1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegagalan Indonesia untuk memperoleh hak kepemilikan terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan pengalaman berharga mengenai pentingnya
suatu kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau kecil perbatasan. Orientasi hak kepemilikan ternyata tidak cukup
didasarkan pada bukti sejarah belaka. Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan hanyalah segelintir kasus dari kasus-
kasus yang lebih besar yang mungkin terjadi jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah kejadian serupa di masa
akan datang. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Dephan dan Dehidros TNI-AL tahun 2003, dari 17.504 pulau-pulau yang dimiliki Indonesia,
terdapat 92 pulau-pulau kecil berada pada posisi terluar, 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan Negara tetangga sebagai pulau perbatasan. Dari
67 pulau-pulau tersebut, 13 pulau diantaranya perlu mendapatkan perhatian khusus. Perhatian khusus pada 13 pulau tersebut didasarkan pada timbulnya
permasalahan-permasalah substansial yang dapat berdampak pada eksistensi pulau tersebut di masa akan datang. Permasalahan tersebut antara lain 1
rawan penangkapan ikan illegal, 2 rawan perompakan, 3 rawan penyelundupan, 4 rawan okupasi negara lain, dan 5 rawan pengaruh
ipoleksosbud dari negara lain Dishidros TNI-AL, 2003. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah
kejadian serupa adalah menetapkan kebijakan pemanfaatan pulau-kecil secara komperhensif berdasarkan pertimbangan potensi dan karakteristik spesifik
wilayah. Potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu 1 potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, 2 potensi
ekonomi dan 3 potensi sebagai basis pertahanan. Secara garis besar terdapat tiga pilihan pola atau model pengembangan yang dapat diterapkan untuk
ekosistem pulau kecil. Pertama, menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi. Kedua, pengembangan pulau secara optimal dan berkelanjutan. Ketiga, pola
pengembangan dengan intensitas tinggi yang mengakibatkan perubahan radikal pada ekosistem pulau Hein, 1990.
Secara lebih spesifik, telah dikemukakan suatu teori tentang pentingnya pendekatan lokal dalam konsep pengelolaan pulau-pulau kecil. Teori ini dikenal
dengan sebutan Global Ocean Governance GOG dan didefinisikan sebagai berikut: the development of a set of ocean rules and practices that are equitable,
efficient in the allocation of ocean uses and resources including notion of sustainability, provide the means of resolving conflicts over access to and the
enjoyment of the benefits of the oceans, and specifically attempt to alleviate collective-action problems in a world of independent actors. Dari definisi
tersebut, paling tidak ada 3 kata kunci yaitu: 1 asas kesamaan equitability dan efisiensi efficiency alokasi pemanfaatan sumber daya kelautan yang ada di
pulau-pulau kecil, 2 menyediakan cara pemecahan konflik pemanfaatan sumber daya di pulau-pulau kecil, dan 3 meningkatkan aksi kolektif dari segenap
stakeholder terhadap masalah-masalah pemanfaatan sumber daya kelautan pulau-pulau kecil.
Kepulauan Ayau atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Fani merupakan salah satu dari 13 pulau yang mendapat perhatian khusus dari
pemerintah. Ditinjau dari perspektif topografi wilayah, daerah ini dikelilingi oleh lautan serta kondisi tanah yang kurang sesuai dipergunakan untuk aktivitas
bercocok tanam. Oleh karena itu mayoritas penduduk kepulauan ini menggantungkan hidupnya pada penangkapan ikan di laut dan aktivitas
turunannya. Potensi perikanan yang paling besar dimiliki oleh Kepulauan Ayau adalah
ikan karang. Hamparan karang yang mengelilingi wilayah lautan daerah ini merupakan justifikasi terhadap kondisi tersebut. Bahkan berdasarkan hasil
kajian yang dilakukan oleh Conservation International CI yang dilakukan di Kepulauan Raja Ampat termasuk kawasan Kepulauan Ayau, berhasil ditemukan
sekitar 900 spesies karang yang ada di dunia. Selain spesies karang, berhasil pula diidentifikasi sebanyak 950 spesies ikan karang, empat jenis diduga
merupakan spesies baru, yaitu Pseudochromis sp, Apogon sp, Eviota sp Farid dan Sriyadi, 2001.
Merujuk pada pentingnya kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan sebagai bentuk konsolidasi kenegaraan, tidak salah jika pemerintah
segera menetapkan kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan karang sebagai satu-satunya sub sektor yang dapat diandalkan dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat Kepulauan Ayau. Sebagai langkah awal, rancangan
strategi pengelolaan sumberdaya perikanan karang dalam rangka pemanfaatan yang berkelanjutan mutlak dibutuhkan.
1.2 Perumusan Masalah