Formulasi Produk dan Penurunan Mutu selama Penyimpanan Bioinsektisida Bacillus Thuringiensis subsp. aizawai dari Limbah Industri Tahu

(1)

FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA

PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis

subsp.aizawai DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU

SKRIPSI

ERLINA SETIYAWATI SUSANTO

F34061186

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PRODUCT FORMULATION AND REDUCTION QUALITY DURING STORAGE OF BIOINSECTICIDE Bacillus thuringiensis subsp. aizawai FROM WASTE OF INDUSTRIAL

TOFU

Erlina Setiyawati Susanto

Department of Agricultural Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone 08561340264, e-mail : erlinnice@gmail.com

ABSTRACT

Bioinsecticide can kill insects and disease vector. Bioinsecticide developed from bacteria, virus, mushroom, and protozoa. Bacteria that often used to produce bioinsecticide is “Bacillus thuringiensis”. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) as one of the Bacillus thuringiensis (Bt) species produces crystal protein called delta endotoxin (δ-endotoxin). As other Bt crystal protein, this crystal is specifically toxic to larvae Lepidoptera and Dipteral ordo. One of advantage bioinsecticide Bta is savety for our environment. Therefore, in this research produce bioinsecticide Bta from waste of industrial tofu as raw material standard. This research was to obtain the best product formulations Bta, reduction quality Bta, and to asses the level of toxicity Bta during storage. Media formulation using tofu waste and tofu waste water, with a ratio of 20: 80 and the starter added 10 (% v /v). In this research, product formulation using lactose as filler. The highest viable spore count (VSC) is the product formulation of freeze lactose (1.45 x 108 spora/mg), whereas the lowest VSC is the product formulation of freeze without lactose (9.25 x 107 spora/mg). After storage one month, the highest VSC is product formulation of freeze lactose was storaged on temperature 5 oC (9 x 106 spora/mg), whereas the lowest VSC is the product formulation of freeze without lactose was storaged on temperature 35 oC (1.5 x 106 spora/mg. The level toxicity (LC50) product formulation of freeze lactose and freeze without lactose are 0.25 mg/l. Value of LC50 from all of the treatment higher than value of LC50 Bactospeine (0.05 mg/l). During storage one month, value of LC50 and potential product bioinsecticide Bta go down continually.

Keywords : Bioinsecticide, Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta), Formulation

                 


(3)

ERLINA SETIYAWATI SUSANTO. F34061186. Formulasi Produk dan Penurunan Mutu selama Penyimpanan Bioinsektisida Bacillus Thuringiensis subsp. aizawai dari Limbah Industri Tahu

.

Di bawah bimbingan Sugiarto dan Mulyorini Rahayuningsih. 2011.

RINGKASAN

Bioinsektisida merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga hama dan vektor pembawa penyakit. Bioinsektisida didefinisikan juga sebagai racun biologis yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopathogen). Salah satu mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri Bacillus thuringiensis (Bt). Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bt yang disebut serotype atau varietas dari Bt dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bt telah diisolasi (Swadener 1994).

Bioinsektisida dapat diformulasikan menjadi sebuah produk flowable suspension, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985; Ignoffo dan Anderson 1979). Bentuk formulasi produk bioinsektisida Bt dipengaruhi oleh cara pemanenannya.

Pada penelitian ini diproduksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang berbahan baku produk samping (limbah) industri tahu sebagai bahan baku utama. Pemilihan limbah industri tahu (ampas tahu dan air tahu) dikarenakan kedua komponen tersebut mengandung nutrisi, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan mikroorganisme dalam pertumbuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk formulasi produk dan penurunan mutu bioinsektisida Bacillus thuringiensis

subsp. aizawai (Bta) serta untuk menguji toksisitas Bta setelah penyimpanan.

Formulasi media yang digunakan adalah ampas tahu dan air tahu dengan perbandingan 20 : 80 dan jumlah starter yang ditambahkan 10 (% v/w). Pada analisis bahan baku diperoleh kadar karbon pada ampas tahu dan air tahu sebesar 5.64 % (bb) dan 0.27 % (bb), sedangkan kadar nitrogennya sebesar 0.42 % (bb) dan 0.02 % (bb). Pada penelitian ini bentuk formulasi produk yang dihasilkan adalah formulasi wettable powder. Untuk menghasilkan formulasi produk

wettable powder, proses yang dipilih dalam penelitian ini adalah menggunakan pengeringan beku (freeze drying) dengan menggunakan laktosasebagai filler.

Jumlah spora hidup tertinggi dengan waktu fermentasi selama 36 jam pada penelitian ini dihasilkan oleh formula produk freeze dengan penambahan laktosa (1.45 x 108 spora/mg), sedangkan total spora hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh formula produk freeze

tanpa penambahan laktosa (9.25 x 107 spora/mg). Setelah dilakukan penyimpanan selama 1 bulan jumlah spora hidup tertinggi dihasilkan oleh formula produk freeze dengan penambahan laktosa yang disimpan pada suhu 5 oC(9 x 106 spora/mg), sedangkan total spora hidup terendah dihasilkan oleh formula freeze tanpa penambahan laktosa yang disimpan pada suhu 35 oC (1.5 x 106

spora/mg).

Tingkat toksisitas (LC50) untuk fermentasi selama 36 jam pada formula freeze dengan atau

tanpa penambahan laktosa adalah 0.25 mg/l. Nilai LC50 dari setiap perlakuan dalam penelitian ini

lebih besar dibandingkan dengan nilai LC50 Bactospeine (0.05 mg/l). Setelah dilakukan

penyimpanan selama 1 bulan nilai LC50 dan potensi produk bioinsektisida terus mengalami

penurunan.

   


(4)

FORMULASI PRODUK DAN PENURUNAN MUTU SELAMA

PENYIMPANAN BIOINSEKTISIDA

Bacillus thuringiensis

subsp.

aizawai

DARI LIMBAH INDUSTRI TAHU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ERLINA SETIYAWATI SUSANTO F34061186

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Produk dan Penurunan Mutu selama Penyimpanan Bioinsektisida Bacillus Thuringiensis subsp.

aizawai dari Limbah Industri Tahu adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Jakarta, Mei 2011 Yang membuat pernyataan

Erlina Setiyawati Susanto F34061186

                                 


(7)

BIODATA PENULIS

   

Erlina Setiyawati Susanto dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1988 dari Ayah Lamidi dan Ibu Sukinik sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Ciputat IV 1994 – 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di MTsN 3 Jakarta Selatan, tahun 2000 – 2003, dan Sekolah Menengah Atas di MAN 4 MODEL Jakarta Selatan tahun 2003 – 2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Himpunan mahasiswa Teknologi Industri Pertanian, dan Forum Bina Islami Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis juga aktif menjadi asisten mata kuliah Fisika, Analisis Bahan dan Produk Bahan Agroindustri, Teknologi Pengemasan dan Penyimpanan, dan Teknologi Distribusi dan Transportasi. Pada tahun 2006 penulis mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa TPB IPB dan memperoleh juara II. Selain itu di tahun yang sama penulis mengikuti lomba Kaligrafi di Acara Cookies IPB dan memperoleh juara III. Pada tahun 2008 penulis mengikuti lomba kaligrafi di Acara Forum Bina Islami Fakultas Teknologi Pertanian dan memperoleh juara I. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2009 di PT. Indobiskuit Mandiri Makmur, Purwakarta, Jawa Barat. Pada tahun 2007-2008 penulis memperoleh beasiswa dari PT. Unilever Tbk, dan pada tahun 2008-2011 penulis memperoleh beasiswa dari Karya salemba Empat. Pada bulan Februari 2011, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Formulasi Produk dan Penurunan Mutu Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dari Limbah Industri Tahu”.

                   


(8)

KATA PENGANTAR

 

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul “Formulasi Produk dan Penurunan Mutu selama Penyimpanan Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dari Limbah Industri Tahu” dilakukan di Laboratoria Teknologi Industri Pertanian sejak bulan April 2010 sampai Oktober 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ir. Sugiarto, M.Si sebagai dosen pembimbing utama.

2. Dr. Ir. Mulyorini Rahyuningsih, M.Si sebagai dosen pembimbing pendamping. 3. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan bagi saya.

4. Ir. Djoko Priyono, M Agr., Bapak Agus, dan saudari Febri di Laboratorium Fisiologi dan

Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman IPB, atas larva ulat Crocidolomia

binotalis.

5. Laboran di Departemen TIN : Ibu Rini Purnawati, Ibu Egnawati Sari, Ibu Sri Mulyati, Bapak Edi Sumantri, Bapak Gunawan, Bapak Sugiardi, Bapak Yogi Suprayogi atas bantuan, keramahan, dan keleluasan selama penelitian.

6. Seluruh staf perpustakaan TIN, FATETA, PAU, Biologi, HPT, dan LSI atas bantuannya dalam mencari berbagai literatur.

7. Tim Bioinsektisida (Sarfat, Bagus, Ibu Ai, dan Pak Indra), Tim Gambir (Echa, Mita, Okta, dan Santi), Tim Rempah-Rempah (Yos dan Cis), Tim RSM (Riska, Sandra, dan Mita), Tim Karet (Syahrun dan Syafiq), Tim Bioetanol (Laura, Mumun, Oni, dan Martin), Tim Minuman (Nidia, Dian, dan Dadin), Tim Tepung-tepungan (Muthi dan Karo), Tim Kertas (Tika dan Akbar), Juliando, Pangeran, Yulia, dan Cucu atas bantuan dan motivasinya selama penelitian. 8. Sahabat-sahabat Top Ikan Nusantara dan Top Ikan Minaku 8 yang telah memberi bantuan,

semangat, dan motivasi.

9. Teman-teman Departemen TIN yang telah memberi bantuan dan dukungan.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi.

Jakarta, Mei 2011


(9)

DAFTAR ISI

Halaman  

 

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

A. Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA ... 2

1. Bacillus thuringiensis ... 2

2. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) Sebagai Bahan Aktif Bioinsektisida ... 4

3. Kristal Protein (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis ... 5

B. FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp.aizawai DAN KONDISINYA ... 7

1. Media Pertumbuhan Dan Fermentasi ... 7

2. Kondisi Fermentasi ... 8

3. Pemanenan (Recovery) ... 9

4. Enkapsulasi ... 10

5. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba ... 14

C. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN ... 15

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 16

A. BAHAN DAN ALAT ... 16

1. Bahan ... 16

2. Alat ... 16

B. METODE PENELITIAN ... 16

1. Penelitian Pendahuluan ... 16

2. Penelitian Utama ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

A. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) ... 21

B. UJI TOKSISITAS BIOINSEKTISIDA Bta ... 21

C. PENURUNAN MUTU PADA BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) ... 22


(10)

2. Pengaruh Suhu terhadap Potensi Produk Bta dan Penurunan Toksisitas ... 25

3. Pengaruh Filler (Laktosa)terhadap Penurunan Toksisitas dan Potensi Produk Bta .. 26

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

A. KESIMPULAN ... 30

B. SARAN ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

LAMPIRAN ... 37

           


(11)

DAFTAR TABEL

 

Halaman  

Tabel 1. Komposisi kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu ... 3 

Tabel 2. Kandungan mineral limbah ampas tahu ... 3 

Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis ... 5 

Tabel 4. Hasil analisis kimia ampas tahu dan limbah cair tahu ... 16 

Tabel 5. Jumlah spora hidup (VSC) dalam cairan hasil kultivasi ... 21 

Tabel 6.  Perbandingan tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II), LC50 dan potensi produk setelah di freeze drying untuk masing-masing perlakuan serta produk komersial ………...………... 22 

Tabel 7. Kurva standar glukosa untuk penentuan total gula ………..………...38

   

 

                         


(12)

DAFTAR GAMBAR 

Halaman

 

Gambar 1. Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai ... 4

Gambar 2. Diagram mekanisme patogenisitas Bt terhadap serangga ... 6

Gambar 3. Diagram alur proses mikroenkapsulasi ... 13

Gambar 4. Larva, kepompong, dan telur Croccidolomia binotalis ... 14 

Gambar 5.   Diagram Alir Persiapan Inokulum ... 17 

Gambar 6.   Inkubasi pada rotary shaking incubator ... 18 

Gambar 7. Bioinsektisida Bta dalam kemasan plastik metalized ... 19 

Gambar 8.   Ringkasan proses produksi Bt sebagai bioinsektisida……….…... 20

Gambar 9. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC untuk produk freeze tanpa penambahan laktosa. ... 23 

Gambar 10. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC untuk produk freeze dengan penambahan laktosa ... 23 

Gambar 11. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC pada suhu 5 oC ... 24 

Gambar 12. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC pada suhu 25oC ... 24 

Gambar 13. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC pada suhu 35oC ………... 24

Gambar 14. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC50 pada produk freeze tanpa penambahan laktosa.….………... 25

Gambar 15. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC50 untuk produk freeze dengan penambahan laktosa………... 25

Gambar 16. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk freeze tanpa penambahan laktosa. ……….…... 26

Gambar 17. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk freeze dengan penambahan laktosa. ………... 26

Gambar 18. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC50 pada suhu 5 oC ………...27

Gambar 19. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC50 pada suhu 25 oC ………...………...27

Gambar 20. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC50 pada suhu 35 oC.……..………...27

Gambar 21. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk pada suhu 5 oC ………...….……...28

Gambar 22. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk pada suhu 25 oC …………...………...28

Gambar 23. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk pada suhu 35 oC …………...…...………...….……...28


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

 

Lampiran 1. Metode Analisis Pada Penelitian ... 34  Lampiran 2.   Perhitungan Susunan Medium Kultivasi ... 40  Lampiran 3.   Data Bioassay (LC 50) dan Potensi Produk bioinsektisida Bacillus thuringiensis

subsp. aizawai ... 75  Lampiran 4. Data log VSC bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai... 41

Lampiran 5.   Contoh Penentuan LC50 Menggunakan Program Probit

Quant………..…………... 42

   

 

                                     


(14)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Bioinsektisida merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga hama dan vektor pembawa penyakit. Bioinsektisida didefinisikan juga sebagai racun biologis yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopathogen). Salah satu mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri Bacillus thuringiensis (Bt). Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bt yang disebut serotype atau varietas dari Bt dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bt telah diisolasi (Swadener 1994).

Subspesies bakteri Bt yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta). Bta memiliki empat jenis gen cry1, yaitu cry1Aa, cry1Ab,

cry1Ca, cry1Da (Wright et al., 1997; Schnepf et al., 1998) yang menyandikan kristal protein berbentuk bipiramida (Schnepf et al., 1998). Menurut Lereclus et al. (1993),`kristal protein ini memiliki aktivitas insektisidal terhadap larva serangga ordo Lepidoptera dan Diptera.

Bioinsektisida dapat diformulasikan menjadi sebuah produk flowable suspension,

wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985; Ignoffo dan Anderson 1979). Bentuk formulasi produk bioinsektisida Bt dipengaruhi oleh cara pemanenannya. Dahulu, wettable powder kurang digemari karena mempunyai kelemahan, yaitu tidak larut dan menyebabkan sedimentasi. Namun sejak tahun 1980-an wettable powder dapat dimodifikasi sehingga banyak digunakan tanpa menyebabkan kesulitan dalam aplikasinya.

Wettable powder dapat diperoleh dengan cara melakukan pengeringan beku (Dent, 1993). Pada penelitian ini bentuk formulasi produk yang dihasilkan adalah formulasi wettable powder. Untuk menghasilkan formulasiproduk wettable powder, proses yang dipilih dalam penelitian ini adalah menggunakan pengeringan beku (freeze drying) dengan menggunakan laktosa sebagai filler. Menurut Lakkis (2007) laktosa adalah karbohidrat yang memiliki fungsi enkapsulasi yang sangat baik. Keuntungan pengeringan beku (freeze drying) yaitu mencegah terjadinya proses kimiawi pada ruang pengering, mengurangi penurunan panas sensitif produk, tidak terjadinya pertumbuhan mikroba, kelembaban produk dapat dikontrol selama proses, dan bentuk akhir produk kering memiliki bentuk fisik yang baik (Leiwakabessy, 2009). Selain itu pengeringan beku (freeze drying) yang digunakan dalam penelitian ini dapat meningkatkan nilai ekonomi dan memperpanjang daya simpan produksi

bioinsektisida Bta sehingga memperluas jangkauan pemasaran.

B.

TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk formulasi produk dan mengetahui penurunan mutu bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) serta untuk menguji toksisitas Bta setelah penyimpanan.


(15)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Bacillus thuringiensis (Bt) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA

Bioinsektisida merupakan patogen serangga yang banyak dikembangkan dari bakteri, virus, cendawan, dan protozoa. Khachatourians (1989) menyatakan bahwa bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga (Bravo 1997).

Pemakaian bioinsektisida Bt ini memberikan beberapa keuntungan di antaranya adalah tidak meninggalkan residu yang dapat mencemari lingkungan dan relatif aman bagi organisme bukan sasaran (Aronson et al. 1986). Akan tetapi, sebagaimana ditinjau oleh Luthy et al. (1982) penggunaan bioinsektisida selain menguntungkan juga memiliki beberapa kekurangan yaitu spektrum sasaran yang sempit, tingkat persistensinya yang terbatas di lingkungan, kerentanan δ-endotoksinnya terhadap sinar matahari, dan biaya produksinya yang relatif tinggi dibandingkan insektisida kimia.

1. Bacillus thuringiensis

(Bt)

Pada tahun 1901, Bt pertama kali diisolasi oleh Ishiwata dari larva ulat sutra yang mati. Ishiwata berpendapat bahwa vektor pembawa penyakit pada larva tersebut adalah bakteri. Pada tahun 1911, Berliner menemukan bakteri yang sama di propinsi Thuringia, Jerman yang telah membunuh larva kupu-kupu Mediterania (Anagasta kuehniella). Berliner kemudian mengusulkan nama untuk bakteri tersebut adalah Bt

(Dulmage et al. 1990).

Bt merupakan jenis spesies bakteri yang dapat membunuh serangga tertentu. Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bt yang disebut serotype atau varietas dari Bt dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bt telah diisolasi (Swadener 1994). Bt berbentuk batang, bersifat gram positif aerob, tetapi umumnya aerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik.

Kristal protein ini dikenal juga sebagai δ-endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkannya bersifat insektisidal (Shieh 1994). Menurut Faust dan Bulla (1982), δ-endotoksin tersebut bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut alkalin. δ-endotoksin tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu komposisi protoksin dan nilai nutritif media kultur yang bersangkutan (Aronson 1995; Mummigatti & Raghunathan 1990).

Bt merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak digunakan untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial Bt

digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson et al. 1992). Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa fase stationary.

Penggunaan Bt sebagai bioinsektisida diharapkan semakin meningkat dan berkembang dengan ditemukannya galur-galur Bt yang mempunyai aktivitas tinggi dan spektrum inang yang lebih luas (Rupar et al. 1991). Substrat yang digunakan pada bioinsektisida Bt dalam penelitian ini adalah limbah dari industri tahu.


(16)

Tahu adalah salah satu makanan tradisional yang biasa dikonsumsi setiap hari oleh orang Indonesia. Pada proses pembuatan tahu dihasilkan dihasilkan dua macam limbah, yaitu limbah cair (whey) dan limbah padat (ampas). Pada umumnya pabrik tahu di Indonesia khusunya di Jawa Barat membuang langsung limbah cairnya dan limbah Lereclus padatnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak atau dijual kepada pedagang oncom dan tempe gembus dengan harga yang relatif murah (Nurdjannah dan Usmiati 2009).

Ampas tahu merupakan hasil samping dari proses pembuatan tahu yang banyak terdapat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Potensi ampas tahu cukup tinggi, kacang kedelai di Indonesia tercatat pada Tahun 1999 sebanyak 1.306.253 ton, sedangkan Jawa Barat sebanyak 85.988 ton. Bila 50% kacang kedelai tersebut digunakan untuk membuat tahu dan konversi kacang kedelai menjadi ampas tahu sebesar 100-112%, maka jumlah ampas tahu tercatat 731.501,5 ton secara nasional dan 48.153 ton di Jawa Barat (Nurdjannah dan Usmiati 2009).

Menurut Nurdjannah dan Usmiati (2009), kadar protein ampas tahu cukup tinggi yakni sekitar 6%. Ditinjau dari komposisi kimianya ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein. Pada saat ini pemanfaatan ampas tahu sudah mulai dijajagi penggunaannya, diantaranya untuk substitusi tepung ampas untuk bahan pangan seperti minuman prebiotik, cookies, nugget, sosis, pembuatan tepung kaya serat dan protein yang dapat diaplikasikan untuk berbagai produk pangan, dan sebagai media tumbuh dan perkembangan jamur (Anonim 2009). Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar.

Pada penelitian ini, ampas tahu digunakan sebagai sumber karbon, nitrogen dan protein pada media fermentasi Bt sebagai bioinsektisida. Komposisi kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu dari beberapa peneletian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan komposisi mineral limbah ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu

Komponen Jumlah (% bobot basis kering1 dan basis basah2) Limbah ampas tahu1 Limbah limbah cair tahu2

Air 13.83* 99.34**

Abu 3.36* 0.11**

Protein 15.75* 1.73***

Lemak 12.10* 0.6300***

Nitrogen 2.52* 0.05**

Serat 19.47* -

Sumber :* (Debby et al. 2005) ** (Hartati 2010) *** (Nuraida,dkk 1996)

Tabel 2. Kandungan Mineral Limbah Ampas Tahu

Komponen Jumlah (µg/g)

Ca 890.750 Mg 358.520 Fe 124.660


(17)

Cu 5.550 Pb 2.288 Zn 0.490 Sumber : (Debby et al. 2005)

2. Bacillus turingiensis subsp. aizawai

(Bta) Sebagai Bahan Aktif

Bioinsektisida

Bta pertama kali ditemukan oleh Aizawa pada tahun 1962 (Dulmage, 1981). Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal. Kristal protein Bt mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat (oval) pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksis terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksis terhadap

Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera

(Shieh, 1994).

Hofte dan Whiteley (1989) menjelaskan bahwa terdapat 14 gen penyandi kristal protein, 13 diantaranya disebut gen Cry (kristal protein) dan satu gen disebut dengan gen Cyt (sitolitik). Gen Cry adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bt

yang menghasilkan toksik terhadap organisme sasaran. Sedangkan Cyt adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bt yang menghasilkan aktivitas hemolitik atau sitolitik. Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Ke-13 gen Cry tersebut dikelompokan ke dalam empat kelas berdasarkan kesamaan struktur asam-asam amino dan spektrum aktivitas insektisidanya. Masing-masing kelas mempunyai toksisitas yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Cry I bersifat toksik terhadap Lepidoptera, Cry II bersifat toksik terhadap Lepidoptera dan

Diptera, Cry III bersifat toksik terhadap Coleoptera, dan Cry IV bersifat toksik terhadap

Diptera.

Sel

Bta

Spora

Kristal Protein

TYPE : JSM-5000 MAG : X10,000 ACCV : 20kV WIDTH : 13.2um NO : 000003


(18)

Bta memiliki empat jenis gen cry1, yaitu cry1Aa, cry1Ab, cry1Ca, cry1Da

(Wright et al., 1997 ; Schnepf et al., 1998) yang menyandikan kristal protein berbentuk bipiramida (Schnepf et al., 1998). Menurut Lereclus et al. (1993), kristal protein ini memiliki aktivitas insektisidal terhadap larva serangga ordo Lepidoptera dan Diptera. Berdasarkan perbedaan gen penyandi kristal protein yang dimiliki, maka tipe patogenitas Bt dapat dikelompokkan seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis

Subspesies Jenis Gen Tipe Patogenitas Contoh Produk

Bt subsp. kurstaki Cry I

Spesifik untuk ordo

Lepidoptera

Contoh : 1. Kupu-kupu 2. Moth

1. Dipel (Abbott) 2. Bactospeine

(Philips Duphar) 3. Thuricide 4. Javelin (Sandoz)

Bt subsp. aizawai Cry II

Spesifik untuk ordo

Lepidoptera dan

Diptera

Contoh : 1. Ulat kubis 2. Ulat grayak

Certan (Sandoz)

Bt subsp. sandiego Cry III

Spesifik untuk ordo

Coleoptera

Contoh : 1. Bettles

1. Trident (Sandoz) 2. M-One

(Mycogen)

Bt subsp. israelensis Cry IV

Spesifik untuk ordo

Diptera

Contoh :

1. Nyamuk

2. Lalat rumah 3. Midges

4. Craneflies

5. Two wingedflies

1. Vectobac (Abbott) 2. Bactimos (Philips

Duphar) 3. Teknar (Sandoz)

Sumber : (Ellar etal. 1986)

Protein cry1C(a) menyandikan protein yang toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan protein cry1 lain yang dimiliki Bta, yaitu cry1A(a), cry1A(b), cry1D(a)

kurang toksik terhadap Spodoptera litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1C(a) sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al., 1996). Sedangkan menurut Liu et al (1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis dapat meningkatkan toksisitas kristal protein. Pada Bta, sinergisme yang terjadi adalah antara spora dengan protein cry1C(a) tetapi tidak dengan protein cry1 yang lain.


(19)

3.

Kristal Protein (

δ

-endotoksin) Bacillus thuringiensis (Bt)

Sekitar 95 % dari keseluruhan komponen kristal protein terdiri dari protein dengan asam amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5 % sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu manosa dan glukosa (Bulla et al. 1977), serta tidak mengandung asam nukleat maupun asam lemak (Fast 1981). Protein yang menyusun kristal protein tersebut terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan asam glutamat (Fast 1981).

Menurut Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992), komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar Bt adalah polipeptida dengan berat molekul (BM) berkisar antara 130 sampai 140 kilodalton (kDa). Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang berfariasi dari 30 sampai 80 kDa, setelah mengalami hidrolisis pada kondisi pH alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah dari 30 kDa.

Aktifitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga, seperti kadar pH dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret 1971). Selain itu, efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari Bt dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari Bt. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994).

Proses toksisitas kristal protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut akan larut di dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0.5-1.0 nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air-air dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati. Kematian akan terjadi satu jam hingga 4-5 hari setelah intoksikasi, tergantung pada konsentrasi bakteri, ukuran dan jenis larva dan varietas bakteri yang digunakan (Hofte dan Whiteley 1989; Gill, et al. 1992). Proses toksisitas Bt pada larva ulat dapat dilihat pada Gambar 2.


(20)

Gambar 2. Diagram mekanisme patogenisitas Bt terhadap serangga (http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc217.htm)

Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27 – 147 kDa). Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sestem pencernaan serangga yang mengubah Bt protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin.

Jika ternyata serangga tersebut ternyata tidak rentan terhadap aksi δ-endotoksin secara langsung, maka dampak dari pertumbuhan spora di dalam tubuh serangga akan menjadi penyebab kematiannya. Spora tersebut akan berkecambah dan mengakibatkan membran usus rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora di dalam tubuh serangga akan bertambah banyak dan mengakibatkan perluasan infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya menyebabkan serangga tersebut mati (Swadener 1994).

B.

FERMENTASI Bacillus thuringiensis Subsp. aizawai DAN KONDISINYA

1.

Media Pertumbuhan dan Fermentasi

Fermentasi secara sederhana adalah pemberian makanan mikroba dengan nutrien yang cocok, supaya mengahsilkan sesuatu yang bermanfaat atau produk akhir yang berharga dari metabolismenya (Vandekar dan Dulmage 1982). Dulmage dan Rhodes (1971) menambahkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bt adalah komponen media dan kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti pH, kelarutan oksigen, dan temperatur. Hal ini juga diperkuat oleh Vandekar dan Dulmage (1982) yang menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme saat berlangsungnya fermentasi membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam media pertumbuhannya.

Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida Bt dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai, dan molases dari bit dan tebu. Nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber


(21)

nitrogen yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida Bt adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung indosperma, dan kasein.

Stanbury & Whitaker (1984) menambahkan bahwa urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan pH. Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Unsur-unsur mineral merupakan garam-garam anorganik yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn (Dulmage dan Rhodes 1971).

Dalam media fermentasi Bt ditambahkan 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0.02 g/l MnSO4.

H2O, 0.02 g/l ZnSO4.7 H2O, 0.02 g/l FeSO4.7 H2O, dan 1.0 g/l CaCO3. Penambahan ion

Mg2+, Mn2+, Zn2+, dan Ca2+ ke dalam media perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi Bt (Vandekar dan Dulmage 1982). Menurut Sikdar et al. (1991), Bt memerlukan unsur-unsur Ca, Mg, K, Fe, dan Mn untuk berperan dalam pertumbuhan dan produksi δ-endotoksin serta berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas.

2.

Kondisi Fermentasi

Proses fermentasi untuk memproduksi bioinsektisida terdiri dari dua tipe, yatu fermentsi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation). Dulmage dan Rhodes (1971) menambahkan bahwa pada fermentasi terendam, biakan murni Bt ditumbuhkan dalam media cair dengan dispersi yang merata). Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fermentasi tertutup (batch process), fermentasi kontinu, dan fermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu (fed batch process). Produksi bioinsektisida Bt pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup, karena hasil akhir yang diinginkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi (Bernhard & Utz 1993).

Fermentasi skala kecil dalam labu kocok dilakukan dengan menggunakan labu ukuran 300 ml yang diisi 50-100 ml. Sementara itu, Vandekar dan Dulmage (1982) dan Mummigatti dan Raghunathan (1990) melakukan fermentasi dalam labu Erlenmeyer ukuran 500 ml yang diisi 100-125 ml media. Keterbatasan aerasi dalam labu kocok membatasi pemilihan media yang dapat digunakan dalam fermentasi.

Kondisi fermentasi Bt dapat dilakukan dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28 – 32 0C, pH awal media diatur sekitar pH 6.8 – 7.2, agitasi 142 – 340 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 24 – 48 jam. Sedangkan fermentasi Bt dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu 28 – 32 0C, pH awal media sekitar 6.8 – 7.2, volume media sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400 – 700 rpm, aerasi 0.5 – 1.5 volume udara/volume media/menit (v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi 40 – 72 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Pearson dan Ward 1988; dan Sikdar

et al. 1993).

Pertumbuhan optimum sebagian bakteri Bt terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal media fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai pH awal untuk media fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran 6.8 – 7.2. Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat


(22)

tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat menaikan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky 1985).

Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), setiap mikroorganisme akan berbeda-beda dalam hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubah-ubah selama fase pertumbuhan yang berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang aerob, penting untuk memperoleh campuran yang sesuai antara mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung atau labu. Agitasi dan aerasi tidak praktis jika dilakukan terhadap setiap labu secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas mesin kocok.

Agar proses fermentasi berjalan dengan lancar dan untuk memperkirakan waktu panen yang optimal, maka sejumlah parameter dimonitor untuk dilakukan pengukuran. Parameter-parameter tersebut diantaranya, suhu, nilai pH dan jumlah oksigen. Sedangkan pengukuran berat kering (biomassa), konsentrasi glukosa dan nitrogen, jumlah spora, bentuk koloni dapat dilakukan pada setiap sampel (Quinlan dan Lisansky 1985).

3.

Pemanenan

Pada prinsipnya proses pemanenan bahan aktif kristal protein dilakukan pemisahan sel mikroorganisme dan partikel-partikel yang besar. Beberapa teknik yang dapat digunakan adalah filtrasi, sentrifugasi, presipitasi, spray drying, freeze drying atau kombinasi dari proses-proses tersebut dan dekantasi. Bahan aktif bioinsektisida dapat diformulasikan menjadi sebuah produk flowable liquid, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985; Ignoffo dan Anderson 1979).

Menurut Dulmage, et al. (1990) menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk formulasi produk Bt, yaitu flowable suspension, wettable powder, dan cairan. Formulasi

flowable suspension adalah bentuk bioinsektisida yang dipanen dengan cara mencampur spora dan kristal dengan air atau minyak dan penstabil, sedangkan wettable powder

diperoleh dengan cara melakukan proses freeze drying atau pengeringan beku terhadap campuran spora kristal dengan penambahan laktosa sebagai filler.

Pada umumnya bahan pengisi (filler) yang sering digunakan dalam formulasi produk adalah laktosa. Menurut lakkis (2007) laktosa adalah karbohidrat yang memiliki fungsi enkapsulasi yang baik agar bahan aktifnya teraktifasi dalam saluran pencernaan, sehingga ketika produk masuk ke saluran pencernaan, laktosa harus sudah tercerna terlebih dahulu agar endotoksinnya aktif.

Pemisahan biomassa yang telah dilakukan pada beberapa penelitian dilakukan dengan operasi sentrifugasi. Pada berbagai penelitian dilakukan operasi sentrifugasi pada kecepatan putar dan lama putar yang berbeda. Sentrifus adalah alat yang digunakan untuk membantu mempercepat proses pengendapan.


(23)

Menurut Stanburry dan Whitaker (1984), penggunaan sentrifus cukup luas meliputi pemisahan sel, organel dan molekul. Pada operasi sentrifugasi, kecepatan pengendapan partikel dipengaruhi oleh viskositas media, ukuran partikel dan densitas partikel.

Leather, et al. (1988) melakukan sentrifugasi selama 30 menit pada kecepatan putar 15,000 rpm, sedangkan Yong Chul Shin et al. (1989) melakukan pada kecepatan 10,000 rpm selama 30 menit. Lacroix, et al. (1985) dan Boa dan Leduy (1984) melakukan sentrifugasi pada 8,000 rpm selama 30 menit. Mulchandani, et al. (1988) melakukan sentrifugasi pada kecepatan 7,000 rpm, dengan lama yang sama. Shipman dan Fan melakukan sentrifugasi pada kecepatan 3,500 rpm selama 15 menit, serta Heald dan Kristiansen (1985) pada 3,000 rpm selama 15 menit.

Filtrasi adalah suatu operasi mekanis atau fisik yang digunakan untuk pemisahan padatan dari cairan (cairan atau gas) oleh media interposing melalui fluida. Kebesaran padat dalam fluida dipertahankan, namun pemisahan tidak lengkap. Padatan akan terkontaminasi dengan beberapa cairan dan filtrat akan berisi partikel-partikel halus (tergantung pada ukuran pori-pori dan menyaring ketebalan) (Lakkis 2007).

Ada banyak metode yang berbeda dari penyaringan, semua bertujuan untuk mencapai pemisahan zat. Pemisahan ini dicapai dengan beberapa bentuk interaksi antara zat atau objek yang akan dihapus dan filter. Substansi yang melewati filter harus menjadi cairan, yaitu cairan atau gas. Metode penyaringan bervariasi tergantung pada lokasi materi yang ditargetkan, yaitu apakah terlarut dalam fase cairan atau tertunda sebagai padat (Lakkis 2007)

Ada dua tipe utama media filter: yaitu berdasarkan permukaan filter yang terdiri darisaringan padat yang padat perangkap partikel, dengan atau tanpa bantuan kertas filter (misalnya Buchner saluran, belt filter, rotary vacum drum filter, crossflow filter, screen filter), dan berdasarkan kedalaman filteryang terdiri dari tempat alas bahan mentah yang mempertahankan partikel padat ketika melewati (misalnya pasir penyaring). Tipe pertama memungkinkan partikel-partikel padat, yaitu residu, harus dikumpulkan utuh, sedangkan pada tipe yang kedua tidak mengizinkan hal ini. Namun, tipe kedua cenderung kurang mampu menyumbat karena luas permukaan yang lebih besar sehingga partikel dapat terperangkap. Ketika partikel padat sangat baik, sering kali lebih murah dan lebih mudah untuk membuang butiran terkontaminasi daripada digunakan untuk membersihkan saringan padat (Lakkis 2007).

4.

Enkapsulasi

Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan sedangkan yang disalut/dilindungi disebut core. Enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia. Sedangkan mikroenkapsulasi adalah proses fisik dimana bahan aktif (bahan inti), seperti partikel padatan, tetesan air ataupun gas, dikemas dalam bahan sekunder (dinding), berupa lapisan film tipis. Proses ini digunakan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan untuk melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan (Paramita 2010).

Ide dasar mikroenkapsulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan perlindungan terhadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubah-ubah


(24)

dan berperan dalam pengaturan metabolisme sel. Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Tujuan utama umum mikroenkapsulasi adalah untuk membuat bahan cairan bersifat seperti padatan. Hal ini menyebabkan beberapa sifat bahan inti menjadi berubah, misalnya sifat aliran bahan dan penangan bahan menjadi lebih mudah dalam bentuk padatan (Paramita 2010).

Ada beberapa teknik yang digunakan dalam mikroenkapsulasi. Pemilihan proses berdasarkan pada sensitivitas bahan aktif, sifat fisik dan kimia baik bahan aktif maupun lapisan kulit, ukuran mikrokapsul yang diinginkan, tujuan aplikasi bahan, mekanisme pelepasan bahan aktif, dan alasan ekonomi. Metode fisik dari mikroenkapsulasi meliputi spray drying, spray cooling/chilling, freeze drying, spinning disk, fluidized bed, extrusion dan co-crystallization.Proses mikroenkapsulasi secara kimia adalah interfacial polymerization. Proses mikroenkapsulasi baik secara fisik maupun kimia diantaranya coaservation/fase pemisahan, enkapsulasi molekular, dan liposome entrapment. Alur proses mikroenkapsulasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Spray drying merupakan salah satu teknik enkapsulasi. Teknik spray drying

mengubah bahan yang awalnya berupa bahan cair menjadi materi padat. Pada proses

spray drying, bahan yang akan dikeringkan disemprotkan dalam bentuk kabut. Luas permukaan bahan yang kontak langsung dengan media pengering dapat lebih besar sehingga menyebabkan penguapan berlangsung lebih baik. Faktor yang mempengaruhi

spray drying adalah bentuk penyemprot, kecepatan alir produk dan sifat produk (Paramita 2010).

Menurut Spicer dalam Paramita (2010), keuntungan penggunaan spray drying

adalah produk akan menjadi kering tanpa menyentuh permukaan logam yang panas, temperatur produk akhir rendah walaupun temperatur pengering relatif tinggi, waktu pengeringan singkat dan produk akhir berupa bubuk stabil yang memudahkan penanganan dan transportasi. Penggunaan spray drying tidak terbatas pada bahan makanan saja, tetapi juga pada makhluk hidup bersel tunggal, misalnya bakteri.

Mikroenkapsulasi menggunakan spray dyringpaling banyak digunakan dalam industri karena biayanya relatif lebih rendah. Proses ini fleksibel, dapat digunakan untuk variasi bahan dalam mikroenkapsulasi karena peralatannya mudah diterapkan dalam pengolahan bermacam bahan dan menghasilkan partikel-partikel yang berkualitas baik dengan distribusi ukuran partikel yang konsisten. Bahan yang dikemas dengan cara ini meliputi lemak, minyak, dan penyedap rasa. Pelapisnya dapat berupa karbohidrat, seperti dekstrin, gula, pati, dan gum, atau protein, seperti gelatin dan protein kedelai. Proses mikroenkapsulasi meliputi pembentukan emulsi atau suspensi antara bahan aktif dan pelapis, dan pengkabutan emulsi ke sirkulasi udara kering panas dalam ruang pengering menggunakan atomizer ataupunnozzle. Kadar air dalam droplet emulsi diuapkan akibat kontak dengan udara panas. Padatan yang tersisa dari bahan pelapis menjebak bahan inti (Paramita 2010).

Spray drying berguna untuk bahan yang sensitif terhadap panas karena proses pengeringan berlangsung sangat cepat. Pada proses spray drying, bahan yang akan dikeringkan disemprotkan dalam bentuk kabut. Luas permukaan bahan yang kontak langsung dengan media pengering dapat lebih besar sehingga menyebabkan penguapan berlangsung lebih baik. Faktor yang mempengaruhi spray drying adalah bentuk penyemprot, kecepatan alir produk dan sifat produk. Menurut Master dalam Paramita


(25)

(2010) keuntungan spray drying mencakup keanekaragaman dan ketersediaan mesin, kualitas mikrokapsul yang tetap baik, berbagai ukuran partikel yang dapat diproduksi, dan kemampuan dispersibilitas yang baik dalam media berair. Keuntungan lainnya adalah produk akan menjadi kering tanpa menyentuh permukaan logam yang panas, temperatur produk akhir rendah walaupun temperatur pengering relatif tinggi, waktu pengeringan singkat dan produk akhir berupa bubuk stabil yang memudahkan penanganan dan transportasi. Beberapa kerugian yang diperoleh di antaranya kehilangan bahan aktif dengan titik didih rendah, adanya proses oksidasi dalam senyawa penyedap rasa, dan keterbatasan pada pilihan bahan dinding, dimana bahan dinding harus dapat larut pada air dengan jumlah yang layak.

Spinning disk merupakan modifikasi proses dari spray cooling/chilling dengan menggunakan metode atomisasi. Prinsip dari spray cooling/chilling mirip dengan spray drying, namun menggunakan udara dingin dalam proses pengeringannya. Spinning disk melibatkan pembentukan inti suatu suspensi di lapisan cairan dan suspensi ini terletak di atas disk yang berputar dalam kondisi yang mengakibatkan lapisan film jauh lebih tipis daripada ukuran partikel inti. Pemakaian proses ini meningkat dengan cepat sejak tahun 2000 karena memberikan hasil yang seimbang atau bahkan lebih baik daripada spray drying atau spray cooling/chilling dengan biaya proses yang tidak berbeda (Paramita, 2010).

Teknik coacervation merupakan pemisahan fase cair/cair secara spontan yang terjadi ketika dua polimer yang bermuatan berlawanan (misalnya protein dan polisakarida) dicampur dalam media berair kemudian mengarah ke pemisahan menjadi dua fase. Fase yang lebih rendah disebut (kompleks) coacervate dan memiliki konsentrasi yang tinggi dari kedua polimer. Fase atas disebut sebagai supernatan atau fase kesetimbangan, yang merupakan larutan polimer encer. Coacervatedigunakan sebagai bahan makanan, misalnya pengganti lemak atau memberi rasa yang mirip daging dan biomaterial, seperti lapisan tipis (film) yang dapat dimakan dan kemasan. Metode ini sangat efisien dan menghasilkan mikrokapsul dengan ukuran yang lebih bervariarif daripada teknik mikroenkapsulasi yang lain (Paramita 2010).

Proses ini meliputi tiga tahap, pertama, mecampur tiga fase yang saling tidak melarutkan (fase kontinyu atau air, bahan aktif yang akan dimikroenkapsulasi dan bahan pelapis). Kedua, bahan pelapis membentuk lapisan pada bahan inti. Hal ini dicapai dengan merubah pH, suhu atau kekuatan ion yang menghasilkan pemisahan fase (coacervation) dari pelapis dan sebaran inti yang terjebak. Terakhir, bahan pelapis memadat karena adanya panas, crosslinking (hubungan silang) dan teknik desolvasi. Mikrokapsul yang dihasilkan dari pemisahan fase encer memiliki dinding yang larut air dan bahan aktif yang bersifat menjauhi air (hidrofobik), seperti minyak sayur, penyedap rasa, dan vitamin yang larut dalam minyak (Paramita 2010).

Menurut Spicer dalam Paramita (2010) enkapsulasi molekuler juga dikenal dengan nama pemasukan kompleksasi. Proses ini menggunakan cyclodextrin untuk membuat kompleks dan imobilisasi molekul. Cyclodextrin digunakan untuk menstabilkan emulsi dan melindungi bahan makanan yang sensitif dari cahaya, panas, dan oksigen. Siklodextrin dapat meningkatkan kelarutan bahan yang bersifat hidrofobik, mengurangi penguapan dari penyedap rasa pada makanan, dan menutupi rasa, aroma, atau warna makanan yang tidak diinginkan. Reaksi umum dalam enkapsulasi molekuler menggunakan prinsip “host-guest”. Kemampuan cyclodextrin untuk membentuk


(26)

pemasukan kompleksasi dengan molekul tamu memiliki dua faktor kunci. Yang pertama adalah tergantung pada ukuran relatif cyclodextrin dengan ukuran molekul tamu atau kunci tertentu di dalam kelompok-kelompok fungsional tamu. Jika ukuran tamu salah maka tidak akan sesuai untuk masuk ke dalam rongga cyclodextrin. Faktor kritis kedua adalah termodinamik interaksi antara berbagai komponen dari sistem (cyclodextrin, tamu, pelarut).

Diperlukan adanya daya dorong dari molekul tamu ataupun daya tarik dari cyclodextrinyang menguntungkan. Dalam hal ini, cyclodextrin memiliki sifat fungsional hidrofilik (mendekati air) pada bagian bawah dan atas strukturnya yang seperti donat dan bersifat hidrofobik (menjauhi air) pada bagian tengah karena terhubung dengan

jembatan glikosidik oksigen. Senyawa yang dapat membetuk kompleks

dengan cyclodextrinadalah senyawa yang bersifat hidrofobik atau memiliki bagian yang hidrofobik. Bagian hidrofobik dari molekul tamu membentuk interaksi yang stabil non-kovalen dengan bagian tengah cyclodextrin (Paramita 2010).


(27)

   

Gambar 3. Diagram Alur proses mikroenkapsulasi (Paramita, 2010)


(28)

5.

Penentuan Aktivitas Bioinsektisida

Penentuan aktivitas bioinsektisida tidak sama seperti yang dilakukan pada insektisida kimiawi. Sedangkan pada bioinsektisida dilakukan dengan dua metode yaitu melalui bioassay dilakukan dengan menentukan kadar letal (LC50) dan Internasional Unit

(IU) (Vandekar dan Dulmage 1982) atau dosis letal (LD50), diet dillution unit (DDU50)

dan IU (Dulmage dan Rhodes 1971). Potensi produk bioinsektisida dinyatakan dalam satuan internasional (SI) karena LC50, LD50, dan DDU50 sebenarnya hanya menunjukkan

potensi relatif produk yang dipengaruhi oleh spesies dan umur serangga. Potensi produk insektisida mikroba Bt dinyatakan dalam satuan internasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut :

Uji toksisitas bioinsektisida Bta bertujuan untuk menentukan LC50 dan potensi

produk bioinsektisida yang dihasilkan. LC50 merupakan konsentrasi toksin dalam contoh

yang dapat membunuh 50 % dari serangga uji (Vandekar dan Dulmage 1982). Semakin kecil nilai LC50 maka semakin efektif produk yang dihasilkan, yang berarti semakin tinggi

tingkat toksisitasnya.

Croccidolomia binotalis (C. binotalis) merupakan hama utama pada tanaman kubis-kubisan seperti kubis, sesawi, lobok, petsai, dan brokoli (Kalshoven 1981; Harjadi 1989). Daerah persebaran hama ini cukup luas mencakup Afrika selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini ditemukan di daratan rendah maupun daratan tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Larva, kepompong, dan telur Croccidolomia binotalis

(http://www.croccidolomiabinotalis.edu)

Kerusakan yang disebabkan C. binotalis dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan kubis tidak dapat membentuk krop (Uhan 1993). Kehilangan hasil akibat serangan C. binotalis dapat mencapai 65.8 %.

Larva yang baru keluar telur akan hidup berkelompok, memakan daun dari permukaan bawah karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan kelompok larva


(29)

instar I biasanya berupa bercak putih yang merupakan lapisan epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila epidermis mengering. Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yang telah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini, sehingga menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak dapat terjadi karena munculnya serangan sekunder eleh cendawan dan bakteri (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).

Larva C. binotalis melewati empar instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran 2.1 – 2.7 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran 5.5 – 6.1 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran 1.1 – 1.3 mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3.2 hari.

Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi coklat, larva menjadi tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jan, larva akan masuk ke dalam tanah dan membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan ukuran tubuhnya 9 – 10 mm (Prijono dan Hassan 1992). Masa pupa berlangsung selama 9 – 13 hari (Othman 1982) dan rata-rata 11.4 hari pada brokoli (Prijono dan Hassan 1992).

C. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN

Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme (patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Bugusu 2007).

Keuntungan penggunaan plastik sebagai bahan kemasan antara lain harga relatif lebih murah, dapat dibentuk berbagai rupa, warna dan bentuk relatif lebih disukai konsumen, adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti logam, mudah dalam penanganan, dan mengurangi biaya transportasi (Syarief etal. 1989).

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan (Syarief dan Halid 1991).

Ideal temperatur untuk penyimpanan produk kering adalah pada suhu 0-10˚C (32-50˚F). Semakin rendah temperatur maka semakin panjang umur simpannya. Beberapa produk dapat disimpan beku pada -18˚C (0˚F) untuk satu tahun dan kondisinya masih bagus (ASEAN SCNCER 2003).

Produk pangan akan mengalami perubahan mutu setelah disimpan selama selang waktu tertentu. Perubahan mutu produk pangan disebabkan oleh 3 faktor, yaitu :

1. Fisika, misal : RH, suhu, sinar matahari, thawing, refreezing 2. Kimia, misal : reaksi enzimatis, oksidasi

3. Mikrobiologi, misal : E. coli, Aspergillus. Clostridium, Salmonella (Anonim 2009).


(30)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

1.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Bacillusthuringiensis

subsp. aizawai (Bta) yang diperoleh dari IPB culture collection (IPBCC). Substrat yang digunakan adalah ampas tahu dan limbah cair tahu yang diperoleh dari Industri Tahu Cibanteng. Kubis yang digunakan diperoleh dari pasar-pasar tradisional dan super market. Serta larva ulat Croccidolomia binotalis (ulat kubis) yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Mineral yang digunakan adalah MgSO4.7H2O, MnSO4. H2O,

ZnSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, CaCO3, dan urea. Bahan-bahan yang digunakan untuk

analisa adalah nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), HCl, NaOH, CH3COOH, H2SO4

pekat, fenol, garam fisiologis, etanol 95 %, aqua destilata, prostiker, plastik metalized, dan spiritus.

2.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi otoklaf, oven, lemari es, inkubator, rotary shaking incubator, neraca analitik, desikator, spektrofotometer, freeze dryer, loop inokulasi, tanur, dan alat-alat gelas lainnya seperti labu Erlenmeyer, fermentor (labu kocok 500 ml), tabung reaksi, tabung ulir, pipet, bunsen, cawan petri, cawan porselin, dan gelas piala.

B.

METODE PENELITIAN

1.

Penelitian Pendahuluan

a. Analisa Bahan Baku

Analisa ini bertujuan untuk mengetahui komposisi awal media yang digunakan, yaitu media sumber karbon dan nitrogen. Analisis media sumber karbon dan nitrogen meliputi analisa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat, dan kadar substrat (pati) sisa. Prosedur lengkap analisa dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis kimia ampas tahu dan limbah cair tahu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis kimia ampas tahu dan limbah cair tahu

Komponen

Kadar (% bobot bb) Kadar (%) Limbah ampas tahu Limbah cair tahu Urea*

Air 89.75 99.00 -

Abu 5.20 0.43 -

Protein 2.63 0.13 -

Nitrogen (N) 0.42 0.02 46.67

Karbon (C) 5.64 0.27 20.00


(31)

*

*)Berdasarkan perhitungan bobot molekul

Analisis awal media fermentasi bertujuan untuk mengetahui kadar karbon dan nitrogen yang digunakan dalam persiapan media fermentasi. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa ampas tahu dan limbah cair tahu telah mengandung senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme. Sehingga pada penelitian ini, ampas tahu dan limbah cair tahu dapat digunakan sebagai sumber karbon yang potensial pada media fermentasi Bt sebagai bioinsektisida.

Rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang diharapkan dalam penelitian ini adalah 7 : 1. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Wicaksono (2002) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan karbon dan nitrogen (C/N ratio) adalah 7 : 1. Namun rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 13.43 : 1. Sehingga perlu ditambahkan urea pada media sebanyak 2.07 g/l untuk memperoleh C/N ratio 7 : 1. Hasil perhitungan penambahan urea untuk memperoleh C/N ratio 7 : 1 dapat dilihat pada Lampiran 2.

b. Penyiapan Inokulum Bta

Inokulum (kultur bibit) fermentasi disiapkan secara bertahap mengikuti metode Vandekar dan Dulmage (1982). Diagram alir persiapan inokulum disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Alir Persiapan Inokulum

Tabel 4. Hasil analisis kimia ampas tahu dan limbah cair tahu (lanjutan)

Komponen

Kadar (% bobot bb) Kadar (%) Limbah ampas tahu Limbah cair tahu Urea*

Serat 2.21 0.01 -

Karbohidrat

by different 2.31 - -

Inokulum/Starter Satu loop biakan

Bta

Inokulasi pada 50 ml media NB dalam labu Erlenmeyer 250 ml (labu pembibitan 1)

Inkubasi dalam rotary shaking incubator 200 rpm, 30 0C, 12 jam

Kultur digunakan untuk menginokulasi labu pembibitan II (5 % (5 ml) dari volume media kedua (100 ml))


(32)

2.

Penelitian Utama

a. Penyiapan Media Fermentasi

Susunan media fermentasi yang akan dibuat dalam penelitian ini adalah ampas tahu 20% dan limbah cair tahu 80%. Jenis dan jumlah mineral yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971), yaitu 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0.02 g/l MnSO4. H2O, 0.02 g/l ZnSO4.7

H2O, 0.02 g/l FeSO4.7 H2O, dan 1.0 g/l CaCO3.

Persiapan media fermentasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: ampas tahu dan CaCO3 masing-masing dilarutkan dan disterilkan secara tersendiri.

Bahan-bahan media (ampas tahu, limbah cair tahu, urea dan mineral-mineral) dicampur diatas pemanas berpengaduk. Setelah itu didinginkan sampai ± 50 0C dan pH diatur hingga 7.2. Kemudian bahan-bahan media dibagi-bagi dalam beberapa labu Erlenmeyer. Ampas tahu + CaCO3 dan limbah cair tahu disterilkan dalam autoklaf

pada suhu 121 0C selama 15 menit. Setelah steril dan dingin, ampas tahu + CaCO3

dan limbah cair tahu dicampurkan menjadi satu sesuai formulasi yang ditentukan kemudian ditambahkan bahan-bahan lain secara aseptik.

b. Fermentasi

Fermentesi Bta dilakukan dengan kondisi fermentasi sebagai berikut : fermentasi dilakukan dalam labu Erlenmeyer 500 ml pada suhu 28 – 32 0C, volume media fermentasi 100 ml, diinkubasi menggunakan rotary shaking incubator dengan kecepatan 180 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 36 jam. Fermentasi dilakukan dua kali ulangan. Perlakuan pemberian stater pada media adalah 10 %.

Gambar 6. Inkubasi pada rotary shaking incubator

c. Pemanenan

Pemanenan campuran spora kristal (bahan aktif bioinsektisida) Bta dilakukan pada waktu akhir inkubasi (36 jam). Hasil pemanenan tersebut dilakukan sentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 17,000 rpm. Hasil sentrifugasi (filtrat dan padatan) disaring oleh kertas saring untuk menghasilkan padatan halus. Pada padatan halus diukur bobot biomassa kering, sedangkan pada filtrat dianalisis total gula sisa, dan efisiensi penggunaan substrat. Adapun diagram alir proses pemanenan dan formulasi produk ini dapat dilihat pada Gambar 8.


(33)

d. Formulasi Produk

Padatan hasil sentrifuse di freeze dryer. Sebelum dikeringbekukan (freeze drying), padatan hasil sentrifuse ditambah laktosa sebanyak 6 % dari total padatan hasil sentrifuse yang dihasilkan (Vandekar dan Dulmage 1982). Laktosa sebagai bahan pengisi (filler) sekaligus berfungsi untuk melindungi kristal protein.

e. Penyimpanan

Sebelum dilakukan tahap penyimpanan bioinsektisida Bta dikemas dengan plastik metalized berukuran 10 cm x 15 cm x 10 mm dengan bobot 0.01 gram bioinsektisida Bta per kemasan. Plastik tersebut kemudian direkatkan dengan alat

sealer.

Gambar 7. Bioinsektisida Bta dalam kemasan plastik metalized

Ada dua perlakuan penyimpanan yang diaplikasikan pada Bioinsektisida Bta

yaitu:

a. Bioinsektisida dikemas dengan kemasan plastik metalized.

b. Bioinsektisida yang telah dikemas kemudian disimpan dalam kulkas pada suhu 5°C dan dalam inkubator pada 2 (dua) suhu penyimpanan yang berbeda, yaitu suhu, suhu 25°C, dan suhu 35°C yang di dalamnya diberi wadah berisi air untuk menjaga kelembaban udara agar tetap tinggi.

