PERSPEKTIF UNI EROPA DALAM

54

BAB III PERSPEKTIF UNI EROPA DALAM

PROLIFERASI NUKLIR Proliferasi nuklir merupakan isu keamanan yang penting bagi Uni Eropa. Bab ini akan menjelaskan perspektif Uni Eropa dalam proliferasi nuklir sebagai variabel Y dalam penelitian ini, yaitu variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan kerangka kebijakan keamanan Uni Eropa yang terdiri dari Common Foreign and Security Policy dan European Security Strategy , kemudian kebijakan nonproliferasi Uni Eropa yang terdiri dari The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction dan Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah Masal di Kawasan Timur Tengah. III.1. Kerangka Kebijakan Keamanan Uni Eropa Pasca Perang Dingin, Eropa menghadapi ancaman dan tantangan yang semakin kompleks. Konflik di Timur Tengah dan wilayah lain di dunia masih belum terpecahkan, konflik juga bergejolak di lingkungan Eropa. Negara gagal mempengaruhi keamanan Eropa dengan adanya kriminalitas, imigran ilegal, dan pembajakan. Terorisme dan kejahatan terorganisir telah berevolusi sebagai ancaman baru. 137 Sementara, program nuklir Iran terus berkembang secara 137 Council of the European Union, European Security Strategy: A Secure Europe In A Better World , Belgia: European Communities, 2009, 1. signifikan, sehingga memberikan peringatan bagi stabilitas di kawasan dan seluruh sistem nonproliferasi. Uni Eropa semakin mengembangkan kapasitasnya sebagai aktor keamanan global. Selama dua dekade terakhir, institusi-institusi dalam Uni Eropa diberi kekuasaan lebih dalam area isu keamanan untuk mempertahankan kepentingan Eropa dan untuk membentuk identitas global Uni Eropa. 138 Uni Eropa mungkin adalah sebuah benua yang damai, namun ia terletak di lautan yang tidak stabil. Oleh karena itu, Uni Eropa membutuhkan beberapa kebijakan untuk mempertahankan kepentingannya, baik di dalam maupun di luar wilayah Eropa. Strategi atau kerangka kebijakan adalah alat pembuatan kebijakan yang menguraikan keseluruhan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dan instrumen dasar yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan atau kepentingan tersebut. 139 Strategi berfungsi sebagai kerangka acuan untuk pembuatan kebijakan. Kebijakan keamanan dalam konteks Uni Eropa dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan yang bertujuan untuk menjaga obyek-objek Uni Eropa tetap aman, yaitu nilai-nilai dan kepentingan Uni Eropa. 140 Pendekatan keamanan Uni Eropa yang bersifat khas muncul dengan ditandai oleh adanya gagasan keamanan yang luas, bersifat multidimensional dan komprehensif. 141 Gagasan keamanan Uni Eropa ini muncul dari adanya sifat 138 Thomas Renard, The European Union: A New Security Actor?, Robert Schuman Centre for Advanced Studies, EUI Working Paper RSCAS 201445, Italia: European University Institute, 2014, 1. 139 Sven Biscop, “The European Security Strategy: Implementing a Distinctive Approach to Security”, Sécurité Stratégie, Paper No. 82, Maret 2004 Brussels: Royal Defence College, 2004, 3. 140 Biscop, The European Security Strategy, 3. 141 Biscop, The European Security Strategy, 4. saling ketergantungan antara semua dimensi keamanan, yaitu politik, sosial- ekonomi, ekologis, budaya dan militer, tidak hanya berfokus pada elemen militer saja. Pendekatan keamanan Uni Eropa ditandai dengan kebijakan keamanan Uni Eropa dengan memperhatikan dan menghormati negara-negara tetangganya di bawah Neighbourhood Policy. 142 Doktrin keamanan Uni Eropa menggarisbawahi pentingnya penggunaan diplomasi dan organisasi multilateral seperti PBB untuk menghadapi ancaman baru. 143 Maka, pendekatan keamanan Uni Eropa memberikan fokus pada penggunaan soft power, seperti pelaksanaan dialog, kerja sama dan kemitraan, atau kerja sama keamanan. Keterlibatan Uni Eropa dalam isu keamanan global tidak pernah bersifat unilateral. 144 Uni Eropa hanya akan menggunakan instrumen militer sebagai cara terakhir, dan harus sesuai dengan piagam PBB. Doktrin keamanan Uni Eropa menyoroti bahwa tidak semua ancaman baru bersifat militeristik atau memerlukan penggunaan kekutan militer. 145 Sehingga, gabungan dari beberapa instrumen seperti pemberian bantuan, kontrol ekspor, tekanan diplomatik dan pemberian sanksi dinilai lebih efektif daripada penggunaan kekuatan militer semata. Spektrum luas keterlibatan Uni Eropa dalam keamanan dapat dilihat dalam berbagai tindakan yang diambil Uni Eropa, seperti Confidence Building Measures, dialog politik dan penggunaan sanksi. 146 Pada tingkat operasional, Uni Eropa 142 Biscop, The European Security Strategy, 5. 143 Shada Islam, The EUs First-Ever Security Doctrine, Yale Global, 4 Juli 2003. 144 Cesare Onestini, The European Union and global security: is the EU becoming the indispensable partner? , EUC Background Brief No. 11, April 2014, 6. 145 Islam, The EUs First-Ever. 146 Onestini, The European Union and global security, 5. mengggunakan jargon “comprehensive approach“ yang dicirikan dengan penggabungan instrumen sipil, seperti penegakkan hukum dan diplomasi, dan instrumen militer. 147 Ini merupakan cara Uni Eropa untuk menegaskan kemampuannya untuk melakukan operasi sipil dan militer, seiring dengan meningkatnya peran Uni Eropa sebagai aktor keamanan. III .1.1. Common Foreign and Security Policy Sejalan dengan kekuatan ekonomi dan politiknya yang terus berkembang, Uni Eropa telah menciptakan kebijakan luar negeri dan keamanannya sendiri yang memungkinkan Uni Eropa untuk berbicara dan bertindak sebagai sebuah institusi di panggung dunia. Relevansi Eropa dalam urusan dunia semakin tergantung pada kemampuannya untuk berbicara dan bertindak sebagai kesatuan institusi. Sebelumnya, gagasan tentang Common Foreign and Security Policy CFSP tidak disebutkan dalam Perjanjian Roma. Uni Eropa sebelumnya European Community tidak memiliki dimensi kebijakan luar negeri dan pertahanan. 148 Padahal faktor keamanan merupakan faktor pendorong utama dalam pembentukan European Community. European Coal and Steel Community ECSC yang dibentuk pada tahun 1950, dirancang untuk menjamin perdamaian abadi antara Perancis-Jerman dengan menciptakan kondisi saling ketergantungan melalui perdagangan. 149 147 Renard, The European Union. 148 Center for European Studies, European Union -Common Foreign and Security Policy, http:www.unc.edudeptseuropeconferenceseuCfspcfsp1.html, diakses pada 1 April 2015. 149 Center for European Studies, European Union -Common Foreign. Ide tentang CFSP digagas pada Traktat Maastricht, dan kemudian diperkuat oleh Traktat Amsterdam pada tahun 1999 dan Traktat Nice pada tahun 2001. 150 Kemudian, pada akhirnya Traktat Lisbon yang ditandatangani pada tahun 2007, semakin memberikan banyak inovasi penting dalam CFSP. 151 Traktat Lisbon adalah langkah terakhir Uni Eropa dalam upaya mereformasi institusi- institusi di dalam Uni Eropa. CFSP dibentuk untuk menggantikan European Political Cooperation EPC yang dinilai gagal. EPC gagal karena para anggotanya tidak mampu mengkoordinasikan respon Eropa secara efektif terhadap kenaikan harga minyak OPEC pada tahun 1973. 152 Dalam masalah Falklands 1982, Perang Teluk 1990- 1991 dan krisis Yugoslavia 1990-1998 respon Eropa sering bertentangan dengan satu sama lain, tidak terkoordinasi, lambat dan sering tampak kacau. 153 Oleh karena itu, Uni Eropa membutuhkan sebuah kebijakan atau instrumen untuk mengkoordinasikann kebijakan luar negerinya dan memungkinkannya bertindak sebagai sebuah kesatuan institusi. Maka, CFSP ini merupakan sebuah produk kesadaran masyarakat Eropa bahwa „mesin kebijakan‟ sebelumnya tidak mampu memfasilitasi Uni Eropa untuk berperan dan menentukan posisi pada isu-isu internasional. Sejak peluncuran CFSP di tahun 1993, Uni Eropa telah mengambil langkah besar dalam mengembangkan pendekatan yang lebih efektif dan koheren 150 Politics.co.uk, Common Foreign and Security Policy, http:www.politics.co.ukreferencecommon-foreign-and-security-policy diakses pada 3 April 2015. 151 Gerrard Quille, The Lisbon Treaty and its implications for CFSPESDP, European Parliament, Brussels, 4 February 2008, 3. 152 Center for European Studies, European Union -Common Foreign. 153 Center for European Studies, European Union -Common Foreign. untuk hubungan eksternalnya. CFSP menyediakan struktur formal yang memungkinkan negara-negara anggota Uni Eropa untuk mengkoordinasikan kebijakan yang konsisten dan menegaskan identitas politik yang melekat pada Uni Eropa. 154 Setelah berlakunya Traktat Lisbon pada bulan Desember 2009, Uni Eropa memiliki kesempatan untuk menggabungkan kebijakan dan alat-alatnya di bawah otoritas tunggal Duta Besar atau High Representative HR for Foreign Affairs and Security Policy , yang menggantikan Presiden Uni Eropa sebagai aktor pemimpin kebijakan luar negeri, keamanan dan pertahanan. 155 CFSP menyediakan prosedur-prosedur kebijakan dan institusi untuk menganalisa, baik perkembangan global maupun regional, merumuskan opsi-opsi strategis, serta melaksanakan dan mengatur operasi Uni Eropa. CFSP merupakan sebuah mekanisme untuk mengadopsi prinsip-prinsip dan pedoman bersama tentang isu-isu politik dan keamanan, melakukan pendekatan diplomatik bersama, dan melakukan aksi bersama. 156 Tujuan utama dari CFSP diuraikan dalam Perjanjian Maastricht, yaitu pertama , untuk menjaga nilai-nilai bersama, kepentingan mendasar dan kemandirian Uni Eropa. Kedua, untuk memperkuat keamanan Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Ketiga, untuk menjaga perdamaian dan memperkuat keamanan internasional sesuai dengan ketentuan Piagam PBB dan Helsinki Act. 154 Common Foreign and Security Policy, http:www.euintheus.orgwhat-we-dopolicy- areasforeign-affairs-and-defensecommon-foreign-and-security-policy diakses pada 3 April 2015. 155 Peter van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP: A Critical Analysis , EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No. 2, September 2011, 1. 156 Derek E. Mix, The European Union: Foreign and Security Policy, Congressional Research Service, 8 April 2013, 5. Keempat , untuk mempromosikan kerjasama internasional. Kelima, untuk mengembangkan dan mengkonsolidasikan demokrasi dan supremasi hukum, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. 157 Setelah Traktat Lisbon, masing-masing institusi dalam Uni Eropa semakin memiliki peran penting dalam CFSP. Komisi Eropa berperan sebagai penasihat dalam proses pembuatan keputusan. Parlemen Eropa dapat mengajukan pertanyaan, memberi rekomendasi kepada Dewan, dan mengadakan debat tahunan untuk meninjau kebijakan yang sudah diterapkan. 158 CFSP dikembangkan dan dilaksanakan oleh Dewan Eropa, yang terdiri dari kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara anggota Uni Eropa, dan Dewan Uni Eropa. Karena sifat CFSP yang intergovernmental, badan pengambil keputusan utama adalah Dewan Eropa dan Dewan Uni Eropa. 159 Proses pengambilan keputusan dalam area CFSP membutuhkan suara bulat unanimity. Namun, negara anggota melalui Dewan Eropa dapat mengambil keputusan constructive abstention, yaitu abstain yang tidak menghalangi pengadopsian keputusan. Negara yang memilih abstain diwajibkan membuat pernyataan resmi. 160 Jika negara memenuhi syarat abstainnya dengan pernyataan resmi, maka negara tersebut tidak diwajibkan untuk menerapkan keputusan yang akan diadopsi. Tetapi, negara tersebut harus menerima bahwa keputusan yang 157 Hermann- Josef Blanke dan Stelio Mangiameli, “Identification of the Union‟s Interests and Objectives in CFSP”, The Treaty on European Union, Springer Berlin Heidelberg, 2013, 21. 158 Center for European Studies, European Union -Common Foreign and Security. 159 EPLO Briefing Paper 12012, Common Foreign and Security Policy structures and instruments after the entry into force of the Lisbon Treaty , April 2012, 2. 160 Europa, Common Foreign and Security Policy, http:europa.eulegislation_summariesinstitutional_affairstreatiesamsterdam_treatya19000_en. htm diakses pada 1 April 2015. diambil mewakili Uni Eropa secara keseluruhan, dan tidak terlibat dalam tindakan yang diambil Uni Eropa di bawah keputusan tersebut. 161 Namun, mekanisme ini tidak berlaku jika negara yang abstain mewakili sekurang-kurangnya sepertiga negara anggota, yang terdiri dari sekurang- kurangnya sepertiga populasi penduduk Uni Eropa. Maka, keputusan tersebut tidak dapat diadopsi. 162 Dalam kondisi seperti ini, Dewan Uni Eropa dapat bertindak dengan qualified majority voting, yaitu negara dengan populasi penduduk yang lebih besar akan mendapatkan hak suara yang lebih besar. 163 III.1.2. European Security Strategy European Security Strategy ESS merupakan hal penting untuk memahami filosofi dasar kebijakan luar negeri Uni Eropa. Berbeda dengan kebijakan keamanan Amerika Serikat, US National Security Strategy, yang menekankan doktrin pre-emption dan unilateralism khususnya selama masa pemeirntahan Presiden George W. Bush, kebijakan keamanan Uni Eropa menekankan untuk menggunakan pendekatan multilateral untuk menghadapi tantangan keamanan, yang terkandung dalam hukum internasional dan Piagam PBB. 164 ESS didasarkan pada pendekatan komprehensif yang menyatakan bahwa Uni Eropa dan negara anggotanya akan bekerja sama untuk mengatasi tantangan 161 Europa, Common Foreign and Security Policy. 162 EPLO Briefing Paper 12012, Common Foreign and Security Policy. 163 European Union, Council of the European Union, http:europa.euabout-euinstitutions-bodiescouncil-euindex_en.htm diakses pada 2 April 2015. 164 Gerrard Quille, “The European Security Strategy: A Framework for EU Security Interests?”, International Peacekeeping, Vol.11, No.3, Autumn 2004, 422. keamanan mereka melalui sebuah framework yang menekankan pada lembaga multilateral, terutama PBB dan organisasi regional, dan supremasi hukum, yaitu menjunjung tinggi prinsip penggunaan kekuatan militer sebagai jalan terakhir. 165 Dengan kata lain, dalam menghadapi tantangan keamanan, Uni Eropa harus mengatasinya dengan mendukung sistem PBB, memperkuat respon nasional melalui sinergi Uni Eropa, dan mengatasi akar penyebab masalah, seperti kemiskinan dan pemerintahan yang lemah, melalui instrumen masyarakat dan dialog regional. 166 ESS mencoba untuk mengubah konsep strategi, keamanan, dan kekuatan, untuk menjauh dari penggunaan kekuatan, seperti keterlibatan militer langsung. Sebaliknya, penggunaan kekuatan militer harus diganti melalui pengguaan alat-alat sipil dan manajemen krisis. 167 ESS menetapkan tiga tujuan strategis bagi para pembuat kebijakan Uni Eropa. 168 Pertama, Uni Eropa harus segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan global dan ancaman keamanan. Kedua, Uni Eropa harus fokus terutama dalam membangun keamanan regional di kawasan tetangga, yaitu Balkan, Kaukasus, wilayah Mediterania, dan Timur Tengah. Ketiga, dalam jangka panjang, Uni Eropa harus mengupayakan tatanan dunia multilateral dimana hukum internasional, perdamaian, dan keamanan dijamin oleh institusi regional dan global yang kuat. 169 165 Quille, The European Security Strategy, 422. 166 Quille, The European Security Strategy, 422. 167 Adrian Hyde-Price, European Security In The Twenty-First Century: The Challenge of Multipolarity , London and New York: Routledge, 2007, 30. 168 Mix, The European Union, 4. 169 Mix, The European Union, 4. ESS mengidentifikasi berbagai macam jenis ancaman baru, yaitu terorisme, proliferasi senjata pemusnah masal, konflik kegional, negara gagal dan kejahatan terorganisir. 170 Ancaman tersebut saling berhubungan dan saling memicu. Misalnya, konflik regional dapat menyebabkan negara gagal, dimana kejahatan terorganisir akan berkembang. Kemudian, kejahatan terorganisir dapat meningkat menjadi terorisme, dan ancaman terbesar bagi masyarakat dunia saat ini adalah teroris yang menggunakna senjata pemusnah masal. 171 ESS menggarisbawahi pentingnya stabilitas dan keamanan di wilayah Asia Selatan, Timur Tengah, dan Korea Utara. Kemungkinan jatuhnya senjata pemusnah masal ke tangan teroris disebutkan dalam ESS sebagai skenario yang paling menakutkan the most frightening scenario. 172 Dalam ESS disebutkan bahwa proliferasi senjata pemusnah masal adalah ancaman potensial terbesar bagi keamanan Uni Eropa. Uni Eropa kemudian membentuk effective multilateralism sebagai pendekatan strategis untuk membimbing Uni Eropa dalam masalah nonproliferasi. 173 ESS mendeskripsikan struktur dunia sebagai multipolar, dan meyakini bahwa multipolarisme dapat menjaga dunia tetap stabil. Namun, hanya dengan melalui pendekatan tertentu kepada lingkungan keamanan yang baru. ESS lagi- lagi mengacu pada effective multilateralism sebagai solusinya. 