Hubungan antara Penyakit Ginjal Kronis dengan Indeks Gingiva

Charles R dan Quinibi menjelaskan bahwa tahap serum fosfat yang normal adalah di bawah nilai 3,5mgdL, dan apabila nilai pemeriksaan melewati batas ini, maka individu tersebut diduga menderita penyakit ginjal kronis tahap 5. Nilai rerata dari penelitian ini seiring dengan nilai rerata kadar fosfat darah dari penelitian Charles R.N dan Qunibi WY, yaitu ± 6,2 mgdL. Selain itu, nilai serum kalsium juga memainkan peran yang penting sebagai indikator penyakit ginjal kronis. Pada individu dewasa, nilai normal adalah 8,6 – 10,3 mgdL dimana nilai 9,5 – 11,0 mg,dL akan dimasukkan ke nilai batas penyakit ginjal kronis. Hasil pemeriksaan dari sampel penelitian ini mencatat nila serum kalsium rerata ± 8,7 mgdL, namun ini dapat dijelaskan di mana pada kebanyakkan sampel penderita penyakit ginjal kronis di dalam penelitian ini memiliki nilai indikator lain seperti nilai fosfat P dan kreatinin darah yang melewati batas normal. Hasil penelitian mencatat tidak berlaku hubungan antara variabel tes laboratorium penyakit ginjal kronis yaitu kadar hemoglobin, kalsium, fosfor, urea darah, kreatinin dan hematokrit dengan indeks gingiva, indeks debris, indeks kalkulus, indeks OHIS dan IPPD. 42,48,49

6.2 Hubungan antara Penyakit Ginjal Kronis dengan Indeks Gingiva

Penurunan produksi eritropoietin dan defisiensi asam folik pada penyakit ginja kronis menyebabkan anemia sehingga warna gingiva pada penderita penyakit ginjal kronis menjadi lebih pucat. Hal ini jelas terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lucas di mana 95 dari sampel mencatat nilai indeks gingivitis ringan yaitu dalam rentang 0,1 -1,0. Roberts dalam penelitiannya pada tahun 2005 turut menunjukkan hasil penelitiannya bahwa gingiva yang berwarna pucat terjadi karena individu menderita anemia sehingga gambaran klinisnya menutupi tanda-tanda inflamasi. Warna merah pucat pada gingiva juga berkaitan dengan Universitas Sumatera Utara malnutrisi pada penderita yang menjalani hemodialisis akibat keterbatasan produk protein di dalam diet seharian. Hal ini seiring dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Little J dkk yang menyatakan bahwa 82 dari penderita hemodialisis mengalami malnutrisi dan terjadi perubahan warna gingiva menjadi merah sehingga kelainan hematologi seperti hemofilia, leukemia, limfoma, idiopathic thrombocytopenic purpura dieksklusikan untuk mengurangi bias pada hasil penelitian. Hal ini seiring dengan hasil dari penelitian ini di mana rerata indeks gingiva penderita penyakit ginjal kronis lebih tinggi dari rerata indeks gingiva non penderita penyakit ginjal kronis dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik p0,05. 26,33 Pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar variabel uji laboratorium dengan indeks gingiva. Walaupun hasil dari penelitian ini mendukung ke arah tiadanya korelasi antara indeks gingiva dengan penyakit ginjal kronis, namun Nadre dkk pernah mengungkapkan bahwa inflamasi gingiva pada penderita penyakit ginjal kronis bersifat multifaktorial, salah satu hipotesisnya sangat mirip dengan hipotesis Gonzalez J dkk, di mana Gonzalez dkk meneliti inflamasi pada mukosa gingiva berdasarkan hipotesis stimulasi melalui peninggian kandungan potasium atau kalium dalam tubuh penderita di mana inflamasi dan hiperplasia gingiva sering terjadi namun hal ini ditutupi oleh manifestasi sindroma uremia yang lain yaitu gingiva berwarna merah pucat dan anemia. Menurutnya, inflamasi merupakan hasil proses dari phosphorylation dan kalium yang merupakan stimulator yang memenuhi peran tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat peneliti. Nadra dkk turut mendukung hipotesis ini dengan menunjukkan BCP Ca Phosphate Crystals sebagai aktivator proses inflamasi interselular yang mungkin terbentuk akibat peninggian kalium. 42 Universitas Sumatera Utara

6.3 Hubungan antara Penyakit Ginjal Kronis dengan Indeks Debris