Eksploitasi Perempuan dalam Iklan
bahwa segala pengetahuan manusia itu didasarkan pada suatu hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Sedangkan sensualitas
merupakan segala sesuatu yang mengenai badani bukan rohani. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, 2008
Kata “sensualitas” berasal dari kata “sense” yang umumnya dalam kaitan dengan karya seni itu diterjemahkan menjadi “rasa”
dalam arti yang luas, terutama aspek visual yang ada di dalam karya seni itu. sedangkan kata “seksualitas” itu berasal dari kata “sex”,
maka jelaslah antara “sex” dengan “sense” itu berbeda. Pengertian sensualitas itu memang luas, termasuk adegan ranjang, atau foto
telanjang dan semacamnya, tetapi tetap itu bukan pornografi dan itu bukan satu-satunya yang bisa digolongkan ke dalam seksualitas.
Sensualitas tidak selamanya ada kaitannya dengan seks. http:www.mailarchive.comppiindiayahoogroups.commsgs1047.
html Sensualitas ini adalah kaitan langsung dengan yang iderawi
sense=indera. Jadi, secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa sensualitas ini menekankan kepada “rasa”, sehingga bisalah dikatakan
lawan dari kata sensualitas adalah “intelek”. Nah, di dalam karya seni apapun, kedua unsur ini sensualitas dan intelektualitas itu selalu ada
saling imbang mengimbangi. Unsur utama dalam sensualitas adalah perasaan atau sentimentalitas. Unsur sensualitas lebih dikaitkan
dengan perempuan, mengapa? Karena ideologi dominan yang ada
dalam masyarakat. Ideologi patriarki yang memosisikan perempuan sebagai objek, memberikan kontribusi pada pengkomodasian tubuh
perempuan sebagai objek, memberikan kontribusi pada pengkomodasian tubuh perempuan oleh pihak media sebagai sarana
untuk mengeruk keuntungan. Sebagai contoh, cover majalah dewasa kerap kali menampilkan tubuh perempuan dalam balutan pakaian
yang mengesankan citra sensual Baria, 2005:4. Kriteria pornografisnya suatu tayangan yang telah disajikan oleh
televisi swasta seringkali ada eksposur gambar, cerita, tontonan tertentu yang dapat secara spontan membangkitkan rangsangan
seksual pada individu yang menontonnya. Rangsangan seksual tersebut dengan kata lain adalah sensualitas. Hal tersebut juga terjadi
pada iklan audio visual atau lebih spesifiknya iklan di televisi. Dalam konteks Film yang dalam hal ini berkaitan dengan dunia
periklanan berkonsep audio visual, bahwa sensualitas adalah sesuatu yang berkaitan langsung dengan yang inderawi sense = indera .
Maka penekanannya pada gambar semua content yang menjadi visualisasi dan warna - warninya, untuk mencapai nilai estetika yang
maksimal. Hal tersebut bertujuan untuk menempatkan kadar tinggi kenikmatan inderawi.
http:www.google.co.idgwtn?site=searchmrestrict=mobileq=de finisi+sensualitas.multiply.com
2..1.6 Pornografi Pornografi berasal dari bahasa Yunani, istilah ini terdiri dari kata
porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang
berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh
perempuan. Pengertian ini secara implisit menunjuk bahwa pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Dalam konteks
Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi atau bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk
membangkitkan nafsu birahi dalam seks Lutfan,2006:11. Tepat kiranya apa yang dikemukakan oleh Johan Suban dalam
buku Lutfan. Menurutnya, pornografi dapat dipahami sebagai suatu penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, video
kaset, pertunjukkan dan kata-kata ucapan dengan maksud untuk merangasang nafsu birahi Lutfan,2006:13.
Pornografi selalu berkaitan dengan persoalan seksual, lebih dari itu, disebut pornografi jika tampilan tersebut bertujuan untuk merangsang
nafsu birahi. Lesmana memberikan beberapa kriteria untuk dapat memasukkan suatu gambar, tulisan, gerakan, atau apapun dalam
kategori pornografi atau tidak, yaitu, Lutfan,2006:39 :
1. Terdapat unsur kesengajaan untuk membangkitkan nafsu birahi
orang lain. 2.
Bertujuan atau mengandung maksud untuk merangsang nafsu birahi artinya, sejak semula memang sudah ada rencana atau
maksud di benak pembuat atau pelaku untuk merangsang nafsu birahi khalayak atau setidaknya dia mestinya tahu kalau
hasilnya dapat menimbulkan rangsangan di pihak lain. 3.
Produk tersehut tidak mempunyai nilai lain kecuali sebagai sexual simultant
semata-mata. 4.
Berdasarkan standar kotemporer masyarakat setempat, termasuk sesuatu yang tidak pantas diperlihatkan atau
dipegakan secara umum. Dari berbagai kenyataan empiris dan melalui pertimbangan yang
matang, serta merujuk pada rumusan-rumusan pengertian yang sudah ada sebelumnya. Menurut Lutfan Muntaqo, pornografi dapat
dirumuskan sebagai berikut :
”Pornografii adalah pengungkapkan permasalahan seksual yang erotis dan sensual melalui suatu media yang bertujuan atau dapat
mengakibatkan bangkitnya nafsu birahi atau timbulnya rasa muak, malu, jijik bagi orang yang melihat, mendengar atau menyentuhnya,
yang bertentangan dengan agama dan atau adat istiadat setempat.” Lutfan,2006:40-41.
Kebutuhan tubuh akan seks mempunyai keunikan dan sekaligus
persoalan tersendiri, ia dihujat tetapi juga dibutuhkan, ia ingin mengekspresikan normaadat, keyakinan agama dan seterusnya yang
selama ini terbentuk dan menjadi acuan teologis-normatif bagi setiap komunitas Lutfan,2006:159.
Teks pornografi mendefinisikan hasrat-hasrat erotik dengan mengasingkannya dari konteks makna alamiahnya, selain terluput juga
dari analisis estetika. Sebagai teks, pornografi biasanya memanfaatkan dan mereduksi tubuh perempuan sebagai tanda. Menurut Thelma
McCormack dalam buku Kasiyan bahwa ada beberapa ciri menonjol dari teks pornografi, diantaranya adalah pertama, pornografi melakukan
pelanggaran atas kaidah-kaidah sosial baku, karena ia menampilkan bentuk-bentuk perilaku seksual yang tak terima bagi masyarakatnya.
Kedua, pelanggaran atas kaidah-kaidah baku di dalam pornografi ditampilkan seolah-olah ia merupakan bagian alamiah dari kehidupan
sehari-hari, seakan-akan ia memang diperbolehkan dan dipraktikkan secara luas oleh masyarakat Kasiyan,2008:258-259.
Dalam hal erotisme pornografi, kebutuhan dapat berarti mendua. Pertama, objek pornografi pemilik tubuh dalam gambar porno atau
pencipta pornografi, umumnya memperoleh bayaran yang cukup besar atas pemuatan gambar porno miliknya yang di muat si suatu media
massa. Artinya, objek pornografi menghasilkan sejumlah uang untuk kepentingan pribadi. Kedua, erotisme-pornografi dibutuhkan
masyarakat, karena itu masyarakat memiliki andil yang besar terhadap
munculnya erotisme di media massa. Alasan kedua ini merupakan persoalan substansi yang menjadikan erotisme media mssa sebagai
benang kusut yang sulit ditanggulangi dari masa ke masa. Substansi ini pula yang menyebabkan kontrol sosial masyarakat terhadap
pemberitaan erotisme di media massa menjadi sangat longgar, sementara perintah penguasa sendiri tidak mampu berbuat lebih
banyak karena kesulitan piranti hukum. Inilah persoalan, sehingga erotisme media massa menjadi sisi gelap media massa dan eksploitasi
perempuan terbesar oleh media massa sepanjang masa Burhan,2005:109.