RUMUSAN MASALAH HIPOTESIS MANFAAT PENELITIAN Desain Penelitian Masalah etika

4 meneliti perbandingan antara fentanil 1 ugkg BB dengan lidokain 1 mgkgBB dalam respon hemodinamik pada tindakan ekstubasi, dalam upaya menekan komplikasi manipulasi ekstubasi saat general anestesi.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, kemudian rumusan masalah penelitian ini adalah : Apakah ada perbedaan efektifitas pemberian fentanil 1 ugkgBB sebelum ekstubasi dibandingkan dengan pemberian lidokain 2 1,0 mgkgBB dalam mencegah respon hemodinamik akibat tindakan ekstubasi?

1.3 HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada perbedaan efektifitas pemberian fentanil 1 ugkgBB sebelum ekstubasi dibandingkan dengan pemberian lidokain 2 1 mgkgBB dalam mencegah respon hemodinamik akibat tindakan ekstubasi.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan Umum :

Mendapatkan alternatif obat untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik saat tindakan ekstubasi pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan dengan anestesi umum. 1.4.2 Tujuan Khusus : a. Mengetahui respon hemodinamik meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, laju nadi setelah pemberian lidokain dan fentanil sebelum tindakan ekstubasi. Universitas Sumatera Utara 5 b. Untuk mengetahui keefektifan fentanil dalam mengatasi respon hemodinamik meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan laju nadi yang diberikan sebelum tindakan ekstubasi. c. Untuk mengetahui keefektifan lidokain dalam mengatasi respon hemodinamik meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan laju nadi yang diberikan sebelum tindakan ekstubasi d. Untuk mengetahui perbandingan respon hemodinamik yang meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan laju nadi, saat sebelum dan setelah tindakan ekstubasi dengan pemberian lidokain dan fentanil sebelumnya.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

a. Dari penelitian ini diharapkan dapat ditemukan obat yang tepat sebagai preventif respon hemodinamik setelah tindakan ekstubasi. b. Mendapatkan obat yang efektif menurunkan respon hemodinamik setelah tindakan ekstubasi terutama pasien tekanan darah tinggi maupun pasien dengan tekanan intrakranial yang tinggi. c. Dapat dipakai sebagai alternatif lain dari obat-obatan yang telah ada dalam mengatasi respon hemodinamik setelah tindakan ekstubasi. d. Dapat dipakai sebagai bahan rujukan pada penelitian lanjutan untuk mengatasi gejolak kardiovaskular setelah tindakan ekstubasi. Universitas Sumatera Utara 6 BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI

Tindakan ekstubasi sama halnya dengan tindakan intubasi akan mengakibatkan stimulasi nervus yang melewati rongga mulut, oropharynx ataupun larynx.

2.1.1 Inervasi rongga mulut

Seluruh otot lidah dipersarafi Nervus XII Hypoglossal kecuali pada otot palatoglossus yang diinervasi pleksuspharyngeal. N.Glossopharygeus menginervasi sensasi umum pada lidah. Sedangkan bagian posterior lidah disarafi oleh cabang dari N.Laryngeal Interna.

2.1.2 Inervasi Pharynx

Pharynx disarafi oleh Plexus pharyngeal yang terdiri atas : 1. Nervus Pharyngeal yang merupakan cabang N.Vagus yang membawa Nervus Kranialis Assesorius. 2. Nervus Pharyngeal cabang dari N.Glossopharyngeal. 3. Nervus Pharyngeal cabang dari Ganglion servikalis yang mensarafi simpatetik Serabut motorik berasal dari N. Kranialis Assesorius yang merupakan cabang N.Vagus. Nervus ini mensarafi seluruh otot-otot pharynx kecuali otot stylopharyngeus yang diinervasi N.Glossopharyngeal. Constrictor inferior menerima suplai tambahan dari nervus eksternal dan recurrent laryngeal. Plexus ini juga mensarafi seluruh otot palatum lunak, kecuali tensor palatum yang disarafi nervus mandibular. Serabut sensorik dari pharynx kebanyakan berasal dari N.Glossopharyngeal dan sebagian berjalan melalui N.Vagus. Walaupun nasopharynx disuplai oleh N.maxillaris, Universitas Sumatera Utara palatum lunak serta tonsil disarafi lebih sedikit oleh N.Palatina dan N.Glossopharyngeus. Sensasi rasa berasal dari area vallecula dan epiglottis diteruskan melalui cabang laryngeal N.Vagus. Jaras sekretomotor parasimpatis dari pharyng berasal dari N.Petrosal N.VII ke arah cabang dari ganglion pterygopalatine. 24 Gambar 2.1-1. Kartilago dan Ligamen dari Larynx

2.1.3 Persarafan Laryng

Membran mukosa laryng menerima suplai dari N.laryngel Superior dan N.Recurrent Laryngeal. Nervus larigeal superior berjalan ke bawah ke dinding lateral dari faring menuju ke belakang ke arah arteri carotid interna dan pada tingkat puncak tulang hyoid terbagi atas cabang internal dan eksternal. Pada cabang laryngeal internal sebagian sensori motor terdapat pada motor otot aritenoid, glottis valikula dan vestibula laring, lipatan ariepiglotis serta membrane mukosa bagian posterior rima glottis. Cabang laryngeal eksternal terdapat serabut motorik yang mensarafi otot krikotiroid. 24 7 Universitas Sumatera Utara 8 Nervus laryngeal rekuren bersama dengan cabang arteri tiroid inferior merupakan bagian dari serabut sensorik, yang menyuplai membran mukosa laring di bawah pita suara. Pensarafan ini meliputi seluruh otot laring kecuali krikotiroid dan sebagian kecil otot aritenoid. 24 Gambar 2.1-2. Tampak laring via laringoskopi Gambar 2.1-3. Otot intrinsik dan persarafan dari larynx Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Pensarafan dari trakea

Serabut saraf laryngeal vagus rekuren dan jaras simpatik mensuplai trakea. Serabut parasimpatik eferen berasal dari bagian nucleus dorsal nervus vagus ke arah cabang laryngeal rekuren untuk menyuplai impuls motor ke otot polos trakea. Serabut eferen lainnya menyampaikan sinyal sekresi menuju ke kelenjar-kelenjar di sepanjang trakea. Jaras simpatetik vasokonstriktor berjalan sepanjang arteri tiroid inferior dan cabang-cabangnya banyak terdapat di trakea dengan terdapatnya badan sel pada ganglion servikal medial. 25 Gambar 2.1-4. Persarafan Laryng

2.2 FISIOLOGI

2.2.1 Respon Hemodinamik Laringoskopi dan Ekstubasi Endotrakeal

Laringoskopi dan intubasi endotrakeal menimbulkan peningkatan refleks denyut jantung dan tekanan darah serta konsentrasi katekolamin. 9 Universitas Sumatera Utara 10 Stimulasi mekanik pada jalan nafas akan menyebabkan peningkatan aktivitas sistem saraf pada jaras eferen simpatetik servikal Tomori dan Widdicombe 1969 . Respon yang dominan adalah peningkatan laju nadi dan peningkatan tekanan darah; yang selanjutnya akan meningkatkan cardiac output dan meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah dan berhubungan erat dengan peningkatan tekanan vena sentral. Rangsangan mekanik pada ke empat area saluran nafas, hidung, epifaring, laryngeal dan percabangan trakeobronkial merangsang respon refleks kardiovaskular yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas neuronal di serabut eferen simpatetik servikal. Respon hemodinamik ini sering terjadi selama terjadi perangsangan epifaring dan percabangan trakeobronkial. Aksi vagolitik dari obat yang digunakan saat induksi berperan juga pada peningkatan konsentrasi noradrenalin dan adrenalin plasma yang nyata sebagai respon terhadap intubasi seperti yang dikemukakan oleh Russell pada tahun 1981. 2.2.2 Perubahan EKG Perubahan EKG terutama teramati pada pasien hipertensi dibandingkan pasien normotensi atau pasien hipertensi yang telah terobati. Dapat terjadi mulai dari sinus takikardi, atrial dan ventricular ekstra sistol, ritme nodus A-V, heart block, depresi segmen ST atau T, pemanjangan atau pemendekan interval PR, penurunan voltase QRS, serta pemendekan atau pemanjangan interval QT. Hasil dari denyut jantung dan tekanan darah sistolik dikenal sebagai product rate preassure RPP . Terdapat korelasi yang erat antara RPP dengan konsumsi oksigen miokard dan gejala iskemia. Pada pasien yang sadar didapati RPP yang konstan saat terjadinya angina pectoris. Denyut jantung lebih penting karena peningkatan denyut jantung akan menurunkan waktu diastolik untuk aliran darah koroner, di mana kebutuhan peningkatan oksigen miokard menghasilkan peningkatan tekanan darah sistolik mengimbangi peningkatan perfusi melalui arteri koronaria yang mengalami sklerosis. Universitas Sumatera Utara 11 Sistem saraf simpatetik menghasilkan sebuah unit lengkap yang dikenal sebagai pelepasan massa. Hasilnya akan terjadi sekumpulan reaksi pada tubuh yang dikenal sebagai stress response. Distribusi simpatetik di kepala dan leher, yang menjembatani vasomotor pupil dilator, fungsi sekretori dan pilomotor, berasal dari tiga pasang ganglion simpatetik servikal. Saraf simpatetik menyuplai udara dari superior, medial dan inferior ganglion servikal. Sangat penting untuk menyadari bahwa serabut simpatetik tidak memerlukan sinaps di ganglion tempat mereka berasal tetapi berjalan ke atas dan bawah ipsilateral ganglion dari medulla spinalis. Selanjutnya respon simpatetik tidak terbatas pada segmen di mana stimulus berasal. Pola penyebaran ini mengikuti respon yang tidak dapat dibayangkan sesuai dengan penyebaran keluarnya respon pada sistem simpatetik antara lain: • Serabut pre-ganglionik dari ganglion simpatetik servikal superior yang berasal dari sel-sel anterolateral C 7 -T 2 T 3 • Serabut pre-ganglionik dari ganglion simpatetik servikal medial • yang berasal dari T 1 -T 2 +T 4 • Serabut pre-ganglionik dari ganglion simpatetik servikal inferior yang berasl dari T 1 -T 5

2.2.3 Fisiologi reseptor-

β Katekolamin menghasilkan aksinya melalui gabungan langsung reseptor yang terdapat pada permukaan membrane sel. Reseptor adrenergic terletak di permukaan sel. Sebagai pedoman umum, reseptor beta adrenergic 1 dan 2 melalui perangsangan protein G menghasilkan enzim membran plasma, adenil siklase. Hal ini menimbulkan peningkatan adar siklik AMP intrasel. cAMP berperan di dalam sel perubahan fungsi seluler melalui perangsangan terhadap protein kinase. Protein kinase menimbulkan fosforilasi sejumlah enzim protein tertentu, mengakibatkan aktivasi sejumlah efek yang berperan pada perangsangan reseptor β. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2-1. β reseptor, target jaringan, respon, agonis dan antagonis Reseptor Jaringan Respon Molekular Agonis Antagonis β 1 Jantung Peningkatan kecepatan kontraktilitas konduksi Aktivasi adenil siklase dan Epinefrin Norepinefrin Isoproterenol Dobutamin Practolol Metoprolol Atenolol Propanolol Alprenolol Esmolol β 2 Jaringan Lemk Lipolisis Aktivasi adenil siklase Epinefrin Isoproterenol Salbutamol Metaprotenol Terutalin soretrenol Propanolol Butoxamine Alprenolol Hepar Glikogenesis Glukogenesis Otot Rangka Pelepasan laktat Glikogenolisis Otot polos bronkus, uterus, detrusor GI limpa, kapsul endokrin, dan kelenjar saliva Relaksasi 12

2.2.4 Efek dari blokade Reseptor Beta

Obat-obat ini tidak menghasilkan efek yang nyata pada jantung normal dalam keadaan istirahat. Bagaimanapun saat terjadi peningkatan tonus simpatetik, blokade reseptor β di jantung mencegah peningkatan denyut jantung, cardiac output dan stroke volume. Otomatisasi tertekan dan konduksi atrioventrikular AV melambat. Respon Universitas Sumatera Utara 13 pembebanan jantung dan situasi lain di mana tonus simpatetik meningkat menjadi menurun. Obat ini biasanya menghasilkan penurunan oksigen miokardium dan meningkatkan toleransi latihan pembebanan pada pasien dengan angina. Penghambat β mungkin menurunkan tekanan darah melalui aksinya pada jantung dan penurunan cardiac output. Mereka menurunkan aktivitas renin plasma dan memiliki aksi hipotensi sentral. Penghambat reseptor β menempati bronkus dan bronkiolus menimbulkan peningkatan ketika digunakan stahanan aliran udara, yang akan berbahaya pada pasien asma. Efek lainnya meliputi pencegahan dari adrenalin perangsang glikogenolisis pada otot rangka dan menghambat pelepasan asam lemak dari jaringan lemak.

2.2.5 Aksi Stabilisasi Membran

Propanolol dan beberapa penghambat β memiliki efek depresi langsung seperti efek quinidin pada jantung.

2.2.6 Aksi Simpatomimetik Intinsik

Beberapa penghambat β memiliki aktivitas perangsangan reseptor sifat agonis parsial . Pindolol dan oxprenolol memiliki aktivitas agonis parsial.

2.2.7 Efek pada Sistem Saraf Pusat

Propanolol larut lipofilik bersiap melewati blood brain barrier. Hal ini menimbulkan perubahan emosional. Sejumlah blockade-S berbeda kemampuan melewati blood brain barrier dan efeknya pada SSP.

2.2.8 Efek Metabolik

Blokade mampu mengubah metabolism karbohidrat dan lemak. Universitas Sumatera Utara

2.2.9 Tekanan Intra Okular

Penghambat- β ketika digunakan secara topikal atau per-oral diketahui mampu menurunkan tekanan intra ocular.

2.3 LIDOKAIN

Lidokain merupakan obat anestesi lokal dari golongan amide. Di sintesa pertama sekali dengan nama dagang xylocaine oleh Nils Lofgren tahun 1943. Rekan kerjanya Bengt Lundqvist melakukan ekperimen pertama sekali tahun 1948. Lidokain terdiri dari satu gugus lipofilik biasanya merupakan suatu cincin aromatik yang dihubungkan suatu rantai perantara jenis amida dengan suatu gugus yang mudah mengion amine tersier . Anestesi lokal merupakan basa lemah. Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk garam agar lebih mudah larut dan stabil. Di dalam tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relatif dari dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa nya dan Ph cairan tubuh, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbalch. 26

2.3.1 Rumus Bangun Lidokain

Gambar 2.3-1. Rumus bangun Lidokain

2.3.2 Famakokinetik

Lidokain efektif bila diberikan secara intra vena. Pada pemberian intra vena mula kerja 45-90 detik. Kadar Puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 menit dan waktu 14 Universitas Sumatera Utara 15 paruh 30-120 menit. Lidokain hampir semuanya dimetabolisme dihepar menjadi monoethylglcinexcylidide melalui oksidatif dealkylation, kemudian diikuti dengan hydrolysis menjadi xylidide. Monoethylglcinexcylidide mempunyai aktivitas sekitar 80 dari lidokain sebagai antidisritmia sedangkan xylidide hanya mempunyai aktifitas antidisritmia 10 . Xylidide dieksresi dalam urin sekitar 75 dalam bentuk 4-hydroxy- 2,6-dimethylaniline. Lidokain dalam plasma 50 terikat oleh albumin. Ada dua pendapat kerja lidokain sebagai analgesi, meskipun efek analgesi ini tidak jelas. Mekanisme lidokain sebagai analgesik menghambat suatu enzyme yang mensekresi kinin atau memblok C nosiseptor. lokal secara langsung. Penghambatan saluran ion natrium dan blokade yang bersifat reversible sepanjang konduksi axon peripheral dari serabut saraf A δ dan digambarkan oleh Carlton 1997 dengan tujuan target analgesik pada spinal cord dorsal horn 27 . Sebagai anestesi lokal, lidokain menstabilisasi membran saraf dengan cara mencegah depolarisasi pada membran saraf melalui penghambatan masuknya ion natrium. Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf blockade konduksi dengan menghambat perjalanan ion sodium Na + melalui saluran ion selektif Na + dalam membran saraf butterworth dan stricharrtz 1990 . Saluran Na sendiri merupakan reseptor spesifik untuk molekul anestesi lokal. Kemacetan pembukaan saluran Na oleh molekul anestesi lokal sedikit memperbesar hambatan keseluruhan permeabilitas Na + . Kegagalan permeabilitas saluran ion terhadap Na + , memperlambat peningkatan kecepatan depolarisasi sehingga ambang potensial tidak dicapai dan dengan demikian potensial aksi tidak disebarkan. Saluran Na + ada dalam keadaan diaktivasi-terbuka, tidak diaktivasi tertutup dan istirahat- tertutup selama berbagai fase aksi potensial. Pada membran saraf istirahat, saluran Na + di distribusi dalam keseimbangan diantara keadaan istirahat–tertutup dan tidak diaktivasi-tertutup. Dengan ikatan yang selektif terhadap saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup, molekul anestesi lokal menstabilisasi saluran dalam Universitas Sumatera Utara konfigurasi ini dan mencegah perubahan mereka menjadi dalam keadaan istirahat- tertutup dan diaktivasi-terbuka terhadap respon impuls saraf. Saluran Na + dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup tidak permeable terhadap Na + sehingga konduksi impuls saraf dalam bentuk penyebaran potensial aksi tidak dapat terjadi. Hal ini diartikan bahwa ikatan obat anestesi lokal pada sisi yang spesifik yang terletak pada bagian sebelah dalam saluran Na + sebaik penghambatan saluran Na + dekat pembukaan eksternalnya mempertahankan saluran ini dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup 27-28 . 2.3.3 MEKANISME KERJA ANESTESI LOKAL Bila konsentrasi yang meningkat dari suatu anestesi lokal diterapkan pada suatu serabut Efek progresif ini diakibatkan oleh adanya ikatan antara anestetik lokal dengan saluran Gambar 2.3-2. Mekanisme kerja anestesi lokal saraf, maka nilai ambang eksitasi akan meningkat, konduksi impuls lambat, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun , amplitude potensial berkurang, dan akhirnya kemampuan untuk membangkitkan potensial aksi akan hilang. ion natrium yang semangkin menigkat. Pada setiap saluran ion, ikatan menghasilkan penghambatan arus ion Na. Apabila arus ion Na dihambat disepanjang serabut saraf maka impuls yang melewati daerah yang dihambat tidak terjadi. Pada 16 Universitas Sumatera Utara 17 ng kain menekan dan memperpendek periode refrakter efektif a + obat an kontraktilitas jantung pada manusia minima

2.3.4.2 Efek terhadap SSP

omplikasi pada SSP adalah rasa tebal lidah, agitasi, disorie dosis minimum yang diperlukam untuk menghambat impuls, potensial aksi tidak dipengaruhi secara berarti.

2.3.4 Toksisitas Lidokain

2.3.4.1 Efek terhadap Jantu

Pada kardiovaskular lido dan lama potensial aksi dari sistem His-Purkinje dan otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang berefek pada atrium. Lidokain menekan aktifitas listrik jaringan aritmogenik yang terdepolarisasi, sehingga lidokain sangat efektif untuk menekan aritmia yang berhubungan dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan dengan polarisasi normal fibrilasi atrium. Efek toksisitas jantung yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi plasm estesi lokal dapat terjadi karena obat-obatan ini menghambat saluran Na jantung. Pada konsentrasi rendah obat anestesi lokal, efek pada saluran Na + ini mungkin memperbesar sifat antidisritmia jantung dari obat-obat anestesi ini. Tetapi jika konsentrasi plasma obat anestesi lokal berlebihan, saluran Na + jantung cukup dihambat sehingga konduksi dan automatisasi menjadi di depresi dan merugikan. Memperlambatnya impuls kardiak melalui jantung yang ditunjukan dengan pemanjangan interval P-R dan komplek QRS pada elektrokardia. Toksisitas pada jantung dihubungkan terhadap efek langsung pada otot jantung yaitu kontraktilitas, automatisasi, ritme dan konduktivitas jantung . 26-30 Dosis intra vena 2-4 mgkgbb terhadap l. Gejala awal dari k ntasi, euphoria, pandangan kabur, dan mengantuk kemudian bila kadar lidokain menembus sawar darah otak timbul gejala seperti vertigo, tinnitus, twictching otot dan Universitas Sumatera Utara jika konsentrasi plasma melebihi dari 5µgrml, kejang umum dapat terjadi. Kejang biasanya berlangsung singkat dan berespon baik dengan diazepam, dan sangat penting untuk mencegah hypoxemia Gambar 2.3-3. Hubungan tanda dan gejala anestesi lokal dengan konsentrasi plasma am mencegah nyeri Lidokain mempunyai dua mekanisme di peripheral dan sentra lah sebuah phenylpiperidine yang merupakan sebuah derifat opioid lalui ikatannya dengan reseptor lidokain Dal l nervus system. Di peripheral Lidokain menginhibisi transduksi neural, inhibisi migrasi leukosit, menurunkan pelepasan mediator inflamasi dan menekan albumin extravassasi, sementara di sentral memblok aktivasi neural di dorsal horn, kemudian memodulasi pelepasan neurotransmitter excitatory. Lidokain sebagai analgetik selain inhibisi sodium chanel juga blok N-Methyl-D-Aspartat NMDA. 31

2.4 FENTANIL

Fentanil ada agonis analgesia me spesifik sintetik yang strukturnya sesuai dengan meperidine. Sebagai analgesik, fentanil lebih poten 75-125 kali dari morfin. Opioid agonis menghasilkan yang terdapat di otak dan medulla spinalis dan terlibat dalam transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat beberapa kategori reseptor opioid antara lain reseptor mu µ, delta δ, dan kappa κ 32-33 18 Gambar 2.4-1. Agonis Opioid Sintetik Universitas Sumatera Utara 19 .4.1 Farmakokinetik rikan dosis tunggal intravena memiliki onset yang lebih cepat dan m at inaktif sekitar 75 dari fentani pemberian obat melalu 2 Fentanil yang dibe asa kerja obat yang lebih pendek dari pada morfin. Meskipun secara klinis fentanil mempunyai onset yang cepat, terdapat perbedaan waktu antara puncak konsentrasi fentanil di plasma dan puncak penurunan gelombang pada EEG. Efek fentanil yang diberikan via darah terhadap otak membutuhkan waktu sekitar 6,4 menit. Potensi yang lebih besar dan onset yang lebih cepat merupakan wujud kelarutan lemak yang lebih besar dari fentanil terhadap morfin, dalam hal fasilitasi hantaran obat melewati barier sawar darah otak. Demikian juga, lama kerja obat yang singkat dari pemberian fentanil dosis tunggal merefleksikan redistribusi yang cepat pada jaringan tempat obat ini tidak aktif seperti pada jaringan lemak dan otot-otot rangka. Hal ini berhubungan dengan penurunan konsentrasi obat di plasma. Pada paru juga merupakan tempat penyimpanan ob l yang diberikan, sebagai akibat ambilan first fast jaringan paru. Ketika pemberian fentanil intravena secara multiple atau saat i infus kontiniu dapat terjadi penurunan konsentrasi obat inaktif pada jaringan paru. Singkatnya, konsentrasi fentanil di plasma tidak akan menurun dengan cepat dan kerjanya sebagai analgetik sama halnya dengan depresi dari ventilasi yang dapat terjadi lebih lama. Pada operasi bypass jantung dapat menyebabkan efek fentanil yang menurun yang disebabkan oleh hemodilusi, hipotermi dan aliran darah yang tidak fisiologis, serta respon inflamasi sistemik akibat operasi bypass jantung yang dilakukan. Universitas Sumatera Utara 20 yakan di metabolisme oleh N-demethylation yang menghasilkan norfent tu paruhnya lebih lama dari morfin. Waktu orang tua berhubungan dengan clearance dari opioid. Hal ini disebabkan oleh volume distribusi obat ini tidak berubah dibandingkan Tanggapan kardiovaskular diatur oleh batang otak di daerah nucleus solitaries, nucleus dorsal vagal, nucleus ambigus, dan nucleus parabrachial. Reseptor opioid banyak terdapat di daerah nucleus solitaries dan parabrachial, terutama reseptor u, sehingga bila diberikan agonis akan menyebabkan hipotensi dan bradikardi. Selain itu juga terdapat mekanisme analgesia yang dimiliki oleh daerah ventrolateral periaqueductal gray. Reseptor yang terdapat pada jalur hipotalamus-pituitary-adrenal- yang dimodulasi oleh opioid juga berperan pada stress response. 34

2.4.2 Metabolisme

Fentanil keban anil, hidroxyproprionil-fentanil dan hidroxyproprionil-norfentanil. Norfentanil secara struktur sama dengan normoferidine dan prinsip metaboliknya sama pada manusia. Fentanil diekskresikan oleh ginjal dan didapati pada urin dalam waktu 72 jam setelah pemberian fentanil intravena dosis tunggal. Sekitar 10 fentanil yang tidak termetabolisme diekskresikan melalui urin. Fentanil berikatan dengan enzim hati P-450 dan interaksi obat yang terjadi berhubungan dengan aktivitas enzim ini.

2.4.3 Waktu Paruh Elimination Half-Time

Meskipun masa kerja fentanil singkat, wak paruh yang lebih lama ini menunjukkan volume distribusi fentanil lebih besar. Besarnya volume ditribusi ini berhubungan dengan besarnya kelarutannya dalam lemak. Setelah pemberian bolus intravena, fentanil akan terdistribusi dengan cepat dari plasma ke jaringan-jaringan yang kaya akan pembuluh darah, seperti: otak, jantung dan paru. Lebih dari 80 obat yang masuk ke intravaskular akan tinggal di plasma dalam kurang dari 5 menit. Konsentrasi plasma dari fentanil akan dipertahankan oleh ambilan obat dari jaringan inaktif secara perlahan dimana jumlah efek obat yang menetap sesuai dengan perpanjangan waktu paruh. Lamanya waktu paruh pada Universitas Sumatera Utara 21 dengan Fentanil secara klinis dapat digunakan dengan rentang dosis yang besar, sebagai dosis rendah 1-2 ugKg BB intravena memberi efek analget Efek samping fentanil menyerupai opioid morfin. Depresi ventilasi yang merupakan masalah postoperatif yang potensial. Konsentrasi puncak golongan dewasa muda. Perubahan ini juga menunjukkan faktor umur dapat menurunkan aliran darah hepatik, aktivitas enzim mikrosomal ataupun produksi albumin, sementara fentanil berikatan kuat pada protein sekitar 79-87.

2.4.4 Penggunaan Klinis

contoh pemberian fentanil ik. Fentanil dosis 2-20 ugkgBB intravena akan dapat menumpulkan respon simpatetik, contohnya pada tindakan laringoskopi untuk intubasi trakea ataupun pada stimulasi akibat pembedahan. Waktu yang dibutuhkan oleh penyuntikan fentanil intravena dan pencegahan berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan saat tercapainya obat ke target organ hingga memberi efek. Penyuntikkan fentanyl sebelum adanya stimulasi nyeri akibat pembedahan akan menurunkan jumlah opioid yang dibutuhkan sebagai analgetik postoperasi. Pemberian fentanil 1,5-3 ugkgBB intravena 5 menit sebelum induksi anestesi akan menurunkan kebutuhan gas inhalasi anestesi serta respon simpatetik akibat stimulasi pembedahan. Pemberian dosis besar fentanil 50-150 ukgBB intravena dapat digunakan secara tunggal untuk anestesia pembedahan. Keuntungan pemberian dosis besar fentanil bagi anestesi, antara lain: efek depresi miokard yang langsung lebih sedikit, pengeluaran histamin tidak dijumpai dan stress respon pembedahan dapat ditekan. Kerugian penggunaan fentanil sebagai anestesi tunggal, antara lain: kegagalan pencegahan respon simpatetik terhadap stimulasi pembedahan, khususnya pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang baik kemungkinan pasien bangun dan penurunan fungsi ventilasi post operatif.

2.4.5 Efek Samping

menetap atau berulang sekunder fentanil di plasma dapat berhungungan dengan sisa fentanil yang ada pada cairan asam lambung ion trapping . Sisa fentanil akan diabsorbsi pada suasana Universitas Sumatera Utara 22 Pemberian fentanil pada pasien trauma kepala akan meningkatkan tekanan perubahan PaCO2. Peningkatan tekanan intracra usus halus yang lebih basa yang akan kembali ke sirkulasi sehingga konsentrasi opioid di plasma akan meningkat. Hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan fungsi ventilasi. Perbandingan morfin dengan fentanil pada dosis besar adalah tidak terjadinya pengeluaran histamine. Hipotensi yang diakibatkan oleh dilatasi dari venous capacitant akibat pemberian morfin tidak terjadi pada pemberian fentanil. Fentanil yang diberikan 10 ugkgBB intravena pada neonatus akan menyebabkan terangsangnya reflek baroreseptor di sinus carotid yang dapat secara nyata menurunkan laju jantung. Bradikardi adalah efek fentanil yang dapat menimbulkan penurunan tekanan darah dan cardiac output. Reaksi alergi sangat jarang terjadi pada pemberian fentanil.

2.4.6 Tekanan Intrakranial

intrakranial 6-9 mmHg dan tidak terdapat nial biasanya berhubungan dengan penurunan tekanan arteri rata-rata MAP serta tekanan perfusi otak CPP . Peningkatan tekanan intrakranial yang dipicu oleh pemakaian opioid dapat mengganggu autoregulasi serebral biasanya akibat terjadinya vasodilatasi. 33-34 Universitas Sumatera Utara KERANGKA KONSEP KA KONSEP 23 Perifer : • Inhibisi transduksi neural. • Menurunkan mediator inflamasi. • Inhibisi migrasi leukosit Fentanyl Lidocain General Anestesi Ekstubasi Stimulasi Simpatis ↓ dan simpato adrenal Induksi Nyeri ↓ Respon Hemodinamik -Tekanan Darah Sistolik -Tekanan Darah Diastolik -Tekanan Arteri Rerata -Laju Nadi Sentral : Ikatan reseptor di otak dan medulla spinalis Æ Inhibisi transmisi dan modulasi • Konsentrasi Adrenalin ↓. Stabil Intubasi • Blokade NMDA • Inhibisi Na+ channel. • Modulasi neurotransmitter excitatory. • Blokade aktifasi neural di dorsal horn. Universitas Sumatera Utara 24 BAB III 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda untuk mengetahui perbandingan pengaruh pemberian fentanil 1 ugkgBB dengan lidokain 2 1 mgkgBB intravena terhadap respon hemodinamik pada tindakan ekstubasi.

3.2 Tempat dan waktu

3.2.1 Tempat

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, dan rumah sakit jejaring di Medan-sekitarnya.

3.2.2 Waktu

Oktober sd Nopember 2010

3.3 Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum dengan intubasi orotrakeal di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, dan rumah sakit jejaring di Medan - sekitarnya.

3.3.1 Sampel dan cara pemilihan sampel

Sampel penelitian ini adalah pasien-pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan general anestesi intubasi orotrakeal di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Universitas Sumatera Utara Malik Medan, dan rumah sakit jejaring di Medan- sekitarnya, yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus: dimana: 2 o n1 : besar sampel untuk kelompok perlakuan A, o n2 : besar sampel untuk kelompok perlakuan B o Z α = tingkat kemaknaan 0,05 = 1,960 ditetapkan o Z β = tingkat kemaknaan 0,2 = 0,842 ditetapkan o S = simpangan baku = 11.8 dari kepustakaan 35 o X1 - X2 = perbedaan klinis yang diinginkan = 10 Dari rumus di atas didapat besar sampel untuk masing-masing kelompok adalah 25 sampel. Setelah besar sampel dihitung secara statistik, seluruh sampel dirandomisasi dengan cara randomisasi blok menjadi 2 dua kelompok perlakuan, yaitu kelompok A untuk kelompok perlakuan yang mendapat injeksi fentanil 1 ugkgBB dan kelompok B untuk kelompok perlakuan yang mendapat injeksi lidokain 2 1 mgkgBB.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria inklusi

a. Bersedia ikut dalam penelitian 25 Universitas Sumatera Utara b. Usia 15 – 54 tahun c. PS ASA 1 d. BMI : 18,6 – 24,9 kgm 2 dari kepustakaan 36

3.4.2 Kriteria Eksklusi

a. Pasien dengan pembedahan daerah jalan nafas b. Wanita hamil c. Hipersensitif terhadap fentanil dan lidokain d. Operasi kraniotomi e. Operasi Thymphanoplasty f. Bedah Orbita

3.4.3 Kriteria drop out

Pasien belum dapat diekstubasi

3.5 Cara Kerja

3.5.1 Persiapan pasien dan obat

3.5.1.1 Teknik randomisasi

Setelah mendapat informed consent dan disetujui oleh komite etik, semua sampel yang menjalani operasi dimasukkan kedalam kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok dan dilakukan randomisasi tersamar ganda oleh relawan I yang telah dilatih sebelumnya. Random dilakukan dengan memakai cara randomisasi blok sebagai berikut : Dengan memakai tabel angka random, pena dijatuhkan diatas tabel angka random, angka yang terkena merupakan urutan pertama untuk memulai urutan nomor sampel. 26 Universitas Sumatera Utara 27 Pilih 2 angka dengan digit ke-5 ke kanan membentuk pola berurut dari angka pertama tadi sampai diperoleh sesuai besar sampel yang telah ditentukan. Sesuaikan sekuens pada angka yang terpilih, kemudian susun sekuens tersebut sesuai dengan nomer amplop sekuens terlampir . Kelompok I mendapat fentanil 1 ugkgBB dan kelompok II mendapat lidokain 2 1 mgkgBB. Obat disiapkan oleh relawan yang membuat randomisasi peneliti dan pasien tidak mengetahui komposisi obat dalam spuit. Setelah melakukan randomisasi dan menyiapkan obat, relawan memberikan obat tersebut ke peneliti di dalam amplop putih.

3.5.1.2 Teknik tersamar ganda

Setelah sampel dirandomisasi, langkah berikutnya adalah menetukan teknik tersamar ganda pada saat pelaksanaan penelitian. Tekniknya dalah sebagai berikut: dilakukan oleh relawan I yang terlatih. Dipersiapkan 4 buah spuit 5 ml, 1 spuit untuk fentanil 1ugkgBB, 1 spuit untuk lidokain 1 mgkgBB dan 2 spuit yang tersisa digunakan untuk plasebo saat pemberian fentanil dan lidokain, yaitu larutan NaCl 0,9 yang jumlahnya akan disesuaikan dengan jumlah mililiter fentanil dan lidokain sesuai berat badan subjek penelitian yang telah dihitung. Selanjutnya, masing-masing obat dimasukkan ke dalam amplop tertutup yang diberi nomor sesuai sekuens yang telah ditentukan oleh relawan saat melakukan randomisasi. Masing-masing amplop terdiri dari 2 buah spuit, yaitu 1 spuit yang berisi fentanil diberi pada kelompok I dan 1 spuit untuk plasebonya. Amplop yang lain berisi 1 spiut lidokain pada kelompok II dan dan satu spuit untuk plasebonya . Selanjutnya, amplop tadi akan diberikan kepada relawan yang bertugas memasukkan obat saat pelaksanaan penelitian.

3.5.1.3 Teknik penyuntikan obat

Teknik pelaksanaan penyuntikan obat dilakukan oleh relawan II yang terlatih. Obat yang diterima berada dalam amplop tertutup. Setelah tindakan selesai, obat anestesi inhalasi dimatikan, kemudian reversal diberikan. Tekanan darah sistolik, Universitas Sumatera Utara 28 tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi sebelum pemberian obat dicatat. Setelah kriteria ekstubasi terpenuhi, obat fentanil diberikan 5 menit sebelum ekstubasi, sedangkan placebo diberikan 2 menit sebelum ekstubasi. Demikian juga yang dilakukan oleh relawan II terhadap amplop yang berisi obat lidokain. Placebo diberikan 5 menit sebelum ekstubasi dan lidokain diberikan 2 menit sebelum ekstubasi. Setelah obat tersebut selesai dimasukkan, barulah peneliti melakukan pengukuran dan pencatatan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi pada saat ekstubasi. Demikian juga halnya setelah ekstubasi, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik . tekana arteri rerata dan laju nadi dicatat pada menit ke-1, 2, 3, 4 dan 5 setelah ekstubasi. Data yang diukur dan dicatat, selanjutnya akan ditabulasi ke dalam master tabel dengan menggunakan program software microsoft exel 2007. Pada satu hari sebelum tindakan pembedahan, dilakukan pemeriksaan preoperasi meliputi tekanan darah, laju nadi, laju nafas, berat badan, tinggi badan, dan penentuan indeks massa tubuh.

3.5.1.4 Pada hari penelitian

a. Setelah pasien tiba di ruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang terhadap identitas, diagnosa, rencana tindakan pembedahan, akses infus pastikan telah terpasang infus dengan abocath no. 18 dan threeway, dan pastikan aliran lancar. b. Kemudian pasien dibawa ke kamar operasi, lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah, laju nadi,tekanan arteri rerata, laju nafas, Saturasi oksigen dan temperatur. Kemudian dicatat sebagai data preoperatif. c. Pasien diberikan preloading cairan Ringer Laktat 10 mlkgBB. Universitas Sumatera Utara 29 d. Pasien dipremedikasi dengan Midazolam 0,1 mgkgBB dan Pethidin 1 mgkgBB. e. Dua menit kemudian dilakukan pengukuran tekanan darah, laju nadi laju nafas, saturasi oksigen dan temperatur. Lalu dicatat. f. 10 menit kemudian masing-masing kelompok diinduksi dengan Propofol dosis 2-2.5 mgkgBB IV sampai hilangnya refleks kedua bulu mata. g. Setelah induksi masing-masing kelompok diberikan injeksi Succcinylcholin 1,5 mgkgBB IV. h. Laringoscopy dilakukan setelah obat pelumpuh otot bekerja sempurna dengan menggunakan blade metal Macintosh nomor 3 atau 4 oleh relawan terlatih. i. Intubasi dengan ETT polyvinyl chloride, low pressure high volume, ID 7 Fr untuk perempuan dan ID 7,5 Fr untuk laki-laki. j. Segera setelah intubasi cuff ETT diisi dengan udara sampai tidak ada kebocoran pada saat pemberian ventilasi positif. k. Kedalaman ETT ditentukan dengan mendengar suara napas paru kanan sama dengan paru kiri menggunakan stetoskop, ETT difiksasi. l. Pemeliharaan anestesi dengan Isoflurane 0,5-1 dan O2 : N2O 50 : 50 m. Pemeliharaan pelumpuh otot dengan Atracrium 0,1-0,2 mgkgBB setiap 15- 20 menit untuk kedua kelompok. n. Dilakukan pencatatan tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi sebelum pembeian reversal. Universitas Sumatera Utara 30 o. Pada akhir pembedahan digunakan oksigen 100 , antagonis pelumpuh otot diberikan setelah napas spontan dengan atropine 0,01 mgkgBB dan prostigmin 0,02 mgkgBB. p. Injeksi fentanil 1 ugkgBB 5 menit sebelum ekstubasi pada kelompok I, Injeksi placebo 2 menit sebelum ekstubasi pada kelompok I, Injeksi placebo 5 menit sebelum ekstubasi pada kelompok II dan Lidokain 1 mgkgBB 2 menit sebelum ekstubasi pada kelompok II q. Oropharingeal suction dilakukan sebelum ekstubasi dengan melihat langsung untuk mencegah trauma sampai bersih dari secret. r. Ekstubasi dilakukan setelah pasien memenuhi kriteria: dapat mengikuti perintah, orofaring dan hipofaring bersih tidak ada perdarahan aktif dan sekret, refleks gag intact, dapat mengangkat kepala selama 5 detik, dapat menggenggam dan kontrol nyeri adekuat. dari kepustakaan 9 s. Jalan napas tetap dijaga dan pasien dibawa ke ruang pemulihan dan diberikan oksigen melalui nasal kanul 2-3 litermenit t. Dilakukan pencatatan tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi pada waktu ekstubasi serta menit ke- 1, menit ke-2, menit ke-3, menit ke-4, menit ke-5 setelah ekstubasi. u. Analgetik setelah operasi diberikan ketorolak 0,5-1 mgkgBB IV v. Hasil pengamatan pada kedua kelompok dibandingkan secara statistik w. Penelitian dihentikan bila subjek menolak untuk berpartisipasi, dan terjadi kegawat daruratan jalan napas, jantung, paru dan otak yang mengancam jiwa. Universitas Sumatera Utara 31

3.6 Masalah etika

a. Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta resiko dari hal yang terkait dengan penelitian. Kemudian diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek penelitian informed consent . b. Sebelum anestesi dan proses penelitian dimulai dipersiapkan alat kegawat daruratan oronaso faringeal airway, ambu bag, sumber oksigen, laringoskop, endotrakeal tube, suction set, monitor pulse oximetry, tekanan darah, EKG, DC Shock, obat kegawatdaruratan adrenalin, atropine sulfas, efedrin, aminophilin, deksametason . c. Bila terjadi kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru, dan otak selama proses penelitian berlangsung, maka segera dilakukan antisipasi dan penanganan sesuai dengan teknik, alat dan obat standar seperti yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

3.7 Identifikasi variabel

Dokumen yang terkait

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

4 105 105

Perbandingan Premedikasi Klonidin 3 μg/KgBB Intravena Dan Diltiazem 0.2 mg/KgBB Intravena Dalam Menumpulkan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Endotrakhea

3 76 93

Perbandingan Propofol 2 Mg/Kgbb-Ketamin 0,5 Mg/Kgbb Intravena Dan Propofol 2 Mg/Kgbb-Fentanil 1µg/Kgbb Intravena Dalam Hal Efek Analgetik Pada Tindakan Kuretase Kasus Kebidanan Dengan Anestesi Total Intravena

0 38 101

Perbandingan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Pada Premedikasi Fentanil 2µg/kgBB Intravena + Deksketoprofen 50 mg Intravena Dengan Fentanil 4µg/kgBB Intravena

1 44 90

PERBANDINGAN EFEK DEKSMEDETOMIDIN 0,75 µg kgBB DENGAN FENTANIL 2 µg kgBB INTRAVENA TERHADAP KEBUTUHAN DOSIS INDUKSI PROPOFOL DAN RESPON HEMODINAMIK SE TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI TRAKHEA | Amri | Healthy Tadulako 8732 28684 1 PB

0 0 14

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

1 0 11

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

1 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 40

BAB 1 PENDAHULUAN - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 6

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 13