atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua macam yurisprudensi yang menyangkut hukum
udara perdata, masing-masing gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun 1961 dan gugatan penduduk Cengkareng
terhadap Japan Airlines JAL dalam tahun 2000. Dalam kasus penduduk Cengkareng vs Japan Airlines mengenai tanggung jawab hukum terhadap
pihak ketiga, sedangkan kasus Ny. Oswald vs Garuda Indonesian Airways mengenai ganti rugi nonfisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan tersebut
hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya berdasarkan
prinsip, “The decision of the court has no binding force except between the parties and in respect if that particular cases
,” artinya Keputusan Mahkamah Internasional tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali bagi pihak-pihak
yang bersangkutkan tertentu itu.
11
C. Instrumen Hukum Udara Internasional 1. Muatan Konvensi Paris 1919
a. Kedaulatan Wilayah Udara
Dikatakan di dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 bahwa, “The
High Contracting Parties recognize that every Power has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. For the
purpose of the present Convention, the territory, both that of the mother country and of the colonies, and the te
rritorial waters adjacent thereto.”
11
Ibid, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Pasal ini terbentuk semenjak Inggris melakukan tindakan sepihak dalam The Aerial Navigation Act of 1911 yang berisikan bahwa Inggris
mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya dan hak secara mutlak mengawasi semua bentuk penerbangan
pesawat udara sipil maupun militer. Tindakan ini kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya, seperti Perancis, Jerman, Austria-Hongaria,
Rusia dan Belanda, sampai berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1918. Pencantuman prinsip kedaulatan atas wilayah tersebut sesuai dengan
penegasan ICAN yang kemudian diarahkan memasukkan prinsip kedaulatan negara di atas daratan maupun perairan dan yurisdiksi di
wilayah udara. b. Klasifikasi Pesawat Udara
Dalam Pasal 30, 31, 32 dan 33 Konvensi Paris 1919 masing- masing mengatur mengenai jenis pesawat udara. Menurut Pasal 30
Konvensi Paris 1919, pesawat udara terdiri atas tiga jenis, masing-masing pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan dinas
pemerintahan, seperti bea cukai dan polisi serta pesawat udara sipil. Pesawat udara militer serta pesawat udara yang sepenuhnya digunakan
oleh pemerintah, seperti bea cukai dan polisi adalah merupakan pesawat udara negara atau state aircraft. Semua pesawat udara selain pesawat
udara militer, pesawat udara yang digunakan dinas pemerintahan, seperti bea cukai dan polisi, adalah merupakan pesawat udara sipil atau private
aircraft. Menurut Pasal 31, Setiap pesawat udara yang diterbangkan oleh anggota militer dan digunakan untuk kepentingan militer adalah pesawat
Universitas Sumatera Utara
militer. Dalam Pasal 32, diatur bahwa tidak ada pesawat militer yang diperbolehkan untuk terbang di atas wilayah udara negara anggota lainnya
tanpa adanya izin khusus. 2. Muatan Konvensi Chicago 1944
a. Kedaulatan di Udara
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat di dalam Konvensi Paris 1919, dimana menurut Pasal 1
Konvensi Paris 1919 dinyatakan bahwa, “The High Contracting Parties
recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.” Permasalahan mengenai kedaulatan
tersebut pernah diperdebatkan, apakah ruang udara bisa benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan kedaulatan negara di bawahnya atau
terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Perdebatan
tersebut diselesaikan melalu Konvensi Paris 1919, dimana setelah Perang Dunia I, disepakati bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang
penuh dan utuh berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 dan Pasal 1 Konvensi Chicago
1944. Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan, “The Contracting States recognise that every state has complete and exclusive sovereignty
over the airspace above its territory.” Dalam hal ini, pengakuan kedaulatan di ruang udara tidak terbatas pada negara anggota saja, tetapi
juga pada negara bukan anggota, dimana dikatakan “every state.”
Universitas Sumatera Utara
Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk keperluan Konvensi Chicago 1944 yang dimaksudkan adalah batas
wilayah negara atau state territory, sehingga secara tegas berlaku terhadap bukan negara anggota. Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan complete adalah hak secara penuh atau utuh yang dimiliki oleh negara yang berada di bawah ruang udara untuk mengatur
ruang udara yang ada diatasnya. Pasal 3 Chicago 1944 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan exclusive adalah bahwa bila negara lain hendak
memasuki wilayah udara suatu negara, maka harus meminta izin terlebih dahul kepada negara yang wilayah udaranya akan dimasuki. Lingkup
yurisdiksi teritorial suatu negara diakui dan diterima oleh negara anggota Konvensi Chicago 1944 terus ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah
pusat bumi sepanjang dapat dieksploitasi. b. Klasifikasi Pesawat Udara
Dalam Pasal 3 Konvensi Chicago 1944, dijelaskan mengenai civil and state aircraft. State aircraft atau pesawat udara negara adalah
merupakan pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan militer, bea cukai dan polisi dan pesawat yang bukan digunakan untuk kepentingan
militer, bea cukai dan polisi adalah merupakan pesawat udara sipil atau civil aircraft. Meskipun hanya berlaku terhadap pesawat udara sipil, dalam
pasal tersebut, dikatakan bahwa tidak ada pesawat udara negara yang diizinkan untuk terbang melintasi wilayah udara negara tanpa memperoleh
izin terlebih dahulu atau akan diperlakukan menurut hukum yang berlaku
Universitas Sumatera Utara
di negara yang dilewati wilayah udaranya. Selain itu, dikatakan bahwa
pesawat udara negara harus memperhatikan keselamatan udara sipil.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang