fosfat memberikan panjang gelombang maksimum 228 nm. Jika merujuk pada FI V dan USP, maka panjang gelombang yang diperoleh mengalami pergeseran batokromik sebesar 3,4 nm. Pergeseran tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh dari pelarut yang digunakan. Pada FI V atau USP sebelum glimepirid standar dilarutkan dalam medium fosfat pH 7,8, standar glimepirid dilarutkan terlebih dahulu di dalam campuran asetonitril:air (90:10), sedangkan pada Induri M.

et al., glimepirid standar dilarutkan terlebih dahulu di dalam campuran metanol:NaOH (70:30). Dan jika merujuk pada Induri M. et al., maka panjang gelombang yang diperoleh mengalami pergeseran batokromik sebesar 0,8 nm. Hal


(50)

UIN Syarif Hidayatullah

ini juga dimungkinkan karena adanya pengaruh dari pelarut yang digunakan, karena pelarut sering memberikan pengaruh yang besar pada kualitas dan bentuk dari spektrum, hal ini dikaitkan dengan perubahan pH dari pelarut yang digunakan (Moffat et al., 2005).

4.3.2 Kurva Kalibrasi

Kurva kalibrasi standar glimepirid dalam medium fosfat pH 7,8 dihasilkan garis lurus dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,9993, nilai tersebut memenuhi syarat linearitas yaitu r ≥ 0,999 (Synder, Kirkland dan Glajch, 1997). Persamaan regresi linear yang diperoleh adalah y = 0,0682x + 0,0052. Berdasarkan persamaan y = a + bx, maka diperoleh nilai a (intercept) = 0,0052 dan b (slope) = 0,0682.

4.3.3 Uji Disolusi

Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologis, pelarutan obat dalam media cair merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi sistemik. Dalam hal ini uji pelarutan dapat digunakan untuk meramalkan bioavabilitas dan dapat digunakan untuk membedakan faktor-faktor formulasi yang mempengaruhi bioavabilitas obat. Uji disolusi diperlukan untuk semua produk obat oral padat yang disetujui U.S Food and Drug Administration (Shargel et al., 2004).

Menurut M.Induri et al., bahwa uji disolusi dilakukan dengan menggunakan alat disolusi tipe 2 yang berisi medium dapar fosfat pH 7,8 sebanyak 900 ml pada suhu 370 C, dimana pada waktu 15 menit glimepirid terlarut tidak kurang dari 80% (Q) +5% dari jumlah yang tertera pada etiket.

Dari hasil pengujian ternyata semua tablet glimepirid baik generik maupun generik bermerek memenuhi persyaratan uji disolusi. Data uji disolusi dapat dilihat pada lampiran 22-25 halaman 60-63 dan contoh perhitungan pada lampiran 29 halaman 77.


(51)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 4.6 Data Hasil Uji Disolusi Tablet Glimepirid Generik dan Generik Bermerek

Waktu

Jumlah Kumulatif Tablet Glimepirid yang Terlepas (%) Generik Generik

Bermerek A

Generik Bermerek B

Generik Bermerek C

30” 30,21 23,31 27,58 19,36

1’ 52,97 48,10 49,23 40,46

2’ 67,24 67,93 65,56 65,60

3’ 78,27 81,78 79,00 80,35

5’ 83,12 87,15 85,85 90,51

10’ 89,39 94,51 91,09 97,3

15’ 93,79 96,34 95,17 98,75

20’ 95,25 97,55 96,02 99,11

Dari tabel 4.5 dapat dilihat baha persen kumulatif yang terlepas pada menit ke-15 untuk tablet glimepirid generik sebesar 93,79%, tablet glimepirid generik bermerek A sebesar 96,34%, tablet glimepirid generik bermerek B sebesar 95,17% dan tablet generik glimepirid C sebesar 98,75%. Tablet glimepirid generik bermerek C memiliki persen kumulatif yang paling besar yaitu 99,11% dibandingan dengan tablet lainnya. Jika dilihat dari kecepatan melarutnya, pencapaian Q + 5% yaitu 80% + 5% dari tablet tersebut berbeda-beda. Tablet glimepirid generik pada menit ke- 10, sedangkan tablet glimepirid generik bermerek A, B dan C pada menit ke 5.

Gambar grafik persen kumulatif rata-rata dari hasil uji disolusi tablet glimepirid generik dan generik bermerek dapat dilihat pada gambar 4.1:

Gambar 4.1 Profil Disolusi Tablet Glimepirid Generik dan Generik Bermerek 0 20 40 60 80 100 120

0 5 10 15 20 25

Kadar Pelepasan Tablet (%) Waktu (Menit) Tablet Generik Tablet Generik Bermerek A Tablet Generik Bermerek B Tablet Generik Bermerek C


(52)

UIN Syarif Hidayatullah

Dari gambar 4.1 dapat dilihat bahwa semua tablet glimepirid telah terlarut dan melepaskan bahan aktifnya dalam 15 menit. Waktu yang diperlukan setiap tablet glimepirid untuk terlarut dan melepaskan bahan akifnya sebanyak 50% berbeda-beda. Pada tablet glimepirid generik melepaskan 50% kadar aktifnya pada menit ke-1, sedangkan tuntuk tablet glimepirid generik bermerek A, B dan C pada menit ke-2. Secara farmasetik jika dilihat dari profil disolusi, keempat tablet memiliki pola profil disolusi yang sama dan berhimpitan. Laju disolusi tablet glimepirid yang paling cepat dapat memberikan timbulnya efek terapi yang cepat. Begitu pula sebaliknya, Laju disolusi yang membutuhkan waktu lebih lama akan memberikan efek terapi yang lama.

4.3.4 Analisa Statistik Disolusi Glimepirid

Hasil uji yang diperoleh kemudian dilakukan analisa statistik untuk melihat apakah terdapat perbedaan profil pelepasan glimepirid dari keempat merek obat. Analisa statistik dilakukan dengan membandingkan persen yang terdisolusi tiap waktunya. Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data persen kadar glimepirid yang terdisolusi terdistribusi normal (p ≥ 0,05). Setelah dilakukan uji normalitas, dilakukan uji homogenitas. Hasil uji homogenitas menghasilkan data yang homogen untuk persen kadar glimepirid yang terdisolusi pada menit ke-1, 2, 3, 10 dan 15 (p ≥ 0,05), sedangkan untuk detik ke-30 dan menit

ke-5 dan 20 memiliki data persen kadar glimepirid yang tidak homogen (p ≤ 0,05).

Dengan demikian, data persen kadar glimepirid yang terdisolusi pada detik ke-30 dan menit ke-5 dan 20 tidak dapat dianalisis dengan menggunakan Anova, melainkan dilanjutkan dengan uji non-parametik Kruskal-Wallis.

Data uji disolusi yang homogen kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji parametik one way anova. Hasil uji anova yang dilakukan terhadap persen kadar glimepirid yang terdisolusi tiap waktu menunjukkan nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p ≤ 0,05), yang artinya persen kadar yang terdisolusi tiap waktu dari ketiga merek obat memiliki perbedaan yang bermakna. Untuk mengetahui letak perbedaan tersebut, maka dilanjutkan uji DNT jenis LSD.


(53)

UIN Syarif Hidayatullah

Tabel 4.7 Hasil Uji LSD dan Mann-Whitney Data Persen Disolusi Glimepirid dari Obat A, B, C dan D Tiap Waktu Penyuplikan

Waktu Berbeda Secara Bermakna

(p ≤ 0,05) Tidak Berbeda Secara Bermakna (p ≥ 0,05)

Detik 30 Menit 1 Menit 2 Menit 3 Menit 5 Menit 10 Menit 15 Menit 20

A dengan B A dengan C A dengan D B dengan C B dengan D C dengan D A dengan B A dengan C A dengan D B dengan C B dengan D C dengan D A dengan B A dengan C A dengan D B dengan C B dengan D A dengan B A dengan C A dengan D B dengan C B dengan D C dengan D A dengan B A dengan C A dengan D B dengan C B dengan D C dengan D A dengan B A dengan D B dengan C B dengan D C dengan D A dengan B A dengan C A dengan D B dengan C B dengan D C dengan D A dengan B A dengan D B dengan C B dengan D C dengan D

C dengan D

A dengan C


(54)

UIN Syarif Hidayatullah

B (Tablet Glimepirid Generik Bermerek A) C (Tablet Glimepirid Generik Bermerek B) D (Tablet Glimepirid Generik Bermerek C)

Data uji disolusi yang menunjukkan ketidakhomogenan, yaitu data persen glimepirid yang terdisolusi pada detik ke-30 dan menit ke-5 dan 20 dilanjutkan dengan uji non-parametrik Kruskal-Wallis. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p ≤ 0,05), artinya persen kadar yang terlepas pada detik ke-30 dan menit ke-5 dan 20 dari keempat obat memiliki perbedaan yang bermakna, namun hal ini tidak memiliki arti yang bermakna karena pada dasarnya semua sampel memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia edisi V dalam hal uji disolusi. Untuk mengetahui letak perbedaan tersebut, maka dilanjutkan uji Mann-Whitney. Data hasil uji Mann-Whitney dapat dilihat pada lampiran 26.


(1)

UIN Syarif Hidayatullah

(Lanjutan)

Mann Whitney

Ranks

MerekObat N Mean Rank Sum of Ranks

DETIK_30 GENERIK 6 9.50 57.00

GENERIK BERMEREK C 6 3.50 21.00

Total 12

MENIT_5 GENERIK 6 3.50 21.00

GENERIK BERMEREK C 6 9.50 57.00

Total 12

MENIT_20 GENERIK 6 3.50 21.00

GENERIK BERMEREK C 6 9.50 57.00

Total 12

Test Statisticsb

DETIK_30 MENIT_5 MENIT_20

Mann-Whitney U .000 .000 .000

Wilcoxon W 21.000 21.000 21.000

Z -2.882 -2.882 -2.882

Asymp. Sig. (2-tailed) .004 .004 .004 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .002a .002a .002a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: MerekObat

Keterangan: Signifikansi < 0,05, Generik dan Generik bermerek C berbeda

bermakna


(2)

UIN Syarif Hidayatullah

(Lanjutan)

Mann Whitney

Ranks

MerekObat N Mean Rank Sum of Ranks

DETIK_30 GENERIK BERMEREK A 6 3.50 21.00

GENERIK BERMEREK B 6 9.50 57.00

Total 12

MENIT_5 GENERIK BERMEREK A 6 9.50 57.00

GENERIK BERMEREK B 6 3.50 21.00

Total 12

MENIT_20 GENERIK BERMEREK A 6 9.50 57.00

GENERIK BERMEREK B 6 3.50 21.00

Total 12

Test Statisticsb

DETIK_30 MENIT_5 MENIT_20

Mann-Whitney U .000 .000 .000

Wilcoxon W 21.000 21.000 21.000

Z -2.882 -2.882 -2.882

Asymp. Sig. (2-tailed) .004 .004 .004

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .002a .002a .002a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: MerekObat

Keterangan: Signifikansi < 0,05, generik bermerek A dan generik bermerek B

berbeda bermakna


(3)

UIN Syarif Hidayatullah

(Lanjutan)

Mann Whitney

Ranks

MerekObat N Mean Rank Sum of Ranks

DETIK_30 GENERIK BERMEREK A 6 9.50 57.00

GENERIK BERMEREK C 6 3.50 21.00

Total 12

MENIT_5 GENERIK BERMEREK A 6 3.50 21.00

GENERIK BERMEREK C 6 9.50 57.00

Total 12

MENIT_20 GENERIK BERMEREK A 6 3.67 22.00

GENERIK BERMEREK C 6 9.33 56.00

Total 12

Test Statisticsb

DETIK_30 MENIT_5 MENIT_20

Mann-Whitney U .000 .000 1.000

Wilcoxon W 21.000 21.000 22.000

Z -2.882 -2.882 -2.722

Asymp. Sig. (2-tailed) .004 .004 .006

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .002a .002a .004a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: MerekObat

Keterangan: Signifikansi < 0,05, generik bermerek A dan generik bermerek C

berbeda bermakna.


(4)

UIN Syarif Hidayatullah

(Lanjutan)

Mann Whitney

Ranks

MerekObat N Mean Rank Sum of Ranks

DETIK_30 GENERIK BERMEREK B 6 9.50 57.00

GENERIK BERMEREK C 6 3.50 21.00

Total 12

MENIT_5 GENERIK BERMEREK B 6 3.50 21.00

GENERIK BERMEREK C 6 9.50 57.00

Total 12

MENIT_20 GENERIK BERMEREK B 6 3.50 21.00

GENERIK BERMEREK C 6 9.50 57.00

Total 12

Test Statisticsb

DETIK_30 MENIT_5 MENIT_20

Mann-Whitney U .000 .000 .000

Wilcoxon W 21.000 21.000 21.000

Z -2.882 -2.882 -2.882

Asymp. Sig. (2-tailed) .004 .004 .004

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .002a .002a .002a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: MerekObat


(5)

UIN Syarif Hidayatullah

Lampiran 27

. Perhitungan Persen Kadar Uji Penetapan Kadar

Kadar (mg) = konsentrasi (ppm) x vol.larutan x faktor pengenceran

Kadar (%) =

�� �

�� � � � � � �

%

* Kadar yang tertera pada etiket yaitu 2 mg

Contoh perhitungan kadar tablet glimepirid generik

Kadar (mg) = 4,97 µg/ml x 0,01 L x 40 = 1,987 mg

Kadar (%) =

,

%

= 99,34 %

Lampiran 28.

Perhitungan Persen Kadar Uji Keseragaman Kandungan

Kadar (%) =

�� � . � � � �

� � � � � � �

x 100%

*Kadar yang tertera pada etiket yaitu 2 mg

Contoh pehitungan keseragaman kandungan tablet glimepirid generik

Kadar (%) =

, ,

x 100% = 99,16%

Lampiran 29

. Perhitungan Jumlah Kumulatif Pelepasan Glimepirid dari Tablet

Faktor Koreksi (FK) =

� � � �� � � � � �

� � �

mg terdisolusi = Konsentrasi (ppm) x volume medium disolusi (L)

(Detik ke-30)

mg terdisolusi = (Konsentrasi (ppm) + FK detik ke-30) x vol.Medium disolusi (L)

(Menit ke-1)

% Disolusi =

� �

�� � � � � � �

%

*Kadar yang tertera pada etiket yaitu 2 mg

Contoh perhitungan pelepasan tablet glimepirid generik

mg terdisolusi = 0,629 x 0,9 L = 0,566 mg

(Detik ke-30)

Faktor koreksi (fk) =

, µg/

= 0,006988

(Detik ke-30)

mg terdisolusi = (1,071 + 0,006988) x 0,9 L = 0,9701

(Menit ke-1)


(6)

UIN Syarif Hidayatullah

% Disolusi =

,

%

= 28,3 %

(Detik ke-30)

% Disolusi =

,

%

= 48,509 %

(Menit ke-1)