Penyimpanan di masing-masing perlakuan dilakukan selama 1 bulan. Analisa terhadap sampel dilakukan sebanyak dua kali seminggu selama 1 bulan. Analisa dilakukan dengan tujuan mengetahui perubahan biologis selama penyimpanan. Kemudian dilakukan analisis jumlah spora hidup, toksisitas, dan potensi produk.

f. Analisa Produk Sebelum dan Setelah Penyimpanan

Pengujian produk Bta yang dilakukan adalah meliputi penentuan jumlah spora hidup (VSC) yang terkandung dalam produk bioinsektisida atau campuran spora-kristal hasil fermentasi dan pengujian toksisitas terhadap larva ulat

Croccidolomia binotalis (C. binotalis) yang dinyatakan dalam LC50 dengan metode bioassay. LC50 dapat ditentukan dengan menggunakan analisis probit program Probit Quant (software dari Steve Maund, University of Wales, College of Cardiff, Inggris). Hasil tertinggi dari program Probit tersebut merupakan produk terpilih yang akan dihitung harganya secara kasar. Pengujian dilakukan sebelum produk di


(34)

penyimpanan. Ringkasan proses produksi Bt sebagai bioinsektisida dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Ringkasan proses produksi Bt sebagai bioinsektisida Filtrat

LCT + trace element Ampas tahu

+ CaCO3

Inkubasi pada suhu 30 0 C selama 36 jam

Sterilisasi

Biakan Bta yang telah dinokulasi

Hasil Fermentasi

Sentrifugasi 15 menit, suhu 10 0C 17,000 rpm

Filtrasi dengan kertas saring

Padatan

di tambah Lactose dan dikeringkan pada freeze dryer pada suhu -45 0C, tekanan 0.145 mmHg

padatan asli dan dikeringkan pada freeze dryer pada suhu -45 0C, tekanan 0.145 mmHg

Diukur aktivitas bioinsektisida LC50, VSC, Potensi produk, dan Yield

Penyimpanan di freeze dryer suhu –45 0C, tekanan 0,145 mmHgdan suhu kamar 25 0C selama 1 bulan


(35)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

JUMLAH SPORA HIDUP (VSC)

Viable Spore Count (VSC) digunakan untuk menganalisa jumlah spora hidup yang terkandung di dalam campuran spora kristal. Pembentukan spora tergantung pada kondisi lingkungan kultur. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), bahwa pembentukan spora akan tumbuh pada lingkungan kultur yang tidak sesuai bagi sel. Hasil pengamatan jumlah spora hidup (VSC) sebelum dilakukan penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah spora hidup (VSC) setelah difermentasi dan di freeze drying

Perlakuan VSC (spora/mg)

Setelah Fermentasi 3.25 x 109

Setelah

Freeze drying

Tanpa Laktosa 9.25 x 107

Dengan Laktosa 1.45 x 108

Tabel 5. menunjukkan bahwa jumlah spora hidup (VSC) setelah pengeringan beku (freeze drying) mengalami penurunan, disebabkan oleh suhu yang rendah pada proses pengeringan beku dan terjadinya proses sublimasi. Tujuan pengeringan beku pada penelitian

ini adalah preservasi mikroorganisme, agar produk bionsektisida Bta dapat disimpan lebih

lama. Akan tetapi dalam prosesnya memang ada penurunan sejumlah mikroorganisme karena proses pembekuan.

Dari hasil penelitian (Tabel 5) dapat dikatakan bahwa sebelum di freeze drying

(pengeringan beku) VSC yang dihasilkan adalah 3.25 x 109 spora/mg, VSC yang dihasilkan

setelah di freeze drying tanpa pelindung adalah 9.25 x 107 spora/mg, sedangkan VSC yang

dihasilkan setelah di freezedrying dengan penambahan laktosa adalah 1.45 x 108 spora/mg.

Oleh karena itu fungsi laktosa adalah sebagai pelindung. Karena ketika proses kering beku (freeze drying), sel-sel (kristal protein) tidak terganggu oleh kristal es yang terbentuk pada saat proses pembekuan.

Pada pengeringan beku, produk tidak pernah bersentuhan dengan suhu tinggi dan struktur selularnya utuh karena dalam prosesnya air yang ada di dalam produk dibekukan terlebih dahulu dan dikeluarkan dengan proses sublimasi sehingga produk yang dihasilkan masih mempunyai volume, warna, dan aroma produk asli serta mempunyai rasio rehidrasi yang tinggi (Eshtiaghi et al., 1994).

B.

UJI TOKSISITAS BIOINSEKTISIDA Bta

Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) sebelum dilakukan penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai LC50 terkecil

didapat pada perlakuan setelah fermentasi, yaitu 0.22 mg/l. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai LC50 dari Bta yang difermentasi pula pada media ampas tahu dan limbah cair tahu,

yaitu sebesar 1.34 mg/l (Sarfat, 2010).

Dari Tabel 6 dapat dihitung rasio LC50 perlakuan contoh uji dengan Bactospeine sebagai

standar, dengan menggunakan rumus : Rasio aktivitas bioinsektisida :


(36)

Tabel 6. Perbandingan tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II), LC50 dan

potensi produk setelah di freeze drying untuk masing-masing perlakuan serta produk komersial.

Perlakuan Mortalitas (%) LC50 (mg/l)

10-4 10-5 10-6 10-7 10-8

Setelah Fermentasi 90 80 60 60 20 0.22

Setelah

Freeze drying

Tanpa Laktosa 100 85 70 45 10 0.25

Dengan Laktosa 100 85 70 45 10 0.25

Bactospeine 100 90 40 40 40 0.05

Produk bioinsektisida yang paling efektif adalah bioinsektisida dengan nilai LC50 yang

paling kecil, dengan rasio LC50 yang paling besar. Nilai rasio LC50 terbesar diberikan oleh

perlakuan setelah fermentasi tanpa pengeringan beku, yaitu sebesar 0,227 kali (22,7 %) dari produk Bactospeine. Kecilnya rasio/persentase ini disebabkan karena Bactospeine dan contoh uji tidak diketahui tingkat kekentalannya. Hal ini disebabkan karena produk Bactospeine yang digunakan sebagai standar adalah produk komersial yang telah mengalami pemurnian, sehingga konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan contoh uji. Selain itu, produk standar tersebut memiliki peluang adanya zat-zat impurities (pengotor), sehingga kemurniannya lebih tinggi daripada cairan kultur contoh uji. Walaupun tidak dilakukan pengujian dalam penelitian ini, namun hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Salamah (2002).

Dari tabel 5 dan 6 dapat disimpulkan bahwa nilai LC50, potensi produk dan tingkat

toksisitas produk bioinsektisida tidak berkorelasi positif terhadap nilai jumlah spora hidup (VSC) bioinsektisida yang dihasilkan. Tidak selamanya bioinsektisida yang memiliki banyak jumlah kristal protein seiring dengan banyaknya spora yang dikandungnya. Hal ini disebabkan oleh adanya zat-zat impurities yang terbawa selama proses fermentasi karena produk bioinsektisida mempunyai tingkat impurities yang tinggi. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugrahani (2005) pada Bt subsp. kurstaki, Rahayuningsih (2003) pada Bt subsp.israelensis, dan Morris et al. (1996) pada Bt subsp. aizawai.

Menurut Dulmage dan Rhodes (1971) toksisitas spora Bt terhadap serangga target dipengaruhi oleh strain bakteri dan keadaan serangga target. Pada penelitian ini strain yang digunakan adalah Bt subsp. aizawai (Bta) sedangkan strain pada Bactospeine yang digunakan sebagai standar adalah Bt subsp. kurstaki (Btk). Struktur kristal yang berbeda untuk setiap strain Bt berpengaruh pada toksisitas spora yang dihasilkan oleh sel Bt. Salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan oleh serangga (Burgerjon dan Martouret 1971). Selain itu, ukuran molekul protein yang menyusun kristal (Burgerjon dan Martouret 1971) serta susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal protein (Tyrell et al. 1981) juga mempengaruhi toksisitas bioinsektisida.

C. PENURUNAN MUTU PADA BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

(Bta)

Selama penyimpanan di berbagai suhu, produk mengalami perubahan mutu seperti tekstur, bentuk, dan warna. Parameter perubahan mutu yang diamati pada penelitian ini antara


(37)

lain VSC (jumlah spora hidup), penurunan toksisitas, dan potensi produk. Pengemasan juga memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil pertanian. Fungsi utama dari pengemasan antara lain menjaga produk akibat kontaminasi dari pengaruh lingkungan, melindungi produk terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air dan cahaya, mempunyai fungsi yang baik, efisien, dan ekonomis serta mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup serta memudahkan dalam tahap penanganan, pengangkutan, dan distribusi.

1. VSC (Jumlah Spora Hidup)

VSC pada bioinsektisida Bta mengalami perubahan selama penyimpanan. Gambar 9 dan 10 menunjukkan perubahan VSC (jumlah spora hidup) pada bioinsektisida Btayang dikemas dengan plastik metalized pada suhu 5 oC, 25 oC, dan 35 oC selama 1 bulan. Data selengkapnya dapat dilihat padaLampiran 4.

Gambar 9. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC untuk produk freeze tanpa penambahan laktosa.

Gambar 10. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC untuk produk freeze dengan penambahan laktosa.

Dari Gambar 9 dan 10 dapat diketahui bahwa dari waktu kultivasi 36 jam, untuk perlakuan freeze drying baik dengan penambahan laktosa maupun tidak, log VSC tertinggi adalah yang disimpan pada suhu 5oC berturut-turut yaitu 7.65 spora/mg dan 7.47spora/mg.


(38)

air yang disublimasi sehingga peluang spora hidup yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan produk yang disimpan pada suhu 25oC, dan 35oC.

Semakin rendah suhu pengeringan beku, maka tekanan udara makin hampa sehingga

air yang disublimasi lebih banyak. Bioinsektisida Bta dengan perlakuan pengeringan suhu

paling rendah (5oC) dan waktu pengeringan lebih lama akan mengeluarkan air lebih banyak

dibandingkan dengan perlakuan lainnya (25oC, dan 35oC), sehingga kemampuan menyerap

air pada proses rehidrasi lebih besar pula. Hal diperkuat oleh pendapat Astuti (2009) yang menyatakan bahwa semakin besar nilai rasio rehidrasi, kemampuan produk kering menyerap air makin besar, tingkat elastisitas dinding sel makin baik dan sebaliknya. Karena efisiensi rehidrasi yang besar sangat diharapkan pada produk kering.

Gambar 11. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC pada suhu 5 oC.

Gambar 12. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta


(39)

Gambar 13. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan log VSC pada suhu 35 oC.

Gambar 11, 12, dan 13 menunjukkan bahwa laju penurunan log VSC (jumlah spora hidup) pada produk bioinsekstisida Bta dengan perlakuan freeze tanpa penambaha laktosa mengalami laju penurunan log VSC yang lebih tinggi dibandingkan pada produk freeze

dengan penambahan laktosa. Hal ini membuktikan dengan adanya penambahan laktosa maka jumlah spora yang hidup semakin meningkat sehingga semakin tingginya potensi produk bioinsektisida Bta yang dihasilkan.

2. Pengaruh Suhu terhadap Potensi Produk Bta dan Penurunan Toksisitas

Nilai LC50 dan potensi produk pada bioinsektisida Btamengalami perubahan selama

penyimpanan. Pada Gambar 14, 15, 16, dan 17 dapat dilihat perubahan Nilai LC50 dan

potensi produk pada bioinsektisida Bta yang dikemas dengan plastik metalized pada suhu 5

o

C, 25 oC, dan 35 oC selama 1 bulan. Data selengkapanya dapat dilihat padaLampiran 3.

Gambar 14. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta


(40)

Gambar 15. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta

dengan LC50 untuk produk freeze dengan penambahan laktosa.

Gambar 16. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta

dengan potensi produk pada produk freeze tanpa penambahan laktosa.

Gambar 17. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk freeze dengan penambahan laktosa.

Gambar 14, 15, 16 dan 17 menujukkan bahwa suhu penyimpanan sangat mempengaruhi laju peningkatan LC50 dan penurunan potensi produk bioinsektisida Bta

yang dihasilkan. Semakin rendah suhu pada pengeringan beku maka akan semakin rendah air yang disublimasi sehingga peluang spora pada produk yang dimpan pada suhu 5oC hidup yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan produk yang disimpan pada suhu 25oC, dan 35oC. Hal ini didukung pula oleh Vandekar dan Dulmage (1982) yang menyatakan


(41)

bahwa semakin kecil nilai LC50 maka semakin tinggi tingkat toksisitasnya dan akan

semakin tinggi mutu produk bioinsektisida yang dihasilkan.

3. Pengaruh Filler (Laktosa) terhadap Penurunan Toksisitas dan Potensi Produk Bta

Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan LC50 (mg/l) pada

masing-masing suhu penyimpanan untuk produk freeze tanpa penambahan laktosa dan freze

dengan penambahan laktosa dapat dilihat pada Gambar 18, 19, dan 20. Sedangkan grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan potensi produk (IU/mg) pada masing-masing suhu penyimpanan untuk produk freeze tanpa penambahan laktosa dan freze laktosa dapat dilihat pada Gambar 21, 22, dan 23.

Gambar 18. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC50

pada suhu 5 oC.

Gambar 19. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC50 pada suhu 25 oC.


(42)

Gambar 20. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan LC50 pada suhu 35 oC.

Gambar 21. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk pada suhu 5 oC.

Gambar 22. Grafik hubungan antara lama penyimpanan bioinsektisida Bta dengan potensi produk pada suhu 25 oC.


(1)

Ket :

a = jumlah mg glukosa, fruktosa, gula invert (C6H12O6) p = faktor pengenceran

i. Pengamatan Jumlah Spora Hidup Dalam Produk (Viable Spore Count/VSC) (Ahdianto, 2006)

Prosedur penentuan jumlah spora hidup dalam produk bioinsektisida adalah sebagai berikut :

1 mg serbuk spora Kristal/produk

Pelarutan ke dalam 1 ml larutan garam fisiologis

Pemanasan pada suhu 70

0

C selama 15 menit

Pembuatan sederetan pengenceran

50 µl dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada media agar

Inkubasi pada suhu 30

0

C selama 24 jam

Penghitungan jumlah koloni

Kadar pati (%) = a x 0.9 x p x 100 %


(2)

j. Penentuan aktivitas bioinsektisida (Bioassay) (Ahdianto, 2006)

Penentuan aktivitas bioinsektisida (Bioassay) dikerjakan mengikuti prosedur sebagai berikut :

1 g serbuk spora Kristal dari tiap-tiap perlakuan

Pelarutan ke dalam 1 L air suling yang diberi

Agristick

0.06 %

Pembuatan sederetan pengenceran

Pemotongan daun kubis

Perendaman di dalam suspense spora Kristal selama 1 menit

Dikering anginkan

Pengambilan larva ulat (10 larva ulat dalam satu cawan petri)

Pemberian makan daun kubis yang telah diberi perlakuan


(3)

Lampiran 2. Perhitungan Susunan Media Kultivasi

Berikut perhitungan total penambahan urea pada beberapa perbedaan perbandingan substrat ampas tahu dan limbah cair tahu dengan berbasiskan pada rasio C/N adalah 7/1.

¾ Media A (ampas tahu 20 % dan limbah cair tahu 80 %) C = 7 N

C Ampas T + C Air T + C Urea = 7(N Ampas T + N Air T + N Urea)

5.639% (20 g) + 0.273% (80 g) + 20% Urea = 7(0.42% (20 g) + 0.022% (80 g) + 46.667% Urea) 1.1278 + 0.2185 + 0.2 Urea = 7(0.084 + 0.0176 + 0.4667 Urea)

1.3463 + 0.2 Urea = 0.7112 + 3.2669 Urea 0.6731 – 0.3556 = 3.2669 Urea – 0.2 Urea

0.6351 g = 3.0669 Urea


(4)

Lampiran 3. Data Bioassay (LC50) dan Potensi Produk bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Hari ke-

Freeze tanpa laktosa

5oC 25oC 35oC

LC50 (mg/l) Potensi Produk (IU/mg) LC50 (mg/l) Potensi Produk (IU/mg) LC50 (mg/l) Potensi Produk (IU/mg)

0 0.25 3,200.00 0.25 3,200.00 0.25 3,200.00

1 0.29 2,758.62 0.48 1,666.67 0.32 2,500.00

16 0.46 1,739.13 0.75 1,066.67 1.89 423.28

30 0.75 1,066.67 2.62 305.34 4.46 179.37

Hari ke-

Freeze dengan Laktosa

5oC 25oC 35oC

LC50 (mg/l) Potensi Produk (IU/mg) LC50 (mg/l) Potensi Produk (IU/mg) LC50 (mg/l) Potensi Produk (IU/mg)

0 0.25 3,200.00 0.25 3,200.00 0.25 3,200.00

1 0.26 3,076.92 0.28 2,857.14 0.32 2,500.00

16 0.30 2,666.67 0.48 1,666.67 0.75 1,066.67


(5)

Lampiran 4. Data log VSC bioinsektisida Bt subsp. Aizawai

Hari ke-

Log VSC tanpa penambahan laktosa(spora/mg) pada suhu :

5oC 25oC 35oC

1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata

0 8,01 7,91 7,96 8,01 7,91 7,96 8,01 7,91 7,96

2 7,51 7,43 7,47 7,15 7,61 7,38 7,18 6,95 7,07

6 7,11 7,48 7,30 7,41 7,48 7,45 7,08 6,90 6,99

18 7,30 7,18 7,24 7,00 7,04 7,02 6,00 7,11 6,56

26 7,20 7,18 7,19 6,95 6,48 6,72 6,00 6,48 6,24

30 7,18 6,00 6,59 7,00 6,00 6,50 6,00 6,3 6,15

Hari ke-

Log VSC dengan penambahan laktosa (spora/mg) pada suhu :

5oC 25oC 35oC

1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata

0 8,05 8,25 8,15 8,05 8,25 8,15 8,05 8,25 8,15

2 7,69 7,60 7,65 7,58 7,64 7,61 7,48 7,64 7,56

6 7,63 7,41 7,52 7,62 7,41 7,52 7,40 7,48 7,44

18 7,34 7,58 7,46 7,57 7,28 7,43 6,00 7,48 6,74

26 7,34 7,18 7,26 7,04 6,48 6,76 6,78 6,48 6,63

30 7,04 6,85 6,95 7,15 6,00 6,58 7,00 6,00 6,50

VSC (spora/mg biomassa kering)

Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Setelah Fermentasi 5.2 x 109 1.3x 109 3.25 x 109 Setelah

Freeze drying

Tanpa Laktosa 1.03 x 108 8.20 x 107 9.25 x 107 Dengan Laktosa 1.12 x 108 1.79 x 108 1.45 x 108

 

 


(6)

Lampiran 5. Contoh Penentuan LC50 Menggunakan Program Probit Quant

Freeze tanpa penambahan laktosa, Hari ke-0

conc obs.corr. expected O-E cont.chi-sq 100.0000 99.11 97.38 1.73 .0117790 10.0000 85.00 88.08 3.08 .0090370 1.0000 70.00 66.22 3.78 .0063718 .1000 45.00 36.63 8.37 .0302168 .0100 10.00 13.52 3.52 .0105908 tot. chi-sq = .6800

chi-sq @ 95% = 7.8147 chi-sq @ 99% = 11.3449

The fitted line is log conc.= a + b(probit) where : a = 5.50 b = .85

The correlation coefficient of the initial line is .9814 LC50 fLC50 +95% CL -95% CL .25 5.34 1.35 .05

S fS +95% CL -95% CL 14.95 .21 3.13 71.35

(LC50 = 0,25) : Artinya, untuk mematikan 50 % dari total serangga yang ada dibutuhkan konsentrasi toksin dalam larutan bioinsektisida sebanyak 0,25 mg/l.