berbeda dari tempat ke tempat yang lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.
Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial
atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.
2.1.7 Teori Feminisme
Dalam terminologi feminis, gender sendiri didefinisikan sebagai perbedaan perilaku behavioral differences atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, gender juga sering disebut sebagai ‘jenis kelamin sosial’. Dari definisi ini, dalam persepsi
feminisme, gender hanya merupakan produk budaya nurture, bukan alami nature, yakni sekadar ‘hasil persepsi’ suatu masyarakat atau bahkan bisa jadi hanya mitos
atas apa yang disebut dengan sifat paten kodrat laki-laki dan sifat paten kodrat
perempuan.
Karena merupakan produk budaya, menurut pengusungnya, gender dapat dipertukarkan dan bersifat tidak permanen, yakni dapat berubah sejalan dengan
perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut. Berdasarkan kerangka berpikir ini, para pemujanya kemudian menolak konsep
pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Tidak boleh, misalnya, hanya karena secara biologis perempuan punya rahim dan payudara,
kemudian dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan feminitas seperti sifat lembut, keibuan, dan emosional sehingga
secara kodrati perempuan harus menjalani fungsi-fungsi keibuan dan
Universitas Sumatera Utara
kerumahtanggaan. Tidak boleh pula, laki-laki yang dianggap lahir dengan sifat-sifat maskulinitasnya, lalu diarahkan untuk menjadi pemimpin atas kaum perempuan
2.1.8 Gender dalam Keluarga
Sarwono dalam buku “Psikologi Sosial: Individu dan teori-teori Sosial” menyebutkan:
“Peranan seks sudah tampak sejak seorang ibu melahirkan bayinya. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada dukun, bidan atau dokter adalah
tentang jenis kelamin anak. Sejak itu perlakuan ibu, ayah, keluarga, tetangga dan sebagainya ditentukan oleh jenis kelamin anak tersebut. Kalau laki-laki ia diberi
baju biru, selimut biru, mobil-mobilan, dan sebagainya. Kalau sudah agak besar ia pun boleh memanjat pohon atau bermain layangan. Sebaliknya, kalau anak itu
perempuan ia diberi baju dan selimut warna merah jambu dan boneka. Kalau sudah agak besar, mainannya adalah rumah-rumahan. Pada gilirannya pola
perlakuan orang tua ini berpengaruh pada perilaku anak.” 1978:167. Perbedaan pandangan dan perlakuan antara anak perempaun dan laki-laki pada
umumnya didasarkan atas kodrat perempuan untuk mengandung ataupun mempunyai anak. Dengan sistem reproduksinya, perempuan dianggap sebagai makhluk yang
lemah, yang wajib dilindungi. Dengan kodrat yang berbeda dengan laki-laki itu seakan-akan ada peran yang melekat pada perempuan, yaitu peran di rumah tangga
yang berurusan dengan penyediaan makanan, yang berkaitan dengan menjaga kebersihan rumah, berkaitan pula dengan pendidikan anak yang diwajibkan menjadi
tanggungjawab perempuan baik semasa bayi masih dalam kandungan dan setelah anak dilahirkan.
Universitas Sumatera Utara
Domestikasi perempuan yang banyak berperan di dalam rumah akan direkam dan dilihat oleh seorang anak walaupun orang tua tidak mengajarkannya. Peristiwa
“modeling” ini akan berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya apabila tidak ada perubahan sistem di dalam keluarga ataupun didalam masyarakat yang
masih menganggap perempuan tidak sepenting laki-laki. Peniruan yang dilakukan oleh seorang anak pada masa perkembangan akan mempengaruhi perkembangan
psikologi individunya. Seorang ibu ataupun seorang bapak dalam melakukan pendidikan di rumah
secara sadar ataupun tidak sadar, akan mengaharapkan dan memposisikan anak perempuan aktif di dalam rumah. Hal tersebut tercermin dari berbagai pekerjaan
rumah tangga yang dibebankan kepada anak perempuan. Untuk menjalankan tugas di rumah, anak perempuan diajari memasak, mencuci, menggosok baju supaya rapi,
membersihkan rumah dan tempat tidur, dan mengasuh adik. Didikan yang diharapkan pada anak perempuan yang berkaitan, dengan tugas-tugas domestik sangat jarang
diberikan kepada anak laki-laki. Ada kekhawatiran apabila anak laki-laki di didik seperti anak perempuan yang harus terampil dengan pekerjaan rumah tangga, maka ia
akan menjadi banci. Anak laki-laki lebih banyak diarahkan pada kegiatan yang bersifat kompetitif di luar rumah. Dengan demikian, di sektor publik anak laki-laki
akan mempunyai pengalaman yang lebih banyak dan hal tersebut akan sangat bermanfaat ketika mereka menjadi dewasa nanti. Pembagian kerja yang diberikan
kepada anak perempuan dan anak laki-laki akan melahirkan stereotip-stereotip peran gender laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, tidak hanya faktor budaya atau kebiasaan yang secara turun-temurun berlaku di suatu masyarakat, yang mengakibatkan perbedaan peran dan
kedudukan, aktivitas, serta partisifasi perempuan dan laki-laki, melainkan juga sistem
Universitas Sumatera Utara
yang dikembangkan dan ditegakkan dalam keluarga, yang didalamnya terkandung unsur pendidikan yang menimbulkan ketidakadilan gender. Bagi keluarga yang masih
memegang teguh pranata-pranata yang bersifat konservatif, yang kurang memperhatikan demokrasi, yang kurang memperhatikan hak asasi, yang membedakan
nilai anak perempuan dan anak laki-laki, peluang terjadinya ketidakadilan gender yang merugikan perempuan itu semakin besar dibandingkan dengan keluarga yang
berwawasan modern, yang demokratis, yang memberikan kesempatan yang seluas- luasnya kepada anak perempuan untuk maju, untuk mendapatkan pengalaman dari
dunia politik yang akan memberikan bekal kepada anak perempuan setelah dewasa nanti untuk berkompetisi secara sehat di dunia publik.
Awal ketidakadilan gender yang terjadi di dalam keluarga dapat dikurangi apabila setiap keluarga menyadari dan memahami pentingnya setiap insan
pembangunan tanpa memandang jenis kelaminnya. Pendidikan bebas gender yang diterapkan di rumah akan memberikan kesempatan pada laki-laki dan perempuan
untuk berkompetisi; siapa yang lebih terampil menggosok baju, siapa yang lebih cocok melakukan negosiasi, dan sebagainya tanpa memperhatikan laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian, kompetisi didasarkan atas keterampilan yang mereka kuasai atau kepandaian yang mereka miliki, dan bukan karena tampilan fisik. Dengan
keterampilannya, diharapkan mereka akan membangun keluarga dengan baik sehingga menjadi keluarga yang sehat sejahtera lahir bathin.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode desktiptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang bertujuan melukiskan secara sistematis fakta karakteristik
populasi tertentu bidang tertentu secara faktual dan cermat Rakhmat, 2001:24. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau
membuat prediksi. Penelitian deskriptif ditujukan untuk : 1. mengumpulkan informasi masalah atau memeriksa secara rinci yang melukiskan
gejala yang ada. 2. mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku. 3. membuat perbandingan atau evaluasi
4. menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan masalah yang sama dan
belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
3.1 Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah Sekolah Menengah Kejuruan SMK Negri 8 dan Sekolah Teknik Menegah STM Teladan Tembung Medan dimana pada
kedua jenis sekolah ini, memiliki latar belakang yang cukup berbeda, dan berkaitan
dengan keadaan yang ideal untuk peneliti dalam meneliti “Pola Komunikasi Keluarga Dalam Menanamkan Nilai Gender Pada Remaja”.
Universitas Sumatera Utara