Hubungan Konsumsi Makanan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Mekar Bahalat

kurang 50,9. Serat larut banyak dikonsumsi responden, meskipun sebagian masih belum memenuhi standar yang telah direkomendasikan. Lansia di Desa Mekar Bahalat sebagian besar sering mengonsumsi sayuran seperti tomat dan bayam untuk memenuhi kebutuhan serat harian mereka. Namun, masyarakat di desa ini terutama lansia jarang untuk mengonsumsi buah-buahan sehingga sumber serat dari jenis buah-buahan masih kurang. Sebagian besar responden lebih sering hanya mengonsumsi buah-buahan seperti pisang dan pepaya saja. Serat yang larut dapat mengurangi penyerapan kolesterol dalam pencernaan dengan cara mengikatnya dengan empedu yang mengandung kolesterol dan kolesterol diit sehingga dapat dikeluarkan oleh tubuh. Serat larut diantaranya pektin terdapat sayur dan buah terutama di dalam jambu biji, apel, dan wortel, gum didapat dari sari pohon akasia, mukilase terdapat di dalam jenis biji- bijian, dan algal terdapat dalam alga dan rumput laut Almatsier, 2005.

5.3 Hubungan Konsumsi Makanan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Mekar Bahalat

Konsumsi makanan dalam hal ini meliputi tingkat konsumsi karbohidrat, protein, lemak, natrium dan serat yaitu jumlah rata-rata konsumsi karbohidrat, lemak, natrium dan serat harian yang didapat dari hasil konversi semua makanan yang dikonsumsi responden per hari, yang diukur dengan menggunakan metode food recall 2x24 jam, dan dibandingkan dengan nilai AKG. Universitas Sumatera Utara 5.3.1 Hubungan Tingkat Konsumsi Karbohidrat dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Berdasarkan hasil analisis menggunakan Uji chi square pada hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan kejadian hipertensi pada lansia didapatkan hasil p = 0,821 α, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat konsumsi karbohidrat terbukti tidak memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada responden di Desa Mekar Bahalat Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun. Berdasarkan hasil AKG rata-rata tingkat konsumsi karbohidrat maka dapat diketahui bahwa jumlah konsumsi responden jauh melebihi standar yang ada. Apabila tidak diimbangi dengan pengeluaran output energi yang ada, maka sisa kalori karbohidrat yang ada di dalam tubuh akan ditimbun menjadi lemak. Penumpukan lemak di dalam tubuh, terutama di bagian perut akan memperberat risiko terjadinya komplikasi akibat hipertensi. Karbohidrat dapat menyebabkan terjadinya hiperlipidemia penyebab terjadinya aterosklerosis. Proses ini dimulai dari pencernaan karbohidrat yang akhirnya menghasilkan karbondioksida, air dan energi. Bila energi tidak diperlukan, asetil KoA tidak memasuki siklus asam sitrat TCA tetapi digunakan untuk membentuk asam lemak dan menghasilkan trigliserida. Oleh karena itu, pembatasan konsumsi karbohidrat juga perlu dilakukan. Memang bukan penyebab secara langsung, tapi menunjang untuk memperbesar risiko terjadinya hipertensi. Ketidakseimbangan antara konsumsi karbohidrat dan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan atau pemakaian energi akan menimbulkan kegemukan atau obesitas. Kelebihan energi dalam tubuh disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Pada keadaan normal, Universitas Sumatera Utara jaringan lemak ditimbun dalam beberapa tempat tertentu, diantaranya di jaringan subkutan dan di dalam jaringan usus momentum. Jaringan lemak subkutan di daerah dinding perut bagian depan obesitas sentral sangat berbahaya daripada jaringan lemak di pantat. Karena menjadi risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler Yuniastuti, 2007. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siti Widyaningrum 2012 di Pelayanan Sosial Lanjut Usia Jember yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna signifikan secara statistik dengan nilai p 0,599 α 0,05 antara asupan karbohidrat dengan tekanan darah pada penderita hipertensi lansia. Hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian Manawan, dkk 2016 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan karbohidrat dengan kejadian hipertensi. Namun hasil penelitian ini berlawanan dengan hasil penelitian Derris Sugianty 2010 yang menyatakan bahwa ada hubungan asupan karbohidrat dengan tekanan darah sistolik pada lansia di Panti Wreda Pengayoman Semarang. 5.3.2 Hubungan Tingkat Konsumsi Protein dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Berdasarkan hasil analisis menggunakan Uji chi square pada hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian hipertensi pada lansia didapatkan hasil p = 0,189 α, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat konsumsi protein terbukti tidak memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi Universitas Sumatera Utara pada responden di Desa Mekar Bahalat Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun. Protein berfungsi sebagai zat pembangun dan pendorong metabolisme pada tubuh manusia. Protein itu tidak diproduksi dari tubuh kita melainkan bersumber dari makanan yang mengandung protein yang kita konsumsi. Artinya manfaat protein dirasakan ketika kebutuhan protein harian tercukupi melalui makanan sumber protein. Protein mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh kita. Pada dasarnya protein menunjang keberadaan setiap sel tubuh, proses kekebalan tubuh. Dalam kondisi normal, protein dibutuhkan oleh tubuh sekitar 0,8 grkg BBhari dengan perbandingan protein nabati dan hewani yaitu 3:1. Pada dua studi observasional utama INTERMAP dan The Chicago Western Electric Study telah membuktikan adanaya hubungan sumber protein nabati dengan penurunan tekanan darah, sedangkan sumber protein hewani tidak berpengaruh terhadap tekanan darah. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Derris Sugianty 2010 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan asupan protein dengan tekanan darah sistolik dan diastolik pada lansia di Panti Wreda Pengayoman Semarang. Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Rista Emiria 2012 yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara asupan protein dengan tekanan darah sistolik dan diastolik pada pasien hipertensi di RSUD Tugurejo Semarang. Universitas Sumatera Utara 5.3.3 Hubungan Tingkat Konsumsi Lemak dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Berdasarkan hasil analisis menggunakan Uji chi square pada hubungan antara tingkat konsumsi lemak dengan kejadian hipertensi pada lansia didapatkan hasil p=0,025 α, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat konsumsi lemak terbukti memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada responden di Desa Mekar Bahalat Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun. Berdasarkan hasil AKG rata-rata tingkat konsumsi lemak maka dapat diketahui bahwa jumlah konsumsi responden jauh melebihi standar yang ada. Lemak memang diperlukan oleh tubuh sebagai zat pelindung dan pembangun. Tetapi, apabila konsumsinya berlebihan akan meningkatkan terjadinya plak dalam pembuluh darah, yang lebih lanjut akan menimbulkan terjadinya hipertensi. Patofisiologi metabolisme lemak sehingga menyebabkan hipertensi adalah dimulai ketika lipoprotein sebagai alat angkut lipida bersikulasi dalam tubuh dan dibawa ke sel-sel otot, lemak dan sel-sel lain. Begitu juga pada trigliserida dalam aliran darah dipecah menjadi gliserol dan asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein lipase yang berada pada sel-sel endotel kapiler. Kolesterol yang banyak terdapat dalam LDL akan menumpuk pada dinding pembuluh darah dan membentuk plak. Plak akan bercampur dengan protein dan ditutupi oleh sel-sel otot dan kalsium yang akhirnya berkembang menjadi aterosklerosis. Pembuluh darah koroner yang menderita aterosklerosis selain menjadi tidak elastis, juga mengalami penyempitan sehingga tahanan aliran darah dalam pembuluh koroner juga naik, yang nantinya akan memicu terjadinya hipertensi Vilareal, 2008. Universitas Sumatera Utara Makanan berlemak seperti daging berlemak banyak mengandung protein, vitamin, dan mineral. Akan tetapi dalam daging berlemak dan jeroan mengandung lemak jenuh dan kolesterol. Kadar lemak tinggi dalam darah dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah karena banyaknya lemak yang menempel pada dinding pembuluh darah. Keadaan seperti ini dapat memacu jantung untuk memompa darah lebih kuat sehingga memicu kenaikan tekanan darah. Dari hasil food frequency questioner diketahui bahwa makanan sumber lemak yang paling sering dikonsumsi beberapa lansia adalah daging babi. DASH merekomendasikan untuk membatasi pemenuhan konsumsi lemak melalui dagingikan 100 gramhari untuk daging unggas dikonsumsi tanpa kulit, telur 1 butirhari, margarin 2-3 sdthari Kurniawan, 2010 dan Almatsier, 2005. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mengonsumsi lemak dalam jumlah yang lebih. Almatsier 2001 memaparkan bahwa konsumsi lemak berlebih yang berasal dari hewani cenderung meningkatkan kolesterol yang berisiko terhadap hipertensi. Dalam penelitian diketahui bahwa lansia cenderung sering dalam mengonsumsi lemak yang berasal dari hewan. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siti Widyaningrum 2012 di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Jember yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi lemak dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini juga sama dengan hasil penelitian Feryadi, dkk 2012 yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sebagian Universitas Sumatera Utara fraksi profil lipid dengan kejadian hipertensi pada masyarakat etnik Minangkabau di kota Padang. Namun, hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Rinawang 2011 pada lansia di Kelurahan Sawah Baru Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian hipertensi. Dari beberapa penelitian dengan hasil yang sama di atas maka dapat disimpulkan bahwa lemak merupakan penyebab terjadinya penyakit hipertensi. 5.3.4 Hubungan Tingkat Konsumsi Natrium dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Berdasarkan hasil analisis menggunakan Uji Chi Square pada hubungan antara tingkat konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi pada lansia didapatkan hasil p = 0,039 α, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat konsumsi natrium terbukti memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada responden di Desa Mekar Bahalat Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun. Menurut Almatsier 2001 dan 2006, natrium adalah suatu komponen dalam darah yang mengatur keseimbangan air di dalam sistem pembuluh darah. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl. WHO menganjurkan untuk mengkonsumsi garam kurang dari enam gramhari setara dengan 2400 mghari. Salah satu dari fungsi natrium dalam tubuh, yaitu mengatur osmolaritas volume darah yang menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel serta membantu transmisi kontraksi otot. Sebagian natrium dalam diit datang dari makanan dalam bentuk garam dapur, MSG Mono Sodium Universitas Sumatera Utara Glutamate, kecap, dan soda pembuat roti. Mengonsumsi garam dapat meningkatkan volume darah di dalam tubuh, yang berarti jantung harus memompa lebih giat sehingga tekanan darah naik Soeharto, 2004. Natrium memang bukan penyebab utama terjadinya hipertensi. Tetapi, menjadi penunjang kejadian apabila konsumsi lemak dan karbohidrat melebihi dari apa yang dianjurkan. Apabila pembatasan konsumsi natrium tidak dihiraukan, makanan mempercepat terjadinya komplikasi yang disebabkan oleh penyakit hipertensi. Hubungan antara tingkat konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi adalah saat terjadi kelebihan kandungan garam yang ada di dalam tubuh, maka akan diserap kembali secara tidak proporsional sekitar 20 melalui proses yang dikenal sebagai osmosis, sehingga air garam tetap stabil. Kandungan garam yang berlebihan secara terus menerus mengakibatkan volume di dalam peredaran darah menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya, akibatnya kelebihan cairan tersebut meningkatkan tekanan pada dinding pembuluh darah. Dinding ini bereaksi dengan cara penebalan dan penyempitan, menyediakan ruang yang lebih sempit di kapiler darah dan meningkatkan resistensi yang pada akhirnya membutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk memindahkan darah ke organ. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adhyanti dkk 2012 pada lansia di Puskesmas Lailangga Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pola konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Rinawang 2011 di Universitas Sumatera Utara Kelurahan Sawah Baru Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan dan penelitian Yossi 2014 di wilayah kerja Puskesmas Kebun Sikolos Kecamatan Padang Panjang Barat yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi pada lanjut usia. Namun, hal ini berlawanan dengan penelitian Hasirungan 2002 bahwa tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi pada lansia. Dari hasil food frequency questioner diketahui bahwa rata-rata lansia baik yang menderita hipertensi maupun yang tidak hipertensi masih tinggi dalam mengonsumsi garam, bumbu masak atau penyedap di setiap pengolahan bahan makanan disertai mengonsumsi makanan yang mengandung kadar natrium tinggi, seperti konsumsi mie instan, ikan asin dan ikan teri kering dalam jangka waktu yang dekat. Hal ini sependapat dengan Cahyono 2008 yang memaparkan bahwa kesukaan, rasa atau kenikmatan terhadap makanan berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Makanan asin dan siap saji dapat meningkatkan nafsu makan seseorang karena rasanya yang gurih, sehingga jika seseorang menyukai dan terbiasa mengonsumsi makanan sumber natrium seperti ikan asin, maka akan cenderung mengonsumsinya terus-menerus. 5.3.5 Hubungan Tingkat Konsumsi Serat dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Berdasarkan hasil analisis menggunakan Uji chi square pada hubungan antara tingkat konsumsi serat dengan kejadian hipertensi pada lansia didapatkan hasil p = 0,029 α, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat Universitas Sumatera Utara konsumsi karbohidrat terbukti memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada responden di Desa Mekar Bahalat Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun. Data tentang tingkat konsumsi makanan ini didapat melalui metode food recall 2x24 jam yang kemudian dibandingkan dengan standar yang ditetapkan WHO Almatsier, 2005. Serat pangan dapat membantu meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Selain itu, konsumsi serat sayuran dan buah akan mempercepat rasa kenyang. Keadaan ini menguntungkan karena dapat mengurangi pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan menurunkan risiko hipertensi. DASH merekomendasikan pemenuhan serat dengan mengonsumsi 2 cangkirhari buah segar misalnya: pisang, kurma, anggur, jeruk, nanas, dan strawberry dan untuk jenis sayuran sebesar 4 cangkir sayuran daun segar mentah atau 2 cangkir sayuran matang hari misalnya: bayam, tomat, kentang, brokoli, dan buncis Kurniawan, 2010. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi serat dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Siti Widyaningrum 2012 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara asupan serat dengan kejadian hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Jember. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Denny Putri 2015 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara asupan serat dengan tekanan darah pada wanita menopause di Desa Kuwiran Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Universitas Sumatera Utara

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN