“REPRESENTASI CITRA DIRI DALAM IKLAN LA LIGHT S” (Studi Semiotik Representasi Citra Diri dalam Iklan LA Lights Versi “Bersandiwara” di Media Televisi).

(1)

SKRIPSI

Oleh

:

RANI IK A WIJAYANT I NPM. 0843010104

YAYASAN KESEJAHTE RAAN PE NDIDIK AN DAN PER UMAHAN UNIVERSITAS PE MBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA TI MUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLI TIK PROGRAM STUDI IL MU KOMUNIKASI

SURABAYA 2012


(2)

“Bersandiwa ra” d i Media Televisi)

Disusun Oleh :

Rani Ika Wijayan ti 0843010104

Telah disetuj ui untuk mengik uti Ujian Skripsi

Menyetu jui, DOSEN PE MBIMBING

Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 366019400251

DEKAN

Dra. Ec. Hj. Supar wati, M.Si NIP.195507181983022001


(3)

Rani Ika Wijayan ti 0843010104

Telah dipertah ank an dihad apan dan diterima oleh Tim Penguj i Skr ipsi Ju rusan Ilm u Komunikasi Fak ultas I lmu Sosial dan Ilmu Politik Univer sitas P embangu nan Nasional

“Veter an” Jawa Tim ur pada tan ggal 13 Jun i 2012

PEMB IMBING TIM PENGUJI :

1. KETUA

Dra. Dyva Claretta, MSi Ir. H. Didiek Tr anggono, MSi.

NPT. 366019400251 NIP. 1958122519900110001

2. SEKRET ARIS

Dra. Herlina Suksmaw ati, MSi NIP. 196412251993092001 3. ANGGOTA

Dra. Dyva Claretta, MSi. NPT. 366019400251


(4)

x

Penelitian ini memiliki latar belakang adanya representasi citra diri dalam kehidupan sehari-hari yang divisualisasikan dalam sebuah iklan. Dalam iklan ini terdapat perwakilan dari citra diri positif yang dibangun oleh sesorang untuk menutupi kondisi sebenarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi citra diri dalam iklan L.A Lights versi “Bersandiwara” di media televisi.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi non verbal, komunikasi interpersonal dan model semiotika menurut John Fiske, yang terbagi dalam tiga level, yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis semiotik, untuk menginterpretasikan penggambaran citra diri dalam iklan L.A Lights.

Berdasarkan hasil penelitian, iklan L.A Lights versi “Bersandiwara” sarat akan representasi citra diri. Representasi citra diri ini divisualisasikan dengan penggunaan topeng, gerakan serta ekspresi model yang menunjukkan kondisi sebenarnya.

Kata kunci : representasi citra diri, iklan, metode semiotik Fiske

ABSTRACT

RANI IKA WIJAYANTI, SELF IMAGE REPRESENTATIVE AT L.A LIGHTS ADVERTISING (Self Image Semiotic Studies at L.A Lights advertising “Drama” version on Television)

This examination background has a self image representative on daily life that visualized by media advertise. On this advertisement there is a positivity personal representation build by someone to manipulated condition. The purpose of examination is to understand personality representative on L.A Lights “Drama” version on television advertisement.

To be more efficient, this examination using non-verbal communication theory, interpersonal communication, and John Fiske’s semiotics model that depend on three level : reality level, representation level, and ideology level.

By using descriptive-qualitative with semiotic analysis as the examination methods so this can be useful to interpretation personality description on L.A Lights advertisement.

Based on the examination results, L.A Lights “Drama” advertisement is full of self image representative. This self image representative can be visualized by applying mask and also model’s expressions that shows the real condition. Keywords : self image representative, advertisement, Fiske’s semiotic model


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : Representa si Citra Diri dalam Iklan LA Lights (Studi Semiotik Represe ntasi Citr a Diri dala m Iklan LA Lights Versi “Bersandiwara” di Media Televisi).

Penulis akui bahwa kesulitan selalu ada di setiap proses pembuatan skripsi ini, tetapi faktor kesulitan itu lebih banyak datang dari diri sendiri. Semua proses kelancaran pada saat pembuatan skripsi tidak lepas dari segala bantuan dari berbagai pihak yang sengaja maupun tak sengaja telah memberikan sumbangsihnya.

Selama melakukan penulisan penelitian ini, tak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih pada Ibu Dra. Dyva Claretta M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Adapun penulis sampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Allah SWT. Karena telah melimpahkan segala karuniaNya, sehingga penulis mendapatkan kemudahan selama proses penulisan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi. 4. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan


(6)

Serta tak lupa penulis memberikan rasa terima kasih secara khusus kepada:

1. Almarhum Bapak Sudirin dan Ibu Kundayani tercinta terimakasih atas segala dukungan dan doa yang telah diberikan pada penulis ♥.

2. Pakde Kodrat, Bude Kuntari, Mbak Rini, serta keluarga atas doa, dukungan moral maupun material dan kepercayaannya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik ♥.

3. My Huru-Hara Girls, Ratih, Lisa, Citra, Angel, Aridah, Maria, Burky atas motivasi serta kebersamaan yang kalian berikan kepada penulis ♥.

4. My Emogurlsxx Audy, Fiqi, Niza, Nita, Jottie terima kasih atas semangat yang kalian berikan ♥.

5. Sahabatku Rayi, Mate dan Rachma, terimakasih atas dukungan dan selalu menghibur penulis. Love you ♥.

6. Dulur-dulur X-Phose ku tercinta, terimakasih atas dukungannya.

7. Seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi, juga kakak-kakak kelas yang telah membantu serta membimbing penulis selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah dibutuhkan guna memperbaiki kekurangan yang ada.

Akhir kata semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya teman-teman di Jurusan Ilmu Komunikasi.

Surabaya, 14 Mei 2012 Penulis


(7)

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ... . ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... x

Bab I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

Bab II KAJ IAN PUSTAKA ... 13

2.1 Landasan Teori ... 13

2.1.1 Periklanan ... 13

2.1.1.1 Iklan sebagai Bentuk Komunikasi Massa ... 15

2.1.1.2 Iklan Televisi ... 18

2.1.2 Citra Diri ... 20

2.1.3 Komunikasi Nonverbal ... 25

2.1.3.1 Ekspresi Wajah dan Tatapan Mata ... 29

2.1.3.2 Artefak ... 30


(8)

2.1.8 Konsep Makna ... 42

2.1.9 Model Semiotika John Fiske ... 44

2.1.10 Respon Psikologi Warna ... 48

2.2 Kerangka berpikir ... 50

Bab III MET ODE PENELITI AN ... 52

3.1 Metode Penelitian ... 52

3.2 Kerangka Konseptual ... 53

3.2.1 Corpus ... 53

3.3 Definisi Operasional ... 59

3.3.1 Representasi ... 59

3.3.2 Citra Diri ... 60

3.3.3 Komunikasi Nonverbal ... 61

3.3.4 Komunikasi Interpersonal ... 61

3.4 Unit Analisis ... 62

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 63

3.6 Teknik Analisis Data ... 63

Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ... 64

4.1.1 Gambaran Umum Perusahaan ... 64

4.1.1.1 Tahun-tahun Awal ... 64


(9)

4.2.2.1 Tampilan Visual Scene 7 ... 70

4.2.2.2 Tampilan Visual Scene 8 ... 74

4.2.2.3 Tampilan Visual Scene 10 ... 77

4.2.2.4 Tampilan Visual Scene 12 ... 81

4.2.2.5 Tampilan Visual Scene 16 ... 86

4.2.2.6 Tampilan Visual Scene 17 ... 89

4.2.2.7 Tampilan Visual Scene 18 ... 93

4.3 Analisis Keseluruhan Iklan LA Lights ... 97

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

5.1 Kesimpulan ... 101

5.2 Saran ... 102

DAFTAR TABEL ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 104


(10)

(11)

1.1Latar Belakang Masalah

Iklan adalah berita atau pesan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:322). Dari definisi diatas, terdapat beberapa komponen utama dalam sebuah iklan yakni “mendorong dan membujuk”. Dengan kata lain, iklan adalah proses penyampaian pesan atau info kepada sebagian atau seluruh khalayak mengenai penawaran suatu produk atau jasa dengan menggunakan media dan harus memiliki sifat persuasi.

Iklan tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lain seperti gambar, warna, dan bunyi. Pada dasarnya lambang yang digunakan dalam iklan terdiri dari dari dua jenis yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal, lambang non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas.

Iklan dikatakan baik apabila iklan tersebut memiliki etika dalam penyajiannya, baik etika dalam beriklan maupun etika dilihat dari sudut pandang bisnis. Etika iklan secara sehat (baik) mencakup tiga aspek penting yakni etis, estetis dan artistik. Dilihat dari aspek etisnya, iklan


(12)

memperhatikan etika dan norma-norma sosial yang berlaku dan berkembang di masyarakat. Sedangkan dari aspek estetis, iklan tersebut sedapat mungkin membutuhkan apresiasi masyarakat terhadap apa yang disebut dengan nilai-nilai keindahan. Dengan kata lain, iklan dapat mempengaruhi pola pikir dan pandangan khalayak akan sesuatu yang berujung pada perubahan sikap secara sosial kultural. Untuk aspek artistik, iklan yang disajikan sebaiknya mampu merepresentasikan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh produsen (pengiklan) secara optimal. Sehingga akan berakibat pada terbentuknya kesan atau image positif pada khalayak sasaran yang dituju, lain halnya dengan etika bisnis, seperti yang disampaikan oleh (Sumartono, 2002:134) bahwa materi atau isi pesan yang disajikan dalam iklan harus mengandung atau berisi tentang informasi yang jelas, akurat, faktual dan lengkap sesuai dengan kenyataan dari produk atau jasa yang ditawarkannya.

Perkembangan iklan dan periklanan di dalam masyarakat konsumer dewasa ini telah memunculkan berbagai persoalan sosial dan kultural mengenai iklan, khususnya mengenai tanda (sign) yang digunakan, citra (image) yang ditanpilkan, informasi yang disampaikan, makna yang diperoleh, serta bagaimana semuanya mempengaruhi persepi, pemahaman dan tingkah laku masyarakat. Apakah sebuah iklan benar-benar menampilkan reallitas tentang produk-produk yang ditawarkan atau malah sebaliknya. Realitas itu sendiri dianggap sebagai


(13)

sebuah cerminan dari produk yang diiklankan, namun hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Seringkali iklan terperangkap di dalam skema permainan tanda (free play of sign), dalam rangka menciptakan citra palsu sebuah produk yang seringkali mengabaikan bagian integral, substansial atau fungsional produk tersebut. Akan tetapi melalui kemampuan retorika sebuah iklan, citra-citra tersebut justru menjadi model rujukan dalam mempresentasikan produk.

Suatu iklan juga didasarkan pada konsep segmen-segmen yang akan dituju. Definisi dari segmen itu sendiri adalah kelompok masyarakat tertentu yang menjadi sasaran penjualan suatu produk. Segmen harus diketahui dan ditentukan oleh pengiklan agar tidak salah sasaran. Dengan kata lain, iklan tersebut efektif dalam menyampaikan pesan atau informasi produk seperti yang dikehendaki oleh pengiklan

Media elektronik televisi merupakan bagian dari perkembangan teknologi komunikasi yang mampu memberikan berbagai macam informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Media elektronik televisi dalam menyajikan informasi jauh lebih baik dibandingkan media cetak maupun media elektronik lainnya karena media televisi mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi komunikan dengan menggunakan media audio dan visual yang memiliki pengaruh yang cukup besar ketika informasi tersebut diterima oleh komunikan.


(14)

Iklan memperlihatkan nilai-nilai kehidupan pada setiap zamannya. Iklan barang dan jasa menunjukkan suatu gambaran, bagaimana orang hidup dan menginginkan kehidupannya (Suhandang, 2010:13).

Citra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rupa; gambar; gambaran. Sedangkan pencitraan yang berdasarkan kata citraan memiliki makna cara membentuk citra mental pribadi, atau gambaran sesuatu (KBBI, 1990:169). Pasti semua orang menyukai dicitrakan sebagai orang baik, atau berpribadi unggul. Orang yang memiliki citra baik akan teruntungkan dalam banyak hal (http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1824-pencitraan-diri.html).

Citra diri menurut H. Fadhil Zainal Abidi adalah anggapan yang tertanam dalam pikiran bawah sadar seseorang tentang dirinya sendiri. Citra diri bisa tertanam dalam pikiran bawah sadar oleh pengaruh orang lain, pengaruh lingkungan, pengalaman masa lalu atau sengaja ditanamkan oleh pikiran sadar. Ditambahkan lagi bahwa Citra diri merupakan blueprint kehidupan seseorang, ia akan menjalani kehidupannya sesuai gambaran mental yang ada dalam citra dirinya. (http://www.scribd.com/doc/52467716/22700858-Hubungan-Antara-

Citra-Diri-Dan-Motivasi-Berprestasi-Mahasiswa-Penerima-Beasiswa-Bantuan-Belajar-Fip-Um.html).

Menurut Amalia E. Maulana, Ph.D, seorang Brand Consultant senior dari Etnomark Consulting, ibarat sebuah merk produk, diri kita


(15)

sendiri juga adalah sebuah merk yang harus dijaga reputasinya. Bila reputasi sudah bagus dan terpercaya, seseorang kemudian bisa merencanakan beberapa pengembangan diri agar cita-cita hidup yang

belum tercapai bisa segera diraih

(http://kosmo.vivanews.com/news/read/164699-membangun-citra-diri-positif). Sebuah merk itu mahal sekali, sama seperti sebuah pencitraan diri untuk seseorang. Bukan cuma produk yang perlu menjaga image, diri seseorang juga perlu di-branding.

Gambaran penilaian diri kita atau cara memandang diri sendiri adalah konsep diri. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetpi juga penilaian anda tentang diri anda. Anita Taylor mendefinisikan konsep diri sebagai „all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself‟ (Taylor dalam Rakhmat, 2004:100). Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra-diri (self image), dan komponen afektif disebut harga-diri (self esteem).

Supranto dan Limakrisna (2007:139), “Citra diri didefinisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan perasaan individu yang merujuk kepada diri sendiri sebagai suatu objek”. Sedangkan menurut Mowen dan Minor (2002 : 271), “Citra diri merupakan totalitas pikiran dan perasaan individu yang mereferensikan dirinya sendiri sebagai objek.”


(16)

cara-cara objektif tentang siapa dan apa dia itu. Karena orang memiliki kebutuhan untuk berperilaku secara konsisten dengan citra diri mereka, maka persepsi diri sendiri akan membentuk sebagian dasar kepribadian mereka. Dengan bertindak secara konsisten dengan citra diri mereka, para konsumen mempertahankan hargai diri mereka dan memperoleh prediktabilitas dalam berinteraksi dengan orang lain.

Orang yang memiliki citra diri positif bisa melihat bahwa hidupnya jauh lebih indah dari segala krisis dan kegagalan jangka pendek yang harus dilewatinya. Segala upaya yang dijalaninya dengan tekun akan mengalahkan masalah yang sedang terjadi dan meraih kembali kesuksesan yang sempat diraih. Secara alamiah akan membangun rasa percaya diri, yang merupakan salah satu kunci sukses. Citra diri yang positif dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Selain itu, orang yang mempunyai citra diri positif senantiasa mempunyai inisiatif untuk menggulirkan perubahan

positif bagi lingkungannya

(http://www.slideshare.net/deepyudha/membangun-citra-diri-11725860.html).

Seringkali karena pencitraan diri yang negatif, akan mengakibatkan kita berperilaku yang menyimpang dari yang diharapkan atau dari norma umum yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Coulhoun (1990) ada dua jenis konsep diri negatif. Pertama, pandangan seseorang tentang dirinya benar-benar tidak teratur. Ia tidak


(17)

memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Ia benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya atau apa yang dihargai dalam hidupnya. Kondisi ini umumnya dialami oleh remaja. Konsep diri mereka kerapkali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan hal ini terjadi pada masa transisi dari peran anak ke peran orang dewasa. Tetapi pada orang dewasa hal ini merupakan suatu tanda ketidakmampuan menyesuaikan.

Kedua, dari konsep diri negatif hampir merupakan kebalikan dari tipe yang pertama. Di sini konsep diri terlalu stabil dan terlalu teratur, dengan kata lain, kaku. Mungkin karena didikan orang tua yang terlalu keras, individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak mengijinkan adanya penyimpangan dari aturan-aturan yang menurutnya merupakan cara hidup yang tepat. Brook dan Emmert (Rahmat, 1985) menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif antara lain :

1. Peka terhadap kritik

2. Responsif terhadap pujian, meskipun ia berpura-pura untuk menghindarinya.

3. Hiperkritis terhadap orang lain.

4. Merasa tidak disenangi oleh orang lain, sehingga sulit menciptakan kehangatan dan keakraban dengan orang lain. 5. Pesimis terhadap kompetisi.


(18)

(http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab3-Perasaan individu bahwa ia tidak mempunyai kemampuan yang ia miliki. Padahal segala keberhasilan banyak bergantung kepada cara individu memandang kualitas kemampuan yang dimiliki. Pandangan dan sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang sulit untuk diselesaikan (www.belajarpsikologi.com).

Seringkali permasalahan yang terkait dengan citra diri adalah ketidakpercayadirian. Orang yang tidak percaya diri atau minder sulit untuk mengembangkan kemampuan dirinya kearah yang lebih baik karena orang yang percaya diri adalah ketika orang tersebut yakin bisa dan punya kapasitas untuk mendapatkan apapun yang Anda inginkan di dalam hidup ini, dan bisa mengatasi situasi seperti apapun (www.percayadiri.com). Selain minder, permasalahan yang berkaitan adalah berpura-pura atau menutupi sesuatu hal yang negatif agar bisa memenuhi keinginan-keinginan tertentu seperti misalnya ingin dilihat sebagai pribadi yang baik, mengikuti aturan atau tata cara tertentu dalam sebuah kelompok.

Citra diri yang ditampilkan seseorang dapat dimunculkan dengan cara verbal dan nonverbal. Seringkali tanda-tanda yang di tampilkan secara nonverbal inilah yang memberikan banyak makna. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini,


(19)

peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal (Knapp dalam Mulyana, 2007:347).

Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari, namun tidaklah mudah memberikan definisi yang dapat diterima semua pihak. Littlejohn (1999) memberikan definisi komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara individu-individu. Komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara verbal maupun nonverbal.

Salah satu iklan yang menampilkan unsur pencitraan terhadap diri sendiri bagi pesan yang disampaikan kepada khalayak adalah iklan LA Lights versi “Bersandiwara”. Pada iklan LA Lights versi “Bersandiwara”digambarkan model yang ditampilkan adalah lelaki dan perempuan yang sedang melakukan berbagai aktifitas sambil mengenakan topeng untuk menutupi keadaan atau perasaan sebenarnya. Iklan LA Lights versi “Bersandiwara” menampilkan beberapa adegan yang mengandung unsur-unsur representasi citra diri yaitu sekelompok orang yang sedang berjalan, laki yang sedang membaca buku, laki-laki yang berjalan sambil mengantuk, laki-laki-laki-laki memberikan bunga pada perempuan, laki-laki yang melirik perempuan yang melintas dan perempuan yang memamerkan perhiasan. Dari kesemua adegan-adegan dalam iklan yang menunjukkan representasi citra diri adalah


(20)

model dalam iklan tersebut. Iklan ini merepresentasikan citra diri positif yang ingin ditampilkan dalam setiap kegiatan. Model-model yang terdapat pada iklan ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang baik dengan menunjukkan citra diri positif. Citra diri yang positif diwakilkan dengan penggunaan topeng. Topeng tersebut digunakan untuk mengkamuflasekan ekspresi sebenarnya yaitu, mengantuk pada adegan berjalan, tertarik kepada wanita lain pada adegan memberikan bunga dan muak pada adegan pamer perhiasan. Topeng adalah penutup muka dari kayu, kertas yang menyerupai muka orang, binatang, dan sebagainya. Arti kata lain dari topeng adalah kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya (http://www.artikata.com/arti-354906-topeng.html). Ekspresi-ekspresi seperti bosan, malas, mengantuk, pamer yang ditunjukkan oleh model-model yang berada di iklan ini adalah perwujudan dari hal negatif yang dimiliki setiap manusia namun berusaha ditutupi dengan memunculkan citra diri yang positif melalui penggunaan topeng yang berekspresi gembira.

Rokok dipandang sebagai sebuah barang yang memiliki banyak dampak negatif. Perwujudan rokok, asap rokok dan orang merokok dilarang untuk dimunculkan baik dalam media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu peneliti melihat bahwa pengemasan iklan dalam bentuk representasi citra diri ini juga mewakili citra rokok yang sebenarnya barang yang merusak kesehatan tetapi banyak di konsumsi oleh konsumennya.


(21)

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengungkapkan representasi dibalik iklan tersebut dengan melakukan penelitian menggunakan teori yang sesuai dengan objek penelitian, peneliti tertarik untuk melihat begitu menariknya tanda-tanda yang terkandung dalam sebuah iklan, maka jalan terbaik untuk mengamati sebuah iklan adalah dengan menggunakan analisis semiotik.

Komunikasi sebagai sebuah proses dapat disebut apabila tercapai kesamaan makna terhadap informasi yang dipertukarkan antara komunikan dan komunikator. Untuk itu diperlukan perpaduan yang tepat antara kode-kode, media, dan konteks untuk menyampaikan informasi dengan cepat, hemat, akurat. Proses tersebut tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa manusialah yang menterjemahkan informasi yang didapatkan dari media tertentu dalam konteks khusus dan memaknainya, istilah semiotik disini berperan.

Peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi yang bertujuan untuk melakukan sebuah studi semiotika untuk mengetahui representasi atau penggambaran citra diri dalam iklan rokok “LA Lights versi Bersandiwara”. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian deskriptif kualitatif, serta menggunakan pendekatan semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske.


(22)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Representasi Citra Diri Terhadap Iklan LA. Lights Versi Bersandiwara?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi citra diri pada iklan rokok LA Lights versi Bersandiwara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Kegunaan teoritis

Analisis semiotik ini bermanfaat untuk memberikan penggambaran tentang citra diri yang berkaitan dengan komunikasi interpersonal.

2. Kegunaan praktis

Analisis semiotik citra diri dalam iklan rokok LA Lights versi Bersandiwara ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi penelitian selanjutnya dan menjadikan kerangka bagi pembuat iklan di Indonesia agar semakin kreatif dalam menyampaikan isi pesan iklan.


(23)

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Periklanan

Dalam konsep bahasa yang sederhana, „iklan‟ memiliki arti

„menarik perhatian kepada sesuatu‟ atau menunjukkan atau memberi informasi kepada seseorang atas suatu hal (Dyer, 1996:2). Dyer juga menambahkan bahwa pada awalnya fungsi utama dari sebuah iklan adalah untuk memperkenalkan berbagai variasi barang kepada publik sehingga mendukung terciptanya perekonomian bebas. Istilah iklan sendiri berasal dari bahasa inggris yaitu Advertising yang menunjukkan

suatu proses atau kegiatan komunikasi yang melibatkan pihak-pihak sponsor (pemasang iklan atau advertiser), media massa, atau agen

periklanan (biro iklan). Ciri utama dari kegiatan tersebut adalah kegiatan pembayaran yang dilakukan para pemasang iklan melalui biro iklan atau langsung kepada media massa terkait atas dimuatnya atau disiarkannya penawaran barang dan jasa yang dihasilkan si pemasang iklan tersebut (Aaker dalam Widyatama, 2007:7).

Namun seiring dengan perkembangan jaman, dunia periklanan telah menjadi semakin jauh terlibat dalam manipulasi nilai-nilai sosial dan perilaku, menampilkan wajah komersialisasi secara dominan dengan menghadirkan beragam acara serta menggiring khalayak kepada


(24)

pengiklan dan pada akhirnya semakin tidak berkaitan langsung dengan

esensi komunikasi (dalam hal ini, media massa) mengenai informasi

tentang barang dan jasa dan pada akhirnya menjadikan media sebagai bagian dari sistem kapitalisme global.

Iklan yang baik sangat penting bagi pemasaran. Iklan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada produk yang dipromosikan. Iklan dapat membuat penjualan meningkat dan memperendah biaya produksi. Tujuan dasar iklan adalah memenangkan hati dan pikiran sasaran pasar. Dalam kondisi dan situasi pasar yang makin kompetitif, pencipta iklan harus kreatif sehingga iklan yang diciptakannya dapat berdampak positif. (Kuswandi, 2008:113)

Menurut pandangan Dunn dan Barban (1978) bahwa iklan merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat media dengan membayar ruang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk (persuasif) kepada konsumen oleh perusahaan, lembaga non komersial, maupun pribadi yang berkepentingan (Widyatama,2007:15)

Dari beberapa pengertian iklan terdapat enam prinsip dasar yang terkandung dalam iklan, yaitu:

1. Adanya pesan tertentu, sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan.


(25)

2. Dilakukan oleh komunikator (sponsor), pesan iklan ada karena dibuat oleh komunikator.

3. Dilakukan dengan cara non personal, dari beberapa pengertian

iklan, hampir semua berpendapat bahwa iklan merupakan penyampaian pesan yang dilakukan secara non personal.

4. Disampaikan untuk khalayak tertentu, iklan diciptakan oleh komunikator karena ingin ditujukan kepada khalayak tertentu. 5. Dalam penyampaian pesan tersebut, dilakukan dengan cara

membayar.

6. Penyampaian pesan tersebut, mengharapkan dampak tertentu. Dalam sebuah visualisasi iklan, seluruh pesan dalam iklan

semestinya merupakan pesan yang efektif.

(Widyatama,2007:16)

Kesimpulannya, secara prinsip iklan adalah bentuk penyajian pesan yang dilakukan oleh komunikator secara non personal melalui media untuk ditujukan pada komunikan dengan cara membayar.

2.1.1.1 Iklan sebagai Bentuk Komunikasi Massa

Periklanan adalah suatu cara untuk menciptakan kesadaran dan pilihan. Iklan ada karena ia memiliki fungsi. Dilihat sebagai alat, iklan dapat digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, ia bergantung pada


(26)

kemana komunikator hendak mengarahkan pesannya (Widyatama,2005:144).

Iklan memiliki beberapa tujuan yaitu tujuan jangka pendek yang artinya iklan diharapkan mampu memberikan dampak segera setelah iklan disampaikan di tengah masyarakat. Berbeda dengan tujuan jangka pendek iklan juga memiliki tujuan jangka panjang yaitu, dampak yang baru dapat dipetik dalam kurun waktu yang lama setelah iklan diluncurkan. Iklan tidak sekedar menjual barang; ia juga menginformasikan, membujuk, menawarkan status, membangun citra, dan bahkan menjual mimpi. Pendeknya, iklan merekayasa kebutuhan dan dan menciptakan ketergantungan psikologis (Hamelink, 1983:16). Karena sifatnya yang persuasif, iklan menurut Tilman dan Kirk Patrick merupakan komunikasi massa yang menawarkan janji kepada konsumen.

Melalui pesan yang informatif sekaligus persuasif mereka menjanjikan :

1. Adanya barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan. 2. Tempat memperolehnya,

3. Kualitas dari barang dan jasa

Menurut Alo Liliweri (1998), iklan mempunyai fungsi yang sangat luas. Fungsi-fungsi tersebut meliputi, fungsi pemasaran, fungsi komunikasi, fungsi pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi sosial.


(27)

Fungsi pemasaran adalah fungsi iklan yang diharapkan untuk membantu pemasaran atau menjual produk. Artinya, iklan digunakan untuk mempengaruhi khalayak untuk membeli dan mengkonsumsi produk. Yang kedua adalah fungsi komunikasi artinya, bahwa iklan sebenarnya merupakan sebentuk pesan dari komunikator kepada khalayaknya. Fungsi yang ketiga menurut Liliweri adalah fungsi pendidikan. Fungsi ini mengandung makna bahwa iklan merupakan alat yang dapat membantu mendidikan khalayak mengenai sesuatu agar mengetahui dan mampu melakukan sesuatu. Fungsi keempat dari iklan adalah fungsi ekonomi, yang artinya iklan mampu menjadi penggerak agar kegiatan ekonomi tetap dapat berjalan. Yang terakhir adalah fungsi sosial. Dalam fungsi ini iklan ternyata telah mampu menghasilkan dampak sosial psikologis yang cukup besar, iklan membawa berbagai pengaruh dalam masyarakat, misalnya munculnya budaya konsumerisme, menciptakan status sosial baru, menciptakan budaya pop dan sebagainya. Karena iklan ditujukan untuk khalayak ramai, maka dengan demikian iklan bukan merupakan komunikasi interpersonal melainkan non personal. Oleh karena itu, tepat rasanya bila komunikasi semacam ini digolongkan dalam bentuk komunikasi massa. Iklan memang menonjolkan sifat persuasifnya, yakni bagaimana seorang individu berubah sikap sebagai hasil transaksi dengan pihak lain.


(28)

Komunikasi massa dapat diartikan sebagai suatu proses dimana komunikator secara profesional menggunakan media massa didalam menyebarkan pesannya guna mempengaruhi khalayak banyak, baik menggunakan media massa cetak maupun elektronik.

2.1.1.2 Iklan Televisi

Televisi sebagai media massa yang merupakan media dari jaringan komunikasi yang berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, mempunyai pesan bersifat umum atau luas sasarannya menimbulkan keserempakan serta komunikasinya bersifat heterogen. Kelebihan televisi yaitu bersifat audio visual, artinya dapat dilihat dan didengar (Effendy, 1991:24).

Iklan menjadi wacana penting dalam bisnis, terutama dalam proses membangun merek atau branding. Kegiatan periklanan yang

efektif dipandang mampu mempengarui kecenderungan mengkonsumsi dalam masyarakat. Iklan yang efektif juga akan mengubah pengetahuan publik mengenai ketersediaan dan karakteristik sebuah produk, elastisitas permintaan produk akan sangat dipengaruhi aktivitas periklanan. Iklan televisi atau TVC sesungguhnya hanya sebagian kecil dalam proses branding, masih banyak elemen-elemen lain dalam

mencapai sebuah merek yang kuat dan (diharapkan) mempunyai brand life cycle yang panjang bahkan abadi.

Periklanan dipandang sebagai media paling lazim digunakan suatu perusahaan untuk mengarahkan komunikasi yang persuasif pada


(29)

konsumen. Iklan ditujukan untuk mempengaruhi perasaan, pengetahuan, makna, kepercayaan, sikap dan citra konsumen yang berkaitan dengan suatu produk atau merk. Tujuan ini bermuara pada upaya mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli, meskipun tidak secara langsung berdampak pada pembelian. Iklan menjadi sarana untuk membantu pemasaran yang efektif dalam menjalin komunikasi antara perusahaan ke konsumen dan sebagai upaya perusahaan dalam menghadapi pesaing. Kemampuan ini muncul karena adanya suatu produk yang dihasilkan suatu perusahaan. Bagaimanapun bagusnya suatu produk jika harus dirahasiakan dari konsumen maka tidak ada gunanya.

Pada dasarnya media televisi bersifat transistory atau hanya

sekilas dan penyampaian pesannya dibatasi oleh durasi (jam, menit, detik). Pesan dari televisi memiliki kelebihan tersendiri, tidak hanya didengar tetapi juga dapat dilihat dalam gambar yang bergerak (audio visual). Televisi merupakan media yang paling disukai oleh para pengiklan. Hal tersebut disebabkan keistimewaan televisi yang mempunyai unsur audio dan visual, sehingga para pengiklan percaya bahwa televisi mampu menambah daya tarik iklan dibanding media lain. Televisi juga diyakini sangat berorientasi mengingatkan khalayak sasaran terhadap pesan yang disampaikan (Kasali,1992:172).

Televisi memiliki daya tarik yang sangat kuat melebihi media massa lainnya, sebab televisi memiliki unsur visual berupa gambar


(30)

hidup yang menimbulkan kesan mendalam bagi penontonnya. Televisi menimbulkan dampak yang kuat bagi pemirsanya. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan pada sekaligus kedua indera, yakni pengelihatan dan pendengaran, selain itu televisi juga memiliki kombinasi gerak dan suara.

Untuk tujuan komersial, televisi dipandang sebagai media yang efektif karena televisi memiliki kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas dan televisi memiliki kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Masyarakat lebih sering meluangkan waktunya didepan televisi guna mendapatkan informasi dan hiburan. Televisi telah menjadi cerminan budaya tontonan pemirsa dalam era informasi dan komunikasi saat ini.

2.1.2 Citra Diri

Citra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rupa; gambar; gambaran. Sedangkan pencitraan yang berdasarkan kata citraan memiliki makna cara membentuk citra mental pribadi, atau gambaran sesuatu (KBBI, 1990:169).

Citra diri terbentuk dari sebuah konsep tentang diri yaitu pandangan dan perasaan kita tentang diri kita dapat bersifat psikologi, sosial dan fisis (Brooks dalam Rakhmat, 2007:99). Terdapat dua komponen konsep diri; komponen afektif dan komponen kognitif. Dalam psikologi sosial, komponen afektif disebut harga diri ( self-esteem) sedangkan komponen kognitif disebut citra diri (self-image).


(31)

Faktor-faktor pembentuk citra diri terdiri dari campur tangan dari orang lain dan kelompok rujukan (reference group). Kita mengenal diri

kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana orang lain menilai diri seseorang akan membentuk konsep diri orang tersebut. Konsep diri yang telah berubah menjadi citra diri ini sudah terbentuk dan akan selalu ingin dipertahankan sehingga menimbulkan bias apakah citra tersebut timbul karena kemampuan diri orang tersebut atau karena pujian orang lain. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita yang disebut dengan kelompok rujukan. Citra diri seseorang yang mengikuti sebuah kelompok rujukan akan menyesuaikan dengan ciri-ciri kelompoknya.

Gambaran penilaian diri kita atau cara memandang diri sendiri adalah konsep diri. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian anda tentang diri anda. Anita Taylor mendefinisikan konsep diri sebagai „all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself

(Taylor dalam Rakhmat, 2004:100). Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra-diri (self image), dan komponen afektif disebut harga-diri (self esteem).

Supranto dan Limakrisna (2007:139), “citra diri didefinisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan perasaan individu yang merujuk


(32)

dan Minor (2002 : 271), “citra diri merupakan totalitas pikiran dan perasaan individu yang mereferensikan dirinya sendiri sebagai objek.” Hal ini seolah-olah individu „berubah sama sekali‟ dan mengevaluasi cara-cara objektif tentang siapa dan apa dia itu. Karena orang memiliki kebutuhan untuk berperilaku secara konsisten dengan citra diri mereka, maka persepsi diri sendiri akan membentuk sebagian dasar kepribadian mereka. Dengan bertindak secara konsisten dengan citra diri mereka, para konsumen mempertahankan hargai diri mereka dan memperoleh prediktabilitas dalam berinteraksi dengan orang lain.

Orang yang memiliki citra diri positif bisa melihat bahwa hidupnya jauh lebih indah dari segala krisis dan kegagalan jangka pendek yang harus dilewatinya. Segala upaya yang dijalaninya dengan tekun akan mengalahkan masalah yang sedang terjadi dan meraih kembali kesuksesan yang sempat diraih. Secara alamiah akan membangun rasa percaya diri, yang merupakan salah satu kunci sukses. Citra diri yang positif dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Selain itu, orang yang mempunyai citra diri positif senantiasa mempunyai inisiatif untuk menggulirkan perubahan

yang bersifat positif bagi lingkungan sekitarnya

(http://www.slideshare.net/deepyudha/membangun-citra-diri-11725860).

Seringkali karena pencitraan diri yang negatif, akan mengakibatkan kita berperilaku yang menyimpang dari yang


(33)

diharapkan atau dari norma umum yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Coulhoun (1990) ada dua jenis konsep diri negatif. Pertama, pandangan seseorang tentang dirinya benar-benar tidak teratur. Ia tidak memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Ia benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya atau apa yang dihargai dalam hidupnya. Kondisi ini umumnya dialami oleh remaja. Konsep diri mereka kerapkali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan hal ini terjadi pada masa transisi dari peran anak ke peran orang dewasa. Tetapi pada orang dewasa hal ini merupakan suatu tanda ketidakmampuan menyesuaikan.

Kedua, dari konsep diri negatif hampir merupakan kebalikan dari tipe yang pertama. Di sini konsep diri terlalu stabil dan terlalu teratur, dengan kata lain, kaku. Mungkin karena didikan orang tua yang terlalu keras, individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak mengijinkan adanya penyimpangan dari aturan-aturan yang menurutnya merupakan cara hidup yang tepat. Brook dan Emmert (Rahmat, 1985) menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif antara lain :

1. Peka terhadap kritik

2. Responsif terhadap pujian, meskipun ia berpura-pura menghindarinya.

3. Hiperkritis terhadap orang lain.


(34)

5. Pesimis terhadap kompetisi.

(http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab3-konsep_diri.pdf).

Perasaan individu bahwa ia tidak mempunyai kemampuan yang ia miliki. Padahal segala keberhasilan banyak bergantung kepada cara individu memandang kualitas kemampuan yang dimiliki. Pandangan dan sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang sulit untuk diselesaikan (www.belajarpsikologi.com).

Seringkali permasalahan yang terkait dengan citra diri adalah ketidakpercayadirian. Orang yang tidak percaya diri atau minder sulit untuk mengembangkan kemampuan dirinya kearah yang lebih baik karena orang yang percaya diri adalah ketika orang tersebut yakin bisa dan punya kapasitas untuk mendapatkan apapun yang Anda inginkan di dalam hidup ini, dan bisa mengatasi situasi seperti apapun (www.percayadiri.com). Selain minder, permasalahan yang berkaitan adalah berpura-pura atau menutupi sesuatu hal yang negatif agar bisa memenuhi keinginan-keinginan tertentu seperti misalnya ingin dilihat sebagai pribadi yang baik, mengikuti aturan atau tata cara tertentu dalam sebuah kelompok.


(35)

2.1.3 Komunikasi Nonverbal

Citra diri yang ditampilkan seseorang dapat dimunculkan dengan cara verbal dan nonverbal. Seringkali tanda-tanda yang di tampilkan secara nonverbal inilah yang memberikan banyak makna. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal (Knapp dalam Mulyana, 2007:347).

Tidak ada struktur yang pasti mengenai hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Akan tetapi, kita dapat menemukan setidaknya tiga perbedaan pokok antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Pertama, sementara perilaku verbal adalah saluran tunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata datang dari satu sumber, tetapi isyarat nonverbal dapat dilihat, didengar, dirasakan, dibaui, atau dicicipi, dan beberapa isyarat boleh jadi berlangsung secara simultan (Verderber dalam Rakhmat, 2007:348). Kedua, pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal sinambung. Artinya orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapanpun ia menghendakinya, sedangkan pesan nonverbalnya tetap mengalir, sepanjang ada orang yang hadir di dekatnya. Ketiga, komunikasi nonverbal mengandung lebih banyak muatan emosional


(36)

daripada komunikasi verbal. Kata-kata umumnya digunakan untuk menyampaikan kata-kata sedangkan pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan seseorang.

Petunjuk-petunjuk nonverbal yang dapat merepresentasikan citra diri seseorang dapat dijabarkan melalui beberapa petunjuk, antara lain:

1. Deskripsi verbal, rangkaian kata sifat dari persepsi seseorang untuk menggambarkan diri anda seperti humoris, kritis, mudah bergaul, pemarah, pendiam, dan sebagainya.

2. Petunjuk proksemik, jarak yang dibuat oleh individu

dalam hubungannya dengan orang lain menunjukkan tingkat keakraban di antara mereka. Robert T. Hall menamakan studinya dengan istilah proxemic (Sunarto,

2002). Hall membagi jarak dalam interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu:

a. Jarak intim, yaitu interaksi yang terjadi dengan jarak 0 – 45 cm. Hubungan ini melibatkan secara intensif panca indera kita misalnya, penglihatan, bau badan, suhu badan, suara, sentuhan kulit, hembusan nafas.

b. Jarak pribadi, yaitu pada jarak interaksi 45 cm hingga 1,22 m. Pada jarak ini penggunaan panca indera mulai berkurang. Interaksi yang terjadi


(37)

biasanya dengan orang-orang yang memiliki hubungan yang dekat misalnya keluarga, suami-istri. Jarak terjauh adalah interaksi yang terjadi saat berolah raga atau senam dengan jarak rentangan kedua tangan. Pada jarak ini hubungan relatif dekat dan dengan orang yang tentunya telah kita kenal. c. Jarak sosial, yaitu pada jarak interaksi 1,22 m

hingga 3,66 m. Pada jarak ini interaksi terjadi dalam pembicaraan normal namun tidak saling menyentuh. Biasanya, jarak ini terjadi dengan melibatkan beberapa pihak dalam kegiatan kerja sama informal. Sedangkan jarak terjauh dari jarak pribadi terjadi dalam kerja sama formal. Interaksi sosial dapat terjadi walaupun posisi keduanya berada pada jarak yang cukup jauh misalnya melalui telepon. Pada jarak ini interaksi terjadi di antara individu-individu yang saling mengenal dan tidak selalu mengenal secara dekat.

d. Jarak publik, yaitu interaksi yang ini terjadi pada jarak lebih dari 3,66 m. Jarak ini terjadi pada saat individu harus berbicara di depan umum. Pembicaraan pada jarak ini memerlukan penngaturan intonasi suara, semakin jauh jarak


(38)

interaksinya, semakin keras suara yang dikeluarkan (http://www.docstoc.com/docs/26427318/Interaksi-Sosial).

3. Petunjuk artifaktual, meliputi segala macam

penampilan (appearance) sejak potongan tubuh,

kosmetik yang dipakai, baju, tas, pangkat, badge dan atribut-atribut lainnya (Rakhmat, 2007:88). Setiap orang memiliki cara untuk menunjukkan dirinya melalui atribut-atribut yang dikenakan.

4. Petunjuk wajah, wajah sudah lama menjadi informasi

dalam komunikasi interpersonal. Inilah alat yang sangat penting dalam menyampaikan makna. Dalam beberapa detik ungkapan wajah dapat menggerakkan kita ke puncak keputus-asaan. Kita menelaah wajah rekan dan sahabat kita untuk perubahan-perubahan halus dan nuansa makna dan mereka pada gilirannya, menelaah kita (Leathers dalam Rakhmat, 2007:87).

5. Petunjuk kinesik, yaitu perepresentasian gerakan tubuh

seseorang. Sikap tubuh seseorang yang digambarkan dengan ungkapan-ungkapan seperti membusungkan dada (sombong), berdiri tegak (berani), bertopang dagu (sedih), menadahkan tangan (bermohon), dan sebagainya. Begitu pentingnya petunjuk kinesik,


(39)

sehingga bila petunjuk-petunjuk lain seperti ucapan bertentangan dengan petunjuk kinesik, orang mempercayai yang terakhir. Karena petunjuk kinesik adalah yang paling sukar untuk dikendalikan secara sadar oleh orang yang menjadi stimuli.

6. Petunjuk paralinguistik, yaitu cara bagaimana orang

mengucapkan lambang-lambang verbal. Ini meliputi tinggi rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek), dan interaksi (perilaku ketika melakukan komunikasi).

2.1.3.1 Ekspresi Wajah dan Tatapan Mata

Banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling banyak “berbicara” adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata, meskipun mulut tidak berkata-kata. Okuleksika (Oculesic) merujuk

pada studi tentang penggunaan kontak mata dalam berkomunikasi. Menurut Albert Mehrabian, andil wajah bagi pengaruh pesan adalah 55%, sementara vokal 30%, dan verbal hanya 7% (Mehrabian, 1974:87).

Kontak mata punya dua fungsi dalam komunikasi antarpribadi. Pertama, fungsi pengatur, untuk memberi tahu orang lain apakah anda akan melakukan hubungan dengan orang itu atau menghindarinya.


(40)

Kedua, fungsi ekspresif, memberi tahu bagaimana perasaan anda terhadapnya (Wenburt dan Wilmort, 108).

Ekspresi wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang mengekspresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui, terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi wajah yang tampaknya dipahami secara universal: kebahagiaan, kesedihan, ketakkutan, keterkejutan, kemarahan, kejijikan dan minat. Ekspresi-ekspresi wajah tersebut dianggap “murni”, sedangkan keadaan emosional lainnya (misalnya rasa malu, rasa berdosa, bingung, puas) dianggap “campuran”, yang umumnya lebih bergantung pada interpretasi (Kayle, 108).

2.1.3.2 Artefak

Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Aspek ini merupakan perluasan lebih jauh dari pakaian dan penampilan. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna tertentu. Benda-benda yang terdapat di lingkungan kita adalah pesan-pesan bersifat nonverbal, sejauh dapat diberi makna (Rakhmat, 2007:433).

2.1.3.3 Busana

Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang atas pakaian mencerminkan kepribadiannya, apakah ia orang yang


(41)

konservatif, religius, modern, atau berjiwa muda. Tidak dapat pula dibantah bahwa pakaian, seperti juga rumah, kendaraan, perhiasan, digunakan untuk memproyeksikan citra tertentu yang diinginkan pemakainya. Penampilan merupakan salah satu bagian penting dari pembentukan citra diri. Penampilan bertugas untuk menciptakan kesan pertama siapa diri anda yang akan mempengaruhi proses komunikasi selanjutnya (http://www.jakartaconsulting.com/art-13-02.htm).

2.1.4 Komunikasi Sebagai Proses Simbolik

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadinata disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi merupakan lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga negara Indonesia. (Sobur,2004:156)

Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. Kemampuan manusia


(42)

menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dengan objek tersebut. (Sobur,2004:157)

Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi itu ditandai dengan kemiripan, misalnya patung Soekarno adalah ikon Soekarno dan foto anda pada KTP adalah ikon anda. (Mulyana,2005:84)

Pada intinya dalam berkomunikasi, secara tidak langsung pesan yang kita komunikasikan terhadap orang lain akan mengandung simbol-simbol yang dalam penerimaannya simbol-simbol tersebut dapat dimengerti bergantung sesuai dengan kehidupan sosial budaya dari masing-masing individu yang menerima pesan tersebut.

2.1.5 Representasi

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia representasi berarti apa yang mewakili atau perwakilan. Piliang (2003:21), dalam bukunya Hipersemiotika, mengungkapkan bahwa representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi juga berarti sebuah konsep yang digunakan dalam proses pemaknaan melalui sistem


(43)

penandaan yang tersedia; dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Ada empat komponen dasar dalam industri media yang mengemas pesan dan produk :

1. Khalayak yang memperoleh pesan dan mengkonsumsi produk

2. Pesan atau produk itu sendiri

3. Teknologi yang selalu berubah, yang membentuk baik industri maupun bagaimana pesan tersebut dikomunikasikan.

4. dan penampakan akhir dari produk itu tersebut.

Komponen – komponen ini yang secara bersamaan berinteraksi di sekitar dunia sosial dan budaya, menempati suatu ruang yang diperjuangkan secara terus – menerus. Perubahan garis bentuk ruang ini dapat menimbulkan pola-pola dominasi dan representasi yang berbeda-beda. Film dan televisi mempunyai bahasa sendiri dengan sintaksis (susunan kalimat) dan tata bahasa yang berbeda.

Tata bahasa ini terdiri dari bermacam unsur yang akrab, seperti pemotongan gambar (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close up),

pengambilan dua gambar (two shot), dan lain-lain. Akan tetapi, bahasa

tersebut juga meliputi kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbiter (berubah-ubah) serta metafora. Tingkatan representasi yang paling sederhana mencakup sekedar penggambaran informasi budaya nyata. Tetapi bahasa film atau


(44)

video mulai bermain begitu khalayak ingin melakukan lebih banyak, misalnya memperlihatkan wajahnya dari jarak dekat, memperlihatkan dari depan bergerak menuju kamera, dan dari belakang menjauhi kamera, dan seterusnya. Representasi gabungan akan mengedit seluruh pengambilan gambar yang berbeda ke dalam satu rangkaian. Rangkaian-rangkaian ini merupakan sumber dasar film (Sardar, Ziaudin, 2005: 156)

Menurut Stuart Hall (1977), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada di situ membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara khalayak dalam memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan, atau gambar) khalayak mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara khalayak mempresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang

khalayak gunakan dalam merepresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang khalayak berikan pada sesuatu tersebut.


(45)

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, khalayak bisa memaknai representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif. Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua, pendekatan intensional di mana khalayak menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang khalayak terhadap sesuatu. Dan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis, pendekatan ini khalayak percaya bahwa khalayak mengkonstruksikan makna lewat bahasa yang khalayak pakai.

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, adalah bahasa, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada di dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang “lazim”, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

2.1.6 Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna (Sobur,2004:15). Secara etimologis istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti ”tanda”. Tanda itu sendiri


(46)

didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.

Menurut Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan

dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti

bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal sama objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes dan Kurniawan dalam Alex Sobur,2004:15)

Sedangkan menurut John Fiske, semiotika adalah studi tentang penandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna.(Fiske,2004:282)

Terdapat tiga bidang penting dalam studi semiotik,yakni:

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dilambangkan guna memenuhi


(47)

kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat tanda dan kode bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske,2004:60).

Dari beberapa pendapat di atas maka diketahui bahwa semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda, tentang bagaimana memaknai tanda yang ada dalam pesan komunikasi.

2.1.7 Komunikasi Interpersonal

Menurut Devito (1989), komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik dengan segera (Effendy, 2003:30). Definisi lain, dikemukakan oleh Arni Muhammad (2005:153), komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat diketahui langsung balikannya (komunikasi langsung).

Secara sederhanana dapat dikemukakan suatu asumsi bahwa proses komunikasi interpersonal akan terjadi apabila ada pengirim menyampaikan informasi berupa lambang verbal maupun nonverbal kepada penerima dengan medium suara manusia (human voice),


(48)

dikatakan bahwa dalam proses komunikasi interpersonal terdapat komponen-komponen komunikasi yang secara integratif saling berperan sesuai dengan karakteristik komponen itu sendiri, yaitu:

1. Sumber / komunikator

Merupakan orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang lain. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk memperoleh pengakuan sosial sampai pada keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain. Dalam konteks komunikasi interpersonal komunikator adalah individu yang menciptakan, memformulasikan, dan menyampaikan pesan.

2. Encoding

Encoding adalah suatu aktifitas internal pada komunikator

dalam menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan nonverbal, yang disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa, serta disesuaikan dengan karakteristik komunikan.

Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi pikiran ke

dalam simbol-simbol, kata-kata, dan sebagainya sehingga komunikator merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara penyampaiannya.


(49)

3. Pesan

Merupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat

simbol-simbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan keduanya, yang mewakili keadaan khusus komunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Dalam aktivitas komunikasi, pesan merupakan unsur yang sangat penting. Pesan itulah yang disampaikan oleh komunikator untuk diterima dan diinterpretasi oleh komunikan. Komunikasi akan efektif apabila komunikan menginterpretasi makna pesan sesuai yang diinginkan oleh komunikator.

4. Saluran

Merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum. Dalam konteks komunikasi interpersonal, penggunaan saluran atau media semata-mata karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan dilakukan komunikasi secara tatap muka. Prinsipnya, sepanjang masih dimungkinkan untuk dilaksanakan komunikasi secara tatap muka, maka komunikasi interpersonal tatap muka akan lebih efektif.

5. Penerima / komunikan

Adalah seseorang yang menerima, memahami, dan

menginterpretasi pesan. Dalam proses komunikasi


(50)

melakukan pula proses interpretasi dan memberikan umpan balik. Berdasarkan umpan balik dari komunikan inilah serang komunikator akan dapat mengetahui keefektifan komunikasi yang telah dilakukan, apakah makna pesan dapat dipahami secara bersama oleh kedua belah pihak yakni komunikator dan komunikan.

6. Decoding

Decoding merupakan kegiatan internal dalam diri penerima.

Melalui indera penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah ke dalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna. Secara bertahap dimulai dari proses sensasi, yaitu proses di mana indera menangkap stimuli. Proses sensasi dilanjutkan dengan persepsi, yaitu proses memberi makna atau decoding.

7. Respon

Yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan sebagai sebuah tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif, netral, maupun negatif. Respon positif apabila sesuai dengan yang dikehendaki komunikator. Netral berarti respon itu tidak menerima ataupun menolak keinginan komunikator. Dikatakan respon negatif apabila tanggapan yang diberikan bertentangan dengan yang diinginkan oleh


(51)

komunikator. Pada hakikatnya respon merupakan informasi bagi sumber sehingga ia dapat menilai efektivitas komunikasi untuk selanjutna menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. 8. Gangguan (noise)

Gangguan atau noise atau barier beraneka raga, untuk itu harus

didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat terjadi di dalam

komponen-komponen manapun dari sistem komunikasi. Noise

merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan termasuk yang bersifat fisik dan psikis.

9. Konteks komunikasi

Komunikasi selalu terjadi dalam suatu konteks tertentu, paling tidak ada tiga dimensi yaitu ruang, waktu, dan nilai. Konteks ruang menunjuk pada lingkungan kongkrit dan nyata tempat terjadinya komunikasi, seperti ruangan, halaman, jalanan. Konteks waktu menunjuk pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan. Konteks nilai, meliputi nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi suasana komunikasi. Agar komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif, maka masalah konteks komunikasi ini kiranya perlu menjadi perhatian. Artinya pihak komunikator dan komunikan perlu mempertimbangkan konteks komunikasi ini (Suranto, 2011:7).


(52)

Model komunikasi Sirkular Osgood dan Schramm berbeda sekali dengan model komunikasi Matematikal Shannon dan Weaver. Kalau dalam model komunikasi Matematikal Shannon dan Weaver sifat alurnya searah, maka dalam model komunikasi Osgood dan Schramm alur komunikasinya bersifat timbal balik atau berbalik arah. Artinya dalam satu sisi Penyandi kode informasi (encoder) yang menyampaikan

inforrmasi maka pada suatu saat encoder tersebut akan menjadi decoder

(penerima informasi), jika decoder pertama tersebut telah menginterpretasikan / menafsirkan pesan dari encoder pertama. Dengan demikian apabila dalam proses komunikasi menggunakan model Osgood dan Schramm, maka besar kemungkinan akan terjadi sebuah sistem komunikasi yang akan menghasilkan pemahan terhadap sesuatu hal (pesan komunikasi) menjadi lebih berkembang karena proses komunikasi tidak berhenti ketika pesan komunikasi telah sampai kepada penerima pesan (http://www.scribd.com/doc/21215557/Model-Komunikasi).

2.1.8 Konsep Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan

kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of meaning, Ogden dan Ricardsitelah mengumpulkan tidak kurang dari 22

batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah, sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni


(53)

dalam bidang linguistic dalam penjelesan Umberto Reeo, makna dari

sebuah wahana tanda (sign-vehicle) adalah satuan cultural yang

diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta dengna begitu secara semantik mempertunjukkan pula ketidaktergantungan pada wahana tanda yang sebelumnya.

Makna ada dalam diri manusia. Menurut Devito, makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Manusia menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin dikomunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang dimaksudkan. Demikian pula makna yang didapat dari pendengar dari pesan-pesan, akan sangat berbeda dengan makna yang ingin digunakan untuk memproduksi pesan dibenak pendengar. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bias salah. Ada tiga hal yang dijelaskan para filsuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu, yakni:

1. Menjelaskan makna secara alamiah.

2. Mendeskripsikan kalimat secara alamiah.

3. Menjelaskan makna dalam proses komunikasi.


(54)

2.1.9 Model Semiotika John Fiske

John Fiske adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa

terdapat dua persepektif dalam mempelajari ilmu komunikasi sebagai transmisi pesan, sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan, metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna) (Fiske, 2006:9).

John Fiske memperkenalkan konsep the codes of television atau

kode-kode televisi. Dalam konsep tersebut menunjukkan kode yang digunakan dan muncul pada sebuah tayangan televisi dan bagaimana kode-kode tersebut saling berhubungan dalam membentuk sebuah makna. Menurut Fiske, sebuah kode tidak ada begitu saja. Namun sebuah kode dipahami secara komunal oleh komunitas penggunanya. Lebih lanjut mengenai teori ini, kode ini digunakan sebagai penghubung antara produser, teks dan penonton.

Teori yang dikemukakan John Fiske dalam The Codes of Television (Fiske,1987) menyatakan bahwa peristiwa yang telah

dinyatakan telah diencode oleh kode-kode sosial adalah sebagai berikut:

1. Level Realitas (Reality)

Level ini menjelaskan suatu peristiwa yang dikonstruksikan sebagai realitas oleh media, yang berhubungan dengan kode-kode


(55)

sosial antara lain: penampilan (appearance), kostum (dress), riasan

(make up), lingkungan (environment), kelakuan (behaviour), dialog

(speech), gerakan (gesture), ekspresi (expression), dan suara (sound).

2. Level Representasi

Di sini kita menggunakan perangkat secara teknis. Level representasi berhubungan dengan kode-kode sosial antara lain: kamera (camera), pencahayaan (lighting), perevisian (editing), musik (music)

dan suara (sound) yang ditranmisikan sebagai kode-kode representasi

yang besifat konvensional.

a. Teknik kamera, jarak dan sudut pengambilan.

- Long shot : Pengambilan yang menunjukkan semua bagian

dari objek, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu sebagai fokusnya.

- Estabilishing shot : Biasanya digunakan untuk mebuka

suatu adegan.

- Medium Shot : Menunjukkan subjek atau aktornya dan

lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.

- Close Up : Menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter

wajah dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya. Pengambilan ini


(56)

memfokuskan pada perasaan dan reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percapakan untuk menunjukkan emosi seseorang.

- View Point : Jarak dan sudut nyata darimana kamera

memandang dan merekam objek.

- Point of view : Sebuah pengambilan kamera yang

mendekatkan posisinya pada pandangan seseorang yang ada dan sedang memperlihatkan aksi lain.

- Selective focus : Memberikan efek dengan menggunakan

peralatan optikal untuk mengurangi ketajaman dari image atau bagian lainnya. Misalnya : Wide angle shot, title shot, angle shot dan two shot.

b. Teknik Editing

- Cut : Perubahan secara tiba-tiba dari suatu pengmbilan

sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam

cut yang mempunyai efek untuk merubah scene,

mempersingkat waktu, memperbanyak point of view, anda

membentuk kesan terhadap image atau ide.

- Jump cut : Untuk membuat suatu adegan yang dramatis. - Motived cut : Bertujuan untuk membuat penonton segera

ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.


(57)

c. Penggunaan Suara

- Commentar voice-over narration : Biasanya digunakan

untuk memperkenalkan bagian orang tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpretasikan kesan pada penonton dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian atau

sequences dan program secara bersamaan.

- Sound effect : Untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu

kajian.

- Musik : Untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk

mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional suatu adegan.

d. Pencahayaan : Macamnya soft and hard lighting, dan backlighting. Cahaya menjadi unsur media visual, karena

cahayanya informasi dapat dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda dapat dilihat. Namun dalam perkembangannya ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau bisa menunjang

dramatik adegan (Biran,2006:43) 3. Level ideologi.

Ideologi tidak hanya berisi kompleksitas arti sebuah pesan dimana sebuah pesan yang dangkal ternyata mempunyai arti


(58)

yang lebih dalam dan mempunyai efek buat penontonnya. Kode sosialnya antara lain, narrative (narasi), conflict

(konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), casting (pemeran).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan model semiotika John Fiske karena tayangan iklan LA Lights di televisi ini memiliki kode-kode yang memunculkan makna tertentu, sehingga dapat diteliti menggunakan level-level yang dikemukakan oleh Fiske

2.1.10 Respon Psikologi Warna

Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna juga dianggap sebagai suatu fenomena psikologi.

Respon psikologi dari masing-masing warna:

1. Merah : Power, energi, kehangatan, cinta,

nafsu, agresif,bahaya. Merah jika dikombinasikan dengan putih,akan mempunyai arti “Bahagia” di budaya Oriental.

2. Biru : Kepercayaan,konservatif,keamanan,

teknologi, kebersihan, keteraturan.

3. Hijau : Alami,sehat, keberuntungan


(59)

4. Kuning : Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran, pengecut (untuk budaya barat), pengkhianat.

5. Ungu/Jingga : Spiritual,misteri,kebangsawanan,

tranformasi, kekerasan, keangkuhan

6. Orange : Energi, keseimbangan, kehangatan.

7. Coklat : Tanah/Bumi, reability, comfort, daya

tahan.

8. Abu-abu : Intelektual, masa depan (kaya warna

millenium), kesederhanaan, kesedihan.

9. Putih : Kesucian, kebersihan, ketepatan,

ketidakbersalahan, kematian, ketakutan,

kesedihan,keanggunan.

10. Hitam : power, seksualitas, kecanggihan,

kematian, misteri, ketakutan, kesedihan, keanggunan. (http://www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.1html)

Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni. (Cangara,2005:109)

Warna mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sesuatu yang dilekatinya. Warna juga memberi arti terhadap suatu objek.


(60)

2.2 Kerangka Berpikir

Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dalam memahami suatu peristiwa objek. Hal ini dikarenakan latar belakang pengalaman (field of experience) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda-beda pada setiap individu. Begitu juga penulis

dalam memahami tanda dan lambang dalam objek, yang berdasarkan pengalaman dan pengetahuan penulis.

Televisi merupakan media massa elektronik yang menyajikan berbagai macam informasi-informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan penalaran masyarakat dan juga dapat memberikan hiburan yang luas kepada khalayak, bukan hanya melalui film atau program acara-acara televisi lainnya, melainkan juga iklan-iklan yang ditayangkan, dikemas semenarik dan sekreatif mungkin sehingga iklan-iklan tersebut tidak hanya memiliki tujuan memberikan informasi tentang sebuah produk atau jasa, melainkan juga dapat memberikan hiburan.

Iklan produk banyak menggunakan media televisi, menayangkan dan mempromosikan produknya agar masyarakat tahu dan berminat. Salah satunya produk rokok yang juga mempromosikan produknya menggunakan media elektronik karena dapat cepat diterima oleh masyarakat.

Penulis tertarik untuk meneliti iklan LA Lights versi “Bersandiwara” yang ditayangkan di televisi. Karena menurut penulis


(61)

terdapat beberapa scene yang menampilkan representasi citra diri dalam

iklan tersebut.

Dalam iklan LA Lights versi “Bersandiwara”, terdapat beberapa shot yang menampilkan representasi citra diri yang mencerminkan perilaku berpura-pura dalam bersikap. Misalnya dengan menampilkan model yang menggunakan topeng dengan ekspresi gembira untuk menutupi perasaan sebenarnya ketika berinteraksi dengan seseorang. Penelitian representasi citra diri dalam iklan produk LA Lights versi “Bersandiwara”, menggunakan kategori tersebut yang ditentukan penulis berdasarkan isi representasi citra diri dalam iklan tersebut. Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan analisis semiotik John Fiske yang membagi film atau video, dalam hal ini iklan, menjadi tiga level yaitu pada level realitas, level representasi dan level ideologi dalam iklan LA Lights versi “Bersandiwara” di media televisi sehingga diperoleh representasi menyeluruh dari tampilan iklan tersebut.


(62)

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Di dalam representasi citra diri dalam iklan produk LA Lights ini harus diketahui terlebih dahulu tanda-tanda yang terdapat di dalamnya. Adapun digunakannya metode deskriptif kualitatif karena metode ini akan lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ditemukan kenyataan ganda, kemudian metode deskriptif kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong,1995:5), selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini.

Selain itu pada dasarnya pendekatan semiotik bersifat kualitatif interpretatif, yaitu sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya serta bagaimana peneliti menafsirkan

dan memahami kode (decoding) tanda dan teks tersebut

(Piliang,2003:270). Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. (Berger dalam Sobur,2004:18)

Pada penelitian ini digunakan metode deskriptif kualitatif dengan

menggunakan analisis semiotik, untuk menginterpretasikan


(63)

menggunakan metode ini, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda yang ditampilkan dalam iklan tersebut. Selanjutnya akan menjadi corpus

dalam penelitian analisis yang dikemukakan oleh John Fiske untuk menginterpretasikan atau memaknai adegan yang menunjukkan eksploitasi yang terdapat pada iklan LA Lights versi “Bersandiwara”. Karena iklan ini merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.

3.2 Kerangka Konseptual

3.2.1 Corpus

Di dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan

bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis kesewenangan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan

yang beralasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan yang lengkap, corpus juga bersifat homogen

mungkin, baik homogeni pada taraf waktu (sinkroni) (Kurniawan, 2000:70).

Corpus adalah kata lain dari sample, bertujuan tetapi khusus


(64)

alternatif. Corpus dari penelitian ini adalah iklan LA Lights versi

“Bersandiwara”.

Corpus-corpus dalam penelitian adalah potongan gambar dalam

iklan atau “Scene” yang dipilih oleh peneliti untuk memaknai iklan LA

Lights versi “Bersandiwara”. Pada setiap scene yang terdapat dalam

iklan tersebut scene yang bisa dianalisis sebagai berikut : 1. Scene 7

] Keterangan

Terdapat seorang model perempuan dan dua orang model laki-laki yang mengenakan kemeja formal. Tampak ketiganya memegang topeng untuk menutupi wajahnya. Dua diantaranya menunjukkan ekspresi mengantuk, yaitu menguap pada model perempuan dan memejamkan mata pada salah satu model laki-laki.

Dialog


(65)

Sudut pengambilan gambar

Medium shot. Ketiga model nampak dari depan. Model

perempuan di sebelah kiri dan dua model laki-laki disebelah tengah dan kanan.

2. Scene 8

Keterangan

Dua model laki-laki memakai kemeja sedang berjalan sambil keduanya memegang topeng di depan wajahnya. Nampak model laki yang berbaju pink melihat ke arah model laki-laki berbaju putih yang berjalan sambil memejamkan mata, yaitu simbol ekspresi mengantuk.

Dialog

Tidak ada dialog hanya backsound music. Sudut pengambilan gambar

Medium shot. Model laki-laki berbaju pink menoleh ke arah

kiri melihat ekspresi model laki-laki berbaju putih. Figur model laki-laki berbaju pink tersebut nampak blur karena dijadikan


(1)

102

menunjukkan status sosial ekonomi yang tinggi, kondisi fisik yang baik, mood


(2)

101 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data di atas, iklan L.A Lights versi “Bersandiwara”, representasi citra diri divisualisasikan dengan penggunaan topeng yang berekspresi gembira yang dipakai model. Topeng sebagai perwakilan citra diri positif yang dibangun untuk menutupi ekspresi asli yang

kebanyakan mengandung unsur negatif. Gerakan tubuh atau gesture yang

dilakukan model dalam iklan juga mencerminkan tindakan atau usaha untuk menunjukkan aura positif, sikap yang baik, dan menyenangkan.

Teknik kamera yang digunakan dalam iklan ini seringkali

menggunakan teknik medium shot, medium close up dan close up untuk

menunjukkan eksprsi wajah model. Dari segi tata suara tidak terlalu berpengaruh dalam penggambaran citra diri yang positif, tata suara hanya menjadi pendukung dari adegan-adegan yang dilakukan oleh model. Demikian pula dengan tidak adanya dialog dalam iklan ini.

Penggunaan ekspresi wajah dan gerakan tubuh atau gesture yang

dilakukan model dalam iklan adalah sebagai pesan komunikasi non verbal yang sangat ditonjolkan dalam iklan ini.


(3)

102

Terdapat tagline iklan yang menjadikan representasi citra diri ini

semakin kuat, yakni dengan tagline iklan “Yang lain bersandiwara, gue apa

adanya”. Tagline iklan tersebut menggambarkan penggunaan citra diri yang

dibangun sedemikian rupa untuk menarik perhatian hingga menutupi keadaan sebenarnya, yang bertujuan untuk mengajak para pemirsa untuk membangun citra diri yang positif melalui penggunaan rokok yang didalam ikan ini diwakilkan oleh sebuah topeng sebagai media untuk membangun citra diri

baik status sosial ekonomi, mood, maupun kondisi fisik seseorang.

Citra diri ini setelah dikaji oleh peneliti dengan melakukan representasi mendalam mengenai makna pesan komunikasi yang disampaikan dalam iklan tersebut yang dilakukan dengan pendekatan analisis semiotik John Fiske yang membagi film (iklan) menjadi beberapa level utama yaitu pada realitas, level representasi dan level ideologi.

5.2 Saran

Berdasarkan representasi citra diri dalam iklan L.A Lights versi “Bersandiwara” di media televisi yang dikaji dalam penelitian ini, peneliti menyarankan sebaiknya pembuat iklan lebih bijaksana lagi dalam memuat unsur-unsur dalam sebuah iklan, karena muatan-muatan yang menunjukkan representasi citra diri ini terdapat pesan-pesan terselubung untuk menyampaikan citra rokok yang sebenarnya barang yang dapat merusak


(4)

103

kesehatan tubuh namun dikemas dengan iklan yang sedemikian menarik untuk menarik generasi muda.

Iklan ini juga memberikan ruang berpikir bagi khalayaknya untuk dapat memahami makna yang disampaikan oleh iklan ini melalui ekspresi

wajah dan aktivitas model yang ditonjolkan melalui beberapa scene yang

diambil dengan berbagai jenis shoot.

Penelitian yang dilakukan pada semiotik L.A Lights versi ”Bersandiwara” di media televisi tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelitian lanjut guna memperbaiki kekurangan yang mungkin ditemui agar dapat memberikan masukkan dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu komunikasi pada umumnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aw, Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha Ilmu

Cangara, Hafid, 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti.

Fiske, John (1990). Cultural and communiacation studies: Sebuah pengantar paling komprehensif. (Idi Subandi Ibrahim, Trans.) Yogyakarta : Jalasutra.

Fiske, John. (1987). Television Culture. London : Routledge

Fiske, John. (2004). Cultural and communication studies.(Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim, Trans). Yogyakarta & Bandung: Jalasutra

Kasali, Rheinald, 1993. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Cetakan ketiga. Jakarta: PT.Temprint

Kurniawan, 2000. Semiologi Roland Barthes. Magelang : Yayasan Indonesia

Liliweri, Alo, 1992. Dasar-Das ar Komunikasi Periklanan . Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti

McQuail, Dennis, 1994. Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga

Mulyana, Deddy, 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar . Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT . Remaja Rosdakarya

Morissan, M.A. 2008. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir cultural studies atas matinya makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Rakhmat, Jalaluddin, 2007. Pengantar Ilmu Psikologi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya


(6)

105

Sobur, Alex, 2009, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung.

Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media : Sebuah pengantar kepada analisis Wacana Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung ; Remaja Rosdakarya. Santoso, Slamet. 2010. Teori-Teori Psikologi Sosial. Bandung ; Refika Aditama Non Buku :

www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.1html

www.kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.html

www.slideshare.net/deepyudha/membangun-citra-diri-11725860

www.scribd.com/doc/39939280/15/Kepribadian-dan-Konsep-Citra-Diri-Self-and-Self-Image

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab3-konsep_diri.pdf

www.artikata.com

www.belajarpsikologi.com

www.jakartaconsulting.com/art-13-02.htm

www.scribd.com/doc/21215557/Model-Komunikasi

www.desaingrafis.com

www.kompas.com


Dokumen yang terkait

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN DI TELEVISI (ANALISIS SEMIOTIK DALAM IKLAN SAMSUNG GALAXY S7 VERSI THE SMARTES7 ALWAYS KNOWS BEST)

132 481 19

PENDAHULUAN REPRESENTASI DISINTEGRITAS POLITISI DALAM IKLAN TELEVISI (Analisis Semiotika Fiske Terhadap TVC LA Lights versi Topeng Monyet).

0 7 77

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN AXE (Studi semiotik representasi sensualitas perempuan dalam iklan axe versi axe effect di televisi).

6 11 197

PEMAKNAAN IKLAN LA.LIGHTS MENTHOL VERSI “LUKISAN MONALISA DI MEDIA CETAK (Studi Semiotik Pemaknaan Iklan LA. Lights Menthol Versi “Lukisan Monalisa” di Media Cetak).

0 3 74

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN CLEAR VERSI “SANDRA DEWI” (Studi Semiotik tentang Representasi Citra Perempuan dalam iklan shampo Clear Soft and Shiny Versi “Sandra Dewi” di Majalah Femina).

2 30 84

PEMAKNAAN IKLAN ROKOK LA LIGHTS (Studi Semiotik Tentang Iklan Rokok LA Lights Indiefest Versi “Saatnya Besarin Musik Loe” di Televisi ).

0 6 97

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK LAKI-LAKI (Studi Semiotik Mengenai Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Axe Deodorant Bodyspray versi ”Harga Minim” di Media Televisi).

2 8 86

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN TELEVISI. (Studi Semiotik Tentang Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Shampo Zinc versi Agnes Monica).

5 37 100

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK LAKI-LAKI (Studi Semiotik Mengenai Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Axe Deodorant Bodyspray versi ”Harga Minim” di Media Televisi)

0 0 19

PEMAKNAAN IKLAN ROKOK LA LIGHTS (Studi Semiotik Tentang Iklan Rokok LA Lights Indiefest Versi “Saatnya Besarin Musik Loe” di Televisi ) SKRIPSI

0 0 19