sumberdaya sehingga menjadi suatu kekuatan yang besar untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
4 Strategi haruslah layak untuk dilaksanakan; Strategi yang dibuat merupakan serangkaian tahapan analitis terhadap
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, sehingga keluaran yang dihasilkan haruslah layak dilaksanakan.
5 Strategi hendaknya memperhitungkan resiko yang tidak terlalu besar; Setiap usaha pasti mengandung suatu resiko, demikian halnya dengan
strategi. Namun untuk meminimalisasi resiko tersebut, strategi yang dibuat haruslah selalu dapat dikontrol.
6 Strategi hendaknya disusun diatas landasan keberhasilan; Rancangan strategi sebaiknya dibuat berdasarkan pengalaman keberhasilan
kegiatan-kegiatan lainnya, atau melakukan modifikasi strategi dari yang telah ada dengan berbagai penyesuaian dalam konsep dasar.
7 Perlu dukungan dari semua pihak yang terlibat. Kesuksesan strategi sangat dipengaruhi oleh dukungan dari pihak-pihak yang
berkepentingan.
2.2 Sumberdaya Ikan Karang
Ikan karang adalah semua jenis ikan yang hidup dan berasosiasi dengan lingkungan karang, baik untuk memijah, makan maupun untuk berkembang biak.
Menurut Djamali dan Mubarak 1998, ada sekitar sepuluh famili utama penyumbang produksi perikanan di Indonesia. Kesepuluh famili tersebut adalah:
1 Caesiodae, 2 Holocentridae, 3 Serranidae, 4 Siganidae, 5 Scaridae, 6 Lethrinidae, 7 Priachanthidae, 8 Labridae, 9 Lutjanidae dan 10
Haemunidae. Dari kesepuluh famili utama ikan karang, yang tergolong ikan karang konsumsi diantaranya Caesionidae ekor kuning, Labridae napoleon,
Scaridae kerapu, Lutjanidae kakap, Singanidae baronang dan Lethrinidae lencam.
Ikan-ikan karang dari kesepuluh famili tersebut tersebut menyebar dihampir seluruh ekosistem karang di Indonesia dengan potensi terbesar berada di WPP 4
Selat Makassar dan Laut Flores dan WPP 5 Laut Banda Tabel 1.
Tabel 1. Potensi sumberdaya ikan karang Indonesia menurut WPP No Wilayah pengelolaan perikanan
Potensi 10
3
Tonthn Produksi
10
3
Tonthn 1
Selat Malaka 5,00
21,60 2
Laut Cina Selatan 21,57
7,88 3
Laut Jawa 9,50
48,24 4
Selat Makassar dan Laut Flores 34,10
24,11 5
Laut Banda 32,10
6,22 6
Laut Seram dan Teluk Tomini 12,50
4,63 7
Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik 14,50
2,21 8
Laut Arafura 3,10
22,58 9
Samudera Hindia 12,88
19,42 Jumlah
145,25 156,89
Sumber: Dahuri 2002 Ikan karang umumnya termasuk komoditas yang memiliki nilai ekonomis
penting, apalagi jika tersedia dalam bentuk hidup. Permintaan dunia terhadap komoditas ikan karang hidup khususnya kerapu Epinephelus sp dan napoleon
C. undulatus pada tahun 2002 saja telah mencapai 35.000 ton. Dari jumlah tersebut, realisasi ekspor ikan hidup Indonesia pada periode Januari-April 2002
mencapai 24.050.819 kg dengan nilai 23.932.157 US DKP, 2003.
2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Karang Teknologi mengandung dua dimensi, yaitu ilmu pengetahuan dan
science dan rekayasa engineering, dimana keduanya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Teknologi dapat berupa teknik, metoda atau cara serta
peralatan yang dipergunakan untuk menyelenggarakan pelaksanaan suatu rancangan transformasi input menjadi output, dengan sasaran tertentu yang
didasarkan atas hasil science dan engineering tercapai Sewoyo, 2001. Merujuk pada defenisi di atas maka yang dimaksud dengan teknologi
penangkapan ikan karang adalah seluruh teknik, metoda atau cara serta peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan karang. Teknologi
penangkapan ikan karang dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok berdasarkan dampak negatif yang diakibatkan oleh pengoperasian alat tangkap,
yaitu legal fishing dan destructive fishing.
2.3.1 Legal Fishing 1 Bubu Trap
Perikanan bubu sudah sejak lama dikenal oleh nelayan terutama
dipergunakan untuk menangkap ikan karang. Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu dilakukan di hampir seluruh dunia mulai dari yang
skala kecil hingga skala besar. Perkembangan usaha perikanan dengan alat tangkap bubu yang sangat pesat disebabkan banyaknya keistimewaan yang
dimiliki oleh alat tangkap ini, antara lain : 1 Pembuatan alat yang mudah dan murah, 2 Pengoperasiannya mudah, 3 Kesegaran hasil tangkapan bagus, dan
4 Tidak merusak sumberdaya baik dari sisi ekologi maupun teknis Monintja dan Martasuganda, 1990.
Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan dapat dibuat dari anyaman bambu bamboos netting, anyaman rotan rotan netting, anyaman
kawat wire netting, plastik dan bahan jaring Brandt, 1984; Subani dan Barus, 1989.
Bentuk bubu sangat beraneka ragam, ada yang segi empat, trapesium, silider, lonjong, bulat setengah lingkaran, persegi panjang atau bentuk lainnya.
Model bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang merupakan target tangkapan maupun kebiasaan atau pengetahuan sang operator. Secara umum
konstruksi bubu terdiri dari rangka, badan dan pintu masuk, kemudian ada juga yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung
umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan Martasuganda, 2003. Menurut Martasuganda 2003, penentuan daerah penangkapan ikan
dengan menggunakan bubu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang keberadaan ikan diperairan, sedangkan faktor oseanografi tidak mempengaruhi
secara signifikan. Pemasangan bubu di perairan dapat dilakukan dengan sistem tunggal dipasang satu demi satu dan sistem beruntai pemasangan system
rawai. Waktu pemasangan setting dan pengangkatan hauling sangat fleksibel tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Antara pemasangan
alat dengan pengangkatan alat, ada waktu jeda yang umum disebut waktu perendaman soaking. Lama perendaman bubu soaking diperairan bervariasi
antara satu malam sampai tujuh hari.
Monintja dan Martasuganda 1990 menjelaskan bahwa ada beberapa
faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap pada bubu. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tertarik oleh bau umpan, dipakai
sebagai tempat berlindung, sebagai tempat istrirahat sewaktu ikan bermigrasi dan adanya sifat thigmotaxis ikan itu sendiri. Sifat thigmotaxis adalah sifat ikan
yang selalu ingin mengetahui suatu benda asing yang ada disekitarnya, sehingga ikan cenderung untuk menyentuhkan diri pada alat tersebut Gunarso, 1995.
Berdasarkan hasil penulusuran kepustakaan yang dilakukan, beberapa
daerah-daerah yang dominan menggunakan alat tangkap bubu untuk menangkap ikan karang, yaitu Kepulauan Seribu Marliana, 2004, Tanjung
Manimbaya-Donggala Rumajar, 2001, dan Kepulauan Kei-Maluku Utara Sarmintohadi, 2002.
2 Pancing Line Pancing merupakan alat penangkap ikan yang paling banyak digunakan
oleh nelayan di Indonesia. Berbagai modifikasi yang disesuaikan dengan lokasi dan tujuan penangkapan dilakukan untuk memperoleh hasil penangkapan yang
diharapkan. Dua jenis pancing yang biasanya digunakan nelayan untuk menangkap ikan karang adalah rawai dasar dan handline.
Bagian-bagian utama dari handline terdiri atas roller, tali pancing dan mata pancing. Selain tiga komponen tersebut dalam pengoperasian handline
digunakan bantuan umpan dan pemberat. Konstruksi handline dapat mengalami modifikasi dengan tambahan tali cabang branch line dan swivelkili-kili yang
merupakan penghubung antara tali pancingtali utama dengan tali cabang. Modifikasi konstruksi umumnya dilakukan untuk memperbesar peluang
tertangkapnya ikan. Prinsip pengoperasian pancing ulur handline adalah memikat ikan
menggunakan umpan yang dikaitkan pada kail. Ikan yang memakan umpan tersebut akan tersangkut pada kail. Secara umum dalam setiap pengoperasian
handline, dilakukan empat tahapan kegiatan. Pertama : Persiapan di atas
perahu, meliputi kegiatan persiapan dan pemeriksaan kelayakan operasi pancing
ulur. Kedua: Penurunan setting alat tangkap di dasar perairan yang didahului pemasangan umpan pada mata pancing. Ketiga: Perendaman soaking pancing
selama beberapa saat dan Keempat: penarikan pancing hauling ke atas perahu.
Rawai merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang terdiri atas rangkaian tali utama mainline, tali cabang branch line, tali pelampung float
line, mata pancing hook, bendera, pemberat, jangkar serta pelampung Ayodhyoa, 1981.
Rawai perairan karang adalah tipe rawai yang digunakan pada perairan yang dasarnya terdapat terumbu karang atau bebatuan yang memungkinkan
mata pancing mudah tersangkut atau terbelit di karang. Pada rawai perairan karang terdapat modifikasi pada bahan tali cabang branch line, yaitu tali cabang
yang dibungkus dengan bahan kuralon sehingga posisi tali cabang tegak secara vertikal. Modifikasi ini dapat mengurangi peluang tersangkutnya mata pancing
pada terumbu Subani dan Barus, 1989. Prinsip pengoperasian rawai dasar serupa dengan long line, yaitu
memanfaatkan umpan sebagai sarana untuk menarik perhatian ikan yang akan di tangkap. Hanya saja operasi penangkapan ikan dengan longline umumnya
dilakukan dengan cara menghanyutkan pancing drift longline sedangkan pada rawai dasar, alat tangkap dipasang secara permanenmenetap di perairan.
Salah satu daerah di Indonesia yang diidentifikasi menggunakan alat tangkap rawai dasar dalam penangkapan ikan karang adalah perairan Tamako-
Sulawesi Utara Rawung, 1999.
3 Jaring Insang Dasar Gillnet
Jaring insang merupakan suatu jenis alat penangkap ikan yang terbuat dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring dari
bagian utama ukurannya sama, jumlah mata jaring kearah panjang atau kearah horizontal mesh length ML. Bagian atas jaring dilengkapi dengan beberapa
pelampung float dan bagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat sinker. Kombinasi antara pelampung dan pemberat menghasilkan gaya yang
berlawanan sehingga memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak Martasuganda, 2003
Bagian utama gillnet dasar terdiri atas badan jaring webbing, pelampung floating dan pemberat sinker. Gillnet dasar dioperasikan di dasar perairan
berkarang dengan tujuan penangkapan ikan-ikan karang. Metode pengoperasian gillnet dasar adalah dengan cara menghadang arah pergerakan
ikan. Jaring dibentangkan di dasar perairan selama beberapa saat sebelum diangkat untuk melepaskan hasil tangkapan.
2.3.2 Destructive Fishing Kondisi ekosistem terumbu karang memiliki korelasi positif dengan jumlah
dan jenis ikan yang ada pada ekosistem tersebut. Luas terumbu karang di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia mencapai 51.020 kilometer persegi,
tetapi kondisi terumbu karang tersebut sangat memprihatinkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh LIPI tahun 1996, kondisi terumbu karang
Indonesia berada dalam kondisi rusak sekitar 39,5, dalam kondisi sedang sekitar 33,5, kondisi baik 21,7 dan hanya 5,3 dalam kondisi sangat baik.
Penyebab terjadinya kerusakan karang tidak hanya disebabkan dampak dari perubahan alam seperti perubahan iklim, namun juga disebabkan oleh
aktifitas manusia dalam praktek-praktek perikanan yang merusak destruktif fishing seperti eksploitasi berlebih dan teknik penangkapan perikanan yang tidak
ramah lingkungan. Kegiatan penangkapan ikan yang merusak destructive fishing telah
lama dikenal di dunia. Umumnya perikanan yang destruktif menggunakan peralatanbahan pembius untuk melumpuhkan ikan. Brant 1984 telah
mengelompokkan keseluruhan metode penangkapan ikan ke dalam 16 kelompok besar, salah satu diantaranya adalah penangkapan ikan dengan menggunakan
paralatanbahan pembius stupefying devices. Prinsip penangkapan ikan dengan cara ini adalah melumpuhkan ikan melalui serangkaian kegiatan
pembiusan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan teknik yang digunakan dalam melumpuhkan ikan, yaitu 1 metode melumpuhkan
secara mekanis mechanical stupefying, 2 metode melumpuhkan secara kimiawi chemical stupefying dan 3 melumpuhkan dengan listrik electrical
stupefying. Metode penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak blast
fishing tergolong dalam mechanical stupefying, sedangkan penangkapan ikan dengan menggunakan racun ikan ichtyotoxic materials baik tumbuhan
ichtyotoxic plants, hewan maupun bahan kiimia sintesis merupakan contoh- contoh dari metode melumpuhkan secara kimiawi.
1 Blast Fishing
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak blast fishing telah dikenal lebih dari 50 tahun yang lalu dan termasuk salah satu metode
penangkapan ikan tradisional. Teknik penangkapan dengan menggunakan bahan peledak diadopsi dari tentara Jepang pada masa perang dunia ke dua.
Metode ini dianggap sebagai cara yang lebih efektif dan efisien untuk menangkap kawanan ikan. Beberapa dasawarsa terakhir, sejalan dengan
semakin menurunnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan di hampir seluruh perairan pantai telah mendorong dijadikannya metode ini sebagai alternatif
untuk memperoleh tangkapan Pet-Soede et al., 1999. Material yang digunakan sebagai bahan pembuat bom pada mulanya
berasal dari sisa-sisa amunisi perang dunia yang diperoleh dari bunker-bunker yang digali. Saat ini, nelayan umumnya menggunakan bahan peledak yang
dirakit sendiri dari campuran pupuk sintesis, seperti ammonium nitrat NH
4
NO
3
atau kalium nitrat KNO
3
dengan minyak tanah dan belerang. Ketiga bahan tersebut dimasukkan ke dalam botol bekas kaleng minuman dan dilengkapi
dengan sumbu yang terbuat dari pintalan benang. Nelayan di Kepulauan Togean biasa menyebut metode penangkapan
ikan dengan bahan peledak dengan sebutan “Babom”. Bahan baku utama bahan peledak adalah pupuk tanaman cap Matahari dan Obor yang didapat
secara terselubung. Bahan lainnya adalah korek api, bola lampu senter dan botol kaca bekas minuman suplemen. Tiap kelompok nelayan yang biasa babom
sanggup membuat 10 hingga 20 botol bom ikan siap pakai dalam sekali melaut. Nelayan yang biasa menggunakan peledak untuk mencari ikan babom sangat
lihai dalam merakit bom mulai dari yang sederhana dilempar maupun menggunakan detonator.
Selain menggunakan pupuk sintesis sebagai bahan dasar pembuatan bom, nelayan kadang-kadang menggunakan dinamit dalam penangkapan ikan.
Dinamit ini diperoleh dari oknum polisi, militer, perusahaan-perusahaan pertambangan, atau pekerja-pekerja proyek pembangunan jalanjembatan
sebagai Pet-Soede et al., 1999. Blast fishing dianggap sebagai suatu tindakan manusia paling merusak
yang tidak saja berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang dan eksistensi organisme yang ada disekitarnya namun juga sangat
berbahaya bagi operator.
Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan di bawah air terhadap kehidupan di perairan telah menjadi subyek penelitian selama lebih
dari 50 tahun terakhir ini. Menurut Pet-Soede dan Cesar 1999, laju kehancuran karang hidup akibat ledakan mencapai 3,7 m
2
per 100 m
2
, jauh lebih besar dari kemampuan karang untuk meregenerasi diri. Multiplier effect yang diakibatkan
oleh ledakan bahkan bisa lebih besar dari dampak kerusakan pengeboman itu sendiri yang hanya mencapai radius 2,5 m atau setara dengan 19,6 m
2
luas area karang yang terpengaruh Pet-Soede et al., 2000.
Salah satu efek turunan dari blast fishing yang paling serius adalah tidak dapat tumbuhnya koloni karang baru pada area serpihan-serpihan karang yang
terbentuk akibat ledakan. Kerangka-kerangka karang dan puing-puing yang tidak stabil menghalangi dan mencegah terjadinya kolonisasi. Akibat dari
keadaan ini adalah terjadinya tekanan terhadap area karang yang masih sehat disekitar area ledakan sehingga berpotensi menimbulkan kehancuran ekosistem
terumbu karang Mc. Manus et al., 1997. Ditinjau dari perspektif asosiasi ekologis, kerusakan terumbu karang yang
akibat ledakan tidak dapat difungsikan lagi sebagai tempat berlindung, mencari makan dan memijah bagi organisme-organisme laut. Dari sisi ekonomis,
hamparan terumbu karang yang telah hancur akan kehilangan daya tarik dari sudut pandang pariwisata. Keadaan ini akan sangat merugikan mengingat
pengembangan sector wisata pantaikarang dapat mendatangkan pendapatan alternative yang cukup besar bagi masyarakat setempat dan merupakan sumber
devisa negara Pet-Soede et al., 1999. Dampak negatif penggunaan blast fishing dapat diidentifikasi secara jelas
pada bagian-bagian tubuh ikan yang tertangkap. Umumnya terjadi kerusakan pada tubuh ikan yang ditangkap dengan menggunakan bom sebagai akibat dari
terjadinya gelombang kejut yang terbentuk dari ledakan bawah air. Tingkat kerusakan tergantung pada sejumlah faktor, seperti kekuatan ledak, jarak ikan
dari titik ledak, jenis dan ukuran ikan serta kedalaman kolom air dan dasar perairan. Ikan-ikan yang berada di dekat pusat ledakan mati secara cepat oleh
gelombang kejut, sementara yang berada pada jarak yang lebih jauh menderita kerusakan yang lebih ringan. Berdasarkan pada faktor-faktor tersebut, ikan yang
terkena ledakan tidak segera mengalami kematian namun beberapa saat setelahnya akan mengalami kematian.
2 Racun
Penggunaan racun dalam penangkapan ikan telah dikenal sejak tahun 1500-an dengan digunakannya racun tumbuhan untuk menangkap ikan.
Berbagai jenis tumbuhan seperti Loncho carpu, Amanirta cocolus, Strychonus nuxvomica, Serrasalmus sp., Derris elliptica, D. uliginosa dan D. laganesis di
Indonesia dan Malaysia dikenal dengan sebutan “tuba” telah sejak lama digunakan sebagai racun ikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1700-an bahan kimia sintesis mulai digunakan untuk penangkapan ikan. Bahan kimia pertama yang
digunakan untuk menangkap ikan adalah kapur yang dilarutkan dalam air kemudian dituangkan ke dalam perairan. Ikan yang ada di tempat tersebut akan
terbius oleh sifat basa dari kapur. Bahan kimia lain yang pernah digunakan sebagai racun ikan antara lain senyawa tembaga-sulfat copper vitriol, natrium
hipoklorit dan sianida, baik yang bersenyawa dengan natrium dan kalium. Unsur yang disebutkan terakhir merupakan material yang paling popular digunakan
nelayan dalam penangkapan ikan dan dikenal dengan sebutan potasium. Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida umumnya dilakukan di
perairan terumbu karang dengan cara menyemprotkan botol-botol berisi sianida ke dalam gua-gua karang tempat persembunyian ikan tersebut. Dalam operasi
penangkapan ikan ini, nelayan menggunakan kompresor sebagai alat bantu dalam melakukan penyelaman. Teknik lain telah dilakukan oleh nelayan
Kepulauan Togean dengan cara menebarkan butiran-butiran potas pada lokasi terumbu karang yang diperkirakan gudang persembunyian ikan.
Penggunaan racun sebagai sarana penangkapan ikan mulai marak sejak terjadinya peningkatan permintaan ikan hidup untuk komoditas ikan karang.
Prinsip kerja racun yang hanya bersifat temporer dianggap sebagai solusi tepat dalam menyediakan ikan hidup. Padahal ditinjau dari sisi ekologislingkungan
maupun biologis ikan, penggunaan racun khususnya sianida kemungkinan memberikan dampak negatif.
Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa paparan racun sianida zooxanthellae yang bersimbiosis pada hard coral pada tingkatan seperti yang
terjadi pada cyanide fishing menyebabkan terjadi pemutihan bleaching atau matinya polip-polip karang tersebut Jones and Steven, 1997. Pemutihan
karang tersebut disebabkan oleh pengaruh racun sianida terhadap proses fotosintesis dari gangggang zooxanthellae Jones and Hoegh-Guildberg, 1999.
Namun demikian toksitas racun sianida terhadap karang pada kondisi percobaan ini tidak membuktikan tingkat degradasi yang terjadi pada terumbu karang. Hal
ini disebabkan laju kematian kehilangan karang akibat paparan sianida mungkin lebih kecil dari laju pertumbuhan alami dari karang itu sendiri, atau
mungkin pada kondisi alamiah air di laut, sianida terbawa begitu cepat oleh arus air sehingga menimbulkan paparan terhadap area karang yang lebih luas Jones
and Steven, 1997. Hasil pendugaan beberapa peneliti mengenai tingkat degradasi
penutupan karang di Indonesia aakibat cyanide fishing berkisar antara 0,05-0,06 m
2
per 100 m
2
per tahun. Estimasi tingkat degradasi karang ini lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan kepulihan alami karang Mous, 2000. Oleh
karena itu, asumsi bahwa cyanide fishing untuk perdagangan ikan hidup bukan ancaman terhadap kelestarian terumbu karang mengkin saja timbul, terutama
bila dibandingkan dengan degradasi karang yang diakibatkan oleh blast fishing yang diduga mencapai kisaran 3,7 m
2
per 100 m
2
per tahun Pet-Soede et al., 1999.
Dipandang dari sisi biologis ikan, penggunaan racun dalam penangkapan dapat mempertinggi tingkat mortalitas ikan akibat resistensi terhadap racun yang
rendah serta akibat pemangsaan yang merupakan dampak turunan dari penggunaan racun.
Sianida merupakan salah satu bahan kimia yang paling beracun. Ikan diperkirakan mempunyai kepekatan terhadap sianida seribu kali lebih tinggi dari
manusia. Konsentrasi sianida di bawah tingkatan yang mematikan dapat menimbulkan respon psikologis dan patologis berupa berkurangnya kemampuan
berenang, gangguan terhadap kemampuan bereproduksi dan dapat mengarah ke munculnya keturunan yang cacat. Selain itu ikan-ikan yang telah terkena
sianida juga rentan terhadap serangan pemangsa karena pergerakannya di dalam air menjadi lambat Eisler, 1991. Toksitas sianida terhadap ikan
meningkat 3 kali lipat dengan menurunnya temperature air 12
o
C. Selain itu, keberadaan ion khlorida dengan konsentrasi sekitar 17,0 ppt dapat menurunkan
kemampuan bertahan hidup survival rate pada ikan yang terkena sianida Hynes, 1998.
Terjadinya pencemaran sianida dalam volume besar yang pernah terjadi di Jepang akibat bobolnya tanggul penampungan limbah yang mengandung
sianida mungkin bisa dijadikan ilustrasi tentang dampak sianida terhadap
organisme-organisme perairan. Pada kasus tersebut limbah menutupi aliran sungai sepanjang 10 km dari sumber pencemaran. Polutan tersebut membunuh
semua biota sepanjang aliran sungai. Kondisi perairan baru mulai pulih setelah 6-7 bulan kemudian Yasuno, 1981.
2.4 Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Perikanan Tangkap
Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future Masa Depan Bersama yang disiapkan oleh World Commision on
Enviroment and Development Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan pada tahun 1987 Mitchell, 1997. Definisi pembangunan
berkelanjutan menurut komisi tersebut adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka Mitchell, 1997; Maryunani, 1998.
Definisi lain dari pembangunan berkelanjutan yang lebih komperhensif dikemukakan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan HidupBapedal pada tahun
1997 sebagai berikut: Pembangunan yang berkelanjutan sustainable development merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi, orientasi
pengembangan teknologi dan perubahan institusi adalah suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa akan datang untuk
memenuhi kebutuhan dan aspirasi manuasia Beranjak dari defenisi yang telah diungkapkan tersirat adanya dimensi
ekonomi serta lingkungan sebagai faktor pembatas untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam perspektif perikanan tangkap, Monintja
2000 telah menderivasikan pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kriteria usaha perikanan yang berkelanjutan sebagai berikut:
1 Menerapkan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan; 2 Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah yang diperbolehkan;
3 Kegiatan usaha menuntungkan; 4 Investasi rendah;
5 Penggunaan bahan bakar minyak rendah; 6 Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Monintja 2000, perlu ada pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan usaha perikanan.
Pertimbangan dimaksud salah satunya adalah teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, yaitu:
1 Selektivitas alat tangkap yang digunakan tinggi; 2 Teknologi yang digunakan tidak merusak habitat
3 Teknologi penangkapan ikan tidak berbahaya terhadap nelayan operator; 4 Produk yang dihasilkan tidak membahayakan terhadap kesehatan konsumen;
5 Hasil tangkapan sampingan by catch dan yang terbuang discard minimum
.
2.5 Review Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan