Pembuatan Mi Instan dari Buru Hotong (Setaria Italica (L.) Beauv.) dan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi

(1)

SKRIPSI

PEMBUATAN MI INSTAN DARI BURU HOTONG

(Setaria italica (L.) Beauv.) DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI

Oleh:

SARWO EDY WIBOWO F24103117

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PEMBUATAN MI INSTAN DARI BURU HOTONG

(Setaria italica (L.) Beauv.) DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SARWO EDY WIBOWO F24103117

Dilahirkan pada tanggal 12 Juli 1985 Di Lhokseumawe, Aceh Tanggal Lulus: 30 Januari 2008

Menyetujui, Bogor, Februari 2008

Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc Pembimbing I

Ir. Sutrisno Koswara, MSi Pembimbing II

Mengetahui, Bogor, Februari 2008

Dr. Ir. Dahrul Syah


(3)

PEMBUATAN MI INSTAN DARI BURU HOTONG

(Setaria italica (L.) Beauv.) DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SARWO EDY WIBOWO F24103117

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

Sarwo Edy Wibowo. F24103117. 2008. Pembuatan Mi Instan dari Buru Hotong (Setaria Italica (L.) Beauv.) dan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi. Di bawah BimbinganDr. Ir. Sugiyono, MAppScdan Ir. Sutrisno Koswara, MSi

Ringkasan

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari sehingga ketergantungan masyarakat masih tinggi terhadap beras. Masyarakat Indonesia juga telah mengenal keberadaan mi terutama mi instan. Selain itu mi instan telah dijadikan sebagai menu makanan favorit sehari-hari bagi masyarakat. Mi instan yang beredar di Indonesia menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utama yang bukan merupakan produk hasil pertanian domestik. Oleh karena itu, perlu ada usaha penganekaragaman bahan pangan lokal. Salah satu contoh sumber bahan pangan lokal yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah tanaman buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). Tanaman buru hotong belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia dan pengolahannya juga masih terbatas. Tanaman ini ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di pulau Buru (Maluku). Tanaman hotong ini dapat tumbuh dengan baik di lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Pengolahan biji hotong menjadi produk mi diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan tingkat konsumsi hotong.

Penelitian yang dilakukan bertujuan mengembangkan formulasi mi instan berbahan baku buru hotong dan menentukan optimasi proses dalam pembuatan mi instan dari buru hotong, dan menduga umur simpan dari mi instan yang dihasilkan dengan metode akselerasi. Penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung hotong dan analisis komposisi kimianya (proksimat). Penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk mengetahui perbandingan air dan tepung hotong yang tepat dan optimasi lama pengukusan (pregelatinisasi) adonan mi. Tahap kedua dilakukan untuk mengetahui perkiraan umur simpan dari produk mi hotong instan terpilih.

Pembuatan mi hotong dilakukan dengan perbandingan air sebanyak 30 %, 35 %, dan 40 % dari tepung hotong yang digunakan dan pengukusan selama 10, 15, dan 20 menit. Nilai rata-rata kesukaan secara overall mi hotong pra rehidrasi berkisar 3.7-5.1 (netral sampai agak suka) dan pasca rehidrasi berkisar 2.4-5.2 (tidak suka sampai agak suka). Produk terpilih diperoleh melalui uji pembobotan dengan skor pembobotan tertinggi sebesar 9.6 (mi dengan penambahan air sebanyak 30 % dan pengukusan selama 10 menit).

Mi hotong produk terpilih memiliki kadar air sebesar 2.33 % (bb), abu 1.86 % (bb) atau 1.90 % (bk), protein 9.83 % (bb) atau 10.06 % (bk), lemak 14.66 % (bb) atau 15.01 % (bk), dan karbohidrat 71.33 % (bb) atau 73.03 % (bk). Mi hotong juga memiliki nilai oHue sebesar 70.47, tingkat kecerahan (L) sebesar 68.64, kekerasan sebesar 1641.33 gram force, kelengketan sebesar 473.43 gram force, daya serap air (DSA) sebesar 160.02 % (bk), kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) sebesar 19.38 % (bk), dan waktu rehidrasi selama 6.5 menit. Pendugaan umur simpan mengunakan metode Arrhenius dengan perubahan mutu yang diamati adalah ketengikan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa produk mi hotong instan memiliki umur simpan selama 99.86 hari.


(5)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Sarwo Edy Wibowo, dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 12 Juli 1985. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan M. Yunus Abdullah dan Winarti. Penulis menyelesaikam pendidikan dasar pada tahun 1997 di SDN Pegangsaan Dua 04 Jakarta Utara, kemudian melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 175 Jakarta hingga tahun 2000. Penulis mengikuti pendidikan tingkat menengah atas di SMU 49 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Taknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa organisasi antara lain: Badan Eksekutif Mahasiswa Fateta (2004-2005), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fateta (2005-2006), dan Forum Bina Islami Fateta (2006-2007). Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan. Penulis berkesempatan menjadi Asisten Praktikum Teknologi Pengemasan dan Asisten Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan. Sebagai tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “ Pembuatan Mi Instan dari Buru Hotong (Setaria Italica (L.) Beauv.) dan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi ” di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Ir. Sutrisno Koswara, MSi., sebagai bagian dari Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Bapak dan Ibu atas doa yang tidak pernah terputus dan kasih sayang yang selama ini diberikan. Erwin dan Vivi, adik kebanggaanku yang terus menjadi penyemangat dalam hidup ini.

2. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Ir. Sutrisno Koswara , MSi. selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya.

3. Dr. Ir. Sam Herodian, MS. atas kesediaannya sebagai dosen penguji. 4. Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan

Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini, serta Dr. Ir. Sam Herodian, MS. selaku penanggung jawab dan Ibu Iin selaku bendahara, yang telah memberikan bantuan dan saran selama penelitian.

5. Teman-teman seperjuangan dan sebimbingan (Mita, Hanifah, dan Helmi), atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan.

6. Seluruh anggota Tim Hotong (Kindy, Yandra, Bagus, Kaltika, Sisca, dan Chacha), atas kerja sama yang telah diberikan.

7. Sahabat karibku Usman, Arga, Susanto, Triatma (Mamo), Ali “cool”, dan Sofwan yang selalu memberikan dorongan moral selama ini.

8. “The Villagers” Adie, Arga, Ari, Chusni, Udjo, Denang, Erte, Yoga, Reza, terima kasih atas semua kenangan yang kita lalui bersama dalam satu atap. Semoga persaudaraan kita tetap erat sampai akhir.

9. Seluruh laboran dan teknisi laboratorium ITP, SEAFAST, PAU, dan AP4 yang telah banyak membantu penulis.


(7)

10. Teman-teman ITP angkatan 2003 (angkt’ 40) dan 2004 (angkt’ 41), serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2008


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJUAN PUSTAKA A. TANAMAN BURU HOTONG ... 3

B. PATI ... 5

C. GELATINISASI PATI ... 7

1. Konsep Gelatinisasi Pati ... 7

2. Mekanisme Gelatinisasi... 8

3. Suhu Gelatinisasi ... 9

4. SifatBirefringence... 11

D. MI ... 11

E. MI INSTAN ... 12

F. PENDUGAAN UMUR SIMPAN DENGAN METODE AKSELERASI ... 15

1. Reaksi Ordo Nol... 18

2. Reaksi Ordo Satu... 18

3. Reaksi Ordo Lain... 19

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 20


(9)

1. Penelitian Pendahuluan... 20

2. Penelitian Utama ... 21

2. 1. Formulasi dan Optimasi Proses Pembuatan Mi Hotong Instan ... 21

2. 2. Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong dengan Metode Arrhenius ... 24

C. METODE ANALISIS ... 26

1. Uji Organoleptik... 26

2. Analisis Fisik... 27

3. Analisis Proksimat... 30

4. Analisis Bilangan TBA... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 35

1. Pembuatan Tepung Hotong... 35

2. Analisis Proksimat Tepung Hotong... 37

B. PENELITIAN UTAMA ... 38

1. Formulasi dan Pembuatan Mi Hotong ... 38

2. Analsis Organoleptik ... 46

3. Uji Pembobotan... 57

4. Analisis Produk Terpilih... 58

4. 1. Analisis Fisik ... 59

4. 2. Analisis Proksimat ... 62

5. Pendugaan Umur Simpan ... 65

5. 1. Uji OrganoleptikOff Flavor (Ketengikan) Mi Hotong... 66

5. 2. Pengukuran Bilangan TBA ... 69

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 72

B. SARAN... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia biji buru hotong dibandingkan dengan

biji hermada dan beras ... 5

Tabel 2. Kadar amilosa beberapa jenis pati... 6

Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati ... 11

Tabel 4. Formula mi hotong ... 22

Tabel 5. Hasil analisis proksimat tepung hotong dan tepung beras... 38

Tabel 6. Karakteristik lembaran adonan, untaian mi, mi hasil penggorengan, dan mi hasil rehidrasi dari setiap perlakuan jumlah air dan lama pengukusan... 44-45 Tabel 7. Nilai total pembobotan pada setiap atribut mi hotong ... 58

Tabel 8. Nilai pembobotan berbagai perlakuan... 58

Tabel 9. Hasil analisis proksimat mi hotong terpilih dan mi instan komersial (terigu) ... 63

Tabel 10. Skor rata-rata ketengikan sampel mi hotong pada berbagai tingkat suhu dan hari penyimpanan... 67

Tabel 11. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter ketengikan secara organoleptik... 67

