atau masyarakat di dalam pemilihan makanannya yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikapnya terhadap makanan tersebut.
Perilaku konsumsi makanan pada orang dewasa cenderung jauh dari konsep gizi seimbang. Umumnya, orang dewasa kurang memperhatikan asupan
nutrisi yang dikonsumsi. Mereka cenderung menyukai makanan yang tinggi lemak, manis dan gurih namun kurang serat.
2.4 Hubungan Perilaku Konsumsi Makanan dengan Status Gizi Orang Dewasa
Perilaku konsumsi makanan pada orang dewasa perlu diperhatikan. Karena makanan yang dikonsumsi akan mempengaruhi status gizi. Status gizi terbentuk
dari makanan apa yang dikonsumsi. Kekurangan maupun kelebihan nutrisi yang dikonsumsi akan mempengaruhi proses metabolisme di dalam tubuh. Jika asupan
nutrisi yang dikonsumsi kurang maka akan menyebabkan tubuh lemas karena kekurangan energi, daya tahan tubuh menurun sehingga mudah sakit serta dapat
mengalami gizi kurang . Sebaliknya, jika asupan nutrisi yang dikonsumsi berlebih akan menyebabkan penumpukan energi yang dapat memicu terjadinya gizi lebih.
Ini dapat dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paramita 2002 terhadap peragawati menunjukkan bahwa frekuensi makan per hari mereka
adalah 2 kali per hari sebanyak 55 persen, tidak sarapan pagi sebanyak 72,5 persen, mengkonsumsi sayuran hijau sebanyak 90 persen dan mengkonsumsi
buah-buahan sebanyak 77,5 persen, tidak mengkonsumsi makanan selingan sebanyak 70 persen. Menurut data yang diperoleh rata-rata tingkat konsumsi
energi mereka berada pada kategori defisit tingkat berat yaitu sebanyak 60 persen dan 57,5 persen peragawati mengalami gizi kurang. Hasil penelitian menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa belum terdapat keseimbangan antara konsumsi energi dan pengeluaran energi, dimana energi yang dikonsumsi lebih rendah daripada energi yang
dikeluarkan. Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan, terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan status gizi peragawati.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Amir 1996 pada orang dewasa di Kotamadya Bandung menunjukkan hasil bahwa rata-rata konsumsi total
energi pada orang dewasa adalah 1885 kalori dengan persentase karbohidrat terhadap total energi sebesar 58,7 persen dan persentase lemak terhadap total
energi sebesar 28,30 persen. Disamping itu diketahui juga bahwa prevalensi gizi kurang pada orang dewasa adalah sebanyak 10,7 persen sedangkan gizi lebih
sebanyak 29,4 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan total energi dengan Indeks Massa Tubuh orang dewasa di Kotamadya Bandung.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmawati dan Sudikno terhadap orang dewasa di Kota Depok pada tahun 2007 menunjukkan bahwa
persentase status obesitas tampak lebih tinggi pada orang dewasa yang sering mengkonsumsi gorengan seperti pisang goreng, tempe goreng, tahu goreng,
bakso yaitu sebesar 20,7 persen, sedangkan menurut makanan kesukaankegemaran, diketahui bahwa persentase obesitas lebih tinggi pada orang
dewasa yang menyukai makanan gorengan 18,1 persen, makanan berlemak 23,4 persen, dan makanan manis 20,4 persen. Data status gizi yang diperoleh
sebesar 16,4 persen orang dewasa di Kota Depok mengalami obesitas. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat pengaruh antara keseringan mengkonsumsi
gorengan dan mengkonsumsi makanan kesukaankegemaran makanan gorengan,
Universitas Sumatera Utara
makanan berlemak, makanan manis dengan status gizi obesitas pada orang dewasa di Kota Depok.
Menurut hasil penelitian Humayrah 2009 pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta dan Gorontalo menunjukkan hasil bahwa prevalensi
kegemukan tertinggi terjadi di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta pada sampel yang jarang mengonsumsi makanan manis dengan persentase 34,6 persen dan 28.3.
Sementara itu di Gorontalo prevalensi kegemukan sama pada sampel yang jarang dan sering yaitu sebesar 24,6 persen. Namun hasil uji statistik menunjukkan hanya
kebiasaan mengkonsumsi makanan manis di Sulawesi Utara yang berhubungan dengan kegemukan. Selanjutnya prevalensi kegemukan tertinggi terjadi di
Sulawesi Utara terjadi pada sampel yang sering mengonsumsi makanan berlemak dengan persentase 34,7 persen. Sama halnya dengan Sulawesi Utara, prevalensi
kegemukan di DKI Jakarta dan Gorontalo tertinggi terjadi pada sampel yang sering mengkonsumsi makanan berlemak dalam 1 bulan terakhir dengan
persentase 28,8 persen dan 26,3 persen. Namun hasil uji statistik menunjukkan hanya kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak di Sulawesi Utara yang
berhubungan dengan kegemukan. Selain itu, prevalensi kegemukan tertinggi terjadi di Sulawesi Utara pada sampel yang sering mengkonsumsi jeroan seperti
usus, ampela, otak, paru, dan sebagainya yaitu sebesar 35,5 persen. Berbeda dengan Sulawesi Utara, prevalensi kegemukan di DKI Jakarta dan Gorontalo
tertinggi pada sampel yang jarang mengonsumsi makanan jeroan dengan persentase sebesar 27,2 persen dan 24,6 persen. Hasil uji statistik menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
terdapat hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi jeroan pada orang dewasa di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta, namun tidak dengan orang dewasa di Gorontalo.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Saputra 2014 terhadap wanita usia 25-25 tahun di Kelurahan Gedanganak Kecamatan Ungaran Timur
Kabupaten Semarang menggambarkan sebagian besar responden mengkonsumsi gorengan dengan kategori selalu ≥ 6 kali seminggu sebesar 76,5 persen, sisanya
masuk dalam kategori sering 3-5 kali seminggu sebesar 12,9 persen dan kategori kadang-kadang 1-2 kali seminggu sebesar 10,6 persen. Data status gizi yang
diperoleh adalah 76,5 persen responden mengalami obesitas sentral. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi
gorengan dengan obesitas sentral pada wanita usia 25-45 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Roselly 2008 pada pria 40-55
tahun di Kantor Direktorat Jenderal Zeni TNI-AD menunjukkan hasil bahwa 41 persen TNI mengkonsumsi lemak tidak sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi
yang di anjurkan, selain itu 57,9 persen TNI mengkonsumsi protein dalam jumlah lebih. Data status gizi yang diperoleh adalah sebanyak 25,7 persen mengalami gizi
lebih berdasarkan persen lemak tubuh. Hasi uji statistik menunjukkan ada hubungan antara konsumsi lemak dan protein dengan obesitas pada TNI.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Martaliza terhadap Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor pada tahun 2010 diperoleh bahwa status gizi lebih
banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat ≥ 60 persen dari total konsumsi energi sebesar 54,3 persen daripada polisi yang mengkonsumsi
karbohidrat 60 persen dari total konsumsi energi yaitu sebesar 26,3 persen.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat 60 persen dari total konsumsi energi sebesar73,7 persen daripada
polisi yang mengkon sumsi karbohidrat ≥ 60 persen dari total konsumsi energi
yaitu sebesar 45,7 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi polisi. Selain itu
didapatkan hasil bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi protein ≥ 15 persen dari total konsumsi energi sebesar 42,3 persen
daripada polisi yang mengkonsumsi protein 15 persen dari total konsumsi energi yaitu sebesar 38,3 persen. Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi
pada polisi yang mengkonsumsi protein 15 persen dari total konsumsi energi sebesar 61,7 persen daripada polisi yang mengkonsumsi protein ≥ 15 persen dari
total konsumsi energi yaitu sebesar 57,7 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi
polisi. Sedangkan status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan seperti bakwan, singkong goreng, tahu goreng, tempe goreng
dan pisang goreng ≥ 250 kkal adalah sebesar 53,1 persen daripada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan 250 kkal yaitu sebesar 29,3 persen.
Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan 250 kkal dari total konsumsi energi sebesar 70,7 persen
daripada polisi yang mengkonsumsi protein ≥ 250 kkal dari total konsumsi energi yaitu sebesar 46,9 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat konsumsi makanan kudapan dengan status gizi
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan oleh Zahra M 2012 mengenai Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik dan Status Gizi pada Karyawan UD Alfa STAR Busana
dan PLS Ervina Medan menggambarkan bahwa pola makan karyawan masih kurang baik , karyawan selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang
mengandung tinggi kalori, energi, garam dan gula setiap hari. Umumnya mereka mengkonsumsi roti, keripik, bakso, gorengan, teh manis, kopi, minuman kemasan
dan susu. Aktivitas fisik yang dilakukan tergolong sedang yaitu sebanyak 84 persen. Selain itu terdapat 39 persen karyawan kelebihan berat badan dan 5 persen
mengalami obesitas. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa perilaku makan karyawan yang tidak seimbang serta diimbangi dengan aktivitas
fisik yang kurang mempengaruhi status gizinya, ini terlihat sebagian karyawan mengalami gizi lebih.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Keviena 2013 pada karyawan shift PT. Akebono Brake Astra Indonesia menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik
yang dilakukan diketahui bahwa karyawan yang mengasup energi lebih dari yang dibutuhkan memiliki peluang 27,025 kali lebih besar mengalami status gizi lebih
dibandingkan dengan karyawan yang mengasup energi cukup. Begitu pula dengan protein diketahui bahwa karyawan yang mengasup protein lebih dari yang
dibutuhkan memiliki peluang 1,622 kali lebih besar mengalami status gizi lebih dibandingkan dengan karyawan yang mengasup protein cukup. Serta lemak
diketahui bahwa karyawan yang mengasup lemak lebih dari yang dibutuhkan memiliki peluang 10,847 kali lebih besar mengalami status gizi lebih
dibandingkan dengan karyawan yang mengasup lemak cukup. Data status gizi
Universitas Sumatera Utara
yang didapat menunjukkan bahwa terdapat 34 persen karyawan memiliki status gizi lebih. Hasil uji statistik mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara
asupan energi, karbohidrat, protein dan lemak dengan status gizi lebih. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadimin 2011 pada pegawai Dinas
Kesehatan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pola makan masih kurang baik yaitu sebesar 62 persen. Sebagian besar pola konsumsi pegawai terhadap sayuran
dan buah masih kurang. Selain itu frekuensi konsumsi terhadap makanan pokok dan lauk pauk juga kurang baik. Mereka juga cenderung mengkonsumsi makanan
siap saji yang banyak mengandung karbohidrat dan lemak atau tinggi kalori. Data status gizi pegawai terdapat 50 persen mengalami obesitas. Terlihat bahwa pola
makan yang kurang baik menyebabkan status gizi tidak baik pula. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan Dewi dan Trias 2013
mengenai Hubungan Pola Makan, Aktivitas Fisik, Sikap dan Pengetahuan tentang Obesitas dengan Status Gizi PNS di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
menunjukkan bahwa sumber karbohidrat yang dikonsumsi pegawai adalah nasi sebesar 59,8 persen dengan frekuensi terbanyak pada laki-laki 3 kali per hari
sebesar 39,1 persen dan perempuan 2 kali per hari sebesar 21,8 persen. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pegawai yang mengkonsumsi bakso
adalah sebesar 29,8 persen dengan frekuensi terbanyak pada laki-laki 2 kaliminggu sebesar 13,8 persen dan pada perempuan 1 kaliminggu sebesar 7,2
persen. Menurut data yang didapat dari 87 sampel, terdapat 56,3 persen pegawai memiliki status gizi yang tidak baik, yaitu mengalami obesitas sentral.
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan antara frekuensi
Universitas Sumatera Utara
mengkonsumsi nasi dan bakso keliling dengan status gizi pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
2.5 Konsep Dasar Gizi Seimbang Orang Dewasa