174 Uni Eropa 170 The European Union Institute for Security Studies, A Secure Europe in a Better World, Brussels, 12 Desember 2003, Paris: The European Union Institute for Security Studies, 2003, 6. 171 The European Union Institute for Security Studies, A Secure Europe in A Better World , 8. 172 Council of the European Union note 1, 2; European Council note 13, 4. 173 Tomas Valasek, “The European Union‟s Role in Nonproliferation”, U.S-European Nonproliferation Perspectives , Center for Strategic and International Studies, 2009, 44. 174 European Council, A Secure Europe in a Better World. menyadari bahwa ancaman dan tantangan tersebut tidak dapat ditangani oleh kekuatan militer semata, tetapi membutuhkan gabungan dari elemen militer, politik, dan ekonomi. Effective multilateralism berarti bahwa masalah keamanan global yang diidentifikasi dalama ESS harus ditangani melalui seperangkat tindakan dan kebijakan oleh sekelompok negara. Effective multilateralism menyerukan pembentukan koalisi yang luas, tidak hanya dengan Amerika Serikat, namun juga dengan negara lain seperti India, Rusia dan Cina. 175 Peran organisasi internasional juga menjadi bagian dari effective multilateralism. Misalnya, upaya Uni Eropa untuk melegitimasi peran keamanannya melalui bantuan DK PBB dan sesuai dengan piagam PBB. 176 III.2. Kebijakan Non-Proliferasi Uni Eropa Proliferasi nuklir, yang termasuk dalam senjata pemusnah masal, telah menjadi perhatian Uni Eropa. Dalam kebijakan proliferasi, Uni Eropa menganut prinsip nonproliferasi. Kepentingan Uni Eropa dalam nonproliferasi telah dimulai dengan terbentuknya Uni Eropa sendiri, yang awalnya hanya difokuskan pada kawasan Eropa saja, yaitu dengan dibentuknya European Atomic Energy Community EURATOM untuk memberikan jaminan bahwa negara-negara 175 Mario Telo, “The EU: A Civilian Powers Diplomatic. Action after the Lisbon Treaty. Bridging Internal Complexity and. International Convergence”, dalam The EU’s Foreign Policy. What Kind of Power and Diplomatic Action? Ashgate, 2013, 47. 176 Mario Telo, The EU: A Civilian Powers Diplomatic, 47. anggota akan menggunakan energi atom hanya untuk tujuan damai. 177 Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko konflik di benua Eropa pada tahun 1950an dan mengurangi bahaya perlombaan senjata nuklir antara negara-negara Eropa. 178 Beberapa langkah awal menuju kebijakan nonproliferasi eksternal telah dilakukan Uni Eropa pada awal tahun 1980an. 179 Pada tahun 1981, sebuah komite nonproliferasi dibentuk dalam kerangka European Political Cooporation EPC. Ini adalah pertama kalinya isu keamanan dibahas diantara negara anggota Uni Eropa dalam sebuah institusi. 180 Deklarasi Dublin tahun 1990 adalah dokumen tingkat tinggi pertama tentang nonproliferasi nuklir, yang ditandatangani oleh 12 kepala negara dan kepala pemerintahan European Community. 181 Sejarah kecil ini menunjukkan bahwa Uni Eropa ingin menjadi pemain dalam dunia internasional tentang masalah proliferasi nuklir. Dari langkah awal yang sederhana pada tahun 1980an tersebut, kebijakan nonproliferasi Uni Eropa telah berkembang menjadi sebuah framework yang stabil tiga dekade kemudian. Ada dua faktor yang membuat Uni Eropa melakukan intensifikasi dan konsolidasi pada masalah ini. Pertama , berakhirnya Perang Dingin telah mengubah peta keamanan dunia dan menciptakan lingkungan strategis yang baru. Kondisi tersebut dan adanya tantangan keamanan baru, menyebabkan negara-negara perlu mengembangkan 177 Harald Muller, European Nuclear Nonproliferation after the NPT Extension: Achievements, Shortcomings and Needs , Europe and the Challenge of Proliferation, Chaillot Paper, No. 24 Paris: EU Institute for Security Studies, 1996, 6. 178 Muller, European Nuclear Nonproliferation, 6. 179 Peter van Ham, The European Union’s Strategy on Weapon of Mass Destruction: From Ambition to Disappointment Hague: Netherlands Institute of International Relations „Clingendael‟, 2011, 3. 180 van Ham, The European Union’s Strategy, 3. 181 van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP, 1. inisiatif dan kebijakan baru untuk menghadapi hal tersebut .182 Perang Teluk tahun 1990-1991 mengungkapkan bahwa Irak sedang mengembangkan program nuklir rahasia. Hal ini memperingatkan masyarakat internasional bahwa keberadaan perjanjian dan rezim nonproliferasi nuklir tidak efektif dan lemah. Kedua, terbentukknya CFSP secara sah melalui Perjanjian Maastricht di tahun 1993, memberikan framework yang kuat dan matang untuk kerjasama di bidang keamanan dan luar negeri, termasuk non-proliferasi. 183 Namun, sampai pada tahun 2003, dua negara pemilik senjata nuklir di Eropa, Perancis dan Inggris, relatif berusaha untuk membatasi keterlibatan Uni Eropa dalam hal senjata pemusnah masal. 184 Hingga pada akhirnya, ada dua kejadian penting yang mengubah perspektif masyarakat Eropa terhadap senjata pemusnah masal. Pertama adalah serangan 11 September, kejadian ini menjadi pusat perhatian Eropa. Masyarakat Eropa menyadari adanya risiko bahwa kelompok- kelompok teror mungkin suatu hari akan menggunakan senjata pemusnah masal untuk menyerang benua Eropa. 185 Oleh karena itu, menjaga senjata tersebut, khususnya senjata nuklir, dari tangan teroris telah menjadi prioritas bagi banyak pemerintah Uni Eropa. Kedua adalah perang Irak, yang memecah suara Uni Eropa. Meskipun beberapa negara Eropa mendukung perang Irak, Uni Eropa sangat khawatir akan konsekuensi penggunaan kekuatan militer sepihak oleh Amerika Serikat terhadap 182 van Ham, The European Union’s Strategy, 4. 183 van Ham, The European Union’s Strategy, 4. 184 Valasek, The European Union’s, 44. 185 Valasek, The European Union’s, 44. ancaman senjata pemusnah masal. 186 Amerika Serikat dalam perang Irak tampaknya telah membahayakan prinsip perang yang adil Just War dan rezim nonproliferasi nuklir NPT. Sejak itu, kebijakan non-proliferasi Uni Eropa dibentuk oleh dua prerogative. Pertama, senjata pemusnah masal tidak boleh jatuh ke tangan teroris. Kedua , ancaman senjata pemusnah masal harus ditangani berdasarkan hukum internasional, dan sebaiknya tanpa kekerasan. Pada bulan November 2003, Uni Eropa mengadopsi kebijakan “Fight against the proliferation of weapons of mass destruction: mainstreaming non- proliferation policies into the EU’s wider relations with third countries” yang memperinci kebijakan baru Uni Eropa dalam nonproliferasi di bawah Common Foreign and Security Policy CFSP. 187 Sebagai bentuk komitmen Uni Eropa terhadap nonproliferasi, Uni Eropa juga mendukung resolusi 1540 yang diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada 28 April 2004. Resolusi tersebut menyatakan bahwa proliferasi senjata pemusnah massal adalah ancaman bagi seluruh dunia sehingga dibutuhkan kerja sama dengan semua negara untuk mencegah senjata pemusnah masal jatuh ke tangan teroris. Untuk melawan ancaman ini, semua pihak perlu menerapkan standar yang sama, oleh karena itu dibutuhkan perjanjian multilateral dan institusi. 188 Uni Eropa juga mendukung International Atomic Energy Agency IAEA, baik secara 186 Valasek, The European Union’s, 44. 187 Council of the European Union, Fight against the proliferation of weapons of mass destruction –mainstreaming non-proliferation policies into the EU’s wider relations with third countries’, 1499703, 19 November 2003, 4. 188 Council of the European Union, The European Union Strategy against the Proliferation of Weapons of Mass Destruction , Belgia: European Communities, November 2008, 14. politik maupun secara finansial, untuk mempromosikan keamanan nuklir di seluruh dunia. 189 III.2.1. Strategi Melawan Proliferasi Senjata Pemusnah Masal The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction Terminologi senjata pemusnah masal pertama kali muncul pada bulan Desember tahun 1937. Istilah tersebut diberikan oleh Uskup Agung Canterbury, William Cosmo Gordon Lang. 190 Frase senjata pemusnah masal pertama kali muncul dalam lingkup PBB pada resolusi pertama yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946, yaitu “weapons capable of mass destruction”. 191 Kemudian, di tahun 1948, terminologi “weapon of mass destruction” lebih umum digunakan dan diterima secara resmi pada tahun 1977. 192 Menurut komite PBB, senjata pemusnah masal adalah senjata peledak atom bom nuklir, senjata berbahan radio aktif, senjata kimia dan biologi yang mematikan, dan senjata yang dikembangkan di masa depan yang memiliki karakteristik menghancurkan seperti bom atom atau serupa dengan senjata-senjata yang disebutkan di atas. 193 189 European Commission and European External Action Service staff, EU efforts to strengthen nuclear security , 2012, 21. 190 W. Seth Carus, Defining “Weapons of Mass Destruction”, National Defense University, Center for the Study of Weapons of Mass Destruction, January 2012. 191 United Nations UN General Assembly Resolution 1I, “Establishment of a Commission to Deal with the Problem Raised by the Discovery of Atomic Energy ,” January 24, 1946. www.un.orgdocumentsresga.htm. 192 Nikos Aggelis, The Weapons of Mass Destruction as a threat to European Security, Institute of International Relations, Division for Euro- Atlantic Studies D.E.A.S.: “NATO and European Union” Working Group, 1. 193 Commission on Conventional Armaments CCA, UN document SC.332Rev.1, Agustus 1948, Office of Public Information, The United Nations and Disarmament, 1945 –1965, UN Publication 67.I.8, 28. Pada bulan Desember 2003, Dewan Uni Eropa mengadopsi “EU’s Strategy against Proliferation of Weapon of Mass Destruction” dengan tujuan untuk mencegah, menghambat, menghentikan dan, jika mungkin, menghapuskan program proliferasi di seluruh dunia. 194 Strategi ini lebih dikenal dengan “EU WMD Strategy ”. Institusionalisasi kebijakan nonproliferasi senjata pemusnah masal Uni Eropa semakin dipicu oleh serangan teroris ke Amerika Serikat pada 9 September 2001. 195 Selain itu, latar belakang munculnya strategi tersebut adalah karena adanya kebutuhan mendesak untuk menentukan posisi Uni Eropa secara keseluruhan. Sementara, tingkat terorisme internasional semakin meningkat dan kemungkinan serangan ke Eropa juga meningkat. Pada tahun 2003, Amerika Serikat memimpin invasi ke Irak yang telah menyebabkan perpecahan antara berbagai negara anggota Uni Eropa. 196 Beberapa negara anggota Uni Eropa mendukung upaya perang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat, sementara beberapa negara lain secara terbuka mengambil sikap tidak setuju secara terbuka. Perbedaan mengenai perang di Afghanistan dan Irak mengakibatkan perpecahan intra Eropa dan hubungan transatlantik. 197 Perpecahan mendalam dalam tersebut merupakan alarm peringatan bagi para pemimpin politik Eropa. 194 Council of the European Union, EU Strategy against Proliferation of Weapon of Mass Destruction , 1570803, Brussels, 10 December 2003. 195 Van Ham, The European Union’s WMD Strategy And The CFSP, 3. 196 The European Committee, Preventing Proliferation of Weapons of Mass Destruction: The EU Contribution , 13 th Report of Session 2004-2005, London : The Stationery Office Limited, 2005, 10. 197 Van Ham, The European Union’s WMD Strategy And The CFSP, 3. Uni Eropa menyadari bahwa perpecahan tersebut merusak kohesi Uni Eropa dan melemahkan aspirasinya untuk menjadi aktor global yang signifikan. Uni Eropa ingin menunjukkan visi positif Uni Eropa berdasarkan kekuatan sendiri, bukan visi atas dasar bayang-bayang dan tekanan Amerika Serikat semata. Mereka menyadari perlunya untuk membentuk konsensus tentang isu-isu keamanan utama, khususnya dalam mencegah proliferasi senjata pemusnah masal, jika ingin Uni Eropa tampil sebagai aktor kredibel dalam keamanan internasional. 198 Oleh karena itu, pada bulan Mei 2003, Dewan memberikan mandat kepada Duta Besar High Representative Javier Solana untuk membuat “European str ategy concept”. Dengan adanya fakta bahwa proliferasi senjata pemusnah masal telah mendominasi agenda keamanan internasional pada tahun 2003, Javier Solana memilih untuk menghasilkan dua dokumen, dokumen pertama bernama “A Secure Europe in a Better World ” dan dokumen kedua memfokuskan secara khusus pada isu senjata pemusnah masal. 199 Dewan mendukung kedua dokumen tersebut, dan mengadopsi sebuah rencana aksi untuk implementasi prinsip dasar Uni Eropa terhadap senjata pemusnah masal atau “Action Plan for the Implementation of the Basic Principles for an EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction ”. 198 Benjamin Kienzle, “A European contribution to non-proliferation? The EU WMD Strategy at Ten”, International Affairs 89:5 UK: The Royal Institute of International Affairs, 2013, 44. 199 The European Committee, Preventing Proliferation, 10. Berdasarkan kedua dokumen tersebut, Dewan kemudian mengadopsi “European Security Strategy ” dan “WMD Strategy”. 200 Penguatan norma nonproliferasi senjata pemusnah masal secara global merupakan tantangan besar. Uni Eropa secara aktif telah terlibat dalam mendorong universalisasi norma ini, dan membantu memperkuat organisasi- organisasi yang relevan untuk melakukan universalisasi tersebut. 201 Strategi WMD Uni Eropa adalah bagian dari strategi keamanan pertama Uni Eropa dan berfungsi sebagai simbol kebangkitan Uni Eropa sebagai aktor keamanan global. Traktat Lisbon yang mereformasi institusi Uni Eropa, juga berpengaruh penting bagi kebijakan nonproliferasi senjata pemusnah masal Uni Eropa dan implementasinya. Strategi WMD Uni Eropa menawarkan pendekatan multilayered berdasarkan „effective multilateralism’, mempromosikan lingkungan regional dan internasional yang stabil, kerjasama yang erat dengan negara lain, serta memperkuat struktur Uni Eropa sendiri. 202 Strategi WMD Uni Eropa didasarkan pada tiga prinsip dasar, yaitu effective multilateralism, pencegahan prevention, dan kerjasama cooperation. 203 Effective multilateralism didasarkan karena proliferasi adalah ancaman bagi seluruh keamanan internasional, sehingga tidak ada negara yang dapat bertindak sendiri. Pada dasarnya, semua negara terikat oleh aturan yang sama. Oleh karena itu, Uni Eropa mendukung perjanjian dan konvensi multilateral, 200 The European Committee, Preventing Proliferation, 10. 201 Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP, 1. 202 Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP,3. 203 Council of the European Union, The European Union Strategy, 10. forum-forum multilateral, dan berkontribusi dalam setiap kegiatannya. Pendekatan multilateral Uni Eropa termasuk mengupayakan universalisasi dan memperkuat traktat dan perjanjian nonproliferasi yang ada, serta memberikan dukungan politik, bantuan finansial dan bantuan teknis untuk rezim nonproliferasi. 204 Dalam prinsip pencegahan, Uni Eropa berupaya untuk mencegah penyebaran bahan-bahan nuklir dan teknologi nuklir dengan cara universalisasi kewajiban nonproliferasi, meningkatkan kontrol ekspor, berkontribusi terhadap pelucutan senjata pemusnah masal, memberikan pengarahan pada para ilmuan nuklir, mendorong keamanan regional, dan pengawasan senjata. 205 Namun, strategi WMD Uni Eropa mengakui bahwa jika langkah-langkah preventive tersebut gagal, maka cara-cara koersif, termasuk penggunaan kekuatan militer, dapat menjadi pilihan untuk Uni Eropa. Tetapi, tetap menjadikan Dewan Keamanan PBB sebagai penentu akhir final arbiter. 206 Uni Eropa juga menekankan kerjasama internasional yang erat dengan negara maupun organisasi untuk meningkatkan efektivitas kebijakan nonproliferasi. Uni Eropa fokus bekerja sama dengan aktor-aktor kunci, seperti Kanada, Jepang, Rusia, dan PBB, untuk berkontribusi baik secara politik maupun finansial. 207 Uni Eropa telah melakukan komitmen untuk bekerja sama dalam perjanjian formal WMD clausa dengan lebih dari 100 negara. 208 Uni Eropa merupakan mitra dari Global Partnership Against the Spread of Weapons and 204 Van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP, 3. 205 Council of the European Union, The European Union Strategy, 10-11. 206 Adrian Hyde- Price, “European Security, Strategic Culture, and the Use of Force”, European Security , Vol. 13, No. 4, 2004, 67. 207 Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP, 4. 208 Council of the European Union, The European Union Strategy, 10-11. Materials of Mass Destruction yang dibentuk pada KTT G8 di Kananaskis tahun 2002. Uni Eropa juga menjadi pengamat observer dalam Global Initiative to Combat Nuclear Terrorism GICNT. 209 III.2.2. Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah Masal WMDFZ di Kawasan Timur Tengah Ketika senjata nuklir digunakan dalam Perang Dunia II oleh Amerika Serikat untuk menyerang kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, dunia internasional sadar akan efek destruktif luar biasa yang ditimbulkan dari senjata nuklir. Sebelumnya, penggunaan senjata biologi dan senjata kimia telah dilarang melalui Protokol Jenewa tahun 1925. 210 Senjata pemusnah masal memiliki kapasitas merusak tanpa pandang bulu, menimbulkan kematian dan kehancuran dalam skala besar. Selain memberikan dampak yang tidak manusiawi, senjata pemusnah masal juga memiliki dampak berkelanjutan. Upaya dunia internasional untuk mengendalikan penyebaran dan penggunaan senjata pemusnah masal telah dilakukan melalui perjanjian-perjanjian internasional seperti Nuclear Non-proliferation Treaty tahun 1968, Biological Weapons Convention tahun 1972, dan Chemical Weapons Convention tahun 1993. 211 209 Ian Anthony, The Role of the European Union in Strengthening Nuclear Security, EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No. 32 November 2013, 10. 210 Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of Warfare 1925 Geneva Protocol, http:www.diplomatie.gouv.frtraitesaffichetraite.do?accord=TRA19250001 211 Encyclopædia Britannica, Weapon of mass destruction WMD, 8 November 2014, http:www.britannica.comEBcheckedtopic917314weapon-of-mass-destruction-WMD diakses pada 1 April 2015. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dan wacana politik yang ada, maka logis untuk memikirkan gagasan tentang kawasan bebas senjata pemusnah masal WMD-free zones sebagai sebuah konsep yang masuk akal dan penting. Beberapa kawasan bebas senjata nuklir nuclear weapon-free zones telah dibentuk melalui perjanjian bersama dari negara-negara di masing-masing wilayah. 212 Pada awal tahun 1950an, kawasan bebas senjata nuklir dikonsep sebagai pendekatan nonproliferasi regional. Tujuannya adalah untuk mencegah lebih banyak negara memiliki senjata nuklir. 213 Sementara itu, dalam kenyataannya kawasan bebas senjata pemusnah masal WMDFZ tidak pernah ada. Namun, satu-satunya kawasan dimana konsep WMDFZ seringkali diusulkan dan dibahas adalah wilayah Timur Tengah. Timur Tengah merupakan salah satu wilayah yang paling mudah bergejolak di dunia, namun kaya akan sumber daya alam minyak. Kombinasi anatara rasa tidak aman insecurity dan potensi kekayaan tersebut, telah mendorong negara-negara di Timur Tengah untuk memperoleh, menyebarkan dan menggunakan persenjataan canggih untuk mencegah agresor potensial dan mencapai kepentingan mereka. 214 Dalam konteks kasus Timur Tengah, hal ini sering diterjemahkan ke dalam akuisisi atau keinginan untuk memperoleh senjata pemusnah masal. Wilayah ini memiliki sejarah panjang senjata pemunah masal, yang terakhir adalah program nuklir Iran ini, dan telah menjadi saksi penggunaan nyata senjata kimia, baik di 212 Harald Müller, Aviv Melamud dan Anna Péczeli, From Nuclear Weapons to Wmd: The Development and Added Value of the WMD-Free Zone Concept , EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No.31 September 2013, 2. 213 Joe Goldblatt, “Nuclear Weapon Free Zones: A History and Assessment”, Nonproliferation Review , vol. 4, no. 3 1997, 18. 214 Sinan Ülgen dan F. Doruk Ergun, Establishing a WMD Free Zone in the Middle East, EDAM Discussion Paper Series 20124, November 2012, 5. konflik domestik maupun internasional. 215 Gagasan WMDFZ di Timur Tengah bermula dari ide yang digagas oleh Iran dan Mesir untuk membentuk sebuah kawasan bebas senjata nuklir di Timur Tengah, yang kemudian gagasan ini diterima oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1974 dengan mengeluarkan resolusi. 216 Sebuah kawasan bebas senjata senjata pemusnah masal berarti melarang negara-negara di kawasan tersebut untuk memiliki, memperoleh, menguji, memproduksi atau menggunakan nuklir, senjata kimia dan senjata biologi sebagaimana diatur dalam resolusi NPT Review Conference Middle East tahun 1995. 217 Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan di Timur Tengah semakin memberikan urgensi untuk menerapkan WMDFZ di kawasan tersebut. Pertama, adanya konfrontasi atas program nuklir Iran. Pertanyaan apakah Iran bermaksud untuk membangun senjata nuklir atau tidak, telah menimbulkan ketidakpastian strategis. 218 Namun, jelas bahwa Iran telah membuat kemajuan substansial dalam pengayaan uranium dan pengembangan teknologi infrastruktur. Beberapa analis berpendapat bahwa jika Iran memiliki kemapuan senjata nuklir, hal tersebut akan mempromosikan proliferasi di Timur Tengah. Negara-megara seperti Arab Saudi, Mesir dan Turki merupakan contoh potensial yang paling mungkin. 219 215 Ülgen dan Ergun, Establishing a WMD Free Zone, 5. 216 Arms Control Association, WMD-Free Middle East Proposal at a Glance, https:www.armscontrol.orgfactsheetsmewmdfz diakses pada 1 April 2015. 217 The 1995 NPT Conference Resolution on the Middle East, dokumen tersedia di http:www.un.orgdisarmamentWMDNuclear1995-NPTpdfResolution_MiddleEast. 218 Gawd at Bahgat, “A WMD-Free Zone in the Middle East?”, Journal Essay Middle East Policy Council , Vol. 20, No. 1, 2013. 219 Kenneth N. Waltz, Why Iran Should Get the Bomb, Foreign Affairs 91, No.4 JulyAugust 2012, 4-12. Kedua , pertempuran yang terus berlanjut di Suriah antara rezim Assad dan kelompok pemberontak yang menimbulkan keprihatinan serius atas stabilitas regional. 