32
BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK TIUP DALAM KONTEKS
KEBUDAYAAN KARO Pada bagian ini akan dilihat bagaimana sesungguhnya pandangan
masyarakat Karo terhadap ensambel musik tiup. Selain itu juga akan dilihat bagaimana penggunaannya dalam upacara adat mereka dan fungsi yang
terkandung dari penggunaan musik tiup. Pembahasan akan dilanjutkan dengan sejarah dan perkembangan ensambel
musik tiup di Karo. Berbicara mengenai sejarah dan perkembangan ensambel musik tiup pasti tidak terlepas dari sejarah dan perkembangannya di daerah asal
musik tiup tersebut atau tepatnya di desa Surbakti dan sekitarnya. Akan tetapi dalam tulisan ini penulis tidak akan menguraikan hal ini secara terperinci. Penulis
akan lebih memfokuskan pembahasan pada sejarah, perkembangan, dan perubahan penggunaan ensambel musik tiup di tanah Karo. Untuk itu, penulis
akan melihat dari segi perkembangan instrumentasi dan reportoar lagu atau lagu
lagu yang dimainkan dalam penggunaan musik tiup di tanah Karo.
3.1 Sejarah Dan Perkembangan Musik Tiup Di Kabupaten Karo
Berbicara dengan sejarah dan perkembangan musik tiup di Kabupaten Karo tidak bisa terlepas dari kaitan sejarah dan perkembangan Gereja Batak Karo
ProtestanGBKP yang merupakan awal cikal bakal terbentuknya Nazareth Musik Tiup yang diteliti oleh penulis.
Di dalam buku ‘Sejarah GBKP Klasis Kabanjahe’ 1941 -2005 yang ditulis oleh Dk.Em. P. Sinuraya 18 April 2004 :1-2
Universitas Sumatera Utara
33
Pada saat injil datang ke Tanah Karo 18 april 1890 Kota kabanjahe masih terisolasi dari dunia luar, namun masyarakat kabanjahe telah
berulang kali dikunjungi oleh para misionaris NZG netherland Zending Genoschaap seperti Pdt.H.C.Kryut, Pdt.J.Kwijngaarden, Pdt.M.Joustra
dan Pdt.Hendrik Guillaume. Pada tanggal 10 april 1905 Pdt. E.J.Van den berg mulai menetap di kabanjahe. Beliau mendirikan rumah sekolah di
Kabanjahe dan di desa Bukit. Beliau memasang lonceng gereja di rumahnya dan membunyikannya setiap hari minggu walaupun gedung
gereja belum ada. Beliau juga membangun kamar obat di lau cimba Kabanjahe. Pada tanggal 20 September 1920 kamar obat itu berkembang
menjadi Rumah Sakit bataksche instituut di Gung Leto Kabanjahe. Beliau juga membangun pemukiman para penderita kusta di Lau Simomo pada
tangal 25 Agustus 1906.
Setelah sarana jalan Medan-Kabanjahe dibuka tahun 1907, perkembangan Injil dikabanjahe semakin pesat. Sekolah-sekolah dibuka
termasuk sekolah kweek school Raya, sekolah pertukangan bataksche timmer winkel, sekolah pertanian sayur mayur yang kesemuanya itu
membangun masyarakat Karo seara umum dan masyarakat kabanjahe pada khususnya.
Sampai pada tahn 1909 di Kabanjahe dan desa-desa sekitarnya NZG telah mendirikan delapan buah sekolah dengan murid 708 orang
yaitu di: 1. Desa Kabanjahe
2. Desa Bukit 3. Desa Dokan
4. Desa Lingga 5. Desa Cingkes
6. Desa Naman 7. Desa Berastagi
8. Desa Barusjahe Pada kedelapan Desa tersebut telah berdiri jemaat. Jumlah anggota jemaat
keseluruhan sebanyak 101 orang. Lima tahun kemudian tepatnya pada tahun 1914 jumlah anggota jemaat Kabanjahe dan sekitarnya bertambah
menjadi 451 orang. Kemajuan ini disambut oleh masyarakat dengan gembira. Banyak tokoh-
tokoh masyarakat Karo terutama para Raja-raja dan Sibayak dibabtis yang diikuti pula oleh masyarakat ramai. Perkembangan jemaat sangat pesat
sehingga daerah pelayanan ini diberi nama ressort kabanjahe berkedudukan di Kabanjahe terpisah dari ressort Dusun berkedudukan di
Sibolangit. Dengan kedatangan Pdt.L.Bodaan, Pdt.J.P.Talens, Pdt.H.G.Van Eelen, Pdt.F.J.Jens dan lain-lain dibuka pula Ressort
Serdang, Ressort Sarinembah dan Ressort Barusjahe. Dengan demikian Ressort Dusun dan Ressort Serdang ditetapkan menjadi satu Klasis yang
dinamai Klasis Karo Jahe berkedudukan di Sibolangit. Ressort Sarinembah , Ressort Barusjahe serta Ressort Kabanjahe ditetapkan menjadi satu klasis
juga yang dinamai Klasis Karo Gugung berkedudukan di Kabanjahe. Dengan demikian posisi Buluhawar sebagai pusat penginjilan teah
bergeser ke Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara
34
Beberapa waktu setelah itu Pada sekitaran tahun 1960 Para misionaris
berkebangsaan Jerman datang ke tanah Karo untuk menyebarkan injil, Kedatangan para misionaris ini menyebabkan terjadinya kontak kebudayaan.
Kontak kebudayaan ini terjadi karena selain melaksanakan misinya para misionaris juga turut membawa dan mengembangkan kebudayaan mereka ke
tanah Karo. Salah satu hasil kebudayaan mereka itu adalah musik tiup. Kehadiran para misionaris di tanah Karo cukup berpengaruh tarhadap
kehidupan masyarakat Karo pada waktu itu. Sebelum kedatangan para misionaris ini mereka tidak memilikimenganut agama tertentu. Mereka hanya menganut
aliran kepercayaan tertentu. Kemudian setelah kedatangan para misionaris ini, walaupun dalam jangka waktu cukup lama , mereka mulai memeluk agama
Kristen. Mereka juga melakukan ibadah-ibadah di tempat khusus yang kemudian disebut gereja.
Penggunaan ensambel musik tiup sendiri diawali dengan penggunaannya sebagai musik pengiring dalam ibadah yang diadakan oleh masyarakat Karo yang sudah
menganut agama Kristen pda waktu itu di gereja. Sekitar tahun 1960 ensambel musik tiup mulai digunakan sebagai musik pengiring ibadah di gereja. Awal
penggunaan dan perkembangan ensambel musik tiup ini bisa dilihat dari penerimaan alat dari misionaris tersebut di beberapa kota atau desa di tanah Karo
seperti : 1.
Kabanjahe, 2.
Berastagi, 3.
Tiga nderket, 4.
dan Surbakti
Universitas Sumatera Utara
35
yang keseluruhan daerah tersebut menggunaan ensambel musik tiup tersebut sebagai pengiring ibadah. Dan khususnya di desa Surbakti tempat awal
terbentuknya Nazareth Musik yang menerima ensambel musik tiup tersebut yang terdiri dari ;
Terompet, 1.
Horn, 2.
Tuba, 3.
Sopran 4.
dan Alto yang keseluruhan berjumlah delapan buah alat musik tiup. Dari hasil wawancara penulis dengan bapak Pt.Iswanta Sembiring
pimpinan Nazareth Musik Tiup keseluruhan alat tersebut masih utuh keadaaanya walaupun ada beberapa yang sudah rusak. Dari beberapa group yang ada di tanah
Karo hanya group Nazareth Musik Tiup lah yang sudah berubah dan mengalami perkembangan secara instrument dan fungsional. Daerah- daerah lain yang juga
menerima alat tersebut ada yang masih menggunakannya dan ada yang tidak memakainya lagi.
3.2 Penggunaan Musik Tiup Dalam Masyarakat Karo