21
kata bilangan, misalnya frasa “dua orang” dalam “dua orang anak” memiliki distribusi yang sama dengan kata “dua”, e frasa depan,
yakni frasa yang diawali oleh kata depan preposisi sebagai penanda utamanya, diikuti oleh kata atau frasa golongan nominal,
verbal, bilangan, atau keterangan sebagai penanda aksinya, misalnya pada kata “di sebuah sekolah”, “sejak kemarin”, dan “ke
perantauan”.
G. Makna Istilah
1. Jenis Istilah Tidak ada istilah yang dalam penggunaannya tanpa bentuk dan tidak ada
pola istilah yang penggunaannya tanpa makna. Intinya, sebuah istilah terdiri dari bentuk dan makna. Menurut Santoso 2006: 10 makna adalah konsep, gagasan,
ide, atau pengertian yang berada secara padu bersama satuan kebahasaan yang menjadi penandanya, yaitu kata, frasa, atau kalimat tersebut. Makna
memiliki berbagai macam jenis tergantung sudut pandangnya. Berdasarkan konteks yang menyertai sebuah istilah, makna dibedakan menjadi dua, yaitu a
makna primer, dan b makna sekunder Santoso, 2006: 21. Makna primer adalah makna inti yang dimiliki kata-kata. Makna ini berkaitan dengan makna
leksikal, makna denotatif, dan makna literal di mana makna yang dimiliki oleh kata-kata dalam kondisi lepas atau makna yang bisa dipahami tanpa bantuan
konteks, sedangkan makna sekunder adalah makna yang bisa dipahami atau diidentifikasikan melalui konteks. Makna sekunder berarti makna tambahan yang
dimiliki oleh kata-kata karena adanya penyikapan secara objektif oleh pemakai bahasa Santoso, 2006: 21.
22
2. Hubungan Bentuk dan Makna a.
Sinonimi Istilah sinonim dalam buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah 2008:40
adalah dua istilah atau lebih yang maknanya sama atau mirip, tetapi bentuknya berlainan. Menurut Santoso 2006: 27 sinonimi bersifat relatif, tidak mutlak, tidak
sempurna, sehingga kesamaan makna itu hanya bersifat “kurang-lebih”. Menurut Saeed dalam Santoso 2006: 28 dua kata yang bersinonim bisa berasal dari
register, gaya, ragam, dialek, atau bahasa yang berbeda-beda. b.
Antonimi Seperti halnya hubungan sinonimi yang bersifat timbal-balik, hubungan
makna antonimi juga menampakkan relasi dua arah. Pertentangan makna yang ditunjukkan
oleh dua
kata yang
berantonim biasanya
menampakkan pertentangan antara dua kutub, yaitu “positif dan negatif” Santoso, 2006: 28.
c. Homonimi
Istilah homonim berupa dua istilah atau lebih yang sama ejaan dan lafalnya, tetapi maknanya berbeda karena asalnya berlainan Pusat Bahasa Depdiknas,
2008:41. Menurut Santoso 2006: 33 homonimi ialah ungkapan kata, frasa, atau kalimat yang bentuknya sama dengan ungkapan lain, tetapi masing-masing
memiliki makna yang berbeda. d.
Polisemi Menurut Allan dalam Santoso 2006: 34 polisemi biasa diartikan sebagai
gejala yang dialami oleh satuan bahasa biasanya kata yang memiliki makna lebih dari satu.
23
e. Hiponim
Hubungan kehiponiman adalah hubungan makna antara yang lebih kecil dan yang lebih besar atau antara yang bersifat khusus dan yang bersifat umum
Santoso, 2006: 36. f.
Ambiguitas atau Ketaksaan Menurut Santoso 2006: 37 ambiguitas sering disebut dengan istilah
ketaksaan, yaitu kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Pengertian ini sama dengan pengertian polisemi. Perbedaannya, kalau polisemi mengenai
makna kata, sedangkan ambiguitas mengenai makna satuan bahasa yang lebih besar dari kata, yaitu frasa atau kalimat.
g. Medan Makna
Trier via Santoso 2006: 43 menyatakan bahwa medan makna adalah realitas bahasa yang ada di antara kata tunggal dan keseluruhan kosakata.
Medan bersama keseluruhan butir leksikalnya merupakan susunan terpadu. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa makna butir leksikal adalah medan konseptual
yang relatif kecil yang berada di dalam medan konseptual yang lebih luas. Setiap medan konseptual yang berasosiasi dengan makna sebuah kata adalah sebuah
konsep Santoso, 2006: 43.
H. Gaya Bahasa Majas
Gaya bahasa menurut Keraf 1991: 113 adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis pemakai bahasa. Lebih lanjut, Keraf mengungkapkan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan
santun, dan menarik. Gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan
24
kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan.
Gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Tarigan 1985: 6 membedakan ragam gaya bahasa menjadi empat macam, yaitu gaya bahasa
perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Lebih Ianjut, Tarigan dalam bukunya Pengajaran Gaya
Bahasa 1985: 8203, memaparkan berbagai ragam gaya bahasa sebagai berikut.
a. Gaya Bahasa Perbandingan
1 Perumpamaan atau Simile Perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja
kita anggap sama. Sering disebut juga persamaan atau simile. Perbandingan ini secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata “seperti”, “ibarat”, “bak”,
“sebagai”, “umpama”, “laksana”, “penaka”, dan “serupa”. Contoh:
Seperti air dengan minyak Ibarat mengejar bayangan
Bak cacing kepanasan Laksana bulan kesiangan
2 Metafora Analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam
bentuk yang singkat. Gaya perbandingan yang implisit tanpa kata seperti atau sebagai. Contoh:
Nani jinak-jinak merpati
3 Personifikasi Gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang
tidak bernyawa
seolah-olah memiliki
sifat-sifat kemanusiaan. Contoh:
25
Angin meraung-raung di sekitar hutan ini
Terik matahari mencubiti wajahku
4 Depersonifikasi Gaya bahasa yang berupa pembendaan manusia atau insan kebalikan
personifikasi. Contoh: Kalau adinda menjadi
samodra,
Dikau langit, daku bumi.
5 Alegori Suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Dalam alegori, nama-nama
pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Cerita yang dikisahkan dalam lambang-Iambang, merupakan metafora yang
diperluas dan berkesinambungan, dalam alegori unsur-unsur utama menyajikan sesuatu yang terselubung, mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia.
6 Antitesis Sebuah
gaya bahasa
yang mengandung
gagasan-gagasan yang
bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang. Contoh:
Dia bergembira-ria atas kegagalanku dalam ujian itu.
Kecantikannyalah justru yang mencelakakannya.
7 Pleonasme atau tautologi Acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang
diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acauan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh.
Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Contoh:
Saya telah mencatat kejadian itu dengan tangan saya sendiri