Ukuran Dan Bentuk Hidung Pada Suku Batak

(1)

UKURAN DAN BENTUK HIDUNG

PADA SUKU BATAK

TESIS

Oleh

Budi Mulyana

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT THT KL

MEDAN


(2)

UKURAN DAN BENTUK HIDUNG

PADA SUKU BATAK

TESIS

Diajukan sebagai pelengkap tugas dalam memenuhi salah satu syarat untuk mencapai spesialis di bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher

Oleh

Budi Mulyana

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT THT KL MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Medan, Desember 2007

Tesis dengan judul

UKURAN DAN BENTUK HIDUNG PADA SUKU BATAK

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Dr. Abdul Rachman SpTHT KL(K) Prof. Dr. Askaroellah Aboet SpTHT KL(K) Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing:

Ketua

Dr.Muzakkir Zamzam SpTHT KL(K) Anggota


(4)

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karuniaNyalah saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh spesialisasi dalam bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di fakultas ini.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.

Prof. Dr. A.Rachman Saragih SpTHT-KL(K) sebagai Kepala Departemen THT- FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan dan sekaligus Ketua Program Studi sewaktu kami memulai pendidikan, yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dorongan dan nasehat serta petunjuk yang sangat berguna selama saya mengikuti pendidikan di Bagian THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan.


(5)

Prof. Dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K), selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Bagian THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan semangat kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan program pendidikan ini.

Dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), sebagai ketua pembimbing tesis, DR. Dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K) dan Prof.Dr. Ramsi Lutan SpTHT-KL(K) sebagai anggota pembimbing tesis, yang telah begitu banyak memberikan petunjuk, serta bimbingan dan dorongan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada saya selama penyelesaian penulisan tesis ini.

Para supervisor di jajaran Bagian THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, sesepuh kami Prof. Dr. Adenin Adenan, SpTHT(almarhum), Dr. Basyroel Shah, SpTHT (almarhum), Dr. Erwin L. Tobing, SpTHT, Dr.Asroel Aboet, SpTHT-KL, Dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL(K), Dr.Sofya Hanum, SpTHT-KL(K), Dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL, Dr.Linda Adenin, KL, Dr. Hafni, SpTHT-KL(K), Dr.Rizalina Asnir, SpTHT-KL, Dr. Ida Syailendra, SpTHT-KL, Dr Ainul Mardhiah, SpTHT-KL, Dr. Harry A Asroel Sp.THT-KL, Dr. Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu pengetahuan di bidang THT kepada kami baik secara teori maupun keterampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi kami di kemudian hari .

Bapak Kepala Bagian/ Staf Radiologi FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Bagian/ Staf Radiologi RS. Elizabeth Medan, Kepala Bagian/ Staf


(6)

Anestesi FK USU/ RSUP. H.Adam Malik Medan, Kepala Bagian/ Staf Patologi Anatomi FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan kepada kami selama menjalani masa stase asisten di bagian tersebut.

Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, Direktur RSU Lubuk Pakam, Direktur RS Tembakau Deli Medan dan Direktur RS Tentara Medan, yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk belajar dan menjalani stase asisten di ke empat rumah sakit tersebut.

Dr. Arlinda Sri Wahyuni M.Kes, selaku konsultan statistik dan pengolahan data penelitian ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian ilmu penyakit THT Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling bantu membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat.

Yang mulia ayahanda H. Achmad Buchari (almarhum) dan Ibunda Hj. Yusni Tandjung yang dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing kami dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara, dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kami dan kedua orang tua kami serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi dan menyayangi kami sewaktu kecil. Terimakasih juga kami tujukan kepada kakak-kakak kami yang telah memberikan dorongan semangat selama kami menjalani pendidikan ini.


(7)

Yang terhormat mertua kami H. Masri Nur dan Hj. Murni serta abang dan adik ipar yang telah memberi dorongan semangat kepada kami sehingga selesai pendidikan ini.

Kepada isteriku tercinta Hj.Dewi Masri serta anak-anakku tersayang Muhammad Yusuf Khalid, Muhammad Ilham Badruzzaman, Muhammad Danish Rabbani dan Ahmad Hadi Ramadhan, tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridha Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang bahagia ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai tolan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, kami ucapkan terima kasih.

Akhirnya ijinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan kami selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan petunjuk kepada kami selama mengikuti pendidikan kiranya mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amin, Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, September 2007 Penulis


(8)

ABSTRAK

UKURAN DAN BENTUK HIDUNG PADA SUKU BATAK

Budi Mulyana, Muzakkir Zamzam, Delfitri Munir, Ramsi Lutan

Tujuan: Untuk menentukan bentuk hidung dan ukuran hidung pada suku Batak, mengetahui bentuk dan ukuran dan sudut-sudut bahagian dari hidung suku Batak, mengetahui bentuk dan ukuran hidung menurut jenis kelamin pada suku Batak.

Metode: Disain penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel terdiri dari 62 orang yang terdiri dari laki-laki 29 orang dan perempuan 33 orang pada suku Batak dari 3 generasi. Seluruh sampel difoto dan dilakukan pengukuran secara langsung pada hidung dan pada foto yang telah dicetak.

Hasil: Rata-rata panjang hidung 4,17 cm, rata-rata tinggi hidung 1,36 cm, rata-rata lebar hidung 3,82 cm dan rata-rata nasal index 92,33, rata-rata sudut nasofrontal 123,530, nasomental 128,150, nasolabial 88,180, nasofasial 40,440. Rata-rata panjang hidung, tinggi hidung dan lebar hidung laki-laki suku Batak lebih besar dari perempuan suku Batak. Sudut nasofrontal perempuan suku Batak lebih besar dari laki-laki.

Kesimpulan: Mayoritas pada suku Batak memiliki tipe hidung Platyrrhine.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR DIAGRAM... x

DAFTAR GAMBAR... xi

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 2

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1. Anatomi Hidung ... 4

2.1.1. Kerangka Hidung... 5

2.1.2.Tulang Rawan Piramid Hidung... 6

2.1.3. Lobul... 6

2.1.4. Septum Nasi... 8

2.1.5. Kutis... 9

2.1.6. Otot... 9

2.1.7. Perdarahan... 10


(10)

2.2. Anatomi Estetika Hidung... 16

2.2.1. Anatomi Artistik... 16

2.2.2. Proyeksi Tip... 20

2.2.3. Dasar Hidung... 20

2.2.4. Sudut Estetika Wajah... 26

2.3. Suku Batak... 27

2.4. Analisis Hidung Beberapa Ras... 30

2.4.1. Hidung Latinos... 30

2.4.2. Hidung Orang Asia... 30

2.4.3. Hidung Orang Afrika... 31

2.4.4. Jawa... 32

2.5. Fotografi... 34

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN... 37

3.1. Disain Penelitian... 37

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 37

3.3. Sampel Penelitian... 37

3.4. Alat dan Bahan Yang Dipakai... 38

3.5. Cara Kerja... 39

3.6. Kerangka konsepsional... 39

3.7. Batasan Operasional... 40

3.8. Analisa Data... 41


(11)

BAB 5. PEMBAHASAN……….. 51

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 55

5.1 Kesimpulan... 55

5.2 Saran... 56

KEPUSTAKAAN... 57

LAMPIRAN KUESIONER... 62


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Karakter hidung secara umum berdasarkan bentuk hidung... 33

Tabel 4.1 Distribusi sampel menurut umur... 42

Tabel 4.2 Distribusi jenis kelamin... 43

Tabel 4.3 Distribusi bentuk hidung... 44

Tabel 4.4 Sebaran parameter hidung sampel... 45

Tabel 4.5 Sebaran karakteristik sudut estetik hidung sampel... 46

Tabel 4.6 Karakter nasal index hidung sampel... 46

Tabel 4.7 Hubungan bentuk hidung dengan jenis kelamin... 47

Tabel 4.8 Hubungan ukuran anatomi hidung dengan jenis kelamin... 49


(13)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 4.1 Distribusi umur...43

Diagram 4.2 Distribusi jenis kelamin...44

Diagram 4.3 Distribusi bentuk hidung...44


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Landmark Anatomi wajah... 23

Gambar 2.2 Sudut Nasolabial... 24

Gambar 2.3 Sudut Nasofrontal... 24

Gambar 2.4 Sudut nasofasial... 25

Gambar 2.5 Sudut Nasomental... 25

Gambar 2.6 Ragam bentuk hidung bila dilihat dari basal... 33

Gambar 2.7 Penampakan frontal, lateral kiri dan dasar hidung... 34

Gambar 2.8 Garis Frankfort... 35


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengetahuan mengenai perbedaan anatomi hidung menurut ras cukup penting bila hendak mengerjakan rinoplasti. Di luar Indonesia sudah banyak penelitian mengenai bentuk hidung, sementara di Indonesia sendiri belum begitu banyak dijumpai penelitian mengenai hal ini. Bentuk hidung menurut antropologi dapat dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu golongan Leptorrine/Kaukasian (Orang Barat), Mesorrhine/Asian dan golongan Platyrrhine/Afrika. Ukuran bentuk hidung di sini menggunakan nasal indeks yaitu rasio dari lebar hidung antara bagian terluar dari ala nasi dengan panjang hidung (Affandi, 2000)

Pada hidung Asian ketinggian tulang hidung sedang, lubang hidung oval, lebar ke tengah. Pada hidung Afrika hidung pesek/rendah, lubang hampir bulat dan datar. Pada ras Kaukasian umumnya tulang hidung lebih tinggi dan lebih sempit, lubang hidung oval ke atas, tulang rawan upper lateral dan lower lateral lebih besar. Sedangkan pada ras Oriental tulang hidung tidak terlalu tinggi dan lebih lebar dan tulang rawan upper dan lower lateral lebih kecil. Selain bentuk ini terdapat variasi-variasi diantara bentuk hidung dari ketiga golongan ini misalnya orang Indonesia atau Oriental termasuk diantara golongan Asian dan Afrika (Affandi, 2000).

Rahmawati et al (2006) Pada penelitiannya terhadap suku-suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terdapat perbedaan tinggi hidung dan


(16)

sudut nasofrontal hidung antara suku Bugis dan Makasar terhadap suku Toraja dan Mandar. Ditemukan jarak nasal ke subnasal pada laki-laki lebih besar dari perempuan, demikian pula pada sudut nasofasial. Sedangkan sudut nasofrontal dan sudut nasolabial lebih besar pada jenis kelamin perempuan. Nasal indeks laki-laki suku Makasar termasuk kedalam platyrrhine sedangkan perempuan suku Makassar termasuk kedalam mesorrhine Sedangkan nasal indeks laki-laki dan perempuan suku Toraja termasuk dalam mesorrhine (Rahmawati et al, 2006).

Kami jadikan suku Batak sebagai sasaran penelitian karena penduduk terbanyak di kota Medan adalah suku Batak.

1.2. Perumusan Masalah

Pada suku Batak belum ada data ukuran dan bentuk hidung. Dengan alasan itulah maka kami ingin meneliti ukuran dan bentuk hidung pada suku Batak di Medan.

1.3. Tujuan Penelitian


(17)

a. Tujuan Umum

Untuk menentukan bentuk hidung dan ukuran hidung pada suku Batak.

b. Khusus

• Mengetahui ukuran dan sudut-sudut bahagian dari hidung suku Batak.

• Mengetahui bentuk dan ukuran hidung menurut jenis kelamin pada suku Batak.

1.4. Manfaat Penelitian

• Sebagai acuan dalam melakukan bedah rinoplasti pada suku Batak.

• Dapat menentukan pola implant yang akan digunakan pada augmentasi rinoplasti pada suku Batak.

• Mengetahui lebih detail bagian hidung serta ukurannya pada suku Batak

• Memberikan kontribusi dalam menentukan bentuk hidung secara antropologi pada suku Batak


(18)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

Pembahasan tentang anatomi hidung luar dimulai dengan konteks yang lebih luas mengenai struktur wajah. Secara umum, hidung menempati bagian sepertiga tengah vertikal wajah, dari nasal ke subnasal dan seperlima di tengah di antara kedua kantus media. Variasi dimensi dan posisi hidung dapat menyebabkan hidung keluar dari batasan tersebut diatas. Perbedaan ini sering menarik perhatian dan mendorong pasien untuk menjalani rinoplasti (Kim, 2006).

Keberhasilan tindakan rinoplasti tergantung dari pengertian menyeluruh mengenai anatomi dan fisiologi hidung. Tulang hidung adalah kerangka struktur yang memberi penunjang dan bentuk dari kulit dan jaringan lunak (skin-soft tissue envelope). Tindakan rinoplasti akan memodifikasi baik struktur kerangka hidung maupun skin-soft tissue envelope (SSTE). Kuncinya adalah untuk mencapai tujuan tanpa mengurangi integritas struktur kerangka hidung dan tanpa mempengaruhi fungsinya (Trimartani, 2000).

Kerangka hidung yang kuat akan dapat melawan tarikan dari jaringan fibrosis akibat operasi dan akan menyangga SSTE dengan baik. Sehingga secara estetik hidung akan tampak sempurna. Analisis hidung sebelum operasi sangat penting, seolah-olah kita dapat melihat melalui kutis dan subkutan serta dapat membayangkan bentuk kerangka tulang dan tulang rawan.


(19)

Anatomi hidung pada rinoplasti sering dibagi berdasarkan kerangka hidung, kulit dan SSTE serta perdarahannya (Becky,1993).

2.1.1. Kerangka hidung

Kerangka hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan. Nasion yang merupakan pertautan sepasang tulang dan tulang rawan yang saling terikat, merupakan pertautan sepasang tulang hidung dengan prosesus nasalis os. frontalis yang merupakan daerah terendah dari pangkal hidung dan membentuk sudut nasofrontalis. Di atas nasion ini kulit dan jaringan lunak sangat tebal terdiri dari kulit, lemak dan otot prosserus. Sebaliknya di daerah rinion yaitu batas antara kaudal tulang hidung dengan kartilago lateral atas, jaringan lunak dan kulitnya sangat tipis. Sebelah lateral, tulang hidung akan berartikulasi dengan prosesus frontalis maksila, membentuk tulang pyramid hidung (Ballenger, 1994 ). Hubungan antara kartilago lateral atas dengan septum secara klinis sangat penting terutama di daerah kaudal yang disebut area katup atau “valve area”. Unit fungsional ini dibentuk oleh septum di bagian medial, bagian kaudal kartilago lateral atas, apertura piriformis, dasar hidung dan kaudal/ kepala konka inferior. Sedangkan katup hidung adalah celah berbentuk segitiga dibentuk oleh kaudal lateral atas dan septum hidung. Bila terjadi kelainan di daerah ini seperti, sinekia, jaringan parut, web atau selaput akan terjadi gangguan fungsi hidung ( Lund,1997).


(20)

2.1.2. Tulang Rawan Piramid Hidung

Dua pertiga hidung bagian bawah terdiri dari tulang rawan. Tulang rawan lateral atas tersusun di bawah kaudal os nasal. Kedua bagian tersebut diikat dengan jaringan ikat yang menyatu dari periosteum dan perikondrium. Kerangka tulang rawan ini membentuk huruf “T” yang menyatu di garis septum, sehingga membentuk suatu kesatuan tulang rawan. Tindakan pada bagian dorsum akan melibatkan bagian tengah lateral atas dan tulang rawan septum. Bagian kaudal tulang rawan ini berada di bawah sefalik tulang rawan lower lateral. Pertemuan ini diikat oleh jaringan ikat perikondrium yang disebut regio scroll dan penunjang utama untuk tip atau puncak hidung (Trimartani, 2000).

Kita dapat menjumpai bentuk yang berbeda dari tumpang tindih antara tulang rawan lateral atas dan bawah. Tumpang tindih yang pertama dapat dijumpai pada daerah sefalik dari lateral bawah yang menutupi kaudal dari upper lateral . Pada bentuk yang lain adalah sefalik lateral bawah yang menutupi daerah lengkungan kaudal lateral upper lateral. Variasi ini dapat dilihat ketika

melakukan pemeriksaan vestibulum di daerah area katup (Lam, 2006).

2.1.3. Lobul

Puncak hidung merupakan bagian yang paling menonjol dari lobul. Daerah diatas puncak hidung disebut supra tip dan dibagian bawah adalah infra tip. Kartilago lateral bawah membentuk nostril dan daerah di antara krus medialis dan krus lateralis berbentuk segitiga disebut segitiga converse. Komponen krus


(21)

medialis membentuk kolumela dan komponen krus lateralis membentuk kerangka tulang rawan ala nasi (Lund, 1997).

Bagian medial kartilago yang terikat pada kaudal septum merupakan penunjang tip hidung. Di daerah lateral, kartilago lateral bawah dihubungkan dengan apertura piriformis oleh jaringan ikat dan lemak yang disebut area Hinge. Pada area ini terdapat tulang rawan yang kecil-kecil yang disebut tulang rawan sesamoid ( Ballenger, 1994).

Puncak hidung atau daerah yang paling tinggi dibentuk oleh sudut antara krus medial dan lateral. Ukuran bentuk dari krus medial dan lateral membentuk penunjang ketiga bagi puncak hidung. Penunjang minor bagi tip hidung adalah (Ballenger,1994):

• Ligamentum yang menghubungkan kulit dengan daerah interdomal.

• Tulang rawan septum nasi.

• Kompleks sesamoid yang meneruskan topangan krus lateral.

• Apertura piriformis (area Hinge).


(22)

2.1.4. Septum nasi

Septum nasi terdiri dari tulang dan tulang rawan. pada awal usia anak-anak, septum terdiri dari tulang rawan dan mengeras menjadi tulang sesuai pertumbuhan mulai dari posterior krista galli ke arah ventro-kaudal (Marks, 2000).

Septum terdiri dari perpendikularis os etmoid, premaksilaris dan vomer yang merupakan perluasan dari rostrum sfenoid. Kaudal hidung sampai di daerah krura medial dipisah oleh membran tipis bertemu dengan spina. Pada daerah ini perikondrium dan periosteum bersilangan menyebabkan ikatan yang kuat antara septum dan spina. Pada posterior septum memisahkan apertura nasal atau koana (Ballenger,1994).

Superoposterior tulang rawan septum berhubungan dengan tepi inferior sutura internasal. Ke arah anterior tulang rawan septum berakhir pada area supratip di atas permukaan tulang rawan lateral bawah. Di daerah kaudal septum mencapai krus media, dipisahkan oleh membranosa septum dan bertemu dengan spina anterior di antero-inferior. Pada daerah ini serat perikondrium dan periosteum saling bersilangan menyebabkan suatu ikatan yang sangat kuat antara septum dengan spina. Inferior septum duduk pada krista maksilaris dan

diikat oleh serat perikondrium dan periosteum (Trimartani, 2000). Kerangka tulang rawan dari septum dan upper lateral yang berbentuk “T”

memberi kekuatan yang cukup untuk menahan tekanan dari daerah tulang di sekitarnya. Reseksi atau destruksi dari tulang rawan tersebut akibat trauma atau operasi akan mengakibatkan bentuk hidung seperti pelana (Trimartani, 2000)


(23)

2.1.5. Kutis

Kulit di daerah dorsum dan sisi hidung biasanya tipis dan longgar. Di daerah nasofrontalis dan lower lateral biasanya lebih tebal dan erat. Ketebalan kulit ini berperan penting pada perencanaan operasi. Undermining terlalu superfisial akan menyebabkan kontraksi dan retraksi. Permukaan tulang atau tulang rawan yang tersisa akan teraba dan tampak nyata pada kulit yang tipis (Ballenger,1994).

2.1.6. Otot

Otot hidung bersifat elevetor yang dapat memendekkan hidung dan melebarkan cuping hidung. Salah satunya adalah m. proserus yang dapat dianggap sebagai sambungan dari m. frontalis dan berinsersi pada aponeurosis dorsum nasi. Lapisan ini dapat ditemukan pada bagian bawah dari tulang hidung dan bagian atas dari kartilago lateral atas (Hilger,1997).

M. dilator (m. nasalis pars alaris) membuka nostril dan berasal dari sutura nasomaksilaris dan jaringan fibrosa yang menghubungkan “fibro fatty tissue” dengan kartilago lateral bawah dan apertura piriformis. Insersinya adalah pada kulit dan lipatan nasolabial. Otot levator labii superior membuka nares dan berasal dari prosesus frontalis os maksilaris. Ia menempel pada lapisan perikondrium dari kartilago lower lateral. M. depressor septi menurunkan tip hidung dan membuka nostril pada saat inspirasi maksimal (Ballenger, 1994).


(24)

Ia merupakan bagian dari m. orbikularis bibir atas dan berinsersi pada kolumela. Satu-satunya otot yang mempunyai efek kompresi, memanjangkan hidung dan kontraksi nostril adalah m. nasalis (pars transversa musculi nasalis). Sehingga otot ini adalah antagonis m. procerus. Ia berasal dari lateral apertura piriformis dan berinsersi pada lapisan aponeurosis dorsum nasi. Semua otot ini harus dilindungi pada saat melakukan rinoplasti, karena cedera pada otot tersebut dapat menyebabkan kekakuan pada hidung, kecuali untuk mengurangi tegangan pada tip hidung dapat dilakukan pemotongan pada m. depressor septi (Trimartani, 2000).

2.1.7. Perdarahan

Asupan darah untuk hidung eksterna diperoleh dari cabang arteri fasialis dan arteri oftalmika. Pada basis ala nasi, arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis, alaris dan angularis. Arteri labialis superior memperdarahi bibir atas dan kolumela.


(25)

Arteri superior dan inferior berjalan sepanjang tepi kaudal dan sefal dari lateral bawah . Arteri ini memperdarahi lobul. Arteri angularis berjalan ke atas ke dinding lateral dan memperdarahi dorsum nasi . Ia bergabung dengan dorsalis nasalis cabang dari arteri oftalmikus dekat sudut orbita. Semua pembuluh besar ini berjalan pada lateral kerangka hidung . Bila kita bekerja dekat dengan perikondrium dan periosteum pembuluh darah tersebut tidak akan cedera (Trimartani, 2000).

Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama : 1. A.etmoidalis anterior dan 2. A. etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika dan 3. A. sfenopalatina, cabang terminal a. maksilaris interna, yang berasal dari arteri karotis eksterna. Septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung mendapat perdarahan dari a. etmoidalis anterior, a. etmoidalis posterior yang kecil hanya mendarahi daerah yang kecil di region superoposterior. Kedua arteri etmoidalis, setelah meningggalkan a. oftalmika, menyeberangi lamina kribrosa dan masuk hidung melalui foramen etmoid anterior dan posterior, disertai oleh serabut saraf pasangannya. Arteri dan nervus etmoidalis anterior merupakan petunjuk bagi operator akan batas lamina kribrosa (Ballenger,1994).

Biasanya a. maksilaris muncul sebagai cabang terakhir a. karotis eksterna dan berjalan di lateral lamina pterigoideus lateral untuk memasuki fosa pterigopalatina. Cabang terakhirnya, a. temporalis superfisialis berjalan ke atas melalui permukaan luar pangkal zigoma dimana pulsasinya dapat diraba. Di dalam fosa, a. maksilaris terbagi menjadi cabang-cabang yang berjalan bersama cabang kedua dan cabang ketiga n . trigeminus. Cabang-cabang berikut ini


(26)

dapat dikenali sebagai: a. alveolaris superoposterior, a. palatine minor, a. asesorius nasal dan a. faringeus superior, a. infra orbitalis, arteri-arteri untuk foramen rotundum dan kanalis pterigoideus, a. palatina mayor dan terakhir a. sfenopalatina terminalis, yang melalui foramen sfenopalatina untuk masuk ke dalam rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi aa.nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung, dan aa. septi posterior yang menyebar pada septum nasi. Oleh karena aa. Nasalis posterolateral ukurannya cukup besar, maka pada operasi pengangkatan konka media atau inferior akan disertai perdarahan yang cukup banyak. Ada anastomosis bebas antara aa. nasalis lateral dengan a. etmoidalis anterior, sehingga pada pengangkatan konka, perdarahan dapat timbul dari kedua sumber ini meskipun hanya satu arteri yang terkena (Ballenger,1994).

A. septiposterior mempunyai tiga cabang cabang utama: satu untuk bagian inferior, satu lagi untuk bagian tengah dan posterior septum. Cabang – cabang yang sampai di bagian inferior anterior septum akan beranastomosis bebas dengan cabang a. labialis superior untuk septum dan aa. palatine mayor (Ballenger,1994).

Cabang lain dari a. sfenopalatina turun di dalam kanalis palatine mayor untuk masuk ke dalam rongga mulut melalui foramen palatina mayor dan kemudian menyebar di permukaan bawah palatum. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena pada vestibulum dan struktur luar hidung mempunyai hubungan dengan sinus kavernosus melalui vena oftalmika superior. Vena-vena hidung tidak


(27)

memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi dan turut menentukan sistem dinamik yang berhubungan dengan postur seseorang (Ballenger, 1994).

Bagian antero-superior septum dan dinding lateral memperoleh perdarahan dari arteri etmoidalis, sedangkan bagian posteroinferior memperolehnya dari arteri sfenopalatina dan arteri palatina descenden. Arteri palatina mayor memperdarahi bagian anteroinferior hidung, melalui kanalis insisivus. Arteri itu bertemu dengan cabang dari arteri sfenopalatina. Pada bagian kaudal septum terdapat pleksus Kiesselbach yang terdapat tepat di belakang vestibulum. Area ini paling sering menjadi sumber pendarahan atau epistaksis. Mukosa hidung pada konka inferior dan media mempunyai struktur vaskuler kavernosus. Sistem pembuluh balik berdrainase ke posterior melalui pembuluh sfenopalatina masuk ke pleksus pterigoideus dan terkadang ke kranial pada sinus kavernosus (Trimartani, 2000).


(28)

2.1.8. Persarafan

Persarafan pada hidung luar dapat dibagi menjadi saraf sensorik dan motorik. Sensasi pada kulit sepertiga tengah muka diperoleh dari n. infraorbita cabang n. maksilaris. N. infratrochlearis cabang n. optalmikus mempersarafi sepertiga atas hidung dan sudut orbita. Sepertiga tengah dorsum nasi dan tip hidung memperoleh persarafannya dari n. etmoidalis eksternus. Persarafan motorik pada otot fasialis dipersyarafi oleh n. fasialis (Ballenger,1994).

Bagian antero-superior hidung bagian dalam (dinding lateral dan septum) dipersyarafi oleh n. etmoidalis, sedangkan cabang dari n. maksilaris dan ganglion pterigopalatina mempersarafi bagian posterior. Sensasi pada bagian anteroinferior septum dan dinding lateral diperoleh dari cabang n. alveolaris dan pleksus dental superior. Trauma pada daerah ini seperti antrostomi inferior meatus atau saluran inferior akan menyebabkan hipestesi pada gigi geligi (Trimartani, 2000).

Saraf sensoris untuk hidung (selain olfaktorius) terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris n. trigeminus. Cabang pertama n. trigeminus, yaitu n. oftalmikus memberikan cabang n. nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi n. etmoidalis anterior dan posterior dan n. infratroklearis. N. etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama a. etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior dan di sini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Cabang medial berjalan ke depan bawah pada septum untuk mempersarafi tepi anterior septum, sedangkan cabang lateral mempersarafi


(29)

dinding lateral dan juga mempunyai cabang lagi, yaitu n. nasalis eksternus, yang menuju permukaan luar hidung (Marks, 2000).

Saraf yang berasal dari cabang maksilaris n. trigeminus akan membentuk n. nasalis superior posterior yang memasuki hidung melalui foramen sfenopalatina, berjalan di dekat dinding lateral dan dinding medial (septum) menuju ganglion sfenopalatina. Di sini terbagi menjadi cabang-cabang. Yang terpenting di antara cabang medial adalah n. nasopalatina (n. Cotunnius) yang berakhir di daerah foramen incisivus dan berhubungan dengan palatine anterior (Ballenger, 1994).

Cabang maksilaris n. trigeminus juga membentuk n. nasalis inferior posterior, yang memasuki hidung melalui foramen sfenopalatina, kemudian

berjalan ke arah bawah untuk mempersarafi konka inferior (Lund,1997). Gambaran mengenai sfenopalatina (ganglion Meckel) tidak dapat

dijelaskan dengan pasti. Letaknya jauh di dalam fossa pterigopalatina tepat di sebelah lateral foramen sfenopalatina dan sering digambarkan seakan-akan tergantung pada n. maksilaris di atasnya. Yang menuju ganglion ini adalah n. petrosus profundus mayor (simpatis) dan n. petrosus superfisialis mayor (parasimpatis). Menurut Larsel, serabut-serabut saraf otak V dan system parasimpatis melewati ganglion ini tanpa terhenti. Sebaliknya serabut saraf n. petrosus superfisialis mayor keluar dari nucleus salivatorius superior dan berakhir di ganglion ini. Serabut saraf n. petrosus superfisialis mayor setelah keluar dari ganglion akan didistribusikan ke kelenjar air mata dan mukosa traktus


(30)

respiratorius atas; fungsinya untuk vasodilatasi pembuluh darah dan

merangsang pembentukan air mata dan sekresi hidung (Ballenger, 2000). Dari segi anatomi agaknya ganglion sfenopalatina hampir tidak berperan

dalam menghantarkan rasa sakit pada wajah. Tindakan melakukan anastesi terhadap ganglion sfenopalatina dengan aplikasi lokal pada foramen sfenopalatina atau penyuntikan pada ganglion akan sedikit sekali manfaatnya untuk mengontrol rasa sakit. Namun serabut-serabut saraf cabang kedua n. trigeminus letaknya sangat dekat dan bila ini di anestesi, mungkin rasa nyeri dapat hilang (Ballenger,1994).

Saraf lain yang berasal dari cabang kedua n. trigeminus turun di dalam kanalis pterigopalatina dan keluar pada foramen palatina mayor di permukaan bawah palatum durum. Saraf ini akan mempersarafi palatum durum dan mole,

uvula tonsil dan berjalan terus ke depan sampai kanali insisivus (Lund,1997). N. infratroklearis berasal dari cabang pertama n. trigeminus dan

serabut-serabutnya akan mempersarafi kelopak mata dan kulit sisi hidung bagian atas (Ballenger,1994).

N. nasalis eksternus, dari pangkalnya di sinus etmoid anterior, berjalan ke bawah di dalam celah yang terdapat pada permukaan dalam os nasal, celah ini pada foto Rontgen harus dibedakan dengan garis fraktur. Saraf menembus dinding hidung di antara os nasal dengan kartilago lateralis superior dan mempersarafi kulit dorsum nasi bagian bawah sampai ke puncak hidung (Ballenger,1994).


(31)

N. infraorbitalis muncul di pipi di bawah mata pada foramen infra orbita

untuk mempersarafi sebagian dinding lateral hidung dan struktur lainnya di wajah (Ballenger,1994).

2.2. Anatomi Estetik Hidung 2.2.1. Anatomi artistik

Suatu konsep anatomi artistik harus dikembangkan dalam diri seorang ahli bedah plastik bila sedang mempelajari anatomi hidung. Selain melihat tulang dan tulang rawan yang statis, ia harus memperhitungkan juga ketegangan otot, tekstur kulit, hubungannya dengan struktur di sekitarnya, dan efek struktur yang terkait dan yang mempunyai hubungan timbal balik, terhadap bentuk hidung. Lagi pula konsep ini membagi hidung menjadi bagian atas yang statis dan bagian bawah yang dapat digerakkan (Becky,1993).

Bagian atas yang statis terdiri diri os nasal dan kartilago lateralis superior. Kartilago lateralis superior melekat dengan erat pada permukaan bawah os nasal dan maksila oleh adanya jaringan ikat padat dan bersatu dengan septum di garis tengah kecuali di sebagian kecil ujung bawahnya. Os nasal ditunjang oleh maksila disampingnya, oleh prosesus spina nasalis os frontal, dan oleh septum dibawahnya. Semua struktur ini ditutupi oleh perios, perikondrium, m. proserus dan m. nasalis tranversus. Diatasnya ada lapisan fasia superfisial dan panikulus adiposus yang tipis hanya mengandung lemak dan jaringan fibrosa sedikit, sehingga memungkinkan mobilitas yang leluasa bagi kulit di atas daerah ini (Ballenger, 1994).


(32)

Bagian hidung bawah yang dapat digerakkan, terdiri dari kedua alar (lateralis inferior) dan kadang-kadang ada beberapa os sesamoid di lateral atas. Tulang rawan ini melengkung, sehingga membuat bentuk nares. Kartilago alar ini kurang lebih melayang, terikat dan dipertahankan pada kedudukannya oleh jaringan fibrosa dan perlekatan otot dengan kedua kartilago lateralis superior, dengan septum, dengan pasangannya, serta dengan kulit yang menutupi dan kulit di sekitarnya (Becky,1997).

Bentuk puncak hidung terutama ditentukan oleh kartilago alar. Walaupun demikian, tergantung tebalnya kulit, jumlah jaringan lemak subkutan dan jaringan areolar, serta aktifitas kelenjar sebasea, dapat terjadi bermacam variasi konfigurasi apeks dari struktur dasar yang dibentuk kartilago alar tadi. Selanjutnya bentuk apeks juga dipengaruhi oleh posisi relatifnya terhadap struktur statis hidung, yang menggantung dan mengikat apeks di tempat kedudukannya oleh perlekatan jaringan ikat yang kuat. Faktor yang menentukan bentuk dan posisi apeks hidung termasuk bentuk septum yang panjang , pendek terangkat atau melesak; kartilago lateralis yang pendek atau panjang; bentuk os nasal dan prosesus maksila; spina os maksila; dan arah serta ketegangan otot dan jaringan ikat fibrosanya (Ballenger,1994). Kita sering dibuat heran melihat betapa berubahnya bentuk dan posisi hidung, hanya dengan membebaskan apeks dari otot dan jaringan ikat fibrosa di sekitarnya. Perubahan lebih lanjut juga akan terlihat bila dilakukan pembebasan terakhir apeks dari penahannya, yaitu dengan diseksi kartilago alar dari kulit yang menutupinya. Kulit pada apeks nasi sukar digerakkan karena melekat erat


(33)

pada tulang rawan oleh jaringan ikat padat. Perlekatan yang kuat ini menunjang keteguhan posisi apeks. Sehingga bila ingin benar-benar menggerakkan apeks, kartilago alar harus dilepaskan dulu dari kulit yang menutupi dan yang ada di sekitarnya. Seringkali tindakan ini saja sudah cukup untuk mengubah bentuk dan arah apeks. Tindakan ini biasanya dilakukan pada awal bedah rinoplasti. Pada waktu menggerakkan kartilago alar, serat-serat otot juga dibebaskan . Otot yang turut terlibat adalah m. nasalis (tranversus dan alar), m. dilator naris , m. depressor septi, dan kadang - kadang beberapa serabut kaput angulare m. kuadratus labii superior. Pada hidung yang sangat panjang atau kaku, untuk dapat membuat apeks dapat digerakkan dengan leluasa, perlu melakukan diseksi tumpul pada kulit yang luas, ke bawah sampai m. orbikularis oris dan ke lateral sampai lekukan nasolabial, dengan demikian dapat membebaskan sebagian m kuadratus (Ballenger,1994 ).

Otot – otot yang melapisi dan mengelilingi hidung termasuk dalam otot mimik wajah, yang tidak dilapisi oleh fasia penutup seperti halnya otot-otot rangka tubuh, sebaliknya fasia ini terdapat di bawah dan di dalam panikulus adiposus atau fasia superfisialis dan serabut-serabutnya mempunyai insersi langsung pada dermis atau kulit. Susunan serabut otot yang demikian ini berhubungan langsung dengan perkembangan proses bicara yang sangat rumit. Serabut- serabut otot halus diperlukan di permukaan untuk dapat membuat berbagai variasi gerakan wajah. (Ballenger,1994).

Hidung merupakan bagian estetika yang paling menonjol dari profil wajah, karena hidung terproyeksi paling anterior pada tampak lateral. Pada tampak


(34)

frontal posisi hidung terletak di garis tengah, maka bila terdapat asimetri hidung maka akan teridentifikasi dengan mudah. Hidung merupakan bagian estetika tersering yang diubah oleh ahli bedah plastik dan rekonstruksi, oleh karena itu hidung banyak dipelajari untuk menentukan proporsi estetika dan hubungannya dengan wajah lainnya (Ballenger,1994).

Terminologi yang digunakan untuk mendiskripsikan hubungan anatomi stuktur hidung adalah unik. Pada tampak frontal, karakteristik hidung mencakup lebar hidung, simetri dan tampilan lengkung dorsum nasi. Lebar hidung dari lekukan ala nasi ke lekukan ala nasi sisi sebelahnya adalah 70% panjang hidung dari nasion ke puncak hidung. Pelebaran jarak interalar tersebut ditemukan pada ras Oriental dan Afrika (Mirta, 2006).


(35)

Affandi (2000) membagi bentuk hidung menurut antropologi menjadi 3 golongan besar, yaitu golongan Kaukasia, Asia, dan Afrika. Perbedaan utama antara hidung Kaukasia dan non Kaukasia meliputi ketebalan kulit dan jaringan lunak, kekuatan dan ketebalan kartilago, tinggi dan panjang os nasal, serta bentuk dan orientasi lubang hidung. Secara umum, orang Afrika memiliki perbedaan paling nyata dibandingkan orang Kaukasia sedangkan orang Asia memiliki karakteristik fisik diantara keduanya . Kekhasan hidung Asia adalah dorsum yang lebar dan rendah. Defisiensi proyeksi tip, lobul lebar, kulit lobul tebal, jaringan lemak subkutis dan retraksi Kolumela. Hidung bangsa non Kaukasia mempunyai variasi anatomi tersendiri. Orang non Kaukasia terdiri atas berbagai latar belakang etnik dan morfologi (Mirta, 2006).


(36)

2.2.2. Proyeksi Tip

Sampai saat ini pengukuran proyeksi puncak hidung masih diperdebatkan oleh karena itu sudut nasofasial sering digunakan untuk mengevaluasi secara tidak langsung derajat proyeksi puncak hidung. Sudut nasofasial ini berkisar 360 . Powell dan Humpries seperti yang dikutip oleh Wall mengatakan bahwa perbandingan antara Nasion–Subnasal dan garis perpendikular yang melewati puncak hidung adalah 2,8:1, untuk menjaga ukuran tetap mendekati kriteria estetik (Calhoun et al, 2006).

Metode paling mudah untuk mengukur proyeksi tip adalah metode simons yang menghubungkan proyeksi yang diukur dari tip defining point ke subnasal, dengan panjang bibir atas yang diukur dari subnasal ke batas vermilion. Menurut Simons, proyeksi dan panjang bibir atas kira-kira sama (Mirta, 2006).

2.2.3. Dasar Hidung

Hidung berbentuk seperti segitiga sama kaki pada penampakan dari dasar hidung, dengan kolumela yang membagi dua segitiga tersebut. Rasio perbandingan lobul adalah 75% dari lebar hidung. Lubang hidung biasanya sedikit menyerupai bentuk buah pir, dengan bagian paling lebar pada dasar. Pada penampakan lateral dari dasar hidung rasio Ala- Lobul adalah 1:1.

Porter seperti yang dikutip oleh Tardy mengatakan pada umumnya bangsa non kaukasia mempunyai dasar hidung yang lebih lebar daripada jarak epikantus (Milgrim,1996).


(37)

Terdapat perbedaan nyata antar etnik pada konfigurasi cuping hidung (ala nasi). Hidung Afrika lebih lebar dan proyeksi rendah serta memiliki lubang hidung yang horizontal . Hidung Asia berada di tengah antara hidung Kaukasia dan Afrika. Pada tampak frontal, lebar ala nasi kurang lebih sama dengan jarak antara kantus medius (Mirta, 2006).

Para ahli sependapat bahwa yang membentuk wajah cantik, tampan atau serasi bukan ditentukan oleh struktur bagian dalam tetapi oleh tulang. Karena hidung terdiri dari tulang maka perlu diketahui lebih detail bagian-bagian hidung dengan ukurannya (Mirta, 2006):

1. Titik atau daerah yang paling menonjol dari dahi disebut glabela. Daerah glabela atau daerah pangkal hidung penting dalam augmentasi rinoplasti karena ikut memberi kesan tinggi rendahnya pangkal hidung.

2. Daerah yang terendah atau terdalam pada pangkal atau akar hidung disebut nasion. Daerah ini berperan sebagai titik pangkal sudut nasofrontal yang besarnya ikut menentukan serasi tidaknya bentuk pangkal hidung.

3. Daerah yang paling anterior dari hidung atau paling tinggi ,disebut tip. Sedangkan di belakang tip yang agak rendah disebut supra tip. Daerah tip ini merupakan puncak dari hidung dibentuk oleh tulang rawan lower lateral. Pada augmentasi hidung, tip menentukan kesan kemancungan atau tingginya hidung dan menentukan baik atau kurang baiknya bentuk hidung secara keseluruhan.


(38)

4. Kolumela atau kaki dari puncak hidung letaknya di bawah tip yang terdiri dari bagian medial tulang rawan lower lateral kiri dan kanan dan struktur ligamentum diantaranya. Daerah ini merupakan kesatuan dengan bentuk tip sehingga bila bentuknya menonjol atau tidak mempengaruhi bentuk secara keseluruhan bagian depan hidung.

5. Daerah pertemuan antara kolumela dengan daerah kulit bibir bagian atas disebut subnasal. Daerah ini pada augmentasi hidung yang membentuk sudut nasolabial, mempengaruhi bentuk bibir atas dan bentuk lubang hidung lebih terbuka atau tertutup.

6. Batang hidung letaknya antara daerah pangkal hidung sampai tip daerah punggung hidung yang letaknya pada batas antara tulang hidung dengan tulang rawan upper lateral disebut rhinion. Daerah ini sering sebagai tempat hump nose atau penonjolan pada punggung hidung. Pada augmentasi hidung dapat memberi kesan bentuk hidung lebih feminin atau lembut yaitu agak melengkung ke dalam atau keras maskulin yaitu lurus.


(39)

Gb.2.1. Landmark anatomi wajah.


(40)

Beberapa garis potongan dibuat untuk mendapatkan ukuran sudut-sudut bahagian dari hidung. Garis vertikal ditarik dari Glabela ke pogonion (titik paling puncak dari dagu). Garis dari nasal tip ke nasion dan glabela ke nasion, maka titik pertemuan membentuk sudut nasofrontal (NFr) yang besarnya 115-130o. Sudut nasofasial (Nfa) antara garis dorsum hidung dengan garis vertikal dari glabela ke pogonion, besarnya 30-40o. Sudut nasomental (NM) adalah pertemuan garis dari dorsum hidung dengan garis dari pogonion ke nasal tip dan besarnya 120-130o. Sudut mentoservikal (MeC) besarnya 80-90o. Ukuran lainnya yaitu sudut nasolabial antara 90-115o, ukuran panjang kolumela dari 3 sampai 5 mm. Perbandingan panjang lobul dan kolumela 1/3 banding 2/3 (Becky,1993; Calhoun, 2006; Affandi, 2000).

Gb.2.2. Sudut Nasolabial A. Pria;. B. Wanita (dikutip dari Mirta, 2006)


(41)

Gb 2.3. Sudut Nasofrontal

(dikutip dari Rhynoplasty Centre, 2006)

Gb 2.4. Sudut Nasofasial

(dikutip dari Rhynoplasty Centre, 2006)


(42)

Gb 2.5. Sudut Nasomental

(dikutip dari Rhynoplasty Centre, 2006)


(43)

2.2.4. Sudut Estetika Wajah

Powell dan Humpreys mengemukakan sudut estetika wajah meliputi sudut Nasofrontal (115o-130o), sudut Nasofasial (30o-40o), sudut nasomental berkisar 120o-132o (Mirta, 2006).

Terdapat perbedaan sudut estetika pada masing masing ras dan suku, seperti yang telah dilakukan pada penelitian terdahulu.

Mirta (2006) melaporkan hasil pengukuran nilai rerata sudut nasofrontal yang diperoleh dari penelitian terhadap suku jawa ternyata lebih lebar secara bermakna bila dibandingkan dengan hasil pengukuran pada perempuan kaukasia . selain itu nilai serta sudut nasofrontal pada perempuan jawa murni ternyata lebih lebar bila dibandingkan dengan nilai normal Powell dan Humpreys. Hal ini menandakan bahwa sudut Nasofrontal perempuan Jawa Murni lebih lebar dan landai bila dibandingkan dengan perempuan Kaukasia. Mengingat bahwa sudut nasofrontal ini dibentuk oleh Glabela-Nasion-Tip Nasi, maka ketiga titik tersebut memegang peranan dalam sudut ini. Memang secara garis besar sudut yang lebih kecil berkesan menunjukkan hidung yang lebih mancung , namun tetap harus diperhitungkan dahi yang menonjol atau landai juga akan berpengaruh dalam penilaian sudut Nasofrontal tersebut (Mirta, 2006)


(44)

Sudut nasofasial adalah sudut yang dibentuk oleh garis nasion-subnasal dan garis perpendikular dengan puncak hidung. Sudut ini menggambarkan prominensia dari hidung. Pada suku jawa menunjukkan rata-rata nilai sudut Nasofasial perempuan Jawa Murni hanya 0,350 lebih kecil dibandingkan dengan sudut nasofasial perempuan kaukasia. Hidung Kaukasia terkesan lebih prominen (Mirta, 2006)

Sudut nasomental adalah sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara dorsum hidung dengan garis dari pogonion ke nasal tip. Ketiga sudut tersebut bersama-sama dengan sudut mentoservikal merupakan sudut penting dalam menentukan estetika wajah (Becky, 1993; Affandi, 2000).

Sudut nasolabial adalah sudut lain yang berperan dalam menentukan proporsi hidung, yaitu sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara kolumela dengan bibir atas (Becky, 1993).

2.3. Suku Batak

Suku batak merupakan salah satu suku di Sumatera bagian utara. Yang merupakan penduduk terbesar di kota Medan (Nasution, 2004).

Suku Batak memiliki lima subsuku dan masing-masing mempunyai wilayah utama, sekalipun sebenarnya wilayah itu tidak sedominan batas-batas pada zaman yang lalu. Sub suku dimaksud yaitu (Daulay, 2006; Bungaran, 2006):

1. Batak Karo yang mendiami wilayah dataran tinggi Karo, Deli Hulu, Langkat Hulu dan sebagian tanah Dairi.


(45)

2. Batak Simalungun yang mendiami wilayah induk Simalungun

3. Batak Pakpak yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian tanah Alas dan Gayo.

4. Batak Toba yang mendiami wilayah meliputi daerah tepi danau Toba, Pulau Samosir, Dataran tinggi Toba, dan Silindung, daerah pegunungan Pahae, Sibolga, dan Habincaran.

5. Batak Angkola Mandailing yang mendiami wilayah induk Angkola dan Sipirok, Batang Toru, Sibolga, Padang Lawas, Barumun, Mandailing, Pakantan, dan Batang Natal.

Sekarang ini yang dimaksud dengan tanah Batak ialah Kabupaten Tapanuli utara, tengah dan selatan (sebelum pemekaran). Artinya wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, Karo dan Aceh Tenggara arah Utara. Kabupaten Simalungun, Asahan dan Labuhan Batu arah timur. Serta arah selatan berbatasan dengan Propinsi Riau dan Sumatera Barat. Di sebelah barat terletak Lautan Hindia (Bungaran, 2006).

Teori cara masuknya nenek moyang orang Batak mula pertama ke Sumatera, yang di kemukakan oleh Ypes. Dikatakannya bahwa pada mula pertama orang-orang Batak datang dari utara dan mendarat di teluk Haru( Pasai) Aceh, dan dari sana turun ke arah Gayo dan Alas (Aceh Tenggara), baru kemudian ke selatan lagi, yaitu ke Pusuk Buhit dan menetap di sana. Sebagian lagi naik ke pedalaman wilayah Toba melalui muara sungai Asahan kemudian menetap di sana (Mangaraja, 2007).


(46)

Dari Pusuk Buhit mereka menyebar lagi ke seluruh tanah Batak yang sekarang, yaitu Tapanuli utara, tengah dan selatan, kemudian juga ke kabupaten Asahan, Simalungun, Deli Serdang (Sumatera Timur), Labuhan Batu, Aceh Tenggara dan luar Sumatera (Bungaran, 2006).

Suku bangsa Batak adalah Protomelayu, seperti juga Suku bangsa Toraja. Bukannya neo Melayu seperti suku bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda dan lainnya ( Mangaraja, 2007).

Menurut tarombo (silsilah) orang Batak, semua sub-sub Batak itu mempunyai nenek moyang yang satu yaitu si Raja Batak. Dari si Raja Batak inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas (Mangaraja, 2007).

Setiap pembukaan kampung baru biasanya disertai penabalan nama marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba relatif lebih banyak jumlahnya. Berbeda dengan jumlah marga pada suku batak Mandailing Angkola adalah hanya belasan jumlahnya, yaitu Nasution, Lubis, Siregar, Harahap, Hasibuan, Batu Bara, Dasopang, Daulay, Dalimunthe, Dongoran, Hutasuhut, Pane, Parinduri, Pohan, Pulungan, Siagian, Rambe, Rangkuti, Ritongga, dan Tanjung (Daulay, 2006).


(47)

Di Medan Suku batak adalah suku terbesar, dimana menurut Biro Pusat Statistik tahun 2004 dari 1. 904.273 penduduk kota Medan 641.782 etnis Batak, 628.898 etnis Jawa, 202.839 etnis Cina 163.774 etnis Minang, 125.557 etnis Melayu dan sisanya adalah etnis lainnya (Nasution, 2004).

2.4. Analisis Hidung Beberapa Ras 2.4.1. Hidung Latinos

Hidung orang latin umumnya lebih lebar dan pendek dari pada Kaukasia. Dorsum nasi cenderung berpunuk, kolumela lebih pendek, ala nasi lebih tebal, tip hidung yang bulat kulit yang lebih tebal, lubang hidung yang lebih horizontal. Nilai sudut nasolabial pada Kaukasia tidak bisa diaplikasikan pada operasi rinoplasti Hispanic (Mirta,2006).

2.4.2. Hidung Orang Asia

Antara wanita Korea yang menarik dan wanita Amerika Utara, didapatkan hasil yang hampir sama, dalam hal panjang hidung, proyeksi puncak hidung, panjang wajah bawah, lebar pangkal hidung, ketebalan ala dan sudut nasofasial. Pada orang Cina perbandingan ala-ala dengan nasion–pronasion lebih besar, dorsum nasi yang lurus sedangkan sudut nasomental dan nasofasial hampir mendekati angka ideal kaukasia. Namun sudut nasofrontal pada orang Cina umumnya lebih besar. Hidung oriental lebih lebar pada dasar tulangnya, sudut nasolabial pada pria Oriental lebih kecil dibandingkan Kaukasia (Mirta,2006).


(48)

Perbandingan antara orang India Himachali dengan Kaukasia. Didapatkan bahwa sudut nasofasial orang India Himachali lebih kecil dari Kaukasia, sudut nasomental lebih besar karena ukuran dagu lebih besar (Anand, 2004 ).

2.4.3. Hidung Orang Afrika

Pada pengukuran antropometri tampak bahwa bentuk hidung kelompok Afrika terpendek dan terlebar, Afro Indian terpanjang dan Afrokaukasia di tengahnya. Perbedaan yang paling besar antara pria Afrika Amerika dan Pria Amerika Utara adalah panjang hidung yang lebih pendek (n-sn), jarak antara ala yang lebih lebar (al-al), protusion puncak hidung lebih pendek (sn-prn), pangkal hidung lebih lebar (mf-mf), kolumela lebih pendek, sudut nasolabial lebih tajam, dan sudut nasofrontal lebih landai. Disimpulkan bahwa penggunaan standard data analisis pria Kaukasia bagi pria Afrika Amerika tidak tepat (Kim, 2006).

Sampai saat ini, masih banyak para ahli bedah plastik dan rekonstruksi yang berpegang pada data neoclassical canon dalam menganalisa wajah tanpa memperhitungkan latar belakang ras dan etnik pasien. Akan sangat bermanfaat apabila dapat dilakukan suatu penelitian mengenai analisis wajah Indonesia, sehingga data tersebut dapat digunakan oleh para ahli bedah plastik dan rekonstruksi indonesia untuk perencanaan sebelum melakukan operasi plastik dan rekonstruksi, tanpa menghilangkan latar belakang ras dan etnik Indonesia pada umumnya (Mirta, 2006).


(49)

2.4.4. Jawa

Mirta (2006) melaporkan dari hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata panjang hidung (NT) perempuan Jawa Murni ternyata lebih pendek sekitar 5 mm dari rata-rata panjang hidung perempuan Kaukasia. Dalam pengukuran proporsi lebar ala nasi (al-al) terhadap panjang hidung menunjukkan bahwa proporsi ala nasi perempuan jawa Murni kurang lebih 1:1 terhadap panjang hidung (100%). Sedangkan pada perempuan kaukasia proporsi lebar ala nasi adalah 0,7 dari panjang hidung. Pengukuran panjang kolumela (Sn-C) perempuan Jawa Murni ternyata lebih pendek sekitar 6 mm dibandingkan dengan perempuan kaukasia (Mirta, 2006).

Proporsi lebar lobul dengan lebar basal yang dianggap ideal untuk perempuan Kaukasia adalah 0,75. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi lebar lobul dengan lebar basal hidung pada Jawa Murni lebih kecil sekitar 25% dibandingkan dengan perempuan Kaukasia. Hasil pengukuran lebar lobul perempuan Jawa Murni ternyata kurang lebih setengah dari lebar basal hidung (0,56). Sedangkan pada perempuan Kaukasia dengan proporsi lebar lobul dengan lebar basal yang lebih besar (0,75) justru menghasilkan lebar ala nasi yang lebih kecil dari ala nasi perempuan Jawa murni (Mirta, 2006).

Beberapa ragam bentuk dilihat dari basal hidung dan karakter hidung, secara umum dapat dilihat dari gambar 2.6 dan tabel 2.1.


(50)

Gb. 2.6. Ragam bentuk hidung bila dilihat dari basal (dikutip dari Rhynoplasty Centre, 2006)

Tabel 2.1 Karakter hidung secara umum berdasarkan bentuk hidung

platyrrhine Mesorrhine Leptorrhine

tipe kulit sangat tebal agak tebal tipis

punggung hidung pendek, lebar, konkaf pendek, lebar panjang , runcing pangkal hidung rendah rendah tinggi

tulang hidung pendek pendek panjang puncak hidung membulat tumpul meruncing kolumela pendek pendek panjang lebar alar nasi lebar sedang relatif sempit

ala menonjol mendatar bervariasi sering mendatar


(51)

2.5. Fotografi

Fotografi berkualitas baik yang konsisten dengan standard penampakan diperlukan untuk membandingkan sebelum dan sesudah hasil operasi. Hal ini penting untuk untuk keperluan mengajar, dokumentasi, medikolegal, dan sebagai fasilitas komunikasi terhadap pasien. Pada pasien-pasien rinoplasti tampilan yang diperlukan adalah frontal, kedua sisi lateral, kedua sisi oblik dan tampak basal.

Gb.2.7. Penampakan frontal, lateral kiri, dan dasar hidung (dikutip dari Mirta, 2006)


(52)

Bila menggunakan kamera digital, hal yang perlu diperhatikan adalah total angka pixels kamera. Lensa mempunyai kapabilitas yang sama dengan lensa 35 mm, 80-110mm, optical zoom, kapabilitas makro. Resolusi antara 1,4 sampai 3 megapixels, memory card, dan kemampuan cahaya yang cukup (Terris, 2002).

Latar belakang biru muda merupakan pilihan yang baik karena warna ini lebih kontras dengan warna kulit dan memberikan hasil yang baik pada fotografi berwarna. Petunjuk untuk mengambil fotografi perspektif rinoplasti (Ballenger,1994; Terris, 2002):

1. Foto wajah tampak frontal diambil secara vertikal, harus mencakup seluruh wajah dan leher, mulai dari batas atas kepala sampai dengan batas atas klavikula.

2. Foto tampak lateral wajah harus mencakup seluruh wajah, leher anterior sampai dengan kepala sternum dari klavikula, tengkuk leher dan sebagian rambut ditarik agar telinga tampak dengan jelas. Pastikan kita tidak dapat melihat alis kontralateral. Garis Frankfort horisontal merupakan standard yang digunakan untuk mendapatkan posisi ini.


(53)

Gb.2.8. Garis Frankfort

(dikutip dari Rhynoplasty Centre, 2006)

3. Foto tampak oblik, puncak hidung harus sejajar dengan batas lateral pipi.

4. Foto tampak basal hidung ini merupakan penampakan yang memberikan banyak informasi pada perencanaan operasi rinoplasti. Posisi kepala ekstensi, sehingga puncak hidung terletak setinggi alis mata dan dasar kolumela setinggi kantus lateral.


(54)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional.

3.2. Tempat dan Waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan THTKL FK USU H. Adam Malik Medan

Waktu penelitian: penelitian ini dilakukan sejak Januari 2007.

3.3 Sampel Penelitian

Sampel penelitian dilakukan dan diperoleh dari beberapa lokasi di kota Medan yaitu masyarakat sekitar jalan Pancing, jalan Namorambe dan RSUP. H. Adam Malik Medan pada populasi berumur diatas 17 tahun bersuku Batak yang memenuhi kriteria inklusi.

Metoda pengambilan sampel: Secara purposive sampling, semua orang yang bersuku Batak yang memenuhi kriteria inklusi sampai jumlah sampel terpenuhi.


(55)

3.3.1 Kriteria Inklusi

a. Berusia minimal 17 tahun

b. Semua berasal dari suku Batak dari minimal tiga generasi. e. Bersedia ikut dalam penelitian

3.3.2. Kriteria Eksklusi

Subjek penelitian yang memiliki kelainan kranio fasial.

3.3.3. Besar Sampel

n = Z2.P (1-P) = 1,96 2 . 0,19 (1- 0,19) = 59,1= 60 sampel d2 0,12

dimana : n= jumlah sampel

Z= tingkat kepercayaan 95% P= proporsi suku Batak d=ketepatan penelitian (0,1)

3.4. Alat dan Bahan Yang Dipakai

a. Tustel Canon 3,2 Piksel.

b. Kain Latar warna biru muda ukuran 2 x 4 meter. c. Jangka Pengukur.


(56)

3.5. Cara Kerja

Dilakukan pendataan pada orang bersuku batak yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan foto dengan latar belakang kain berwarna biru dengan menggunakan kamera digital merk Canon 3,2 Mega piksel dari arah depan, samping kanan dan kiri serta dari bawah hidung dengan jarak 0,6 meter. Disertai pengukuran dengan menggunakan busur 180 o dan penggaris 12 cm disertai jangka pengukur pada subjek penelitian dan pada foto yang telah dicetak.

3.6. Kerangka konsepsional

• Bentuk hidung • Sudut nasofrontal • Sudut nasofasial • Sudut nasomental • Sudut nasolabial • Panjang hidung • Tinggi hidung • Lebar hidung

Suku Batak

• Jenis kelamin • Umur


(57)

3.7. Batasan Operasional

1. Bentuk hidung : Bentuk dari hidung yang secara anthropologi dibagi dalam 3 golongan besar, Yaitu golongan Leptorrine, Mesorrhine dan Platyrrhine. Ukuran bentuk hidung menggunakan nasal indeks yaitu rasio dari lebar hidung antara jarak terluar kedua lobul (alanasi) dengan panjang hidung .

• Platyrrhine: bila nasal index ≥ 85.

• Mesorrhine: bila nasal index 85 > x > 65

• Leptorrhine: bila nasal index ≤ 65 (Matory et al,1985). 2. Sudut nasofrontal : sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara

garis dari nasal tip ke nasion dan glabela ke nasion berkisar 1150 -1300 (Becky,1993; Calhoun,2006).

3. Sudut nasofasial: sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara garis dorsum hidung dengan garis vertikal dari glabela ke pogonion berkisar 300-400 (Becky,1993; Calhoun,2006).

4. Sudut nasomental : sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara dorsum hidung dengan garis dari pogonion ke nasal tip berkisar 1200-1320 (Becky,1993; Calhoun,2006).

5. Sudut nasolabial : sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara kolumela dengan bibir atas berkisar pada laki-laki 900-1050 dan perempuan 1050-1200 (Becky,1993; Calhoun,2006).


(58)

7. Panjang hidung: jarak dari nasion ke subnasal (n-sn) diukur dalam cm.

8. Lebar hidung: jarak dari bagian terlebar dari ala nasi (al-al) diukur dalam cm.

9. Nasal indeks: rasio dari lebar hidung antara kedua lobul (ala nasi) dengan panjang hidung (al-al)x100/n-sn).

Gb. 3.1.Nasal Index


(59)

10. Suku Batak yaitu salah satu suku yang terdapat di Sumatera Utara yang di dalamnya terdiri dari lima subsuku yaitu Batak Karo, Toba, Simalungun, Pakpak dan Angkola Mandailing.

3.8. Analisa data

Semua data yang terkumpul diolah dan disusun dalam bentuk tabel dan diagram. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji T test, uji Mann- Whitney dengan batas kemaknaan 5% (p<0,05).


(60)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Jumlah sampel penelitian yang diperoleh dari beberapa lokasi di kota Medan yaitu Masyarakat sekitar jalan Pancing, Jalan Namorambe dan RSUP. H. Adam Malik Medan mulai Januari 2007 berjumlah 62 orang terdiri dari 33 perempuan dan 29 laki-laki.

Data yang dikumpulkan, disajikan dalam bentuk tabel serta diagram.

Hasil Analisis Univariat (statistik deskriptif) Tabel 4 .1. Distribusi sampel menurut umur

Umur n Persentase (tahun)

<20 18 29,1 21-30 19 30,6 31-40 13 21,0 41-50 9 14,5 >51 3 4,8 Jumlah 62 100%


(61)

0 5 10 15 20 25 30 35

Jumlah persentase

<20 21-30 31-40 41-50 >51

Diagram 4.1 Distribusi Umur

Dari tabel 4.1 sampel terbanyak berusia 21-30 tahun; 19 orang (30 %).

TABEL 4.2 Distribusi Jenis Kelamin

JENIS KELAMIN n % Laki-laki 29 46,8 Perempuan 33 53,2 Total 62 100


(62)

47% 53%

Laki-laki Perempuan

Diagram 4.2. Distribusi Jenis Kelamin

Dari tabel 4.2. Pemilihan sampel perempuan lebih banyak dari pada laki-laki.

Tabel 4.3 Distribusi Bentuk Hidung

Bentuk hidung Jumlah Persentase Mesorrhine

Platyrrhine Total

9 53 62

14.5 85.5 100.0


(63)

15%

85%

Mesorrhine Platyrrhine

Diagram 4.3. Distribusi Bentuk Hidung

Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pada grup Platyrrhine terdapat 53 orang (85%) dan grup Mesorrhine 9 orang (14,5%).dan tidak terdapat grup Leptorrhine.

Tabel 4.4. Sebaran Parameter Hidung Sampel

Panjang hidung Tinggi hidung Lebar hidung (n-sn) (sn-nt) (al-al)

Mean 4,17 1,36 3,82 Median 4,10 1,30 3,80 Mode 4,00 1,20 3,70 Standard deviasi 0,37 0,20 0,28 Minimum 3,20 1,00 3,20 Maksimum 5,40 1,90 4,30

Dari tabel 4.4. diperoleh nilai panjang hidung yang memiliki standard deviasi terbesar yaitu 0,37 dengan rata-rata 4,17cm dengan nilai minimum 3,20


(64)

cm dan nilai maksimum 5,40 cm. Tinggi hidung menunjukkan standard deviasi terkecil yaitu 0,20 cm dengan rata-rata 1,36 cm dengan nilai maksimum 1,90 cm dan nilai minimum 1,00 cm.

Tabel 4.5. Sebaran Karakteristik Sudut Estetik Hidung Sampel

Nasofrontal Nasomental Nasolabial Nasofasial Mean 123,53 128,14 88,17 40,43 Median 124,50 129,50 90,00 40,00 Mode 120,00 130,00 90,00 40,00 Std.deviasi 9,27 6,16 7,77 4,83 Minimum 105,00 115,00 55,00 30,00 Maksimum 138,00 141,00 105,00 50,00 Keterangan satuan (0)

Dari tabel 4.5 diperoleh nilai sudut nasofrontal menunjukkan standard deviasi terbesar 9,27 0 dengan nilai rata-rata 123,53 0 , nilai minimum 105 0 dan nilai maksimum 138 0, sedangkan nilai sudut nasofasial menunjukkan standard deviasi terkecil 4,830 dengan nilai rata-rata 40,44 0, nilai minimum 30 0 dan nilai maksimum 50 0.


(65)

Tabel 4.6. Karakter Nasal Index Hidung Sampel

Nasal Indeks Mean 92,33 Median 92,10 mode 100,00 Standard deviasi 8,24 Minimum 68,50 Maksimum 115,00

Dari tabel 4.6 diperoleh standard deviasi 8,240 dengan nilai rata-rata 92,33 0 yang berarti Platyrrhine dengan nilai minimum 68,50 0 yang berarti mesorrhine dan nilai maksimum 115 0.

Analisa Bivariat

Tabel 4.7. Hubungan Bentuk Hidung dengan Jenis Kelamin

Mesorrhyne Platyrrhine P Jenis kelamin _____________________

n % n %

Laki-laki 4 44,4% 25 47,2% 0,880

Perempuan 5 55,6% 28 52,8%


(66)

0 5 10 15 20 25 30

mesorrhyne platyrrhine

Bentuk Hidung

Ju

mlah laki-laki

perempuan

Diagram 4.4. Hubungan Bentuk Hidung dengan Jenis Kelamin

Dari tabel 4.7 terlihat yang berbentuk mesorrhine 5 (55,6%) adalah perempuan, laki-laki 4 (44,4%) dan yang berbentuk hidung platyrhine 28 (52,8%) berjenis kelamin perempuan dan 25 (47,2%) berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan bentuk hidung pada suku Batak (p=0,880).


(67)

Tabel 4.8 Hubungan Ukuran Anatomi Hidung dengan Jenis Kelamin

Laki-laki perempuan Anatomi Hidung ____________________________________________________ P

n Mean SD n Mean SD

Panjang hidung 29 4,43 0,30 33 3,94 0,24 0,0001 (n-sn)

Tinggi hidung 29 1,41 0,18 33 1,31 0,20 0,031 (sn-tn) lebar hidung 29 3,98 0,21 33 3,69 0,25 0,0001 (al-al)

P<0,05

Dari Tabel 4.8 dapat dilihat rata-rata panjang hidung laki-laki 4,43 cm (SD= 0,30) dan perempuan 3,94 cm (SD=0,24), tinggi hidung laki-laki 1,41 cm (SD=0,18) dan perempuan 1,31 cm (SD= 0,20), lebar hidung laki-laki 3,98 cm (SD=0,21) dan perempuan 3,69 cm (SD= 0,25).

Pada panjang hidung p=0,0001, tinggi hidung p=0,031 dan lebar hidung p=0,0001. Ada perbedaan ukuran anatomi hidung menurut jenis kelamin (p< 0,05) dengan menggunakan uji statistic Mann Whitney U test.


(68)

TABEL 4.9 Perbedaan Sudut Hidung dan Nasal Indeks Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N Mean Std. Deviasi Nasofrontal laki-laki 29 118,72 8,77 perempuan 33 127,76 7,55 Nasomental laki-laki 29 127,38 6,79 Perempuan 33 128,82 5,56 Nasolabial laki-laki 29 88,28 8,15 Perempuan 33 88,09 7,53 Nasofasial laki-laki 29 40,34 4,83 Perempuan 33 40,52 4,89 Nasal Index laki-laki 29 90,29 6,67 perempuan 33 94,12 9,13 p>0,05

Dari tabel 4.9 pada sudut nasofrontal terdapat perbedaan yang bermakna menurut jenis kelamin dimana sudut nasofrontal perempuan lebih lebar dibandingkan laki-laki (p<0,05)

Tidak terdapat perbedaan bermakna sudut nasomental, nasolabial dan nasofasial serta nasal indeks menurut jenis kelamin (p>0,05)


(69)

BAB 5 PEMBAHASAN

Sampel penelitian diambil dari tiga tempat penelitian, karena di tiga tempat tersebut banyak bermukim masyarakat suku Batak. Pemukiman Batak Toba, selain pemukiman Mandailing, tersebar dalam kelompok–kelompok kampung di Medan Timur,Sunggal, Denai dan Johor. Sedangkan etnik Karo banyak di daerah Simalingkar Tuntungan dan Padang Bulan (Pelly,2006).

Pada tabel 4.1 distribusi umur sampel paling muda 17 tahun dan tertua 53 tahun dengan umur rata-rata 29 tahun dan usia terbanyak berusia 21-30 tahun sebanyak 19 orang (30%). Paula (2003) di Spanyol pada penelitian pada populasi Kaukasia Eropa umur terbanyak yang ikut penelitian 18-20 tahun.

Pada tabel 4.2 jenis kelamin sampel terbanyak perempuan 33 orang (53,2%) dan laki-laki 29 (46,8%). Paula (2003) pada penelitiannya dari 212 sampel terdiri dari 50 laki-laki (23,6%) dan 162 perempuan (76,4%). Bejar (1996) di Toronto pada penelitian pengukuran antropometri pada ras Kaukasia dari 28 sampel, didapat 21 laki-laki (75%) dan 7 perempuan (25%).

Pada tabel 4.3 tampak grup yang memiliki bentuk hidung Platyrrhine yang terbanyak 53 orang (85% ) sedangkan bentuk hidung Mesorrhine 9 orang (15%).

Dari tabel 4.4 diperoleh nilai panjang hidung yang memiliki standard deviasi terbesar yaitu 0,37 cm dengan rata-rata 4,17 cm dengan nilai minimum 3,20 cm dan nilai maksimum 5,40 cm. Tinggi hidung menunjukkan standard deviasi terkecil yaitu 0,20 cm dengan rata-rata 1,36 cm dengan nilai maksimum


(70)

1,90 cm dan nilai minimum 1,00 cm. Lebar hidung rata-rata 3,82 cm dengan nilai minimum 3,20 cm dan nilai maksimum 4,30 cm dengan standard deviasi 0,28 cm.

Dari tabel 4.5 diperoleh nilai sudut nasofrontal menunjukkan standard deviasi terbesar 9,27 0 dengan nilai rata-rata 123,53 0, nilai minimum 105 0 dan nilai maksimum 138 0, sedangkan nilai sudut nasofasial menunjukkan standard deviasi terkecil 4,83 0 dengan nilai rata-rata 40,44 0, nilai minimum 30 0 dan nilai maksimum 50 0.

Dari tabel 4.6 diperoleh standard deviasi 8,24 dengan nilai rata- rata 92,33 yang berarti Platyrrhine dengan nilai minimum 68,50 dan nilai maksimum 115.

Dari tabel 4.7 terlihat bentuk mesorrhine 5 (55,5%) adalah perempuan dan bentuk hidung platyrhine 28 (52,8%) juga berjenis kelamin perempuan. Pada laki-laki bentuk hidung mesorrhine 4 (44,4%) dan bentuk hidung platyrrhine 25 (47,2%). Berarti tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan bentuk hidung pada suku batak (p=0,880).

Dari tabel 4.8 dapat dilihat rata-rata panjang hidung laki-laki 4,43 cm (SD= 0,30 cm) dan perempuan 3,94 cm (SD=0,24 cm), tinggi hidung laki-laki 1,41 cm (SD=0,18 cm) dan perempuan 1,30 cm (SD= 0,20 cm), lebar hidung laki-laki 3,98 cm (SD=0,21) dan perempuan 3,68 cm (SD= 0,25 cm).

Pada panjang hidung p=0,0001, tinggi hidung p=0,031 dan lebar hidung p=0,0001. Ada perbedaan anatomi hidung menurut jenis kelamin (p< 0,05) dengan menggunakan uji statistic Mann Whitney U test.


(71)

Hal ini berbeda dengan Farkas et al (1986) yang melaporkan pada wanita Kaukasia rata-rata panjang hidung 5,06 cm, tinggi hidung 1,97 cm dan lebar hidung 3,14 cm, Ofodile et al (1993) melaporkan pada perempuan Amerika keturunan Afrika rata-rata panjang hidung 4,88 cm , tinggi hidung 1,98 cm dan lebar hidung 4,01 cm. Choe (2004) melaporkan pada wanita Amerika keturunan Korea dimana rata-rata panjang hidung 4,35 cm, tinggi hidung 1,96 cm dan lebar hidung 3,55 cm (Mirta,2006).

Dari tabel 4.9 pada sudut nasofrontal terdapat perbedaan yang bermakna menurut jenis kelamin dimana sudut frontal perempuan lebih lebar dibandingkan laki-laki (p<0,05) dimana pada perempuan rata-rata sudut nasofrontal 127,76 0 (SD=7,55) sedangkan laki-laki=118,72 0 (SD= 8,77). Mengingat bahwa sudut nasofrontal ini di bentuk oleh Glabela – Nasion - Tip Nasi, maka ketiga titik tersebut memegang peranan pada sudut ini. Secara garis besar sudut yang lebih sempit mengesankan hidung tampak lebih mancung, namun harus diperhatikan dahi yang landai ataupun menonjol juga akan berpengaruh dalam penilaian sudut nasofrontal tersebut dan tidak terdapat perbedaan bermakna sudut nasomental, nasolabial dan naso fasial serta nasal indeks menurut jenis kelamin (p>0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian Paula (2003) pada orang kaukasia di Spanyol yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan bermakna (P<0.01) pada laki-laki=138 ±7 0 , perempuan 142 ± 6 0. Namun berbeda pada sudut nasolabial dimana disebutkan bahwa menunjukkan variasi yang lebar dimana laki-laki 105±13 0 ( rentang 78,6-131,7 0), perempuan 107,6 ± 8,5 0 (rentang 90,5 -124 0 ). Burstone (1967) pada penelitian sampel kaukasia dewasa melaporkan sudut


(72)

nasolabial 74 ± 8 0. Yuen dan Hiranaka (1989) pada orang Asia dewasa melalui foto standar melaporkan sudut nasolabial 102,7± 11 0 pada laki-laki dan 101,6 ± 11 0 pada perempuan. Mc Namara et al (1992) melaporkan penelitian pada sampel kaukasia dewasa laki-laki =102,2 ± 8 0, perempuan= 102,4± 8 0 (Paula et al, 2003). Mirta (2006) melaporkan pada penelitian terhadap perempuan suku jawa rata-rata sudut nasofrontal =138,04 0 (SD=5,54), sudut nasofasial =29,65 0 (SD=2,99), sudut nasolabial =92,81 0 (SD= 13,17), sudut nasomental = 136,45 0 dan SD=5,05 (Mirta, 2006).

Nasal indeks yang dilaporkan Farkas (1994) pada wanita kulit putih rata-rata 61.4, sedangkan Ofodile et al (1995) pada wanita Amerika keturunan Afrika dilaporkan 81.7, Sedangkan pada wanita latin Karibia ditemui nasal indeks 77 (Milgrim et al,1996). Nasal indeks suku Bugis laki-laki 90,05 dan perempuan 85,19 yang menunjukkan kedua jenis kelamin platyrrhine. Pada suku Makassar nasal indeks laki-laki 88,68. Nasal indeks laki-laki suku Toraja 75,03 dan perempuan 69,29 yang tergolong dalam mesorrhine (Rahmawati et al, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa nasal indeks perempuan Batak lebih besar dari yang dilaporkan dalam studi sebelumnya.


(73)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Karakteristik hidung pada suku Batak berbeda dengan Kaukasia dan Afrika Amerika. Pada wanita suku Batak berbeda dengan suku Jawa. Meskipun prinsip dasar dari operasi rinoplasti dapat diaplikasikan pada masing-masing ras, namun terdapat perbedaan nilai parametrik dan estetik. Karakteristik pada suku Batak tersebut:

1. Rata-rata panjang hidung 4,17 cm, rata tinggi hidung 1,36 cm, rata-rata lebar hidung 3,82 cm dan rata-rata-rata-rata nasal index 92,33.

2. Rata-rata sudut Nasofrontal 123,53 0, Nasomental 128,15 0, Nasolabial 88,18 0, Nasofasial 40,44 0.

3. Mayoritas pada suku batak memiliki tipe hidung platyrrhyne.

4. Rata-rata nasal indeks perempuan suku Batak lebih besar dari wanita Amerika keturunan Afrika.

5. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada bentuk hidung berdasarkan jenis kelamin p>0,05.

6. Rata-rata panjang hidung, tinggi hidung, lebar hidung laki-laki suku Batak lebih besar dari perempuan suku Batak p<0,05.

7. Sudut nasofrontal pada perempuan Suku Batak lebih besar dari laki-laki p<0,05.


(74)

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan suatu penelitian lanjutan tentang analisa hidung dan wajah karena hidung harus memiliki kesesuaian dan keserasian dengan wajah dengan menggunakan fasilitas yang lebih lengkap dan berteknologi lebih maju untuk mendapatkan hasil yang terperinci .

2. Perlu memperhatikan karakteristik ini bila operasi hidung dilakukan untuk tercapainya tujuan operasi rekonstruksi dan estetika hidung dengan tetap dapat mempertahankan nilai etnik dan penampilan yang alami.

3. Perlu dilakukan pendataan karakteristik terhadap hidung dan wajah pada sub suku Batak dan suku lain di Indonesia untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan identifikasi.


(75)

DAFTAR PUSTAKA

Abraham MT. 2003. Rhynoplasty Multiracial available In URL http//www. emedicine.com update November 2006.

Affandi DA. 2000. Anatomi estetika hidung. Dalam Kumpulan makalah Kursus & Demo Operasi Septorinoplasti.Jakarta, 18 -25.

Affandi DA. 2000. Rinoplasti Augmentasi Pada Hidung Indonesia Dalam Kumpulan makalah Kursus & Demo Operasi Septorinoplasti. Jakarta, 57-68.

Archer SM. 2006. Nasal Physiology. Available from URL: http//www. emedicine.com. update 2006.

Ballenger JJ.1994. Hidung Dan Sinus Paranasal Dalam: Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13, Jilid1, Binarupa Aksara , Jakarta, 1-15.

Becky M W.1993 Facial analysis , In : Bailey BJ, Head & Neck Surgery Otolaryngology, Tirth Edition. Volume 2. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2070-8.

Bejar I. et al. 1996. Nasal growth after external septoplasty in Children in Archives of otolaryngology Head and Neck Surgery Vol 122. 816-21

Bungaran AM. 2006. Struktur Sosial Dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945 Suatu Pendekatan Antropologi Budaya dan Politik.,Yayasan Obor Indonesia, LKiS Yogyakarta, 10-24.


(76)

Calhoun KH, Stambaugh KI. 2006. Facial Analysis and Preoperative Evaluation. In : Bailey BJ, Head & Neck Surgery Otolaryngology, Fourth Edition. Volume 2. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2481-97.

Chang EW. 2003. Nose Anatomy. Available from URL: http// www. emedicine.com update 2006.

Daulay AS. 2006. Adat Budaya batak. Dalihan Na Tolu. Analisis dari sudut prinsip serta urgensinya dalam merajut integrasi dan identitas Bangsa. Available from URL:http// www.budayaindonesia.com update 2006.

Devan PP. 2003. Rinoplasty, Nasal Tip Projection. Available from URL http//www.emedicine.com update 2005

Finn JC. 2005. Rhinoplasty, Broad Nasal Tip. Available from URL:http// www. emedicine.com update 2006.

Hilger PA,1997. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam:Adams GL.Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6 EGC Jakarta, 173-89.

Honrado CP. 2005. Facial Plastic Surgery in Asian Patients. Available from URL: http// www. emedicine.com update 2006.

Horioglu RE. 2005. Prerhinoplasty Facial Analysis. Available from URL:http// www. emedicine.com update 2006.

Jain SK. 2004. Photometric Facial Analysis A Baseline Study. J Anat. Soc. India Vol. 53 (2), 11-3.

Jennifer PP. 2001. Anthropometric Facial Analysis of the African American Woman. Arch facial Plast Surg Vol 3, 191-7.


(77)

Kim DW, Mau T. 2006. Surgical Anatomy of the Nose In: Bailey BJ, Head & Neck Surgery Otolaryngology, Fourth Edition. Volume 2. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2511-31.

Lam SM. 2006. Pictorial Documentation: Traditional Photography and Digital Imaging In : Bailey BJ, Head & Neck Surgery Otolaryngology, Fourth Edition. Volume 2. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2499-509. Leach JL. 2005. Rhynoplasty, Short nose available from URL:

http//www.emedicine.com update 2006.

Lund VJ. 1997. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinus In: Kerr AG, Ed Scott- Brown’s Otolaryngology. Sixth ed. Vol1. Butterworth- Heinemann. London, 1/5/7-14.

Mangaradja OP. 2007. Tuanku Rao PT.LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta. yogyakarta, 19-35.

Marks SC. 2000. Rhynoplasty in Nasal and Sinus Surgery. WB Saunders Company. Philadelphia, 215-22.

Marks SC. 2000.Anatomy of the Nose and Sinuses in Nasal and Sinus Surgery. WB Saunders Company. Philadelphia, 3-30.

Marks SC. 2000. Physiology of The Nose and Sinuses in Nasal and Sinus Surgery. WB Saunders Company. Philadelphia, 31.

Milgrim LM et al. 1996. Anthropometric Analysis of the female Latino Nose. Revised Aesthetic concept and their Surgical Implications, 1079-86.


(78)

Mirta H. 2006. Antropometri Wajah Perempuan Jawa Murni di Jakarta, Dibawakan pada 1st ENT Head And Neck Conference Jakarta, Desember.

Munir M. 2000. Reduksi dorsum nasi Dalam Kumpulan Makalah Kursus & Demo Operasi Septorinoplasti. Jakarta, 33 -5.

Nasution AR. 2004. Etnis Tionghoa di Medan No 3 dari jumlah penduduk, No 1 Di Ekonomi. Available from URL:http//www.waspada. co.id update 2006. Paula FR. 2003. Angular Photogrammetric analysis of the soft tissue facial

profile. European Journal of Orthodontics 25, 393-9.

Pelly U. 2006. Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.LP3ES. Jakarta., 83-111.

Perkins SW. Photodocumentation in Head and Neck Surgery Otolaryngology .2084-91.

Rahmawati, Julianita et al. 2006. Analisis Fotometrik Wajah Suku-Suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Studi Anthropometrik Sub Ras Deutro Melayu dan Proto Melayu) Dibawakan pada 1st ENT Head And Neck Conference Jakarta, Desember.

Ramana GV, et al. 1996. Genetic structure of the Manne Dora, atribal population of Andhra Pradesh in Human Biology. Detroit: . 68, 1; 63,1 .

Rees TD, 1980. Aesthetic Plastic Surgery, VolI WB Saunders Company Philadelphia, 79-83.

Rhinoplasty Centre available in URL http//www.facial-plastic-surgery.org update 2006.


(79)

Stefan J. 2001. Smile Analysis And Face Bow Transfer: Enhancing Aesthetic Restorative Treatment. Pract Proced Aesthet Dent; 13 (3) :217-22.

Terris DJ. 2002. Photography available from URL:http// www. emedicine.com update 2006.

Trenite GJN. 1997. Aesthetic In: Rhinoplasty A Practical Guide to Functional and Aesthetic Surgery of the Nose. Kugler Publication New York, 11-5.

Trenite GJN. 1997. Preoperative Management In: Rhinoplasty A Practical Guide to Functional and Aesthetic Surgery of the Nose. Kugler Publication New York, 17-22.

Trimartani. 2000. Anatomi dan Fisiologi Hidung. Dalam Kumpulan Makalah Kursus dan Demo Operasi Septorinoplasti. Jakarta, 1-7.

Trimartani. 2000. Septorinoplasti. Dalam Kumpulan Makalah Kursus dan Demo Operasi Septorinoplasti. Jakarta, 27-3.


(80)

Lampiran 1

Formulir penelitian

No : Nama : Umur : Alamat : Nama ayah dan ibu :

Nama kakek dan nenek dari pihak ayah : Nama kakek dan nenek dari pihak ibu : Tinggi hidung ( sn-nt) :

Panjang hidung ( n-sn ) : Lebar hidung (al-al) : Sudut nasofrontal : Sudut nasofasial : Sudut nasomental : Sudut nasolabial : Nasal index : Bentuk hidung :


(1)

Mirta H. 2006. Antropometri Wajah Perempuan Jawa Murni di Jakarta, Dibawakan pada 1st ENT Head And Neck Conference Jakarta, Desember.

Munir M. 2000. Reduksi dorsum nasi Dalam Kumpulan Makalah Kursus & Demo Operasi Septorinoplasti. Jakarta, 33 -5.

Nasution AR. 2004. Etnis Tionghoa di Medan No 3 dari jumlah penduduk, No 1 Di Ekonomi. Available from URL:http//www.waspada. co.id update 2006. Paula FR. 2003. Angular Photogrammetric analysis of the soft tissue facial

profile. European Journal of Orthodontics 25, 393-9.

Pelly U. 2006. Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.LP3ES. Jakarta., 83-111.

Perkins SW. Photodocumentation in Head and Neck Surgery Otolaryngology .2084-91.

Rahmawati, Julianita et al. 2006. Analisis Fotometrik Wajah Suku-Suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Studi Anthropometrik Sub Ras Deutro Melayu dan Proto Melayu) Dibawakan pada 1st ENT Head And Neck Conference Jakarta, Desember.

Ramana GV, et al. 1996. Genetic structure of the Manne Dora, atribal population of Andhra Pradesh in Human Biology. Detroit: . 68, 1; 63,1 .

Rees TD, 1980. Aesthetic Plastic Surgery, VolI WB Saunders Company Philadelphia, 79-83.


(2)

Stefan J. 2001. Smile Analysis And Face Bow Transfer: Enhancing Aesthetic Restorative Treatment. Pract Proced Aesthet Dent; 13 (3) :217-22.

Terris DJ. 2002. Photography available from URL:http// www. emedicine.com update 2006.

Trenite GJN. 1997. Aesthetic In: Rhinoplasty A Practical Guide to Functional and Aesthetic Surgery of the Nose. Kugler Publication New York, 11-5.

Trenite GJN. 1997. Preoperative Management In: Rhinoplasty A Practical Guide to Functional and Aesthetic Surgery of the Nose. Kugler Publication New York, 17-22.

Trimartani. 2000. Anatomi dan Fisiologi Hidung. Dalam Kumpulan Makalah Kursus dan Demo Operasi Septorinoplasti. Jakarta, 1-7.

Trimartani. 2000. Septorinoplasti. Dalam Kumpulan Makalah Kursus dan Demo Operasi Septorinoplasti. Jakarta, 27-3.


(3)

Lampiran 1

Formulir penelitian

No :

Nama : Umur : Alamat : Nama ayah dan ibu :

Nama kakek dan nenek dari pihak ayah : Nama kakek dan nenek dari pihak ibu : Tinggi hidung ( sn-nt) :

Panjang hidung ( n-sn ) : Lebar hidung (al-al) : Sudut nasofrontal : Sudut nasofasial : Sudut nasomental : Sudut nasolabial : Nasal index : Bentuk hidung :


(4)

No Nama Umur (thn) Jenis Kelamin Panjang hidung /n sn (cm) Tinggi hidung /sn nt (cm) Lebar hidung /al al (cm) Sudut naso frontal Sudut naso mental Sudut naso labial Sudut naso fasial Nasal index Bentuk Hidung

1 AMH 52 Laki laki 4,5 1,5 4,1 105 135 82 39 91,7 platyrrhine

2 TS 22 Laki laki 4,3 1,2 4,2 105 125 90 43 97,8 platyrrhine

3 HMN 22 Perempuan 3,5 1,3 3,7 118 126 90 45 105,7 platyrrhine

4 FL 24 Perempuan 4 1,5 4,1 138 135 90 30 102,5 platyrrhine

5 KL 20 perempuan 3,7 1,5 3,7 126 122 90 45 100 platyrrhine

6 RL 18 Perempuan 4 1,3 3,7 135 120 90 45 92,5 platyrrhine

7 DMP 29 perempuan 3,6 1,5 3,7 125 130 95 45 102,8 Mesorrhine

8 RS 25 perempuan 4,1 1,35 3,2 135 135 90 32 78 platyrrhine

9 AS 18 perempuan 4,1 1,3 3,5 135 127 90 41 85,4 platyrrhine

10 EL 18 perempuan 4,2 1 3,7 137 135 70 40 88 platyrrhine

11 NS 17 perempuan 4,1 1,2 3,6 137 135 70 40 87,8 platyrrhine

12 ZBS 39 Laki laki 4,6 1,2 4,3 115 130 90 40 93,5 platyrrhine

13 IIN 37 Laki laki 4,9 1,9 4,1 107 134 90 45 83,7 mesorrhine

14 ASH 23 Laki laki 4,4 1,2 3,9 120 135 90 38 88,6 platyrrhine

15 RP 48 perempuan 4 1,3 4 124 130 90 39 100 platyrrhine

16 IP 36 Laki laki 4,2 1,2 3,8 116 135 90 45 90,5 platyrrhine

17 KS 41 perempuan 3,8 1,3 3,8 135 135 90 45 100 platyrrhine

18 LM 19 perempuan 3,7 1,3 3,7 135 135 102 45 100 platyrrhine


(5)

20 NL 23 perempuan 4 1,4 3,5 135 130 90 45 87,5 platyrrhine

21 LAL 23 perempuan 4 1,1 3,3 127 130 90 40 82,5 mesorrhine

22 RS 17 Laki laki 4,1 1,2 4,1 135 115 90 45 100 platyrrhine

23 ND 42 perempuan 4 1,8 3,6 135 135 90 38 90 platyrrhine

24 CLT 47 perempuan 3,9 1,6 4 120 130 90 40 102,6 Platyrrhine

25 AA 19 perempuan 4,3 1,5 3,6 125 125 90 40 83,7 mesorrhine

26 AHN 19 Laki laki 4,3 1,5 4 115 120 90 40 93 Platyrrhine

27 TM 50 perempuan 4 1,7 3,9 110 141 90 35 97,5 Platyrrhine

28 IKN 29 Laki laki 5,4 1,7 3,7 120 120 90 44 68,5 Platyrrhine

29 PS 20 perempuan 3,2 1,1 3,7 120 126 90 46 115 Platyrrhine

30 ST 34 perempuan 4,3 1,3 3,2 130 128 70 34 74,4 Mesorrhine

31 SKS 41 perempuan 3,6 1 3,6 133 130 90 36 100 Platyrrhine

32 TEM 31 perempuan 4,2 1,1 4,1 126 130 90 39 97,6 Platyrrhine

33 DWP 36 perempuan 4 1,2 3,6 130 130 78 36 90 Platyrrhine

34 RET 19 perempuan 3,9 1,1 3,4 125 123 90 46 87 Platyrrhine

35 RM 20 perempuan 4 1,1 3,3 130 134 90 33 82,5 Platyrrhine

36 SS 19 perempuan 4 1,1 3,4 135 124 90 35 85 Mesorrhine

37 NES 19 perempuan 3,8 1,3 4 125 128 90 40 105 Platyrrhine

38 YAR 18 perempuan 3,6 1,1 3,6 115 130 72 40 105 Platyrrhine

39 SS 21 perempuan 4 1,4 3,7 115 115 90 50 92,5 Platyrrhine

40 NS 31 perempuan 4 1,2 3,7 120 128 90 48 92,5 Platyrrhine

41 BS 39 Laki laki 4,5 1,5 4 120 127 90 40 88,9 Platyrrhine


(6)

44 AS 23 Laki laki 4,1 1,6 4,1 110 129 70 40 100 Platyrrhine

45 DS 22 Laki laki 5 1,5 4 130 121 105 40 80 Mesorrhine

46 ES 37 Laki laki 4,2 1,2 3,7 130 125 90 40 88 Platyrrhine

47 ES 21 Laki laki 4,1 1,4 3,8 120 133 90 35 92,7 Platyrrhine

48 ZHN 21 Laki laki 4,1 1,5 3,7 115 135 90 40 90 Platyrrhine

49 AS 21 Laki laki 4,2 1,3 3,8 120 120 93 50 90,5 Platyrrhine

50 MTS 53 Laki laki 4,7 1,4 4,2 115 120 90 45 89 Platyrrhine

51 SB 53 Laki laki 4,6 1,5 3,9 115 140 55 30 84,8 Mesorrhine

52 AS 50 Laki laki 4,5 1,6 4,3 110 130 85 36 96 Platyrrhine

53 DS 20 Laki laki 4,4 1,3 4,1 130 120 90 38 93 Platyrrhine

54 MN 20 Laki laki 4,2 1,6 3,7 110 120 90 42 88 Platyrrhine

55 NT 21 Laki laki 4,3 1,3 3,8 110 125 90 45 88 Platyrrhine

56 DMP 23 Laki laki 4,6 1,2 3,9 113 135 90 40 85 Mesorrhine

57 DL 37 perempuan 4 1,2 3,9 132 125 90 39 97,5 Platyrrhine

58 ES 42 Laki laki 4,7 1,4 4,3 130 130 90 36 91,5 Platyrrhine

59 RS 42 Laki laki 4,2 1,4 4,2 132 128 90 32 100 Platyrrhine

60 MYH 29 Laki laki 4,5 1,5 3,9 135 134 90 36 87 Platyrrhine

61 LP 33 perempuan 4 1,4 4 130 125 90 40 100 Platyrrhine