Tabel 12. Hasil pengukuran bilangan TBA pada berbagai tingkat suhu dan hari penyimpanan. ... 69

Tabel 13. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter pengukuran bilangan TBA ... 70


(11)

SKRIPSI

PEMBUATAN MI INSTAN DARI BURU HOTONG

(Setaria italica (L.) Beauv.) DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI

Oleh:

SARWO EDY WIBOWO F24103117

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PEMBUATAN MI INSTAN DARI BURU HOTONG

(Setaria italica (L.) Beauv.) DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SARWO EDY WIBOWO F24103117

Dilahirkan pada tanggal 12 Juli 1985 Di Lhokseumawe, Aceh Tanggal Lulus: 30 Januari 2008

Menyetujui, Bogor, Februari 2008

Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc Pembimbing I

Ir. Sutrisno Koswara, MSi Pembimbing II

Mengetahui, Bogor, Februari 2008

Dr. Ir. Dahrul Syah


(13)

PEMBUATAN MI INSTAN DARI BURU HOTONG

(Setaria italica (L.) Beauv.) DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SARWO EDY WIBOWO F24103117

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

Sarwo Edy Wibowo. F24103117. 2008. Pembuatan Mi Instan dari Buru Hotong (Setaria Italica (L.) Beauv.) dan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi. Di bawah BimbinganDr. Ir. Sugiyono, MAppScdan Ir. Sutrisno Koswara, MSi

Ringkasan

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari sehingga ketergantungan masyarakat masih tinggi terhadap beras. Masyarakat Indonesia juga telah mengenal keberadaan mi terutama mi instan. Selain itu mi instan telah dijadikan sebagai menu makanan favorit sehari-hari bagi masyarakat. Mi instan yang beredar di Indonesia menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utama yang bukan merupakan produk hasil pertanian domestik. Oleh karena itu, perlu ada usaha penganekaragaman bahan pangan lokal. Salah satu contoh sumber bahan pangan lokal yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah tanaman buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). Tanaman buru hotong belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia dan pengolahannya juga masih terbatas. Tanaman ini ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di pulau Buru (Maluku). Tanaman hotong ini dapat tumbuh dengan baik di lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Pengolahan biji hotong menjadi produk mi diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan tingkat konsumsi hotong.

Penelitian yang dilakukan bertujuan mengembangkan formulasi mi instan berbahan baku buru hotong dan menentukan optimasi proses dalam pembuatan mi instan dari buru hotong, dan menduga umur simpan dari mi instan yang dihasilkan dengan metode akselerasi. Penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung hotong dan analisis komposisi kimianya (proksimat). Penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk mengetahui perbandingan air dan tepung hotong yang tepat dan optimasi lama pengukusan (pregelatinisasi) adonan mi. Tahap kedua dilakukan untuk mengetahui perkiraan umur simpan dari produk mi hotong instan terpilih.

Pembuatan mi hotong dilakukan dengan perbandingan air sebanyak 30 %, 35 %, dan 40 % dari tepung hotong yang digunakan dan pengukusan selama 10, 15, dan 20 menit. Nilai rata-rata kesukaan secara overall mi hotong pra rehidrasi berkisar 3.7-5.1 (netral sampai agak suka) dan pasca rehidrasi berkisar 2.4-5.2 (tidak suka sampai agak suka). Produk terpilih diperoleh melalui uji pembobotan dengan skor pembobotan tertinggi sebesar 9.6 (mi dengan penambahan air sebanyak 30 % dan pengukusan selama 10 menit).

Mi hotong produk terpilih memiliki kadar air sebesar 2.33 % (bb), abu 1.86 % (bb) atau 1.90 % (bk), protein 9.83 % (bb) atau 10.06 % (bk), lemak 14.66 % (bb) atau 15.01 % (bk), dan karbohidrat 71.33 % (bb) atau 73.03 % (bk). Mi hotong juga memiliki nilai oHue sebesar 70.47, tingkat kecerahan (L) sebesar 68.64, kekerasan sebesar 1641.33 gram force, kelengketan sebesar 473.43 gram force, daya serap air (DSA) sebesar 160.02 % (bk), kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) sebesar 19.38 % (bk), dan waktu rehidrasi selama 6.5 menit. Pendugaan umur simpan mengunakan metode Arrhenius dengan perubahan mutu yang diamati adalah ketengikan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa produk mi hotong instan memiliki umur simpan selama 99.86 hari.


(15)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Sarwo Edy Wibowo, dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 12 Juli 1985. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan M. Yunus Abdullah dan Winarti. Penulis menyelesaikam pendidikan dasar pada tahun 1997 di SDN Pegangsaan Dua 04 Jakarta Utara, kemudian melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 175 Jakarta hingga tahun 2000. Penulis mengikuti pendidikan tingkat menengah atas di SMU 49 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Taknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa organisasi antara lain: Badan Eksekutif Mahasiswa Fateta (2004-2005), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fateta (2005-2006), dan Forum Bina Islami Fateta (2006-2007). Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan. Penulis berkesempatan menjadi Asisten Praktikum Teknologi Pengemasan dan Asisten Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan. Sebagai tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “ Pembuatan Mi Instan dari Buru Hotong (Setaria Italica (L.) Beauv.) dan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi ” di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Ir. Sutrisno Koswara, MSi., sebagai bagian dari Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian.


(16)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Bapak dan Ibu atas doa yang tidak pernah terputus dan kasih sayang yang selama ini diberikan. Erwin dan Vivi, adik kebanggaanku yang terus menjadi penyemangat dalam hidup ini.

2. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Ir. Sutrisno Koswara , MSi. selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya.

3. Dr. Ir. Sam Herodian, MS. atas kesediaannya sebagai dosen penguji. 4. Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan

Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini, serta Dr. Ir. Sam Herodian, MS. selaku penanggung jawab dan Ibu Iin selaku bendahara, yang telah memberikan bantuan dan saran selama penelitian.

5. Teman-teman seperjuangan dan sebimbingan (Mita, Hanifah, dan Helmi), atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan.

6. Seluruh anggota Tim Hotong (Kindy, Yandra, Bagus, Kaltika, Sisca, dan Chacha), atas kerja sama yang telah diberikan.

7. Sahabat karibku Usman, Arga, Susanto, Triatma (Mamo), Ali “cool”, dan Sofwan yang selalu memberikan dorongan moral selama ini.

8. “The Villagers” Adie, Arga, Ari, Chusni, Udjo, Denang, Erte, Yoga, Reza, terima kasih atas semua kenangan yang kita lalui bersama dalam satu atap. Semoga persaudaraan kita tetap erat sampai akhir.

9. Seluruh laboran dan teknisi laboratorium ITP, SEAFAST, PAU, dan AP4 yang telah banyak membantu penulis.


(17)

10. Teman-teman ITP angkatan 2003 (angkt’ 40) dan 2004 (angkt’ 41), serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2008


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJUAN PUSTAKA A. TANAMAN BURU HOTONG ... 3

B. PATI ... 5

C. GELATINISASI PATI ... 7

1. Konsep Gelatinisasi Pati ... 7

2. Mekanisme Gelatinisasi... 8

3. Suhu Gelatinisasi ... 9

4. SifatBirefringence... 11

D. MI ... 11

E. MI INSTAN ... 12

F. PENDUGAAN UMUR SIMPAN DENGAN METODE AKSELERASI ... 15

1. Reaksi Ordo Nol... 18

2. Reaksi Ordo Satu... 18

3. Reaksi Ordo Lain... 19

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 20


(19)

1. Penelitian Pendahuluan... 20

2. Penelitian Utama ... 21

2. 1. Formulasi dan Optimasi Proses Pembuatan Mi Hotong Instan ... 21

2. 2. Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong dengan Metode Arrhenius ... 24

C. METODE ANALISIS ... 26

1. Uji Organoleptik... 26

2. Analisis Fisik... 27

3. Analisis Proksimat... 30

4. Analisis Bilangan TBA... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 35

1. Pembuatan Tepung Hotong... 35

2. Analisis Proksimat Tepung Hotong... 37

B. PENELITIAN UTAMA ... 38

1. Formulasi dan Pembuatan Mi Hotong ... 38

2. Analsis Organoleptik ... 46

3. Uji Pembobotan... 57

4. Analisis Produk Terpilih... 58

4. 1. Analisis Fisik ... 59

4. 2. Analisis Proksimat ... 62

5. Pendugaan Umur Simpan ... 65

5. 1. Uji OrganoleptikOff Flavor (Ketengikan) Mi Hotong... 66

5. 2. Pengukuran Bilangan TBA ... 69

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 72

B. SARAN... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia biji buru hotong dibandingkan dengan

biji hermada dan beras ... 5

Tabel 2. Kadar amilosa beberapa jenis pati... 6

Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati ... 11

Tabel 4. Formula mi hotong ... 22

Tabel 5. Hasil analisis proksimat tepung hotong dan tepung beras... 38

Tabel 6. Karakteristik lembaran adonan, untaian mi, mi hasil penggorengan, dan mi hasil rehidrasi dari setiap perlakuan jumlah air dan lama pengukusan... 44-45 Tabel 7. Nilai total pembobotan pada setiap atribut mi hotong ... 58

Tabel 8. Nilai pembobotan berbagai perlakuan... 58

Tabel 9. Hasil analisis proksimat mi hotong terpilih dan mi instan komersial (terigu) ... 63

Tabel 10. Skor rata-rata ketengikan sampel mi hotong pada berbagai tingkat suhu dan hari penyimpanan... 67

Tabel 11. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter ketengikan secara organoleptik... 67

Tabel 12. Hasil pengukuran bilangan TBA pada berbagai tingkat suhu dan hari penyimpanan. ... 69

Tabel 13. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter pengukuran bilangan TBA ... 70


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman buru hotong ... 3

Gambar 2. Struktur amilosa dan amilopektin... 7

Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati ... 10

Gambar 4. Proses pembuatan tepung hotong ... 21

Gambar 5. Proses pembuatan mi hotong ... 23

Gambar 6. Mesin penyosoh biji buru hotong ... 36

Gambar 7. Biji buru hotong, biji tersosoh, dan tepung hotong ... 37

Gambar 8. Proses pengukusan dan adonan pengukusan... 41

Gambar 9. Lembaran dan untaian mi... 42

Gambar 10. Mi hasil penggorengan dan mi yang dikemas ... 43

Gambar 11. Mi hotong hasil perebusan (rehidrasi) ... 44

Gambar 12. Hubungan antara sampel pra rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut warna ... 47

Gambar 13. Hubungan antara sampel pra rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut aroma ... 48

Gambar 14. Hubungan antara sampel pra rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut rasa... 50

Gambar 15. Hubungan antara sampel pra rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut tekstur ... 51

Gambar 16. Hubungan antara sampel pra rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkanoverall... 52

Gambar 17. Hubungan antara sampel pasca rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut warna ... 53

Gambar 18. Hubungan antara sampel pasca rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut aroma ... 54

Gambar 19. Hubungan antara sampel pasca rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut rasa... 55

Gambar 20. Hubungan antara sampel pasca rehidrasi dengan skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut tekstur ... 56


(22)

Gambar 21. Hubungan antara sampel pasca rehidrasi dengan skor

rata-rata kesukaan panelis berdasarkanoverall... 57 Gambar 22. Granula pati tepung hotong dan adonan hasil

pengukusan dari produk terpilih... 61 Gambar 23. Hubungan 1/T dengan ln k untuk parameter aroma

ketengikan secara organoleptik ... 68 Gambar 24. Hubungan 1/T dengan ln k untuk parameterpengukuran


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Syarat mutu mi instan... 79 Lampiran 2. Proses pembuatan mi hotong secara lengkap ... 80 Lampiran 3. Gambar mi hotong pra rehidrasi dari berbagai

perlakuan ... 81 Lampiran 4. Gambar mi hotong pasca rehidrasi dari berbagai

perlakuan... 82 Lampiran 5. Form uji organoleptik... 83-84 Lampiran 6. Hasil pengujian statistik atribut warna pada

mi hotong pra rehidrasi ... 85 Lampiran 7. Hasil pengujian statistik atribut aroma pada

mi hotong pra rehidrasi ... 86 Lampiran 8. Hasil pengujian statistik atribut rasa pada

mi hotong pra rehidrasi ... 87 Lampiran 9. Hasil pengujian statistik atribut tekstur pada

mi hotong pra rehidrasi ... 88 Lampiran 10. Hasil pengujian statistik atributoverall pada

mi hotong pra rehidrasi ... 89 Lampiran 11. Hasil pengujian statistik atribut warna pada

mi hotong pasca rehidrasi... 90 Lampiran 12. Hasil pengujian statistik atribut aroma pada

mi hotong pasca rehidrasi... 91 Lampiran 13. Hasil pengujian statistik atribut rasa pada

mi hotong pasca rehidrasi... 92 Lampiran 14. Hasil pengujian statistik atribut tekstur pada

mi hotong pasca rehidrasi... 93 Lampiran 15. Hasil pengujian statistik atributoverall pada

mi hotong pasca rehidrasi... 94 Lampiran 16. Lembar penilaian pada uji pembobotan ... 95 Lampiran 17. Hasil penilaian terhadap uji pembobotan ... 96


(24)

Lampiran 18. Hasil perhitungan uji pembobotan pada

masing-masing atribut hedonik... 97 Lampiran 19. Form uji organoleptik pada pendugaan umur simpan... 98 Lampiran 20. Skor organoleptikoff flavor (ketengikan) pada

berbagai tingkat suhu selama penyimpanan ... 99 Lampiran 21. Perhitungan pendugaan umur simpan mi hotong

berdasarkan uji sensori terhadap tingkat ketengikan... 100 Lampiran 22. Perhitungan pendugaan umur simpan mi hotong


(25)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan pokok yang mendasar bagi manusia, sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Perubahan pola konsumsi kebutuhan pangan pokok yang terjadi di Indonesia menjadi isu yang masih tetap hangat karena membawa dampak pada kemampuan penyediaan secara nasional. Perubahan konsumsi sagu, singkong, dan jagung menjadi beras menyebabkan kemampuan produksi nasional beras tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras telah menimbulkan masalah dalam sistem ketahanan pangan di Indonesia. Oleh karena itu, program-program diversifikasi pertanian dan usaha penganekaragaman bahan pangan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menekan ketergantungan masyarakat terhadap beras perlu mendapat perhatian yang serius, terutama penganekaragaman bahan pangan lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia. Salah satu contoh sumber bahan pangan lokal yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah tanaman buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.), sejenis tanaman sorgum dari pulau Buru (Maluku).

Tanaman buru hotong belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia dan pengolahannya juga masih terbatas. Tanaman ini ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di Kawasan Indonesia Timur, yaitu di Pulau Buru (Maluku). Tanaman hotong ini dapat tumbuh dengan baik di lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Biji buru hotong memiliki kandungan protein dan lemak yang cukup tinggi. Kandungan protein biji buru hotong sebesar 11.2 %, sedangkan kandungan lemak biji buru hotong sebesar 2.4 % (Rokhani,et al, 2003).


(26)

Selain itu, masyarakat Indonesia mengalami perubahan pola konsumsi karena mi instan dijadikan sebagai pengganti lauk-pauk atau pendamping nasi, bahkan sebagai pengganti nasi. Mi instan yang beredar di Indonesia menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utama yang bukan merupakan produk hasil pertanian domestik. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena tepung terigu merupakan produk pangan impor.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka perlu dilakukan berbagai usaha untuk memanfaatkan bahan pangan lokal sebagai pangan alternatif yang diminati oleh masyarakat. Salah satunya adalah mengolah buru hotong menjadi mi instan. Hal tersebut dapat dilakukan untuk meningkatkan minat konsumsi produk olahan dari buru hotong.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan formulasi dan menentukan optimasi proses dalam pembuatan mi instan berbahan baku buru hotong dan menduga umur simpan produk mi hotong instan dengan metode akselerasi.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN BURU HOTONG

Tanaman buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) termasuk dalam kelas monocotyledonae, family poaceae (Dassanayake, 1994). Bentuk tanaman hotong disajikan pada Gambar 1. Hirarki taksonomi buru hotong selengkapnya adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Division : Magnoliophyta (Angiospermae)

Class : Liliopsida

Subclass : Commelinidae

Order : Cyperales

Family : Poaceae (Gramineae)

Genus : SetariaBeauv.

Spesies : Setaria italica (L.) Beauv.


(28)

Tanaman buru hotong merupakan sejenis alang-alang yang tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman ini merupakan tanaman semusim yang biasanya tumbuh dalam bentuk rumpun dengan tinggi tanaman 60-150 cm (Dassanayake, 1994). Tanaman ini dapat tumbuh di lahan-lahan kering karena relatif sedikit membutuhkan air.

Tanaman hotong mempunyai batang yang liat, semakin kering batang tanaman hotong setelah dikeringkan akan semakin berkurang sifat liatnya. Malai merupakan lanjutan dari batang, hanya saja tumbuh cabang-cabang yang semakin ujung posisinya semakin kompak. Cabang terdiri dari koloni kulit ari yang berisi biji hotong. Panjang malai hotong rata-rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan memiliki berat rata-rata 5.7 gram permalai. Biji hotong memiliki panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm dan ketebalan 1.1 mm (Kharisun, 2003). Umur panen buru hotong adalah 75-90 hari setelah tanam, tergantung jenis tanah dan lingkungan tempat pembudidayaan. Waktu penanaman buru hotong terbaik adalah pada bulan Juli hingga pertengahan bulan Agustus pada daerah-daerah beriklim tropis, misalnya di wilayah India bagian selatan (Krishiworld, 2005).

Varietas tanaman hotong yang dibudidayakan dewasa ini lebih dari satu spesies. Tiga spesies hotong yang banyak dibudidayakan adalah: Setaria italica (L.) Beauv, Setaria italica (Var.) Metzgeri, danSetaria italica (Var.) Stramiofructa (Dassanayake, 1994).

Tanaman hotong dapat dimanfaatkan sebagai pengganti beras dan sebagai bahan produk pangan lain seperti wajik dan bubur. Andarwulan (2003) melaporkan bahwa biji buru hotong memiliki kandungan karbohidrat sebesar 73.36 % dan protein sebesar 11.18 %. Rokhani, et al (2003) melaporkan juga bahwa biji buru hotong memiliki kandungan protein dan lemak yang cukup tinggi, sedangkan kandungan karbohidratnya hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada biji hermada (Sorghum bicolour (L.) Moench). Kandungan lemak biji hotong sebesar 2.4 %, sedangkan kandungan protein sebesar 11.2 %. Komposisi kimia biji buru hotong, biji hermada, dan beras dapat dilihat pada Tabel 1.


(29)

Di kabupaten Buru, biji hotong selain dimanfaatkan sebagai pengganti beras, juga dapat diolah menjadi aneka macam makanan seperti wajik, bubur, kue, dan lain-lain. Komponen utama biji hotong adalah pati, protein, dan lemak. Selain itu, terdapat gula bebas dan polisakarida non-pati lainnya dalam jumlah kecil (Ohara, 1981; Malleshiet al., 1986).

Tabel 1. Komposisi kimia biji buru hotong dibandingkan dengan biji hermada dan beras

Biji Hermada Komponen

Jepanga) ASb)

Hotongb) Berasa)

Karbohidrat 75 72 73 70-80

Protein 9.4 11.3 11.2 4.0-5.0

Lemak 4.2 5.2 2.4 1.0-2.0

Serat kasar 8.3 8.5 - 8.0-15.0

Abu 3.8 3.3 1.3 2.0-5.0

a) http//www.Republika. co. id/9810/11/341.html b) Hasil analisis dari Laboratorium IPB

Sumber: Rokhaniet al. (2003)

B. PATI

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik dan termasuk dalam kelompok polisakarida. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1997). Pati merupakan butiran kecil yang disebut granula yang tersimpan di dalam sel tanaman. Ukuran dan bentuk dari granula pati berbeda untuk setiap jenis tanaman. Granula pati tidak larut di dalam air dingin (Parker, 2003). Pati terdiri dari dua jenis, yaitu waxy dan non waxy. Pati waxy mengandung komponen amilosa dan amilopektin, sedangkan pati non waxy hanya mengandung amilopektin dan tidak mengandung amilosa atau sangat sedikit mengandung amilosa (Nakamura et al., 1995).


(30)

Amilosa adalah polisakarida yang terdiri dari glukosa yang membentuk rantai linear dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa. Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena kehadiran amilosa berpengaruh terhadap pembentukan gel (Parker, 2003). Sebuah rantai amilosa mengandung lebih dari 250 unit D-glukosa yang satu sama lain diikat oleh ikatan (1-4) glikosidik. Amilosa memberikan kompleks warna biru sewaktu berinteraksi dengan iodin (Baianu, 1992). Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 2.

Berat Amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan, secara umum amilosa yang diperoleh dari umbi-umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan amilosa dari pati biji-bijian (Hodge dan Osman, 1976). Umumnya pati memiliki kadar amilosa sekitar 25 % (Fennema, 1996). Kadar amilosa bervariasi tergantung jenis patinya (Tabel 2).

Tabel 2. Kadar amilosa beberapa jenis pati Jenis pati Kadar amilosa (%)

Jagung 28

Kentang 21

Tapioka 17

Gandum 28

Hotong (foxtail millet)* 11.4-27.1 Sumber: Fennema (1996)

*Fujitaet al. (1996)

Amilopektin merupakan polisakarida yang mempunyai ikatan -(1,4)-D-glukosa pada rantai lurusnya dan ikatan -(1,6)--(1,4)-D-glukosa pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 % dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Winarno, 1997). Amilopektin mempunyai sekitar 105 – 106 unit glukosa dengan berat molekul sekitar 1.6 x 107 – 1.6 x 108 gram/mol. Amilopektin memberikan kompleks warna ungu sewaktu berinteraksi dengan iodin (Baianu, 1992). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.


(31)

Gambar 2. Struktur amilosa dan amilopektin (Haworthprojection) (Baianu, 1992)

C. GELATINISASI PATI

Gelatinisasi pati merupakan aspek yang sangat penting dalam pembuatan mi hotong instan. Pati digunakan sebagai pembentuk struktur sekaligus sebagai bahan pengikat. Pati yang tergelatinisasi merupakan bahan pengikat matriks adonan yang cukup baik. Beberapa prinsip dasar gelatinisasi yaitu konsep dan mekanisme gelatinisasi pati, suhu gelatinisasi, serta sifat birefringence.

1. Konsep Gelatinisasi Pati

Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30 %. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55o C - 65o C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali

O CH2OH

OH

OH O O

O CH2OH

OH

OH

O CH2OH

OH

OH O

O CH2OH

OH

OH

O O

n

O CH2OH

OH OH O O O CH2 OH OH O CH2OH

OH

OH

O O

O CH2OH

OH OH O O n n'


(32)

pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno, 1997).

Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro, 1979).

Selain fenomena gelatinisasi, pati juga dapat mengalami proses retrogradasi dan sineresis. Apabila pati yang telah tergelatinisasi tidak mengalami pemanasan lebih lanjut, maka pati tersebut akan mengalami pengkristalan. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian luar granula yang membengkak. Bila gel dibiarkan selama beberapa hari, air tersebut dapat keluar dari bahan. Keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati disebut sineresis (Winarno, 1997).

2. Mekanisme gelatinisasi

Menurut McCready (1970), dengan semakin naiknya suhu suspensi pati dalam air maka pengembangan granula semakin besar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hirogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Suhu suspensi yang semakin meningkat akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah, sedangkan di lain pihak molekul-molekul air memiliki energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula. Pada akhirnya jika suhu suspensi masih tetap naik, maka granula akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kekentalan.


(33)

Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula tersebut. indeks refraksi pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air dan hal inilah yang menyebabkan sifat translusen (Winarno, 1997)

Menurut Swinkels (1985), mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap antara lain: (1) granula pati menyerap air sampai batas hampir mengembang dimana air secara perlahan-lahan berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula; (2) granula mengembang secara cepat karena menyerap air sampai kehilangan sifat birefringencenya; (3) jika cukup air dan suhu terus naik maka granula pecah sehingga molekul amilosa keluar dari granula. Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.

3. Suhu Gelatinisasi

BeMiller dan Wistler menyatakan (1985) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati (Tabel 3). Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang.

Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah. Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin lambat tercapai. Selain konsentrasi, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh pH larutan. Bila pH terlalu tinggi, pembentukan gel makin cepat tercapai, sedangkan bila pH terlalu rendah terbentuknya gel lambat dan bila pemanasan diteruskan, viskositas akan turun. Penambahan


(34)

gula juga berpengaruh pada kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan. Hal ini disebabkan gula akan mengikat air sehingga pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi lebih tinggi. Adanya gula akan menyebabkan gel lebih tahan lama terhadap kerusakan mekanik. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan menggunakan alat viskosimeter dan polarized microscope (Winarno, 1997). Gelatinisasi juga dipengaruhi oleh kehadiran lemak. Lemak dapat membentuk kompleks dengan pati sehingga memperlambat gelatinisasi. Tidak adanya lemak pada pati mengakibatkan peningkatan pembengkakan pati (Karet al., 2005).

Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Penambahan air akan memecah kristalinitas amilosa dan merusak keteraturan bentuk amilosa. Granula mengembang.

Penambahan panas dan air yang berlebihan menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai berdifusi keluar granula.

Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel


(35)

Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)

Beras 65-73

Ubu jalar 82-83

Tapioka 59-70

Jagung 61-72

Gandum 53-64

Hotong * 62.5-75.1

Sumber: Fennema (1996), * Fujitaet al., (1996)

4. SifatBirefringence

Sifatbirefringence pati yaitu sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap terang (biru-kuning). Sifat birefringence dapat diketahui dengan melakukan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat kristal. Pada pati mentah dan belum mendapat perlakuan akan didapati pola birefringence yang jelas daerah gelap dan terangnya. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lebih lemah jika dibandingkan pati dengan kadar amilopektin tinggi. Jika pati dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang (Hoseney, 1998). Pada waktu granula mulai pecah, sifat birefringence ini akan menghilang (Winarno, 1997).

D. MI

Mi mula-mula berasal dari daratan Cina. Mi sangat popular di Asia terutama Asia bagian timur. Mi dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan utama (Sunaryo, 1985).

Mi adalah bahan pangan berbentuk pipih dengan diameter 1.8 mm sampai 3.2 mm dibuat dari terigu dengan penambahan telur, tapioka, melalui proses ekstrusi basah (Matz, 1962). Berdasarkan ukuran diameter, produk mi dibedakan menjadi tiga yakni spaghetti (2.8-6.9 mm), mi komersial pada


(36)

umumnya (1.8-3.2 mm), dan vermicelli (kurang dari 1.02 mm). Berdasarkan asal bahan baku produk dapat dibagi menjadi dua yaitu kelompok mi keruh (noodle) dari bahan tepung terutama tepung terigu dan mi trasparan (transparant noodle) dari bahan pati misalnya bihun (dari pati beras) dan mi Cina (dari pati ubu jalar) (Yustiareni, 2000). Berdasarkan bahan bakunya, mi juga dapat dikelompokkan ke dalam mi gandum, mi pati, dan mi beras (Kim, 1999).

Secara umum, proses pembuatan mi terdiri dari tahap pencampuran bahan, pembuatan adonan, pencetakan, dan pengukusan. Proses pencetakan atau ekstrusi dilakukan dengan memipihkan adonan dengan alatroll press dan dicetak menjadi alur-alur sampai diameter 1-2 mm sehingga dihasilkan mi mentah (digunakan untuk mi ayam). Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100 oC selama 5 menit dan dibiarkan dingin pada suhu kamar akan dihasilkan mi matang (digunakan untuk mi baso) dan dilanjutkan dengan pengeringan (penjemuran matahari 60 oC selama 7 jam) menjadi mi kering. Setelah proses ekstrusi, bila digoreng pada suhu 140-150 oC sampai kadar air 3-5 % dan dikeringanginkan akan menjadi mi instan (Sunaryo, 1985). Walaupun pada prinsipnya mi dibuat dengan cara yang sama, tetapi di pasaran dikenal beberapa jenis mi, seperti mi segar/mentah, mi basah, mi kering, dan mi instan (Astawan, 1999). Proses pembuatan mi ini merupakan proses pembuatan mi terigu pada umumnya.

Proses pembuatan non-terigu seperti mi bihun, soun, dan jagung berbeda dengan proses pembuatan mi terigu. Pada proses pembuatan mi non-terigu, adonan mengalami pengukusan terlebih dahulu sebelum pembentukan lembaran adonan (pencetakan). Pengukusan ini dilakukan untuk menggelatinisasi pati di dalam adonan sehingga adonan menjadi kompak dan mudah dicetak.

E. Mi Instan

Definisi mi instan menurut SNI 01-3551-1994 adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan


(37)

siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Definisi ini ditujukan untuk mi instan terigu.

Berdasarkan proses pengeringannya, dikenal ada dua macam mi instan. Pengeringan yang dilakukan dengan cara menggoreng, menghasilkan mi instan goreng (instant fried noodle), sedangkan pengeringan dengan udara panas disebut mi instan kering (instant dried noodle). Mi instan goreng mampu menyerap hingga 20 % selama penggorengan (Astawan, 1999).

Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi instan adalah terigu atau tepung beras atau tepung lainnya dan air. Bahan tambahan yang digunakan antara lain garam, air abu, bahan pengembang, zat warna, dan bumbu-bumbu (Sunaryo, 1985).

Menurut Astawan (1999), tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. Keistimewaan terigu diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mi menyebabkan mi yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat (akan mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memilki pH antara 6-9. Fungsi garam dapur adalah memberi rasa, memperkuat tekstur mi, dan mengikat air. Selain itu, garam dapur juga dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.

Secara umum, penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein. Penggunaan telur terutama putih telur harus secukupnya saja, karena pemakaian yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan mi menyerap air (daya rehidrasi) waktu direbus. Soda abu merupakan campuran natrium karbonat dan kalium karbonat (1:1). Soda abu berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi, meningkatkan kehalusan tekstur, serta meningkatkan sifat kenyal (Astawan, 1999)

Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mi. Fungsi


(38)

dari zat warna adalah memberi warna khas mi sedangkan bumbu-bumbu digunakan untuk memberi flavor tertentu. Di dalam pembuatan mi kadang-kadang ditambahkan CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) sebagai bahan pengembang dan bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air serta mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan (Sunaryo, 1985).

Proses pembuatan mi instan terigu terdiri dari beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain persiapan bahan, mixing, rolling dan noodle formation, cutting,steaming, molding, frying,cooling, danpackaging. Proses mixing ini bertujuan untuk mendistribusikan ingredient secara seragam dan membentuk adonan yang kompak. Rolling adalah pembentukan lembaran yang tipis dengan ukuran yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemudian lembaran adonan dibentuk menjadi untaian mi (noodle formation). Proses selanjutnya adalah cutting yaitu proses pemotongan untaian mi dengan ukuran tertentu. Prosessteaming adalah proses pengukusan untaian mi (Kim, 1996).

Mi yang telah dipotong sesuai ukuran dan telah dikukus, diletakkan di sebuah wadah yang disebut molder sebelum dilanjutkan ke penggorengan. Proses ini disebut molding. Penggorengan adalah proses pengeringan dengan menggunakan minyak sebagai media. Penggorengan dilakukan pada suhu 145-150 oC selama 60-70 detik untuk mi dalam kemasan biasa dan 157-160oC selama 90-120 detik untuk mi dalamcup. Selama proses penggorengan terjadi penghilangan air dalam jumlah yang besar dan penyerapan minyak ke dalam mi. Selain itu, penggorengan juga memberikan proses gelatinisasi tambahan pada pati. Oleh karena itu, selama proses penggorengan akan terjadi kehilangan bobot mi sekitar 30-32 % (mi dalam kemasan biasa) dan 32-33 % (mi dalam cup) (Kim, 1996).

Tahap terakhir yaitu pendinginan (cooling) sebelum mi dikemas. Pendinginan dilakukan dengan hembusan udara atau kipas dalam lorong pendingin. Proses pendinginan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi minyak karena suhu mi setelah digoreng cukup tinggi yaitu 140oC. Setelah didinginkan, mi langsung dikemas (Kim, 1996).


(39)

F. PENDUGAAN UMUR SIMPAN DENGAN METODE AKSELERASI Institute of food Technologist di dalam Arpah (2001) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Umur simpan menurut Floros (1993) adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degaradasi mutu tertentu.

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimia yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu, hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima konsumen. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya pangan tersebut menurun gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Pendugaan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama selang waktu tertentu. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa perubahan mutu pangan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut. Oleh karenanya dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.

Menurut Syariefet al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.


(40)

2. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume.

3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan. 4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air,

gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagain yang terlipat.

Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) danAccelerated Storage Studies (ASS).

ESS yang sering juga disebut metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pangamatan terhadap penurunan mutunya hinga mencapai tingkat mutu kadaluarsanya. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini, metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluarsa kurang dari 3 bulan (Arpah, 2001)

Berbeda halnya dengan metode ESS, metode ASS membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan, metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan sehingga kerusakan yag berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan pengamati parameter perubahan yang berlangsung (Arpah, 2001).

Metode akselerasi ini pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu: 1). Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluarsa dan 2). Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan


(41)

yang menggunakan teori kinetika yang pada umunya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001).

Menurut Syarif dan Halid (1993), untuk menganalisis penurunan mutu dengan metode akselerasi diperlukan beberapa pengamatan yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, atau uji mikrobiologi, seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, uji cita rasa, tekstur, warna, total

mikroba, dan lain sebagainya. Jenis parameter yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak, parameternya biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud bubuk, cair, atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji tidak semua parameter, melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat yang mempengaruhi penerimaan konsumen.

Metode Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu. Kemudian tabulasi data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut dimasukkan ke dalam persamaan Arrhenius sehingga dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) dan umur simpan masing-masing produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan. Pada model Arrhenius, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi laju reaksi berbagai senyawa kimia yang akan semakin mempercepat pula penurunan mutu produk (Haryadiet al., 2006). Produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produkchip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan) (Kusnandar, 2006).


(42)

1. Reaksi Ordo Nol

Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi perubahan kadar air, reaksi kerusakan enzimatis, oksidasi lemak (ketengikan pada snacks dan dry food), pencoklatan enzimatis dan non -enzimatis (Labuza, 1982 dan Haryadi et al., 2006). Persamaan ordo nol yaitu (Arpah, 2001):

Keterangan:

dA = perubahan parameter mutu dt = waktu penyimpanan k = konstanta

Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka:

sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan:

Keterangan :

t = umur simpan (hari)

Ao = nilai mutu awal/konsentrasi mula-mula

At = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluarsa (titik kritis)

k = konstanta

2. Reaksi Ordo Satu

Penurunan mutu yang mengikuti reaksi ordo satu antara lain ketengikan pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba, off flavor oleh mikroba pada daging dan ikan, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein (Labuza, 1982 dan Haryadiet al., 2006). Persamaan ordo satu yaitu (Arpah, 2001):

k dt dA

= −

k A A t= ot

t k A At = o− .

[ ]

A k dt dA

= −


(43)

Keterangan:

[A] = konsentrasi A

Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:

atau

sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan:

3. Reaksi Ordo Lain

Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti orde ini, misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Haryadiet al., 2006). Contoh persamaan ordo dua yaitu (Arpah, 2001):

Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:

sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan: kt o t Ae

A = −

( ) ( )

At ln Ao k.t

ln = −

[ ]

2 A k dt dA = − t k A At o .

1 1 = − k A k A t o t . 1 . 1 − =

( ) ( )

k A A


(44)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama terdiri dari tepung hotong dan air. Bahan-bahan lainnya antara lain: CMC, garam dapur (NaCl), baking powder, dan minyak goreng. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain: H2SO4, H3BO3, HCl, NaOH, Na2SO3, HgO, K2SO4, heksana, aquades,

pereaksi TBA, asam asetat glasial, dan alkohol 70 %. Kemasan yang

digunakan adalah kemasan metalized yang dilaminasi Low Density Polyethylene(LDPE).

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan mi terdiri dari timbangan analitik, panci, baskom, kain saring, kompor, nampan plastik, sendok, alat pencetak mi, alat penggorengan, sealer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain: inkubator pada suhu 35 oC, 45 oC, dan 55 oC, peralatan untuk analisis fisik dan organoleptik, cawan alumunium, cawan porselin, desikator, tanur, jepitan, gelas piala, gelas ukur, labu Erlenmeyer, labu takar, tabung reaksi, labu Kjedahl, batu didih, alat destilasi, buret, kertas saring, labu soxhlet, batang pengaduk, spatula, danheater, dan alat gelas lainnya.

B. METODE PENELITIAN

1. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Tepung Hotong)

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk membuat tepung hotong dari biji hotong. Proses pembuatan tepung hotong dilakukan dengan beberapa tahap yaitu tahap pengeringan, penyosohan, pemisahan, dan penepungan (Gambar 4). Berbeda halnya dengan gabah, biji hotong langsung mengalami tahap penyosohan yang sekaligus juga berfungsi sebagai alat pengupas, sedangkan beras melalui tahap pengupasan terlebih dahulu yang terpisah dengan tahap penyosohan. Hal ini dikarenakan biji hotong tidak mempunyai sekam seperti gabah, sehingga dalam pembuatan tepung hotong, biji hotong langsung dikupas dan disosoh dalam mesin penyosoh yang sama. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan


(45)

penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan pengering buatan. Pengoperasian mesin penyosoh dan penepung biji hotong akan lebih optimal pada saat kadar air biji hotong sebesar 11.1 % (bb) (Sutanto, 2006).

Penyosohan dengan mesin penyosoh

Pemisahan biji hotong yang tersosoh, tidak tersosoh, kulit, dedak, dan tepung

Penggilingan dengandisc mill

Pengayakan 100 mesh

Gambar 4. Proses pembuatan tepung hotong (Modifikasi Sutanto, 2006 dan Kalabadi, 2007).

2. Penelitian Utama

2.1. Formulasi dan Optimasi Proses Pembuatan Mi Hotong Instan Proses pembuatan mi hotong yang dikembangkan mengacu pada proses pembuatan mi jagung instan (Budiyah, 2004). Hal ini dilakukan karena tepung hotong tidak mengandung gluten sehingga diperlukan bahan tambahan lainnya dan proses pregelatinisasi adonan mi dengan cara pengukusan. Proses pengukusan bertujuan untuk memudahkan pembentukan lembaran mi dan pencetakan mi.

Biji hotong

Biji yang tersosoh dan tepung


(46)

Pada tahap formulasi, bahan yang digunakan untuk pembuatan mi hotong ini terdiri dari tepung hotong, air, CMC, garam dapur (NaCl), danbaking powder. Jumlah air yang ditambahkan yaitu 30 %, 35 %, dan 40 % dari berat tepung hotong, sedangkan penambahan CMC, garam , danbaking powder tetap, masing-masing sebesar 1 %, 1%, dan 0.3 % dari berat tepung hotong. Model formulasi pembuatan mi hotong dapat dilihat pada Tabel 4. Pada tahap proses pembuatan mi hotong, optimasi proses yang dilakukan adalah optimasi lama pengukusan. Lama pengukusan yang dicoba yaitu selama 10 menit, 15 menit, dan 20 menit. Diagram proses pembuatan mi hotong instan dapat dilihat pada Gambar 5.

Jadi untuk lebih jelasnya, jumlah air yang ditambahkan dan waktu pengukusan dapat dilihat sebagai berikut:

A1 = Air 30%, lama pengukusan 10 menit A2 = Air 30%, lama pengukusan 15 menit A3 = Air 30%, lama pengukusan 20 menit B1 = Air 35%, lama pengukusan 10 menit B2 = Air 35%, lama pengukusan 15 menit B3 = Air 35%, lama pengukusan 20 menit C1 = Air 40%, lama pengukusan 10 menit C2 = Air 40%, lama pengukusan 15 menit C3 = Air 40%, lama pengukusan 20 menit

Tabel 4. Formula mi hotong

Formula (% dari berat tepung hotong) Komposisi

A B C

Tepung hotong (300 gram) 100 100 100

Air 30 35 40

CMC 1 1 1

Garam dapur 1 1 1


(47)

Prosesmixing

Pengukusan adonan: 10, 15, dan 20 menit

Pembuatan lembaran (ketebalan 1.6 mm)

Pencetakan mi

Pengeringan (penjemuran ± 2 jam)

Penggorengan ± 150oC-170oC selama 30 detik

Pendinginan

Gambar 5. Proses pembuatan mi hotong (Modifikasi metode Budiyah, 2004 dan metode Fitriani, 2004).

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Model rancangannya adalah sebagai berikut :

Y

ijk

= +

i

+

j

+ (

)

ij

+

ijk Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan = nilai rata-rata umum

i = pengaruh faktor jumlah air taraf ke-i j = pengaruh faktor lama pengukusan taraf ke-j

)ij= pengaruh interaksi antara jumlah air taraf ke-i dan faktor

lama pengukusan taraf ke-j

ijk = galat percobaan

Bahan (Formula 1,2, atau3)


(48)

2.2. Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong dengan Metode Arrhenius (Arpah, 2006; Haryadiet al., 2006; Kusnandar dan Sutrisno, 2006).

Pendugaan umur simpan dilakukan terhadap produk mi hotong terpilih (mi hotong pra rehidrasi) yang diperoleh dari uji organoleptik. Percobaan untuk menentukan umur simpan dilakukan dengan metode Arrhenius. Tahap-tahap pendugaan umur simpan yaitu penetapan mutu produk mi hotong/sampel, proses penyimpanan produk, penentuan batas kadaluarsa, penentuan ordo reaksi, dan perhitungan umur simpan.

a. Penetapan aribut mutu produk sebagai faktor kritis penentu umur simpan

Penetapan atribut mutu produk dilakukan dengan mengamati perubahan mutu produk yang paling cepat mengalami kerusakan dan paling berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Penentuan atribut mutu ini dilakukan melalui pengamatan sampel setiap hari yang disimpan pada suhu tinggi, yaitu 80 oC. Pengamatan dilakukan hingga terdeteksi terjadinya perubahan mutu yang dapat diuji secara sensori.

b. Proses penyimpanan produk dan penentuan batas kadaluarsa Penyimpanan dilakukan untuk mengetahui perubahan mutu dari produk/sampel. Perubahan mutu yang diamati meliputi perubahan secara subyektif (pengukuran dengan organoleptik) dan obyektif (pengukuran dengan alat/instrumen). Sampel disimpan dalam bentuk kemasan metalized pada suhu 35 oC, 45 oC, dan 55 oC. Sampel yang dibutuhkan sekitar 40 bungkus (35 gram mi hotong per bungkus) yang telah dikemas dengan kemasan metalized.

Pengamatan subyektif (uji organoleptik) dilakukan pada hari ke- 1, 7, 11, 16, 21, 25, dan seterusnya sampai sampel benar-benar tidak dapat diterima oleh panelis (batas kadaluarsa) dalam bentuk penilaian dengan skor. Penetapan batas skor ini dilakukan dengan


(49)

diskusi bersama atau FGD (focus group discussion) dengan panelis pada hari ke-0. Pengamatan obyektif dilakukan pada hari ke-0, 7, 14, 21, dan 28. Pengamatan obyektif juga dilakukan pada saat sampel tidak diterima yaitu saat batas kadaluarsa.

Uji organoleptik menggunakan 16 orang panelis tetap semi terlatih. Panelis merupakan mahasiswa dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang sudah cukup mengenal dan mampu mendeteksi perubahan mutu suatu produk. Panelis dilatih dengan cara memperkenalkan beberapa contoh sampel yang sudah mengalami tingkat perubahan mutu yang telah ditetapkan (poin a) dengan skor tertentu. Skor yang digunakan yaitu skor 1-5.

c. Penentuan ordo reaksi

Penentuan ordo reaksi dilakukan setelah data perubahan nilai mutu diperoleh baik secara subyektif maupun obyektif. Data-data hubungan waktu penyimpanan dengan perubahan nilai mutu diplot pada masing-masing suhu penyimpanan (35 oC, 45 oC, dan 55oC) menggunakan plot ordo nol dan satu. Kemudian, persamaan regresi linear dari masing-masing data tersebut ditentukan sehingga diperoleh ordo reaksi yang paling sesuai (dengan nilai R2/ korelasi yang lebih dekat ke nilai 1).

d. Perhitungan umur simpan

Umur simpan pada temperatur tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k dan nilai temperatur yang telah diketahui. Nilai k dihubungkan dengan temperatur menggunakan persamaan Arrhenius:

atau dalam bentuk logaritma

atau bentuk persamaan linear

ax b y= +

(EaRT)

oe k

k = −

T R Ea k

k ln o .1

ln       − =


(50)

dimana: y = ln k; x = 1/T

Umur simpan ordo nol:

Umur simpan ordo satu:

Keterangan :

t = umur simpan (hari)

Ao= nilai mutu awal/konsentrasi mula-mula

At = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluarsa

(titik kritis)

k = konstanta (laju reaksi) Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K)

R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)

C. METODE ANALISIS 1. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk menganalisis tingkat kesukaan atau penerimaan panelis terhadap produk mi hotong instan berdasarkan kriteria warna, rasa, dan aroma, tekstur, dan keseluruhan (overall). Uji ini dilakukan terhadap produk mi hotong yang belum direhidrasi (pra rehidrasi) dan mi yang telah direhidrasi (pasca rehidrasi). Dalam penyajiannya, mi hotong pasca rehidrasi tidak ditambahkan bumbu penyedap, hanya menggunakan air matang biasa sebagai kuah mi. Pengamatan dibedakan menjadi mi pra rehidrasi dan pasca rehidrasi.

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Skor penilaian yang digunakan yaitu pada kisaran 1 sampai 7. Skor 1 =sangat tidak suka, 2 =tidak suka, 3 =agak tidak suka, 4 =netral, 5 =agak suka, 6 =suka, 7 =sangat suka. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat

k A A t= ot

( ) ( )

k A A


(51)

kesukaan panelis maka dilakukan analisis ragam terhadap data hasil uji organoleptik. Jika berdasarkan analisis ragam (ANOVA) dinyatakan ada pengaruh nyata pada perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Berdasarkan uji ini, maka akan dicari satu produk terpilih, kemudian produk terpilih ini dilakukan analisis fisik, proksimat, dan pendugaan umur simpan.

Agar lebih teliti, maka dilakukan uji pembobotan terhadap atribut warna, rasa, dan aroma, dan tekstur untuk mendapatkan produk terpilih. Uji pembobotan dilakukan oleh 30 panelis. Panelis diminta mengurutkan atribut dari yang sangat penting (no. 1) sampai yang sangat tidak penting (no. 4) yang mempengaruhi penerimaan panelis terhadap mi hotong. Atribut yang sangat penting diberi skor tertinggi (skor 4) dan sangat tidak penting diberi skor terkecil (skor 1).

2. Analisis Fisik

Analisis fisik dilakukan terhadap produk akhir mi hotong terpilih yang mencakup mi pra rehidrasi dan mi pasca rehidrasi. Analisis untuk mi pra rehidrasi meliputi daya serap air, kehilangan padatan akibat pemasakan, dan waktu optimum rehidrasi, sedangkan analisis untuk mi pasca rehidrasi meliputi warna, kekerasan, dan kelengketan. Analisis fisik juga dilakukan terhadap adonan saat pengukusan untuk produk terpilih. Analisis ini adalah pengukuran derajat gelatinisasi. Selain itu juga dilakukan pengamatan granula pati hotong dengan mikroskop polarisasi.

a. Analisis Warna denganChromameter (Hutching, 1999)

Sampel diletakkan dan ditumpuk pada cawan petri dengan alas putih sampai mi terisi penuh dan rapat dalam cawan petri. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0 - 100 untuk warna merah, a- = 0 - (-80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0- (-70) untuk warna biru).


(52)

Nilai oHue dikelompokkan sebagai berikut: oHue 18-54 =Red,

o

Hue 54-90 =Yellow red,oHue 90-126 =Yellow,oHue 126-162 =Yellow green, oHue 162-198 =Green, oHue 198-234 =Blue green, oHue 234-270 =Blue, oHue 270-306 =Blue purple, oHue 306-342 =Purple, oHue 342-18 =Red purple.

b. Analisis Kekerasan dan Kelengketan dengan Texture Analyzer TAXT-2

Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan dinyatakan dalam satuan gram force (gf). Pengaturan TAXT-2 yang digunakan adalah sebagai berikut:

Test Mode and Option : TPA Pre test speed : 2.0 mm/s

Test speed : 0.1 mm/s

Post test speed : 2.0 mm/s Rupture test speed : 1.0 mm

Distance : 75.0 %

Force : 100 g

Time : 5.00 sec

Count :2

Mi sebanyak 2 untai dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (force) dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan denganabsolute (+)peakdan nilai kelengketan ditunjukkan denganabsolute (-)peak.

c. Pengukuran Daya Serap Air dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (OHet al., 1985)

Sebanyak 5 gram sampel yang telah diketahui kadar airnya dimasukkan ke dalam air mendidih (100 oC) selama 6.5 menit (tergantung lama rehidrasi), mi ditiriskan dan disirami air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Segera setelah itu dipindahkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan ditimbang (A). Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven 105°C selama kurang lebih


(53)

6 jam atau sampai beratnya konstan. Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (B).

Keterangan:

A = Berat cawan + sampel setelah direhidrasi B = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan C = Berat cawan

Kam = Kadar air mula-mula Bsm = Berat sampel mula-mula

d. Penentuan Waktu Optimum Rehidrasi

Air sebanyak 300 ml dipanaskan sampai mendidih, kemudian mi dimasukkan dalam air mendidih, dan dibiarkan sampai matang. Penentuan waktu rehidrasi dihitung dari mulai mi dimasukkan ke dalam air mendidih sampai mi benar-benar matang dan siap untuk dikonsumsi.

e. Derajat Gelatinisasi (IRRI, 1978)

Derajat gelatinisasi didefinisikan sebagai rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati dari produk. Pengukuran derajat gelatinisasi pada penelitian ini dilakukan terhadap sampel (adonan) yang mengalami pengukusan dari produk terpilih. Pengujian dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer.

Sampel pada pengukusan produk terpilih dihancurkan kemudian ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan dalam 100 ml air dalam wearing blender selama 1 menit. Suspensi ini kemudian diambil 10 ml dan disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil sebanyak 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung (duplo). Selanjutnya masing-masing ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M,

(

) (

)

(

1−

)

×100%

− − = Kam Bsm KamxBsm B A DSA

(

)

(

)

100%

1 1 × − − − = Kam Bsm C B KPAP


(54)

kemudian dijadikan 10 ml dengan akuades dan satu lagi ditambahkan 0.1 ml larutan iodin. Kedua contoh tersebut diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm.

Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram sampel yang sudah dihancurkan pada 95 ml air ke dalam wearing blender selama 1 menit, lalu ditambahkan 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit kemudian diambil 10 ml dan disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil sebanyak 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung (duplo). Selanjutnya masing-masing ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M, kemudian dijadikan 10 ml dengan akuades dan dan satu lagi ditambahkan 0.1 ml larutan iodin. Kedua contoh tersebut diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm.

Pengukuran dilakukan sebagai berikut: (1) larutan yang ditambah HCl digunakan sebagai blanko pati tergelatinisasi; (2) larutan yang ditambah HCl dan larutan iodin digunakan sebagai larutan pati tergelatinisasi; (3) larutan yang ditambah NaOH dan HCl digunakan sebagai blanko total pati; (4) larutan yang ditambah NaOH, HCl, dan iodin sebagai larutan total pati. Derajat gelatinisasi dihitung dengan rumus:

% gelatinisasi = x 100 %

3. Analisis Proksimat

Analisis proksimat ini dilakukan terhadap tepung hotong dan mi hotong pra rehidrasi yang terpilih. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secaraby difference.

Nilai absorbansi pati tergelatinisasi Nilai absorbansi total pati


(55)

a. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.0003 g). Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus:

Kadar air (% bb)

Kadar air (% bk)

Keterangan :

W0 = berat cawan kosong yang telah dikeringkan

W1 = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan

W2 = berat cawan + sampel setelah dikeringkan

b. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, berat cawan kosong ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya cawan yang berisi sampel dipijarkan diatas pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Pengabuan dilakukan di dalam tanur listrik pada suhu 400oC – 550oC selama 4 - 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Cawan yang berisi sampel tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan sebagai berikut:

Kadar abu (% bb) = (Wcawan + abu) – (Wcawan) x 100 % Berat sampel (gram)

% 100 1 2 1 × − − = o W W W W % 100 2 2 1 × − − = o W W W W


(56)

c. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak ± 0,2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0,01N/0,02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat,

dan batu didih. Sampel kemudian didekstruksi selama 1-1.5 jam hingga jernih dan didinginkan. Setelah itu, ditambahkan 2 ml air yang dimasukkan secara perlahan ke dalam labu dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan X) dimasukkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator

(Methylen red : Methylen blue = 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi

dilakukan hingga larutan dalam erlenmeyer ± 50 ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko.

Kadar N (%)

Kadar protein (% b/b) = % N x faktor konversi (6.25)

Keterangan:

Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml) C = Konsentrasi HCl (N)

W = Berat sampel (mg)

d. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring kemudian ditutup kapas bebas lemak, lalu dimasukkan ke dalam alat

(

)

14.007 100%

× ×

× − =

W C Vb Vs


(57)

ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya. Lalu dimasukkan pelarut heksana ke dalam alat dan sampel. Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstruksi dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar lemak (% b/b)

Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g)

c = berat sampel awal (g)

e. Kadar Karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat (% b/b) = 100 % - (A + B + P + L)

Keterangan : A = kadar air (% b/b) B = kadar abu (% b/b) P = kadar protein (% b/b) L = kadar lemak (% b/b)

4. Analisis Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) metode Tarladgis (Apriyantonoet al., 1989)

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti, lalu dimasukkan ke dalam wearing blender, kemudian ditambahkan 50 ml akuades dan dihancurkan. Sampel yang telah dihancurkan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml akuades. Selanjutnya, ditambahkan± 2.5 ml HCl 4 M (atau hingga pH menjadi 1.5). Sampel didestilasi dengan menggunakan pendingin tegak (alat destilasi) hingga diperoleh cairan destilat sebanyak 50 ml selama ± 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk hingga homogen dan dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup sebanyak 5 ml. Pereaksi TBA ditambahkan sebanyak 5 ml, kemudian divorteks hingga homogen. Larutan sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 35 menit kemudian didinginkan dengan air mengalir selama 10 menit.

% 100

× − =

c b a


(58)

Larutan blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi dengan cara yang sama seperti penetapan sampel. Larutan blanko digunakan sebagai titik nol dalam pengukuran absorbansi. Larutan sampel kemudian diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm. Bilangan TBA didefinisikan sebagai mg malonaldehid per kg sampel. Penghitungan bilangan TBA dalam sampel dilakukan melalui persamaan:

Keterangan:

TBA =Thiobarbituric Acid (mg malonaldehid per kg sampel) A528 = Nilai absorbansi pada 528 nm


(1)

Lampiran 17.Hasil Penilaian Terhadap Uji Pembobotan

Panelis Warna Aroma Rasa Tekstur

1 1 2 4 3

2 1 3 4 2

3 1 2 4 3

4 2 1 4 3

5 3 1 4 2

6 1 2 4 3

7 1 3 2 4

8 1 2 4 3

9 1 2 3 4

10 1 2 3 4

11 1 4 2 3

12 2 1 4 3

13 2 1 4 3

14 2 1 4 3

15 2 1 3 4

16 2 1 4 3

17 2 1 4 3

18 1 4 2 3

19 2 1 3 4

20 1 2 4 3

21 1 2 4 3

22 1 2 4 3

23 1 2 3 4

24 2 3 4 1

25 2 1 4 3

26 2 1 4 3

27 2 1 4 3

28 2 1 4 3

29 1 2 4 3

30 3 1 4 2

Total 47 53 109 91


(2)

Lampiran 18.Hasil Perhitungan Uji Pembobotan Pada Masing-Masing Atribut Hedonik

Nilai rata-rata kesukaan untuk tiap sampel pada masing-masing atribut hedonik

Warna Aroma Rasa Tekstur

Sampel

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

862 4.1 4.3 4.6 4.8 4.2 4.1 3.6 4.3

223 3.0 4.1 4.4 4.5 3.5 3.8 4.5 3.6

756 3.9 4.4 4.3 4.6 4.4 4.2 2.9 4.3

544 5.2 5.4 4.7 4.5 5.6 4.3 4.4 5.0

681 3.9 4.5 4.6 4.7 4.6 4.4 3.7 4.2

199 3.2 4.2 4.6 4.7 3.9 4.3 3.6 4.3

918 3.3 4.0 4.6 4.7 3.5 3.4 4.2 2.4

335 2.6 3.0 4.3 4.3 3.1 3.1 4.7 2.2

447 4.8 4.9 4.6 4.8 5.1 4.2 4.3 4.2

Total skor pembobotan tiap sampel

Warna Aroma Rasa Tekstur

Sampel

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Total

862 0.6 0.7 0.8 0.8 1.3 1.2 1.3 1.6 8.3

223 0.5 0.6 0.8 0.8 1.1 1.2 1.6 1.3 7.9

756 0.6 0.7 0.8 0.8 1.3 1.3 1.1 1.6 8.2

544 0.8 0.8 0.8 0.8 1.7 1.3 1.6 1.8 9.6

681 0.6 0.7 0.8 0.8 1.4 1.3 1.3 1.5 8.4

199 0.5 0.7 0.8 0.8 1.2 1.3 1.3 1.6 8.2

918 0.5 0.6 0.8 0.8 1.1 1.0 1.5 0.9 7.2

335 0.4 0.5 0.8 0.8 0.9 0.9 1.7 0.8 6.8

447 0.8 0.8 0.8 0.8 1.5 1.3 1.6 1.5 9.1

Keterangan:

A1 = 544 (air 30 %, pengukusan 10 menit) A2 = 862 (air 30 %, pengukusan 15 menit) A3 = 199 (air 30 %, pengukusan 20 menit) B1 = 447 (air 35 %, pengukusan 10 menit) B2 = 681 (air 35 %, pengukusan 15 menit) B3 = 918 (air 35 %, pengukusan 20 menit) C1 = 756 (air 40 %, pengukusan 10 menit) C2 = 223 (air 40 %, pengukusan 15 menit) C3 = 335 (air 40 %, pengukusan 20 menit)


(3)

Lampiran 19.Form Uji Organoleptik Pada Pendugaan Umur Simpan

Uji RatingOff Flavor (Ketengikan)

Nama : Tanggal:

Hp :

Sampel : Mi hotong Instruksi :

1. Sampel dicium dari kiri ke kanan dan bandingkan dengan control

2. Beri penilaian pada kolom yang tersedia dengan memberi tanda checklist ( ) Kode Sampel

Nilai Kriteria

135 145 155 5 Normal (sama dengan kontrol)

4 Off flavor(tengik) tercium sangat lemah 3 Off flavor(tengik) tercium lemah 2 Off flavor(tengik) tercium kuat 1 Off flavor(tengik) tercium sangat kuat

Apakah sampel masih dapat diterima? Ya


(4)

Lampiran 20.Skor OrganoleptikOff Flavor (Ketengikan) Pada Berbagai Tingkat Suhu Selama Penyimpanan

Suhu 35 Suhu 45 Suhu 55

Hari ke- Hari ke- Hari

ke-Panelis

1 7 11 16 21 25 1 7 11 16 21 25 1 7 11 16 21 25

1 5 5 5 4 4 4 5 5 4 4 4 3 5 5 4 4 3 2

2 5 5 5 5 4 4 5 5 4 4 4 3 5 4 4 4 3 3

3 5 4 3 3 3 2 5 4 3 3 2 2 5 4 2 2 2 1

4 5 5 4 4 4 4 5 5 4 4 4 4 5 4 4 3 3 2

5 5 5 4 3 3 3 5 4 3 3 3 3 4 4 3 3 3 1

6 5 5 5 4 4 4 5 5 4 4 4 3 5 4 3 3 3 2

7 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 5 5 4 4 3 3

8 5 5 4 4 4 4 5 5 4 4 4 4 5 5 4 3 3 2

9 5 5 5 5 5 4 5 5 4 4 3 2 5 4 4 3 3 2

10 5 5 5 5 5 4 5 5 5 4 3 3 5 5 4 3 3 2

11 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 4 4 3 3

12 5 5 5 4 4 4 5 4 4 4 4 3 5 4 4 4 2 1

13 5 4 4 4 4 3 5 4 4 4 4 3 5 4 3 3 3 3

14 5 5 5 5 4 4 4 4 3 3 3 2 5 4 4 2 2 1

15 5 5 5 5 5 3 5 5 5 4 4 3 5 4 4 3 2 1

16 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 3 5 4 4 3 3 2


(5)

Lampiran 21.Perhitungan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Berdasarkan Uji Sensori Terhadap Tingkat Ketengikan

Perhitungan Nilai k Persamaan Umur Simpan Ordo 0 Suhu

(oC) Hari

ke- Skor

Ln

Skor Ordo Slope Intersep Korelasi

Suhu

(oC) T (K)

1/T

(1/K) k Ln k Slope Intersep Korelasi

1 5.0 1.6094 35 308 0.003247 0.04599 -3.0792

7 4.9 1.5841 0 -0.04599 5.1209 0.9659 45 318 0.003145 0.07431 -2.5995

11 4.6 1.5315 55 328 0.003049 0.1204 -2.1171

-4858.3247 12.6892 0.9996 16 4.4 1.4759

21 4.3 1.4469 1 -0.01032 1.6398 0.9548 Persamaan Umur Simpan Ordo 1 35

25 3.9 1.3545 Suhu

(oC) T (K)

1/T

(1/K) k Ln k Slope Intersep Korelasi

1 4.9 1.5969 35 308 0.003247 0.01032 -4.5733

7 4.6 1.5315 0 -0.07431 5.0240 0.9583 45 318 0.003145 0.01868 -3.9800

11 4.0 1.3863 55 328 0.003049 0.03663 -3.3070

-6389.7472 16.1534 0.9970 16 3.9 1.3545

21 3.6 1.2879 1 -0.01868 1.6316 0.9479 45

25 3.1 1.1192 Perhitungan Umur Simpan (Ordo 0)

1 4.9 1.5969

Suhu 27oC (300 K)

Suhu 35oC (308 K)

Suhu 45oC (318 K) 7 4.3 1.4615 0 -0.1204 5.0939 0.9884 Ln k -3.5052 Ln k -3.0845 Ln k -2.5885

11 3.7 1.3049 k 0.03004 k 0.04575 k 0.07513

16 3.2 1.1592

21 2.8 1.0116 1 -0.03663 1.6937 0.9499 55

25 1.9 0.6614

Umur Simpan (Bulan) 3.33 Umur Simpan (Bulan) 2.19 Umur Simpan (Bulan) 1.33


(6)

Lampiran 22.Perhitungan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Berdasarkan Pengukuran Bilangan TBA

Perhitungan Nilai k Persamaan Umur Simpan Ordo 0 Suhu

(oC) Hari

Ke-Nilai TBA

Ln

TBA Ordo Slope Intersep Korelasi T (

o

C) T (K) 1/T (1/K) k Ln k Slope Intersep Korelasi

0 0.6136 -0.4884 35 308 0.003247 0.02054 -3.8854

7 0.6344 -0.4551 0 0.02054 0.5637 0.9575 45 318 0.003145 0.04405 -3.1224

14 0.871 -0.1381 55 328 0.003049 0.06028 -2.8087

-5459 13.9073 0.9528

21 0.975 -0.02532 Persamaan Umur Simpan Ordo 1

35

28 1.1622 0.1503 1 0.02439 -0.5328 0.9558 T (oC) T (K) 1/T (1/K) k Ln k Slope Intersep Korelasi 35 308 0.003247 0.02439 -3.71363

0 0.6136 -0.4884 45 318 0.003145 0.03947 -3.23222

7 0.8008 -0.2221 0 0.04405 0.5340 0.9655 55 328 0.003049 0.04615 -3.07594

-3236.25 6.8439 0.9295 14 1.1076 0.1022

21 1.352 0.3016 Perhitungan Umur Simpan (Ordo 0)

45

28 1.8798 0.6312 1 0.03947 -0.4877 0.9957 Suhu 27oC (300 K)

Suhu 35oC (308 K)

Suhu 45oC (318 K)

0 0.6136 -0.4884 Ln k -4.2894 Ln k -3.8167 Ln k -3.2594

7 1.04 0.03922 0 0.06028 0.5782 0.9878 k 0.01371 k 0.02200 k 0.03841 14 1.3078 0.2683

21 1.8122 0.5945 55

28 2.3374 0.8490 1 0.04615 -0.3935 0.9774

Umur Simpan (Bulan)

3.66

Umur Simpan (Bulan)

2.28

Umur Simpan (Bulan)

1.31 Keterangan: TBA Kritis = 2.1190