Faktor Lingkungan Media Kultur

Zulkarnain 2009 menyatakan bahwa beberapa sumber kontaminan mikroorganisme pada sistem kultur jaringan yaitu secara internal kontaminan terbawa di dalam jaringan, secara eksternal kontaminan berada di permukaan eksplan akibat prosedur sterilisasi yang kurang sempurna, kondisi eksplan, lingkungan kerja dan pelaksanaan penanaman yang kurang hati-hati dan kurang teliti, medium sebagai akibat proses strilisasi yang tidak sempurna serta dari serangga atau hewan kecil yang berhasil masuk ke dalam botol kultur setelah diletakkan di dalam ruang kultur ataupun ruang stok. Sumber kontaminan yang paling sulit diatasi adalah yang berasal dari eksplan. Oleh karena itu, dalam memilih suatu metode sterilisasi harus selektif.

2.2.4.3 Faktor Lingkungan

Hal-hal yang mutlak harus terkendali dalam kultur jaringan yaitu lingkungan yang mempengaruhinya kelembapan, temperatur, cahaya, serta kondisi yang steril Santoso dan Nursandi 2003. Menurut Zulkarnain 2009, kelembapan relatif di dalam ruang kultur sekitar 70, namun kebutuhan kelembapan didalam wadah kultur mendekati 90. Kisaran temperatur optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tidak selalu sama untuk setiap spesies tanaman. Santoso dan Nursandi 2003 menyatakan temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimum yaitu berkisar 20 °C hingga 30°C. Untuk pengaturan pencahayaan yang harus diperhatikan yaitu periodisasi pencahayaan dan intensitas pencahayaan.

2.2.4.4 Media Kultur

Media kultur dasar yang sering digunakan adalah media Murashige and Skoog yang memiliki keistimewaan yaitu memiliki kandungan nitrat, kalium dan amonium yang tinggi. Selain itu, media MS mengandung jumlah hara organik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur Gunawan 1987. Hendaryono dan Wijayani 1994 mengemukakan bahwa kondisi media tempat tumbuh yang harus terkendali yaitu kondisi keasaman atau pH. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan memiliki toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal pH yaitu antara 5,0 dan 6,0. Media kultur jaringan mengandung bahan-bahan essensial yaitu garam-garam anorganik, sumber karbon dan energi, vitamin dan zat pengatur tumbuh tanaman dan komponen-komponen pengoptimal pertumbuhan yaitu N-organik, asam organik, substrat komplek, arang aktif, dan lain-lain. Dalam kultur jaringan, beberapa garam organik yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak unsur makro diantaranya N, K, P, S anion, Ca, dan Mg kation, sedangkan garam organik yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit unsur mikro yaitu Fe, Mn, Zn, B, Cu dan Mo. Sumber karbon yang dianggap standar adalah sukrosa dan glukosa. Sumber karbon yaitu fruktosa juga dapat digunakan namun memiliki tingkat efektifitas yang kurang dibandingkan sukrosa dan glukosa. Vitamin dibutuhkan dalam jumlah kecil dan memiliki fungsi katalitik pada sistem enzim. Vitamin yang dianggap essensial yaitu tiamin vitamin B 1 . Pemberian tiamin mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan tidak ditambahkan tiamin. Beberapa vitamin lain yang ditambahkan yaitu asam p-aminobenzoat, asam askorbat vitamin C, biotin, kolin klorida, vitamin B 12 , asam folat, kalsium pantotenat, dan riboflavin vitamin B 2 Gamborg Shyluk 1981 dalam Santoso Nursandi 2003. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah 1mM dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman Moore 1979 dalam Purba 2009. Menurut Zulkarnain 2009, auksin merupakan sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA indole-3-acetic acid. Auksin yang sering ditambahkan dalam medium adalah indole-3- acetic acid IAA, α- naphthalenacetic acid α-NAA, dan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D. Menurut Hendaryono dan Wijayani 1994, peran auksin dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman menunjukkan indikasi auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, dan melunakkan dinding sel dengan diikuti menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang disertai kenaikan volume sel. Dengan adanya kenaikan sintesa protein maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan. Sitokinin merupakan senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman, serta dapat mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, sitokinin juga terlibat di dalam kontrol perkecambahan pucuk, mempengaruhi absisi daun, transport auksin, memungkinkan bekerjanya giberelin dengan menghilangkan penghambat tumbuh dan menunda penuaan. Sitokinin yang paling banyak digunakan yaitu kinetin, benziladenin BAP dan zeatin Kyte 1983 dalam Hendaryono Wijayani 1994. Peran sitokinin yang lain yang dikemukakan oleh Santoso dan Nursandi 2003 yaitu pemecahan dormansi, mendorong proses morfogenesis, pembungaan, pertunasan, pembentukan kloroplas dan pembukaan stomata. Huetteman dan Preece 1993 menyatakan bahwa BAP 6-benzyl amino purine dan TDZ Thiadiazuron merupakan dua jenis sitokinin dengan tipe urea yang berbeda. Sitokinin tipe urea seperti TDZ memiliki aktivitas lebih kuat dibanding tipe adenin atau purin seperti BAP. TDZ merupakan sitokinin yang juga bersifat merangsang multiplikasi pucuk dalam konsentrasi rendah dan dapat menghasilkan tunas kerdil dengan kualitas rendah pada konsentrasi yang tinggi. Menurut Devilana 2005, dalam kultur jaringan Nenas, TDZ dengan konsentrasi 1x10 -1 ppm menghasilkan jumlah tunas aksilar dan tunas adventif tertinggi pada lima minggu setelah tanam. Sukmadjaja et al. 2007 yang diacu dalam Isnaeni 2008 menyatakan bahwa penggunaan TDZ dan BAP sebagai salah satu zat pengatur tumbuh pada komoditas pisang dengan pemberian 0,1 ppm TDZ tanpa penambahan BAP serta pemberian BAP pada konsentrasi rendah 0,5 ppm yang dikombinasikan dengan TDZ 1,5 ppm merupakan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang memberikan hasil penambahan jumlah tunas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya.

2.2.5 Kultur Pucuk