Kualifikasi Suatu Berita yang Dapat Dikategorikan Sebagai Berita yang Salah

4. Guru-guru dan kepala-kepala tukang bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan mereka; 5. Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orangtua- orangtua, wali-wali, guru-guru sekolah, dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggungjawab. 157 Ukuran jurnalistik yang sehat dan baik selalu berkaitan dengan kode etik dan hukum.

B. Kualifikasi Suatu Berita yang Dapat Dikategorikan Sebagai Berita yang Salah

158 KEJ secara umum mengatur dua hal, yaitu produk jurnalistik dan perilaku jurnalistik. Produk jurnalistik mencakup berita dalam berbagai bentuknya, antara lain surat pembaca, tajuk rencana, artikel opini, analisis pakar, resensi buku, dan resensi karya dalam bentuk lain. 159 Perilaku jurnalistik mencakup sikap dan tindakan wartawan ketika menjalankan kerja jurnalistik, ketika berhubungan dengan sumber atau subjek berita. 160 Dengan kata lain, yang berpotensi melanggar KEJ bukan hanya produk jurnalistik, bukan hanya berita, namun juga perilaku, sikap, atau tindakan wartawan ketika menjalankan tugas jurnalistik. 161 Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk Akan tetapi batasan permasalahan yang dibahas penulis hanya mengenai pemberitaan yang salah. Agar lebih jelasnya berikut penulis melampirkan KEJ: KODE ETIK JURNALISTIK 157 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata 158 A. Muis, Jurnalistik, Hukum, dan Komunikasi Massa: Menjangkau Era Cybercommunication Milenium Ketiga, Dharu Anuttama, Jakarta, 1999, hal 33 159 Agus Sudibyo, 50 Tanya-Jawab tentang Pers, Gramedia, Jakarta, 2013, hal 3 160 Agus Sudibyo, Ibid., 161 Ibid., hal 4 Universitas Sumatera Utara memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggungjawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut professional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik: Pasal 1 : Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran: a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata- mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Pasal 2 : Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran: Cara-cara yang professional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. Pasal 3 : Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan azas praduga tidak bersalah. Penafsiran: Universitas Sumatera Utara a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Pasal 4 : Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsiran: a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. Pasal 5 : Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran: a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 6 : Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran: a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi indepedensi. Pasal 7 : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran: Universitas Sumatera Utara a. Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Pasal 8 : Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani. Penafsiran: a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Pasal 9 : Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran: a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati- hati. b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Pasal 10 : Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran: a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 : Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran: a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Universitas Sumatera Utara c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. 162 Selain KEJ, di bidang pemberitaan peristiwa hukum PWI juga mengeluarkan “Sepuluh Pedoman Penulisan Tentang Hukum”. 163 1. Pemberitaan mengenai seseorang yang disangka atau dituduh tersangkut dalam suatu perkara hendaknya ditulis dan disajikan dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah presumption of innocense serta KEJ, khususnya ketentuan pasal 3 ayat 4 yang berbunyi: “Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan pengadilan bersifat information dan yang berkenaan dengan seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara tetapi belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan terutama mengenai nama dan identitas yang bersangkutan” Terdapat sepuluh pedoman penulisan berita tentang hukum, hasil kajian para wartawan PWI di Cibulan, Bogor, 30 Juli 1977 yang dapat dijadikan landasan bagi wartawan untuk menyampaikan informasi atau pemberitaan yaitu: 2. Dalam rangka kebijaksanaan yang dikehendaki oleh Kode Etik Jurnalistik tadi, pers dapat saja menyebut lengkap nama tersangka atau tertuduh, jika hal itu demi kepentingan umum. Tetapi dalam hal ini tetaplah harus diperhatikan prinsip adil dan fairness, memberitakan kedua belah pihak atau cover both sides. 3. Nama, identitas, dan potret gadis atau wanita yang menjadi korban perkosaan, begitu juga para remaja yang tersangkut dalam perkara pidana, terutama yang menyangkut susila dan yang menjadi korban narkotika, tidak dimuat lengkap atau jelas. 4. Anggota keluarga yang tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan yang dituduhkan dari salah seorang tersangka atau terhukum hendaknya tidak ikut disebut-sebut dalam pemberitaan. 5. Dalam rangka mengungkapkan kebenaran dan tegaknya prinsip- prinsip proses hukum yang wajar due process of law pers seyogianya mencari dan menyiarkan pola keterangan yang diperoleh diluar persidangan, apabila terdapat petunjuk-petunjuk tentang adanya suatu yang tidak beres dalam keseluruhan proses jalannya acara. 6. Untuk menghindarkan trial by the press, pers hendaknya memperhatikan sikap terhadap hukum dan sikap terhadap tertuduh. 162 Ibid., hal 177 163 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op. Cit., hal 118 Universitas Sumatera Utara Jadi hukum atau proses pengadilan harus berjalan dengan wajar dan tertuduh jangan sampai dirugikan posisinya berhadapan dengan penuntut umum, juga perlu diperhatikan supaya tertuduh kelak bisa kembali dengan wajar ke dalam masyarakat. 7. Untuk menghindarkan trial by the press nada dan gaya dari tulisan atau berita jangan sampai ikut menuduh, membayangkan bahwa tertuduh adalah orang yang jahat dan jangan menggunakan kata- kata sifat yang mengandung opini, misalnya memberitakan bahwa “saksi-saksi memberatkan terdakwa” atau “tertuduh memberikan keterangan yang berbelit-belit” 8. Pers hendaknya tidak berorientasi “polisi atau jaksa centered” tetapi memberikan kesempatan yang seimbang kepada polisi, jaksa, hakim, pembela, dan tersangka atau tertuduh. 9. Pemberitaan mengenai sesuatu perkara hendaknya profesional, menunjukkan garis konsisten dan ada kelanjutan tentang penyelesaiannya. 10. Berita hendaknya memberikan yang jelas mengenai duduknya perkara kasus polisi dan pihak-pihak dalam persidangan dalam hubungan dengan hukum yang berlaku. Perlu hendaknya dikemukakan pasal-pasal hukum pidana yang relevan dengan hak- hak dan kewajiban tertuduh, para saksi, maupun nega sebagai penuntut. Argumentasi hukum dari kedua belah pihak serta legal fight yang tampil dalam pemeriksaan pengadilan hendaknya diusahakan dikemukakan selengkap mungkin dalam pemberitaan. 164 Suatu berita yang dapat dikualifikasikan sebagai berita yang salah adalah berita yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, yang kemudian akan membawa kerugian bagi pihak lain. Gugatan perdata terhadap pers umumnya mengenai pencemaran nama baik. Pencemaran nama naik dapat didefenisikan sebagai penistaan tertulis ataupun tercetak yang secara tidak benar menyatakan bahwa seseorang telah terlibat suatu kejahatan yang cenderung merugikan binis atau profesinya, atau menyebarkan cemoohan, ejekan, serta rasa benci dan jijik terhadapnya. 165 164 Haris AS Sumadiria, Op. Cit., hal 237 165 Kustadi Suhandang, Op. Cit., hal 206 Jika isi kutipan terbukti menghina pihak ketiga, pers dapat dituntut Universitas Sumatera Utara ke pengadilan dan dihukum membayar ganti rugi pada pihak yang merasa tercemar nama baiknya. 166 3. Terdapat kata-kata pelecehan terhadap wanita, seperti pelacur, gundik, suka berbuat mesum, dan lainnya. Adapun tiga hal yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mencermarkan nama baik, yakni: 1. Terdapat kata-kata yang bernada jahat, seperti aborsionis, beristeri dua, pemeras, pengkhianat, dan lainnya. 2. Terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa orang itu bersalah melakukan amoral atau tingkah laku yang tidak terpuji, seperti pezina, berakhlak buruk, pecandu narkoba, pemabuk, pengganggu isteri orang, mucikari, dan lainnya. 167 KUHPerdata tidak mengatur secara rinci mengenai kriteria yang dapat digolongkan sebagai tindakan mencemarkan nama baik, maka mengenai hal ini ketentuannya dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Soal pencemaran nama baik telah diatur dalam KUHP pasal 134, 137, 207, 208, 209, 310, 315, dan 316. 168 1. Pasal 134 dan Pasal 137 mengatur tentang penghinaan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden. 2. Pasal 207, 208, dan 209 mengatur tentang penghinaan secara sengaja dengan lisan atau tulisan terhadap sesuatu kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau sesuatu majelis umum. 166 Tjipta Lesmana, Op. Cit., hal 192 167 Kustadi Suhandang, Op. Cit., hal 206 168 Atmakusumah, Op. Cit., hal 389 Universitas Sumatera Utara 3. Pasal 310, Pasal 315, dan Pasal 316 mengatur tentang ancaman merusak kehormatan dan nama baik seseorang dengan jalan menuduh melakukan suatu perbuatan. 169 UU Pers menganut prinsip gerant responsible yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi harus bertanggungjawab terhadap sajian di dalam pers.

C. Pihak-Pihak yang Bertanggungjawab Akibat Adanya Pemuatan Berita yang Salah