220 Kondisi ini juga berakaitan erat dengan senjata kimia yang ada di negara tersebut dan mencegah senjata kimia tersebut jatuh ke tangan yang salah. Berdasarkan laporan dari Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons OPCW, ada senjata kimia yang digunakan dalam perang di Suriah. 221 Penggunaan senjata kimia dalam perang sipil di Suriah juga telah dikonfirmasi oleh PBB. 222 Ketiga , dalam beberapa tahun terakhir, Turki dan beberapa negara Arab terutama Uni Emirat Arab, telah menyatakan niatnya untuk mengembangkan senjata nuklir sipil. 223 Proyek proliferasi ini menyoroti apa yang disebut dual-use tenaga nuklir, dimana material yang sama dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga nuklir sipil dan untuk membuat senjata nuklir. Israel yang diyakini memiliki senjata nuklir dan memonopolinya, telah mendorong kekuatan-kekuatan regional lainnya untuk mengejar kemampuan yang sama. 224 Kondisi tersebut dapat menganggu stabilitas Timur Tengah, baik secara ekonomi, politik dan keamanan. Instabilitas tersebut lebih jauhnya akan mempengaruhi, bahkan mengancam kepentingan Eropa di wilayah Timur Tengah. Melihat kondisi-kondisi tersebut, dan selaras dengan kebijakan keamanan Uni 220 Bahgat, A WMD-Free Zone. 221 Al Jazeera 07 Januari 2015, Report reaffirms Syria chemical weapons use, http:www.aljazeera.comnewsmiddleeast201501report-reaffirms-syria-chemical-weapon-use- 201516223545804947.html diakses pada 2 April 2015. 222 Statement: Secretary-Generals remarks to the Security Council on the report of the United Nations Missions to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons on the incident that occurred on 21 August 2013 in the Ghouta area of Damascus http:www.un.orgsgstatementsindex.asp?nid=7083 diakses pada 2 April 2015. 223 Bahgat, A WMD-Free Zone. 224 Bahgat, A WMD-Free Zone. Eropa, Duta Besar Uni Eropa, Catherine Ashton, melalui pernyataan- pernyataannya kembali menegaskan komitmen Uni Eropa dalam membentuk WMDFZ di Timur Tengah. 225 Sebelumnya, Deklarasi Barcelona yang diadakan oleh Uni Eropa pada tahun tahun 1995, mencakup tujuan untuk mempromosikan pembentukan WMDFZ di Timur Tengah. Hal tersebut juga ditegaskan dalam strategi Uni Eropa melawan proliferasi senjata pemusnah masal tahun 2003. 226 Terinspirasi oleh Deklarasi Barcelona 227 tersebut, dan sebagai lanjutan dari keberhasilan Uni Eropa dalam seminar bertajuk “Middle East Security, WMD Non-proliferation and Disarmament ” di Paris pada bulan Juni 2008, pada bulan Desember 2010 Dewan Uni Eropa memutuskan untuk menyediakan sarana dan memberikan bantuan bagi pembentukan WMDFZ di Timur Tengah. 228 Dewan Uni Eropa mengadopsi keputusan 2010799CFSP pada tanggal 13 Desember 2010, untuk mendukung proses confidence building yang mengarah pada pembentukan kawasan bebas senjata pemusnah masal dan cara menerapkannya di Timur Tengah guna mendukung implementasi kebijakan Uni 225 Karafillis Giannoulis, EU wants the establishment of a Middle East WMD Free Zone, New Europe 2 Juli 2013, http:www.neurope.euarticleeu-wants-establishment-middle-east-wmd- free-zone diakses pada 1 April 2015. 226 Gobbi, Is a nuclear-weapon-free, 4. 227 Deklarasi Barcelona diadopsi pada Konferensi Euro-Mediterania, untuk membangun kerjasama multilateral antara negara-negara anggota Uni Eropa dan 12 negara-negara non-anggota Mediterania Algeria, Cyprus, Mesir, Israel, Yordania, Lebanon, Malta, Maroko, Otoritas Palestina, Suriah, Tunisia, Turki. www.eeas.europa.eueuromeddocsbd_en.pdf 228 A WMD Free Zone in the Middle East March 2014 , Overview of the latest EU official documents and publications of the Consortium regarding the European Union support for a WMD Free Zone in The Middle East, http:www.nonproliferation.euactivitiesfocusarchives20142014-03.php diakses pada 1 April 2015. Eropa dalam melawan proliferasi senjata pemusnah masal EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction . 229 . Sebagai tindak lanjut dari seminar yang sebelumnya diselenggarakan di Paris pada tahun 2008, Uni Eropa telah menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah seminar berikutnya, untuk membahas langkah-langkah yang akan memfasilitasi upaya dalam membangun WMDFZ. 230 Seminar nonproliferasi dengan tajuk Timur Tengah pertama kali diadakan di Brussel pada tanggal 6-7 Juli 2011 melalui EU Non-Proliferation Consortium. Seminar tersebut sukses besar dan semakin mendorong Uni Eropa untuk terus terlibat dalam proses pembentukan WMDFZ di Timur Tengah. 231 Dewan Uni Eropa kemudian memutuskan untuk kembali mensponsori seminar nonproliferasi kedua yang diadakan di Brussel pada tanggal 5-6 November 2012, dengan tema “to Promote Confidence Building and in Support of a Process Aimed at Establishing a Zone Free of Weapons of Mass Destruction WMD and Means of delivery in the Middle East ”. 232 Kedua kegiatan tersebut dipromosikan dalam berbagai forum internasional, yaitu Komite Pertama Majelis Umum PBB dan Komiter Persiapan NPT Review Conference tahun 2015. 233 229 Dokumen dipublikasi oleh C ouncil of the European Union dalam “the L series of the Official Journal of the European Union”. 230 Catherine Ashton, memberikan keterangan tentang kesiapan Uni Eropa untuk menjadi tuan rumah seminar melalui sebuah surat kepada Dirjen IAEA pada bulan Juli 2010. Dokumen tersedia di www.iaea.org. 231 A WMD Free Zone in the Middle East. 232 EU Official Documents and Publications, A WMD Free Zone in the Middle East. 233 EU Official Documents and Publications, A WMD Free Zone in the Middle East. 79

BAB IV KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN