Jangka Waktu Gadai Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak

50 5. Selama gadai berjalan pemilik tanah gadaian boleh minta tambahan uang gadai pada pemegang gadai tapi pembayaran penebusannya nanti mesti sekaligus. 6. Jika salah satu pihak yang terkait dalam perjanjian gadai meninggal dunia digantikan oleh ahli warisnya.

3. Jangka Waktu Gadai

Selain yang empat perkara itu, gadai indak dimakan sando, tajua indak dimakan bali, biasanya gadai sando terbagi tiga yaitu: 62 a. Sando biasa, jangka waktu biasanya dua tahun, boleh ditebus pada tahun ketiga, tujuannya agar orang yang memegang gadai menerimamenikmati hasilnya jika hendak menebus sesudah hasilnya dipungut sesuai pepatah adat: Sah gadai baangsak-angsak Sah Piutang batunggu-tunggu Sah barang tasando, sagi indak mungkia sagi-batas Yang maknanya ialah sebelum orang pandai tulis baca, tanpa dibuat perjanjian sah menggadai, tetapi kalau sudah terlalu lama digadai tidak di tebus, maka gadai tersebut jadi kaburhilang karena tidak ada perjanjian yang mengikat secara tertulis. 62 B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, Bukit Tinggi : CV.Pustaka Indonesia, 1995 , hlm. 63 s.d. 64 Universitas Sumatera Utara 51 b. Sando Kudo, biasanya gadai dilakukan kepada anak atau orang lain yang dekat keluarga tidak ditentukan dalam perjanjian mengenai batas waktu kapan akan ditebus kembali. c. Sando agung, disandokan oleh orang dahulu yang tak tentu lagi berapa tersando dan sudah berapa lamanya tersando. Dalam hal ini soal tebus-menebus harus ada penengahnya yaitu Kerapatan Adat Nagari KAN. Pada sando kudo dan sando agung, haknya tidak boleh dialihkan kepada orang lain, dan tidak boleh meminta tambah lagi kecuali kalau dialihkan atas kehendak yang memegang hak gadai. Tetapi kalau sudah dialihkan kepada orang lain, maka menjadi sando biasa saja namanya. Perjanjian sando kudo dan sando agung itu tidak boleh dicampuri oleh orang lain, melainkan yang berhak menebus sando itu adalah orang yang menggadaikan harta itu sendiri. Apabila yang menggadaikan itu meninggal ,maka harta yang menjadi sando kuda dan sando agung itu tetap menjadi sando oleh yang memegang atau warisnya. Sungguhpun harta itu telah menjadi milik sipemegang atau warisnya bila yang menggadaikan sudah meninggal, tetapi kalau mereka itu hendak menjual atau menggadaikan lagi harta itu, wajiblah lebih dahulu ia memberitahukan dan memperhitungkan kepada ahli waris orang yang menggadaikan dahulu itu. Kalau Universitas Sumatera Utara 52 waris orang itu tiada cakap memegang atau tidak dapat menebusmembeli kembali hartanya, barulah ia bisa menjual atau menggadaikan kepada orang lain. 63 Tetapi bila ia tidak berbuat demikian, meskipun harta itu sudah menjadi miliknya, waris dari yang empunya harta itu dahulu dapat menebus gadai tersebut. Maka waris itu akan membayar berapa harga pegang gadai nya maka yang membeli atau yang memegang gadai itu tidak berhak menahan lagi harta itu, yaitu bila harta itu baru saja dikuasainya, kecuali kalau sudah berlangsung dalam hitungan bulan atau bertahun lamanya. Apabila harta itu sudah jatuh kembali ke dalam tangan waris yang menggadai karena sudah ditebus sesuai kesepakatan kedua belah pihak menurut adat, maka harta itu tidak boleh digadai kembali oleh warisnya. Waris dalam menebus gadai wajib melebihi tebusan harta pegang gadai itu dahulu dan kenaikan itu tidak melebihi dari pada nilai harta pusaka yang digadai, kecuali kalau harta tanah yang di pegangnya itu sudah menjadi naik sebab sudah ditambah atau diperbaikinya. Meskipun harga tanah harta pusaka tinggi yang digadaikan pada saat akan ditebus menjadi tinggi harga jualnya pada saat itu, maka tidak boleh diperhitungkan atas kenaikan harga pegang gadai secara tidak wajar. Walaupun demikian pada saat gadai akan ditebus dibayar kelebihannya wajib atas patut orang di tengah kesepakatan pihak ketiga sebagai penengah kedua belah pihak tanpa ada yang 63 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Op Cit, hlm. 246 Universitas Sumatera Utara 53 merasa dirugikan, tidak boleh atas kemauan sebelah pihak saja untuk menetapkan kelebihan penebusan gadai tersebut. Jika waris yang mau menebus itu sanggup, membayar kelebihankenaikan uang yang memegang itu menurut patut orang di tengah orang penengah, dengan tidak merubah kebiasaan hukum adat yang berlaku pada nagari tersebut, maka bolehlah ia mendapatkan harta itu kembali menjadi harta pusakanya sebagaimana disebut di dalam pepatah adat: 64 yang tergadai ditahuri yang tergadai diambil kembali yang terjual ditebusi yang terjual dibeli kembali Sando kuda dan sando agung itu sama keadaannya, sedikitpun tidak berlainan. Yang menamakan sando kuda itu adalah orang Lareh Bodi Caniago, karena kebesarannya menurut sepanjang adat berarak di atas kuda, dan yang menanam sando agung itu adalah orang Lareh Koto Piliang, sebab yang jadi kebesarannya di dalam adat adalah bergandang beragung di waktu berhelat. 65 Oleh sebab itu pada rumah adat orang Minangkabau, ada suatu rusuk pengatur tonggak, di atas rumah yang menghadap dari tepi ke tengah, dilebihkan orang sedikit rusuk itu menghadap ke tengah, yang oleh orang Lareh Bodi Caniago dinamakan sangkutan genderang, dan oleh orang Lareh Bodi Caniago Koto Piliang dinamakan sangkutan agung. 64 Wawancara dengan Walinagari Kamang Mudiak 65 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Op Cit, hlm 274 Universitas Sumatera Utara 54 Itulah yang dijadikan kias di dalam adat kepada sando gadai, sebab tidak ada lagi harta yang akan digadaikan, mereka terpaksa menggadaikan agung kebesarannya. Begitu pula orang kelarasan Bodi Caniago, sampai terpaksa pula menggadaikan kuda yang jadi kebesarannya, sebagaimana aturan yang tersebut di atas tadi. Sipenggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas kesepakatan kepada kedua belah pihak. Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando sandra, maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun ke sawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau emas tadi. Menurut Undang-Undang No. 56 tahun 1960 Pasal 7, gadai yang telah berumur 7 tahun atau lebih dapat diminta kembali oleh pemiliknya setiap waktu setelah panen, tetapi berumur kurang dari 7 tahun harus ditebus dengan uang tebusan berdasarkan rumus : 7 + ½ - waktu berlangsung hak gadai dikali uang gadai dibagi 7 tujuh. Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen. Ketentuan ini tidak berlaku untuk hak atas tanah perumahan. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 10 Januari 1957 No. 187KSip56, terhadap tanah bukan tanah pertanian, tambak dan tanaman keras, hak untuk menebus tak mungkin lenyap karena daluwarsa, apabila pemilik meninggal, maka ahli waris tetap berhak untuk dapat menebus. Universitas Sumatera Utara 55 Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pagang gadai. Pada umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya diberlakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pagang gadai di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara asas kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial. Dalam adat Minangkabau hak gadai bukan jaminan sebagaimana berlaku pada hak tanggunganhipotik, sebab dalam gadai menggadai tanah di Minangkabau yang digadaikan beralih kekuasaannya hak milik, beralih pengnikmatannya kepada pembeli gadai selama masa sebelum ditebusi secara sempurna, sedangkan dalam hak tanggungan tanahnya tetap dinikmati oleh pemilik asal. Di nagari Kamang Mudiak gadai tidak memiliki jangka waktu menebus bahkan tidak jarang pula penggadai meminta tambahan gadainya yang berupa emas atau rupiah. 66 Gadai tanah yang terus berkembang di masyarakat pada sekarang ini haruslah diperhitungkan jangka waktunya agar tanah harta pusaka tinggi tidak beralih kepada orang atau pihak lain, peruntukanya tetap sebagai tanah harta pusaka tinggi yang bertujuan untuk membantu kaum dan anak kemanakan. 66 Wawancara dengan Kepala Suku nagari Kamang Mudiak pada 1 Mei 2014 Universitas Sumatera Utara 56 Walaupun gadai harus terjadi sebaiknya sebelum serah terima ijab kabul gadai diperhitungkan berapa banyak hasil yang diterima dari tanah yang digadaikan lalu disesuaikan dengan jumlah uang, emas atau rupiah yang akan diterima kemudian dijumlahkan berapa lama waktu gadai yang bisa disepakati agar tanah yang digadai bisa dikembalikan. Dengan demikian sipenggadai tidak perlu lagi membayar sejumlah uang, emas atau rupiah yang diterimanya pada saat akan menebus tanah gadaian tersebut karena sudah diperhitungkan sejak awal. Sipenggadai dan sipenerima gadai dalam hal ini memiliki posisi yang saling menguntungkan, bagi sipenggadai pada saat ia membutuhkan biaya yang harus ada dalam waktu cepat ia menerima dalam bentuk uang, emas atau rupiah dari sipenerima gadai. Kebutuhan sipenggadai terpenuhi sehingga lepas ia dari masalah yang dihadapinya dan bagi sipenerima gadai pada saat ia menerima tanah yang dijadikan benda gadai maka ia sudah bisa menghitung dan mengerjakan tanah tersebut agar dapat menghasilkan sejumlah uang dalam jangka waktu yang telah disepakati agar terpenuhinya minimal sebesar jumlah gadai yang diserahkan. Sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa saling dirugikan, apabila jangka waktu yang telah disepakati telah berakhir, sepemberi gadai tidak perlu lagi menebus gadaiannya dan akan menerima kembali tanah yang dijadikan gadaian dan sipenerima gadai merasa tenang uang, emas atau rupiah yang diberikan kepada sipenggadai sudah kembali walaupun tidak sekaligus diterimanya. Universitas Sumatera Utara 57

4. Prosedur Pengikatan Gadai Tanah Harta Pusaka Tinggi