Aplikasi Minyak Daun Cengkih dan Minyak Serai Wangi sebagai Bahan Aktif Antiserangga Alami

(1)

APLIKASI MINYAK DAUN CENGKIH

DAN MINYAK SERAI WANGI SEBAGAI BAHAN AKTIF

ANTISERANGGA ALAMI

SKRIPSI

NUNUNG NURIYAH

F34070014

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

APPLICATION OF CLOVE LEAF OIL AND CITRONELLA OIL

AS AN ACTIVE INGREDIENT IN NATURAL INSECT REPELLENT

Meika Syahbana Rusli And Nunung Nuriyah

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia

email: arnurisy@yahoo.co.id

ABSTRACT

Insect repellent formula with active ingredient of clove leaf oil and citronella oil has been determined by trial and error method. The formula consists of the active ingredient, rose water, vaseline, distilled water, and tween 80. Parameter tested were emulsion stability test, efficacy test and hedonic test.

The results showed that the effectiveness of repellent with active ingredient clove leaf oil and citronella oil is low, but the odor accepted by panelists. Efficacy test showed that the concentration of active ingredient of 2.5%, 5% and 7.5% respectively paralyze flies 0-15% and paralyze mosquitos 8-33%. The higher concentration of active ingredients, causing the higer paralysis percentage of flies and mosquitoes. Hedonic test showed that the formula which contain 5% active ingredient mixture of clove leaf oil and citronella oil has the highest level of preference, by which 77% of panelists accept the formula odor.


(3)

HUHUHG HURIYAH. F34070014. Aplikasi Minyak Daun Cengkih dan Minyak Serai Wangi Sebagai Bahan Aktif Antiserangga Alami. Di bawah bimbingan Meika Syahbana Rusli. 2011.

RIHGKASAH

Insektisida rumah tangga yang beredar di pasaran mengandung bahan aktif kimia sintetik yang berpotensi mengganggu kesehatan. Umumnya jenis bahan aktif tersebut merupakan senyawa piretroid sintetik yang secara akut menimbulkan gangguan saraf, dan secara kronis berpotensi menimbulkan penyakit kanker. Selain itu, gaya hidup “ kembali ke alam ” dan maraknya isu global terkait peduli lingkungan, meningkatkan preferensi konsumen terhadap produk alami. Minyak daun cengkih dan minyak serai wangi termasuk pestisida yang memiliki risiko minimum terhadap manusia, hewan, dan lingkungan, serta termasuk bahan GRAS (generally recognized as safe). Hal ini didukung oleh jumlah produksi minyak daun cengkih Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2,457 ton dan minyak serai wangi mencapai 246 ton. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan produk minyak daun cengkih dan minyak serai wangi sebagai bahan aktif antiserangga (antilalat dan antinyamuk).

Penelitian ini dilakukan dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan mempersiapkan formula antiserangga alami. Penelitian utama meliputi uji efikasi dan uji hedonik. Uji efikasi bertujuan mengetahui efektivitas antiserangga dalam melumpuhkan lalat dan nyamuk. Uji hedonik bertujuan mengetahui penerimaan atau tingkat kesukaan konsumen terhadap aroma formula antiserangga.

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan cara trial and error formulasi hingga formula yang dibuat memiliki stabilitas emulsi yang mendekati stabilitas emulsi produk pembanding. Berdasarkan trial and error yang telah dilakukan, formula antiserangga terdiri atas bahan aktif, air mawar, tween 80, vaselin, dan pewangi melati. Air mawar digunakan sebagai bahan pembawa, tween 80 sebagai pengemulsi, vaselin sebagai propellant dan bahan anti busa. Perbandingan tween 80 dengan minyak atsiri adalah 1:1, perbandingan vaselin dengan tween 80 adalah 1: 14.6, dan pewangi melati sebanyak 1%. Adapun teknik emulsifikasi yang dilakukan adalah dengan penambahan air mawar sedikit demi sedikit ke dalam campuran bahan lainnya sekitar 50ml/4 menit menggunakan buret.

Uji efikasi dilakukan terhadap lalat dan nyamuk. Efektivitas antiserangga dalam melumpuhkan lalat pada konsentrasi 2.5%, 5% dan 7.5% dengan bahan aktif minyak daun cengkih adalah 0%, 3%, 13%, dengan bahan aktif minyak serai wangi adalah 0%, 2%, 15%, dan dengan bahan aktif campuran kedua minyak tersebut adalah 0%, 2%, 13%. Efektivitas antiserangga dalam melumpuhkan nyamuk pada konsentrasi 2.5%, 5% dan 7.5% dengan bahan aktif minyak daun cengkih adalah 10%, 18%, dan 33%, dengan bahan aktif minyak serai wangi adalah 10%, 17%, 32%, dan dengan bahan aktif campuran kedua minyak tersebut adalah 8%, 18%, 32%. Dengan demikian, semakin tinggi konsentrasi, maka kelumpuhan lalat dan nyamuk semakin meningkat.

Hasil analisis sidik ragam menggunakan rancangan acak lengkap menunjukan bahwa perbedaan jenis bahan aktif tidak berpengaruh signifikan terhadap kelumpuhan lalat dan nyamuk. Perbedaan konsentrasi bahan aktif memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelumpuhan lalat dan nyamuk. Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa konsentrasi 2.5% dan 5% memberikan pengaruh yang sama terhadap kelumpuhan lalat dan nyamuk, tapi pada konsentrasi 7.5% pengaruhnya berbeda dengan semua perlakuan konsentrasi, kecuali antiserangga berbahan aktif minyak daun cengkih. Perbedaan setiap tingkat konsentrasi minyak daun cengkih memberikan pengaruh yang berbeda satu sama lain terhadap kelumpuhan nyamuk. Adapun formula yang paling tinggi tingkat kesukaannya dan diterima oleh 77% panelis adalah formula dengan bahan aktif campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi (1:1) pada konsentrai 5%.


(4)

APLIKASI MINYAK DAUN CENGKIH

DAN MINYAK SERAI WANGI SEBAGAI BAHAN AKTIF

ANTISERANGGA ALAMI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

NUNUNG NURIYAH

F34070014

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

Judul Skripsi : Aplikasi Minyak Daun Cengkih dan Minyak Serai Wangi sebagai

Bahan Aktif Antiserangga Alami

Hama

: Hunung Huriyah

HIM

: F34070014

Menyetujui,

Pembimbing,

(Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M. Sc. Agr)

HIP. 19620505 198903 1 027

Mengetahui,

Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Hastiti Siswi Indrasti)

HIP. 19621009 198903 2 001


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Aplikasi Minyak Daun Cengkih dan Minyak Serai Wangi sebagai Bahan Aktif Antiserangga Alami adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan

Hunung Huriyah F34070014


(7)

©Hak cipta milik Hunung Huriyah, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(8)

BIODATA PENULIS

Hunung Nuriyah dilahirkan di Tasikmalaya pada 15 November 1989 sebagai anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Haerudin dan Epon Fatimah. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Cirahayu (1995-2001), dan melanjutkan ke MTs Negeri Sukamanah (2001-2004). Pada Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ciawi Tasikmalaya dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mengambil pilihan mayor Teknologi Industri Pertanian. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Bioproses. Selain menjalani aktivitas akademik, penulis juga mengikuti kepanitiaan, dan kompetisi. Pada tahun 2010 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Gagasan Tertulis yang mendapatkan insentif dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI). Penulis pernah menjadi finalis dalam lomba karya tulis tentang minyak atsiri pada tahun 2010. Selain itu, penulis melaksanakan program praktik lapangan di PT. Indesso Aroma dengan judul “ Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Metil Isoeugenol di PT. Indesso Aroma “. Pada masa akhir perkuliahan penulis memperoleh beasiswa Program Peningkatan Akademik dari IPB.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya berkat karuniaNya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Aplikasi Minyak Daun Cengkih dan Minyak Serai Wangi sebagai Bahan Aktif Antiserangga Alami’. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M. Sc. Agr. selaku dosen pembimbing yang sudah memberikan arahan, dan bimbingan kepada penulis.

2. Orang tua, paman dan keluarga yang selalu memberikan motivasi, doa dan dukungan yang tulus kepada penulis.

3. Sahabatku Cia, Nita, Ratih, Chaca, Ghilda, Esi, Eci, dan teman-teman TIN 44 semuanya yang selalu saling menyemangati, membantu, dan mendoakan penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kritik yang membangun sangat diharapkan untuk penulisan selanjutnya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Insektisida Alami ... 3

2.2 Minyak Daun Cengkih... 3

2.3 Minyak Serai Wangi ... 4

2.4 Minyak Daun Cengkih sebagai Antiserangga ... 5

2.5 Minyak Serai Wangi sebagai Antiserangga ... 5

2.6 Nyamuk Aedes Aegypti dan Lalat... 6

2.7 Formula Antiserangga ... 7

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 9

3.2 Alat dan Bahan ... 9

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Formulasi Antiserangga Alami ... 9

3.3.2 Efektivitas dan Penerimaan Antiserangga Alami ... 12

3.4 Analisis Data ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Formula Antiserangga Alami 4.1.1 Penentuan Bahan Pembawa dan Bahan Pewangi ... 17

4.1.2 Penentuan Bahan Pengemulsi ... 17

4.1.3 Penentuan Konsentrasi Tween 80 ... 19

4.1.4 Emulsifikasi dengan Cara Sonikasi ... 20

4.1.5 Emulsifikasi dengan Cara Memperpanjang Waktu Pengadukan ... 21

4.1.6 Penggantian Bahan Tambahan pada Formula Antiserangga Alami ... 22

4.1.7 Emulsifikasi dengan Cara Penambahan Fasa Air Sedikit Demi Sedikit ... 22

4.2 Efektivitas dan Penerimaan Antiserangga Alami 4.2.1 Uji Efikasi Lalat ... 25


(11)

4.2.3 Uji Hedonik... 29

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 32

5.2 Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komponen minyak serai wangi ... … 4 Tabel 2. Komposisi bahan pada tahap penentuan bahan pengemulsi ... … 11 Tabel 3. Komposisi bahan dalam formula dengan perlakuan perbedaan konsentrasi tween 80 11 Tabel 4. Komposisi bahan formula antiserangga alami ... …. 12 Tabel 5. Komposisi bahan dalam formula antiserangga alami yang diujikan di penelitian


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur kimia eugenol ... 4

Gambar 2. Struktur kimia geraniol (a), sitronelal (b) dan sitronelol (c) ... 5

Gambar 3. Ruang lingkup penelitian ... 10

Gambar 4. Diagram alir pembuatan formula antiserangga alami ... 13

Gambar 5. Stabilitas emulsi kontrol positif atau produk pembanding (Mortein) ... 18

Gambar 6. Stabilitas emulsi formula antiserangga dalam penentuan jenis bahan pengemulsi ... 18

Gambar 7. Stabilitas emulsi formula antiserangga alami dengan perlakuan perbedaan konsentrasi tween 80 ... 20

Gambar 8. Apungan minyak pada formula dengan emulsifikasi melalui proses sonikasi ... 20

Gambar 9. Stabilitas emulsi dengan perlakuan perbedaan lama waktu pengadukan ... 21

Gambar 10. Penggumpalan asam stearat ... 22

Gambar 11. Bentuk bekas semprotan Mortein (a), formula dengan vaselin (b), dan formula tanpa vaselin (c) ... 23

Gambar 12. Stabilitas emulsi formula dengan teknik penambahan air mawar sedikit demi sedikit ... 24

Gambar 13. Efektivitas formula antiserangga alami dalam melumpuhkan lalat ... 25

Gambar 14. Efektivitas antiserangga alami dalam melumpuhkan nyamuk Aedes Aegypti ... 27

Gambar 15. Persentase nyamuk yang mati dan pingsan dengan bahan aktif minyak daun cengkih... 27

Gambar 16. Persentase nyamuk yang mati dan pingsan dengan bahan aktif minyak serai wangi ... 27

Gambar 17. Persentase nyamuk yang mati dan pingsan dengan bahan aktif campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi ... 28

Gambar 18. Tingkat kesukaan aroma mortein ... 29

Gambar 19. Tingkat kesukaan aroma dengan bahan aktif minyak daun cengkih ... 29

Gambar 20. Tingkat kesukaan aroma dengan bahan aktif minyak serai wangi ... 30

Gambar 21. Tingkat kesukaan aroma dengan bahan aktif campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi ... 30


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Perhitungan jumlah semprotan standar ... 38

Lampiran 2. Formulir uji hedonik ... 38

Lampiran 3. Data stabilitas emulsi peroduk pembanding (Mortein) ... 39

Lampiran 4. Data stabilitas emulsi formula pada uji coba penentuan jenis bahan ... pengemulsi... 39

Lampiran 5. Data stabilitas emulsi formula pada uji coba penentuan konsentrasi tween 80 ... 40

Lampiran 6. Data stabilitas emulsi dengan perlakuan lama pengadukan ... 40

Lampiran 7. Data stabilitas emulsi dengan cara penambahan air mawar sedikit demi sedikit ... 41

Lampiran 8. Rata-rata kelumpuhan lalat dan nyamuk pada uji efikasi ... 41

Lampiran 9. Data hasil uji efikasi lalat ... 42

Lampiran 10. Analisis sidik ragam uji efikasi lalat ... 44

Lampiran 11. Data hasil uji efikasi nyamuk ... 46

Lampiran 12. Analisis sidik ragam uji efikasi nyamuk ... 48

Lampiran 13. Data hasil uji hedonik ... 50


(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Insektisida rumah tangga yang beredar di pasaran mengandung bahan aktif kimia sintetik yang berpotensi mengganggu kesehatan. Contohnya adalah permetrin, imiprotrin, praletrin, d-aletrin, transflutrin, tetrametrin dan propoksur. Menurut United State Environmental Protection Agency (US

EPA) (1977), permetrin adalah jenis insektisida piretroid sintetik dan diklasifikasikan ke dalam bahan yang mungkin karsinogenik, karena menyebabkan kanker terhadap hewan uji di laboratorium. Imiprotrin menurut US EPA (1998) juga termasuk jenis piretroid sintetik. Paparan akut pada tikus menyebabkan gangguan saraf. Menurut Pesticide Action Network North America (PANNA) (2010),

praletrin pun termasuk piretroid sintetik yang dapat menyebabkan iritasi kulit dan mata, kesemutan, mati rasa, pusing, diare, air liur berlebihan, cairan paru-paru mengembang, otot berkedut dan kejang.

World Health Organization (WHO) (2002), menyatakan bahwapraletrin menyebabkan mutagenesis

terhadap sel ovarium hamster cina. Pogoda et al. (1997) mengungkapkan bahwa ada hubungan kuat

antara kanker otak pada anak dengan piretroid (permetrin, tetrametrin, aletrin) yang digunakan untuk membunuh kutu. Garey et al. (1998) diacu dalam Wilson dan Sugg (2003), d-trans aletrin dan

permetrin berkontribusi dalam disfungsi sistem reproduksi, gangguan mental dan kanker. Menurut PANNA (1997) transflutrin menyebabkan hipertropi hati (peningkatan ukuran sel), degenerasi tubulus proksimal dan karsinoma (tumor). California EPA (1997) dalam dokumen karakterisasi risiko Baygon®, menyatakan bahwa propoksur adalah insektisida jenis karbamat. Paparannya dapat menghambat aktivitas kolinesterase dan menyebabkan kanker pada jaringan epitel kandung kemih tikus, sehingga propoksur berpotensi menyebabkan efek yang sama pada manusia.

Ancaman bahan aktif kimia sintetik terhadap kesehatan manusia tersebut, memberi peluang untuk pengembangan produk insektisida yang lebih aman. Selain itu, gaya hidup “ kembali ke alam ” dan maraknya isu global terkait peduli lingkungan, meningkatkan preferensi konsumen terhadap produk alami dan ramah lingkungan.

Minyak atsiri serai wangi pada tahun 1948 dan minyak cengkih pada tahun 1972, telah terdaftar di US EPA sebagai bahan aktif antiserangga. Keduanya termasuk pestisida yang memiliki risiko minimum baik terhadap manusia, hewan, maupun lingkungan. Hal ini didukung oleh Kegley S

et al. (2008) yang menyatakan bahwa Food Drug Assotiation mengategorikan minyak atsiri tersebut

sebagai bahan GRAS (generally recognized as safe). Selain itu, ketersediaan bahan baku kedua

minyak atsiri tersebut cukup besar dan harganya relatif lebih murah. Menurut Dewan Atsiri Indonesia (DAI), pada tahun 2010 jumlah produksi minyak daun cengkih mencapai 2,457 ton. Jumlah produksi minyak serai wangi mencapai 246 ton. Harga minyak daun cengkih pada tanggal 27 Mei 2011 adalah Rp 110,000-120,000/kg, dan minyak serai wangi Rp 120,000-145,000/kg. Oleh karena itu, pengembangan produk kedua minyak atsiri tersebut perlu dilakukan, yakni diolah menjadi insektisida rumah tangga alami yang aplikasinya disemprot seperti produk komersil lainnya.

Serangga yang menjadi sasaran insektisida rumah tangga yang beredar di pasaran adalah nyamuk, lalat, semut dan kecoa. Umumnya yang paling mengganggu aktivitas sehari-hari adalah nyamuk dan lalat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas minyak daun cengkih dan minyak serai wangi sebagai antinyamuk dan antilalat.


(16)

1.1

Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas minyak daun cengkih dan minyak serai wangi sebagai antiserangga alami. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Membandingkan efektivitas minyak serai wangi dan minyak daun cengkih dalam melumpuhkan nyamuk dan lalat.

2. Mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi bahan aktif minyak serai wangi dan minyak daun cengkih dalam melumpuhkan nyamuk dan lalat.


(17)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Insektisida Alami

Definisi insektisida menurut US EPA (United State Environmental Protection Agency) yaitu

pestisida yang targetnya adalah serangga. Adapun pestisida yaitu zat atau campuran zat yang dimaksudkan untuk mencegah, menghancurkan, memukul mundur, atau mengurangi hama apapun.

Minyak daun cengkih dan minyak serai wangi tergolong insektisida nabati. Menurut Kardinan (2002), insektisida nabati mudah terurai di alam (biodegradable), sehingga tidak mencemari

lingkungan, relatif aman bagi manusia dan hewan. Contoh insektisida nabati adalah tanaman cengkih yang mengandung eugenol dan serai yang mengandung senyawa sitronelal. Rizal (2008) menyatakan bahwa minyak cengkih bermanfaat sebagai insektisida terhadap nyamuk Culex sp. Serai wangi

bermanfaat sebagai insektisida penolak nyamuk Culex sp. dan Aedes aegypti.

Menurut Djojosumarto (2000), pengendalian serangga terbang, dapat dilakukan dengan insektisida semprot yang mengandung racun pernapasan atau racun kontak. Serangga sasaran akan mati bila menghirup insektisida yang mengandung racun pernafasan dalam jumlah yang cukup. Adapun racun kontak menyebabkan kematian serangga karena kontak langsung dengan insektisida melalui kulit (jaringan epidermis).

Harris (1987) menyatakan bahwa sitronela bersifat racun dehidrasi (desiscant) saat kontak

dengan serangga dan mati akibat kehilangan cairan terus menerus. Selain itu, Wilbraham dan Matta (1992) diacu dalam Iffah et al. (2007), menyatakan bahwa minyak cengkih juga mengandung senyawa

racun kontak, yaitu eugenol (senyawa fenol) yang mudah terserap kulit. Menurut Huang et al. (2001),

eugenol, isoeugenol, dan metil eugenol bersifat racun kontak terhadap serangga Sitophilus zeamais dan Tribolium castaneum. Hal ini didukung oleh pendapat Hart (1990) yang menyatakan bahwa eugenol merupakan senyawa fenol yang memiliki gugus alkohol sehingga dapat melemahkan dan mengganggu sistem saraf. Mutchler (1991) diacu dalam Setyaningrum (2007) menerangkan bahwa mekanisme kerja racun kontak sitronela adalah menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga terjadi fosforilasi asam amino serin pada pusat asteratik enzim bersangkutan. Gejala keracunannya timbul karena adanya penimbunan asetilkolin yang menyebabkan gangguan sistem saraf pusat, kejang, kelumpuhan pernafasan, dan kematian.

2.2 Minyak Daun Cengkih

Minyak daun cengkih diperoleh dari penyulingan daun cengkih yang umumnya menggunakan metode distilasi uap dan air. Rendemen minyak daun cengkih yang dihasilkan sebesar 1.73% dan komponen kimianya didominasi oleh eugenol yang berkisar 80-88 % (Nuryoto et al. 2011). Adapun

menurut Ketaren (1985) kandungan eugenol berkisar 70-93%. Rata-rata rendemen minyak daun cengkih di kalangan petani menurut Hernando (1987) adalah 1.37%, menurut Yuhono dan Suhirman (2006) adalah 1.5-3.1% dan menurut Widyatmoko (1986) adalah 1.45%. Selain itu, komponen kimia lain yang terkandung dalam minyak cengkih menurut Ketaren (1990) adalah betakariofilen, metil salisilat, metil eugenol, cis-isoeugenol, trans-isoeugenol, eugenol asetat, metil n-amil keton, seskuiterpenol dan naftalena.

Eugenol merupakan komponen utama minyak daun cengkih dengan rumus molekul C10H12O2..


(18)

menjadi coklat kehitaman (Wiratno 2010). Eugenol memiliki karakteristik senyawa fenol yang stabil, yang struktur kimianya ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia eugenol (Sastrohamidjojo 2004)

2.3

Minyak Serai Wangi

Minyak serai wangi dapat diperoleh melalui proses distilasi uap. Rendemen minyak serai wangi menurut Pandia et al. (2008) adalah 0.94% dengan kadar sitronelal 44.59%. Adapun menurut Sastrohamidjojo (2004), rendemen minyak serai wangi dengan distilasi uap adalah 0.33% dengan kandungan geraniol 39.9% dan hasil distilasi air adalah 0.32% dengan kandungan geraniol 33.7%.

Minyak serai wangi mengandung persenyawaan aldehid yaitu sitronelal dan persenyawaan alkohol yaitu geraniol. Minyak serai wangi jawa mengandung geraniol, d-sitronelol dan sitronelal hingga 36%, sitral 0.2%, dan sisanya adalah senyawa isovaleraldehid, metil neptenon, d-sitronelal, isoamil alkohol, nerol, borneol, eugenol, geranil asetat, sitronelil asetat, sitronelil butirat, metil eugenol, disitroneloksida, alkohol-alkohol sekuiterpen, dipenten, campuran rasemik dan l-limonen, serta seskuisitronelal (Ketaren 1986).

Komposisi komponen kimia minyak serai wangi ditunjukkan oleh Tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Komponen minyak serai wangi

Komponen minyak serai wangi Kadar (%)

Sitronelal 32 – 45

Geraniol 12 – 18

Sitronelol 12 – 15

Geraniol asetat 3 – 8

Sitronelil asetat 2 – 4

L – limonen 2 – 5

Elemol & seskuiiterpen lain 2 – 5

Elemen & kadinen 2 – 5

Sumber : Ketaren 1985

Ketaren (1986) menyatakan bahwa sitronelal (C10H16O) memiliki gugus aldehida dan ikatan

etilenik yang reaktif, geraniol (C10H18O) memiliki dua ikatan etilenik, dan sitronelol (C10H20O)

memiliki gugus hidroksil. Pada suhu kamar, sitronelal berupa cairan berwarna kekuningan yang mudah menguap, bersifat sedikit larut dalam air dan dapat larut dalam alkohol dan eter. Sitronelol

OCH3 OH


(19)

berupa cairan tidak berwarna dan berbau mawar, bersifat mudah larut dalam alkohol dan eter, tetapi sedikit larut dalam air. Geraniol berupa cairan tidak berwarna (kuning pucat) larut dalam alkohol dan eter. Struktur kimia senyawa sitronelal, geraniol, dan sitronelol ditunjukan oleh Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia geraniol (a), sitronelal (b) dan sitronelol (c) (Ketaren 1986)

2.4 Minyak Daun Cengkih sebagai Antiserangga

Berdasarkan laporan-laporan penelitian, minyak cengkih dapat digunakan untuk mengusir atau melumpuhkan serangga. Minyak cengkih dapat menolak nyamuk dengan dosis 0.1 ml per 30 cm2

(Trongtokit et al. 2005). Eugenol dapat membunuh larva Aedes aegypti dengan LC50 sebesar 33 mg/ℓ

(Knio 2008) dan dapat membunuh 100% Anopheles stephensi, Aedes aegypti, dan Culex quinquefasciatus dengan dosis 7 ℓ/ha dalam waktu 30-35 menit (Bhatnagar 1993) diacu dalam (Kegley et al. 2008).

Menurut Shola dan Kehinde (2010), uap minyak atsiri kuncup cengkih (Syzygium aromaticum) dapat membunuh serangga jenis kumbang (Callosbruchus maculatus). Minyak atsiri cengkih tersebut mengandung 95.75% eugenol dan 3.75%

- kariopilen. Perlakuan konsentrasi minyak kuncup cengkih yang digunakan yaitu 0.1g, 0.2g, 0.3g, 0.4g, dan 0.5g dalam 1g zat pembawa padat (silika gel, alumina, dan kaolin). Tingkat kematian Callosbruchus maculatus dengan konsentrasi tersebut, yaitu 13.33%, 26.77%, 73.33 % dan 100% dalam durasi pengamatan selama 1 jam.

Supriadi (2010) telah membuat formula anti larva nyamuk. Komposisi bahan menurut invensi ini yaitu mengandung bahan aktif minyak cengkih 5-10%, dan minyak kayu manis 5-10%. Bahan pembawanya adalah 1g setil alkohol, 2.5g, asam stearat, 2 g gum arab, 5 ml pengemulsi tween 20, 1 ml trietanolamin, 0.5 – 1.2 g NaOH dan 0.4-0.81 g KC1 per 100 ml air suling.

Wiratno (2010), menyatakan bahwa Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Badan Litbang Pertanian telah berhasil membuat beberapa formula pestisida nabati berbahan aktif eugenol dari cengkih yang dikombinasikan dengan senyawa lainnya. Formula tersebut diberi nama CEES, CEKAM, dan Bio- Protector-1 yang berperan aktif sebagai insektisida. Minyak cengkih efektif mengendalikan hama keong mas, dan hama gudang seperti Tribolium castaneum dan hama tanaman seperti Aphis gossypii, Aphis. craccivora, Ferissia virgata, dan Valanga nigricornis. Zeng et al. (2010) juga menyatakan bahwa minyak cengkih dapat mengusir hama gudang yaitu Rhyzopertha dominica, Sitophilus oryzaedanTribolium castaneum.

2.5 Minyak Serai Wangi sebagai Antiserangga

Secara umum, minyak serai wangi digunakan dalam produk antiserangga berkisar antara 0.05% dan 15 %. Aplikasinya dapat dilakukan secara tunggal atau dikombinasikan dengan minyak lavender,

C O

H

OH C

Gugus aldehida Gugus hidroksil

(a) (b) (c)

Ikatan etilenik CH3

OH


(20)

cengkih, bawang putih, dan minyak cedar (Barnard 2000). Wahyuningtyas (2004) menyatakan bahwa minyak serai wangi pada konsentrasi 2.5% dapat menolak nyamuk Aedes aegypti Linnaeus. Kiswanti (2009) telah melakukan uji efikasi produk gel penolak nyamuk terhadap 25 ekor nyamuk Culex quinquefasciatus. Hasil penelitiannya menunjukan jumlah nyamuk yang jatuh setelah 6 jam dan dinyatakan mati, pada konsentrasi serai wangi 10% adalah 26,67%, pada konsentrasi 15% adalah 52% dan pada konsentrasi 20% mencapai 60%.

Hasil penelitian Sukma (2009), yaitu obat nyamuk elektrik berbahan aktif minyak serai wangi memiliki efektivitas sebagai anti nyamuk Aedes aegypti dengan LC90 adalah 25.63 ± 2.30%. Artinya,

90 % nyamuk yang mati dari 25 ekor nyamuk yang diujinya, disebabkan oleh konsentrasi minyak serai wangi sebesar 25,63%. Selain itu, hasil penelitian Pandia et al. (2008) menunjukkan bahwa minyak serai wangi dapat membunuh delapan dari 10 nyamuk Aedes aegypti selama pengamatan 30 menit. Ini dilakukan dengan cara menyemprotkan 10% minyak serai wangi yang dicampurkan dalam air. Rondonuwu dan Langi (2006), menyatakan bahwa pada konsentrasi minyak serai wangi 0.25% cukup untuk membunuh larva nyamuk Aedes spp. dan dapat mencegah nyamuk bertelur, serta memiliki daya penolakan dalam radius kurang dari 1 m.

Hasil penelitian Fardaniyah (2007) menunjukan bahwa terjadi penurunan daya hinggap lalat dimulai dari konsentrasi 2.5% dan penurunan jumlah larva yang signifikan pada ikan mas yang dilumuri minyak serai wangi mulai dari konsentrasi 2.5% hingga 40% dibandingkan terhadap kontrol. Lalat yang diuji adalah Lalat Hijau (Chrysomya megacephala [Fab] ) sebanyak 50 ekor. Perlakuan konsentrasi yang digunakan yaitu 0%, 2.5%, 5%, 10%, 20%, 40%, yang masing-masing memiliki daya proteksi 93.6%, 94.2%, 96.6%, 97%, 98.6%, dan 99.8%, dalam pengamatan 1 jam.

2.6 Nyamuk

Aedes Aegypti

dan Lalat

Nyamuk Aedes aegypti L. memiliki morfologi khusus. Nyamuk dewasa berukuran kecil, berwarna hitam dengan bintik-bintik putih di tubuhnya dan cincin-cincin putih 12 dikakinya (Jirakanjanakit dan Dujardin 2005). Ciri khas nyamuk Aedes aegypti dewasa adalah "Lyre Marking" yaitu strip putih keperakan di bagian dorsal, thoraks, dan warna keputihan pada segmen terakhir di kaki belakang (Wijana dan Ngurah 1982).

Aedes aegypti adalah vektor alamiah dari virus dengue penyebab demam berdarah. Aedes aegypti termasuk nyamuk "day biter" (aktif menghisap makanan di siang hari), terutama nyamuk yang masih muda (umur 1-8 hari) (Wijana dan Ngurah 1982). Waktu aktif menggigitnya pada pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00, serta lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah. Aedes aegypti juga dapat menularkan penyakit yellow fever dan chikungunya. Suhu optimum untuk hidupnya berkisar antara 25- 27ºC (Cahyati dan Suharyo 2006).

Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Penyebaran Aedes aegypti di Asia Tenggara ditemukan hampir di semua daerah perkotaan dan pedesaan. Selain itu, penyebarannya juga ada di daerah agak gersang seperti India. Aedes aegypti merupakan vektor virus dengue di perkotaan dan populasinya berubah-ubah sesuai dengan curah hujan (Cahyati dan Suharyo 2006).

Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) ordo diptera yang mempunyai sepasang sayap berbentuk membran. Lalat yang umum dijumpai adalah lalat rumah atau Musca domestica. Lalat dewasa hidup 2-4 minggu pada musim panas dan lebih lama pada musim dingin. Lalat dapat menjadi vektor penularan penyakit saluran pencernaan seperti kolera, tifus, dan disentri. Penularan penyakit dapat terjadi melalui semua bagian dari tubuh lalat seperti bulu badan, bulu pada anggota gerak, muntahan serta kotorannya (Santi 2001).


(21)

Lalat (Musca domestica) bersifat kosmopolitan dan merupakan vektor (penular) secara mekanis yang menyebarkan berbagai jenis penyakit, seperti virus, bakteri, protozoa, cacing, amuba dan lainnya (Brown 1979 dan Kettle 1984). Lalat memiliki bulu-bulu halus yang terdapat disekujur tubuhnya yang memungkinkan dapat berperan sebagai vektor penyakit, karena perilaku lalat yang suka berpindah-pindah dari suatu makanan (biasanya bahan organik yang membusuk ataupun kotoran) ke makanan lain untuk makan dan bertelur (Levine 1990) diacu dalam Kardinan A (2007).

2.7 Formula Antiserangga

Secara umum, formulasi insektisida tersusun atas bahan aktif (active agents), bahan pembawa (carrier), dan bahan pembantu (adjuvant) (Djojosumarto 2008). Formula antiseranggga ini dibuat dari bahan aktif dan bahan pembawa yang berbeda sifat polaritasnya. Minyak atsiri bersifat nonpolar, sedangkan air bersifat polar. Oleh karena itu, formulanya dibuat dalam sistem emulsi minyak dalam air dengan menggunakan pengemulsi.

Emulsi adalah dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain yang tidak bercampur dalam keadaan biasa. Molekul-molekul kedua cairan tersebut bersifat saling antagonistik karena perbedaan sifat kepolarannya. Emulsi merupakan suatu sistem heterogen yang mengandung dua fasa cairan yaitu fasa terdispersi dan fasa pendispersi yang berbentuk butiran-butiran (droplets) (Suryani et al. 2000).

Pemilihan pengemulsi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan nilai hidrofil lipofil balance (HLB) yang pada dasarnya merupakan indikasi persentase berat dari bagian hidrofilik molekul pengemulsi nonionik. Nilainya yang semakin tinggi menunjukkan bahwa sifat pengemulsi yang semakin suka pada air (hidrofilik). Kisaran nilai HLB untuk emulsi minyak dalam air(O/W) berkisar antara 8-18. Polisorbat 80memiliki nilai HLB 15 (Suryani et al. 2000). Nilai HLB polietilen glikol 40 hidrogenated castor oil adalah 13 ( Chesam 2011). Dengan demikian kedua pengemulsi tersebut dapat digunakan sebagai pengemulsi minyak dalam air.

Polisorbat adalah pengemulsihidrofilik yang memiliki kemampuan kuat sebagai surface-active agents (surfactants) untuk mengurangi tegangan antarmuka dalam air, minyak, dan campuran lainnya untuk meningkatkan kualitas interaksi antar campuran dan menaikkan stabilitas emulsi. Polisorbat atau Polyoxyethylene sorbitan esters adalah hasil pembentukan reaksi sorbitan ester dengan etilen oksida. Sorbitan fatty-acid esters (sorbitan ester) adalah sorbitol turunan dari mono dan digliserida yang sangat larut dalam air dan memiliki rumus molekul C64H124O26 (O’Brien 2004).

Polisorbate 80 adalah jenis surfaktan nonionik dan pengemulsi turunan dari polyoxylated sorbitan dan asam oleat. Wujud polisorbat 80 adalah cairan berwarna kuning jernih. Gugus hidrofilik dalam senyawa ini adalah komponen polieteryang dikenal sebagai polyoxyethylene yang merupakan polimer dari ethylene oxide (Chou 2005).

Polyethilenglicol-40 Hydrogenated Castor oil merupakan pengemulsi nonionik dengan HLB 13, berwarna putih sampai kekuningan, dan memiliki rumus molekul C57H110O9(CH2CH2O)n.

Umumnya, PEG-40 Hydrogenated Castor oil ( fixolite ), digunakan untuk emulsi minyak dalam air. Aplikasinya banyak digunakan sebagai agen pengemulsi, agen penstabil, dan agen pengondisian viskositas formula parfum atau kosmetik (Chesam, 2011).

Cara penambahan bahan pengemulsi dalam proses emulsifikasi menurut Suryani et al. (2000) dapat dilakukan dengan metode agen dalam air dan metode agen dalam minyak. Teknik agen dalam air biasanya menghasilkan emulsi yang agak berkoarse dengan ukuran partikel yang bervariasi. Emulsi yang terbentuk bisa menjadi tidak stabil. Metode agen dalam minyak biasanya menghasilkan


(22)

emulsi yang seragam dengan diameter butiran rata-rata adalah 0.5 mikron yang menunjukan tipe emulsi yang paling stabil.

Metode agen dalam minyak dilakukan dengan cara melarutkan agen pengemulsi dalam fasa minyak, yang bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama campuran agen dalam minyak ditambahkan langsung ke dalam air sehingga terbentuk emulsi minyak dalam air (o/w atau oil in water) secara spontan. Kedua, air ditambahkan langsung ke dalam campuran agen dalam minyak sehingga terbentuk emulsi sistem air dalam minyak (w/o atau water in oil). Penambahan air lebih banyak dapat mengubah tipe w/o menjadi tipe o/w, yang biasa disebut inversi.

Teknik emulsifikasi yang tepat bergantung pada jenis dan rasio bahan yang digunakan, fasa terdispersi, medium pendispersi dan pengemulsi. Selain itu, sifat alami minyak dan agen pengemulsi merupakan faktor utama dalam menentukan stabilitas emulsi yang dihasilkan. Cara agar sistem emulsi menjadi stabil dapat dilakukan dengan penyamaan densitas fasa pendispersi dan terdispersi, atau dengan mengurangi ukuran butiran fasa internal menjadi sangat kecil. Salah satu tekniknya adalah dengan pengadukan yang cepat atau dengan sonikasi. Cara lain adalah dengan menggabungkan bahan yang larut dalam air seperti alkohol ke dalam fasa minyak. Alkohol akan keluar dari fasa minyak menuju fasa air ketika minyak terdispersi dalam air, sehingga butiran yang terbentuk akan berkurang volumenya. Etil atau metil alkohol dapat mengurangi viskositas fasa minyak dan juga membantu menghasilkan ukuran partikel yang kecil.

Kualitas formula dalam bentuk emulsi dapat menurun akibat terjadinya pembusaan (foaming). Udara akan terperangkap dalam formula membentuk gelembung-gelembung kecil yang akan mempercepat terjadinya oksidasi (Nugraha et al. 2004). Oksidasi tersebut dapat membuat produk cepat rusak. Vaselin menurut (Prasetyo 2011) dapat digunakan untuk menghambat pembentukan busa (defoaming), sebagai agen pendispersi dan agen pembakar (propellant). Penambahan vaselin dapat membuat produk yang disemprotkan memiliki butiran semprotan yang halus, merata, atau berbentuk kabut. International Programme on Chemical Safety dan Commission of the European Communities (2002) menerangkan bahwa vaselin merupakan subtansi yang terdiri atas hidrokarbon jenuh dengan jumlah atom karbon lebih dari 25. Vaselin memiliki suhu leleh 36-60oC, densitas 0,9 g/cm3, dan tidak


(23)

III.

METODOLOGI

3.1

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia, Laboratorium Departement of Industrial Technology (LDIT),

Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, serta Laboratorium Entomologi Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang (Loka Litbang P2B2) Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

3.2

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi gelas piala, sudip, neraca analitik, pengaduk magnetik, termometer, pemanas, alumunium foil, aspirator, tabung reaksi, buret, sangkar uji nyamuk berukuran 70 cm x 50 cm x 50 cm, sangkar uji lalat berukuran 70 cm x 70 cm x 70 cm, alat semprot formula antiserangga, higrometer, stopwatch, penggaris, pipet volumetrik, bulb, cotton bud, pipet tetes

dan sonikator Bransonic 5510.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan aktif yaitu minyak daun cengkih dan minyak serai wangi yang didapatkan dari Kreasi Aroma, bahan pembawa yaitu air mawar, dan bahan tambahan yaitu vaselin, air suling, fixolite (PEG-40 hydrogenated castor oil), tween 80

(polisorbat 80), asam stearat, natrium hidroksida, kalium klorida, trietanolamin dan pewangi melati. Selain itu bahan lain yang digunakan adalah sukrosa dan kapas untuk perawatan serangga yang telah diuji dan produk Mortein Natur Gard sebagai produk pembanding. Serangga uji yang digunakan yaitu nyamuk Aedes aegypti yang diperoleh dari Loka Litbang P2B2 dan lalat yang didapat dengan umpan

ikan mati di sekitar tempat sampah asrama putri Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor.

3.3

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan mempersiapkan formula antiserangga alami. Penelitian utama bertujuan mengetahui efektivitas formula antiserangga alami dalam melumpuhkan lalat dan nyamuk serta mengetahui tingkat kesukaan atau penerimaan konsumen terhadap aroma formula antiserangga alami tersebut. Ruang lingkup penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 3.

3.3.1

Formulasi Antiserangga Alami

Formulasi antiserangga alami dilakukan dengan cara trial and error, baik dalam menentukan

komposisi bahan, maupun teknik emulsifikasinya. Hasil trial and error ini dijadikan dasar dalam

formulasi antiserangga alami yang akan diujikan pada penelitian utama.

Pemilihan bahan baku. Bahan baku yang diujicobakan dalam penelitian pendahuluan

meliputi pemilihan bahan pembawa, pengemulsi, dan pewangi. Bahan pembawa yaitu air dipilih karena sifatnya yang paling aman digunakan, dibandingkan dengan etanol, metanol, atau heksan yang biasa digunakan untuk pelarut minyak atsiri.


(24)

Air mawar dipilih, karena aromanya dapat membuat aroma formula antiserangga menjadi lebih wangi. Ini dilakukan setelah trial and error formulasi dengan air suling biasa dibandingkan dengan

menggunakan air mawar. Masing-masing dikombinasikan dengan pewangi melati, minyak daun cengkih, dan minyak serai wangi. Pendapat beberapa orang diminta untuk menilai mana yang lebih disukai dari campuran tersebut dan memberikan komentar atau masukan. Pewangi melati juga dipilih berdasarkan trial and error, yaitu mencoba beberapa pewangi seperti minyak atsiri lemon, jeruk purut,

kenanga, dan pewangi teh hijau. Berdasarkan trial and error kombinasi aroma formula tersebut,

dipilih bahan yang sekiranya akan disukai oleh panelis saat uji hedonik pada penelitian utama.

Pengukuran stabilitas emulsi. Nilai stabilitas emulsi diukur dengan cara pengamatan fasa

yang terpisah dari sistem emulsi. Prosedurnya yaitu 10 ml cairan emulsi dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tinggi cairan diukur dengan penggaris sebagai tinggi total. Cairan tersebut disimpan dengan hati-hati dan terhindar dari guncangan. Pengamatan dilakukan secara periodik (per jam, per 3 jam, atau per hari). Tinggi fasa yang terpisah dari sistem emulsi diukur dan dinyatakan dalam persen. Pengukuran stabilitas emulsi dilakukan terhadap semua perlakuan yang diujicobakan. Pengukuran dihentikan ketika stabilitas emulsi yang telah diukur masih jauh dari stabilitas emulsi produk pembanding. Stabilitas emulsi dihitung dengan rumus :

100% X (mm) terpisah yang

fasa Tinggi -(mm) emulsi cairan total Tinggi

(mm) terpisah yang

fasa Tinggi emulsi

Stabilitas �

Pengukuran stabilitas emulsi yang pertama kali dilakukan adalah pengukuran stabilitas produk pembanding yang ada di pasaran. Formula antiserangga alami yang dibuat adalah cairan dalam bentuk emulsi. Produk pembanding atau kontrol positif yang dipilih adalah produk yang serupa. Mortein


(25)

Natur Gard dipilih sebagai kontrol positif, karena bahan pembawanya adalah air dan pada produk ini tercantum mengandung bahan-bahan alami, yaitu natuode robo dan d-limonen, tapi bahan aktifnya sintetik, yaitu esbiotrin, permetrin dan imiprotrin. Setiap hasil trial and error formulasi dalam

penelitian pendahuluan ini mengacu pada nilai stabilitas produk pembanding.

Penentuan bahan pengemulsi. Pengemulsi yang pertama kali dicoba adalah fixolite atau

PEG-40 hydrogenated castor oil karena memiliki HLB 13 yang masuk ke dalam rentang penstabil

emulsi minyak dalam air (HLB 8-18). Bahan tambahan agen pengemulsi yaitu vaselin juga dicoba ditambahkan untuk meningkatkan kestabilan emulsi. Selanjutnya etanol 95% sebanyak 20% dicoba ditambahkan sebagai ko-surfaktan. Penggantian bahan pengemulsi pun dilakukan pada trial and error

selanjutnya, yaitu fixolite diganti dengan tween 80 (polisorbat 80) yang memiliki HLB 15. Tween 80

ini merupakan pengemulsi yang sifatnya lebih hidrofilik daripada fixolite. Komposisi bahan pada trial and error formulasi tersebut ditunjukkan oleh Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Komposisi bahan pada tahap penentuan bahan pengemulsi Bahan 1 Trial and error2 3 ke- 4 Minyak atsiri 5% 5% 5% 5%

Fixolite : minyak atsiri 1:1 1:1 1:1 -

Vaselin - 2.5% - -

Etanol 95% - - 20% - Tween 80 : minyak atsiri - - - 1:1 Air mawar 90% 87.5% 70% 90%

Penentuan konsentrasi pengemulsi (tween 80). Hasil trial and error sebelumnya

menunjukkan bahwa perbandingan tween 80 dengan minyak atsiri 1:1 dapat membentuk sistem emulsi yang lebih baik daripada trial and error sebelumnya. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui

apakah pada konsentrasi tween 80 yang lebih rendah dapat membuat sistem emulsi tetap stabil. Perlakuan konsenstrasi tween 80 ditunjukkan oleh Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi bahan dalam formula dengan perlakuan perbedaan konsentrasi tween 80

Bahan F1 F2 F3 F4 F5

Minyak atsiri 5% 5% 5% 5% 5% Minyak atsiri : tween 80 1:0.2 1:0.4 1:0.6 1:0.8 1:1 Air mawar 94% 93% 92% 91% 90%

Trial and error teknik emulsifikasi. Hasil trial and error sebelumnya menunjukkan bahwa

formula dengan perlakuan bahan aktif berbanding tween 80 1:0.8 dan 1:1, hasilnya tidak berbeda signifikan, sehingga pada konsentrasi tersebut dilakukan trial and error teknik emulsifikasi, agar

didapat formula yang lebih stabil. Trial and error yang dilakukan yaitu dengan cara sonikasi selama ½

sampai 1 jam menggunakan sonikator Bransonic 5510. Trial and error selanjutnya yaitu dengan

memperpanjang waktu pengadukan menggunakan pengaduk magnetik selama 1, 2 dan 3 jam. Tujuannya adalah agar partikel minyak dan air menjadi kecil sehingga cairan emulsi lebih homogen.

Trial and error formula dengan mengganti bahan tambahan. Formulasi dalam trial and error ini mengacu pada pengajuan paten Supriadi (2010). Langkah kerja yang dilakukan yaitu,


(26)

memanaskan asam stearat terlebih dahulu. Bahan aktif, bahan pewangi, tween 80 dan air mawar dicampur sambil diaduk. Asam stearat yang sudah mencair dimasukkan ke dalam campuran tersebut, kemudian ditambahkan NaOH, KCl dan trietanolamin.

Trial and error teknik emulsifikasi dengan penambahan fasa air sedikit demi sedikit. Air

mawar ditambahkan sedikit demi sedikit dari buret ke dalam campuran minyak atsiri, pewangi, tween 80 dan vaselin. Katup buret dibuka 1/3-nya, yaitu sekitar 50ml/4 menit. Selain itu, dalam trial and error ini, dilakukan penambahan vaselin yang merujuk pada Prasetyo (2011). Perbandingan vaselin

dengan tween 80 yang ditambahkan yaitu 1:14.6. Langkah kerja yang dilakukan adalah :

1. Tween 80, vaselin, dan air suling dicampur, diaduk, dan dipanaskan sampai suhu 60oC sehingga

vaselin mencair dan membentuk campuran homogen.

2. Campuran yang dibuat pada poin 1, dimasukkan ke dalam wadah yang berisi minyak atsiri dan pewangi melati 1 % sambil diaduk.

3. Setelah itu, air mawar dari buret, ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam wadah berisi campuran pada poin 2, sambil diaduk selama 1 jam.

Komposisi bahan dalam formula ini ditunjukkan oleh Tabel 4 berikut ini : Tabel 4. Komposisi bahan formula antiserangga alami.

Bahan Komposisi

Minyak atsiri 5%

Pewangi melati 1% Tween 80 : minyak atsiri dan pewangi 1:1 tween 80 : vaselin 14.6 : 1

Air suling 10%

Air mawar 77.58%

3.3.2 Efektivitas dan Penerimaan Formula Antiserangga Alami

Formulasi antiserangga alami. Formulasi antiserangga yang akan diujikan, dilakukan

berdasarkan hasil trial and error formulasi yang telah dilakukan pada penelitian pendahuluan.

Komposisi bahan pada fomula ini ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi bahan dalam formula antiserangga alami yang diujikan dalam penelitan utama

Bahan Perlakuan

Kontrol F1 F2 F3 F4 Minyak daun cengkih 0% 2.5% 5% 7.5% - Minyak serai wangi 0% - - - 2.5% Pewangi melati 1% 1% 1% 1% 1% Tween 80 : minyak atsiri dan

pewangi

1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 Tween 80 : vaselin 14.6:1 14.6:1 14.6:1 14.6:1 14.6:1 Air suling 10% 10% 10% 10% 10% Air mawar 87.93% 82.75% 77.58% 72.40% 82.75%


(27)

Tabel 5. Komposisi bahan dalam formula antiserangga alami yang diujikan dalam penelitan Utama (lanjutan)

Bahan Perlakuan

F5 F6 F7 F8 F9 Minyak serai wangi 5% 7.5% - - - Campuran minyak daun cengkih dan

serai wangi (1:1)

- - 2.5% 5% 7.5% Pewangi melati 1% 1% 1% 1% 1% Tween 80 : minyak atsiri dan

pewangi

1:1 1:1 1:1 1:1 1:1 Tween 80 : vaselin 14.6:1 14.6:1 14.6:1 14.6:1 14.6:1 Air suling 10% 10% 10% 10% 10% Air mawar 77.58% 72.40% 82.75% 77.58% 72.40% Diagram alir pembuatan formula antiserangga alami ditunjukkan oleh Gambar 4 berikut ini.


(28)

Uji efikasi. Uji efikasi bertujuan mengetahui efektivitas setiap jenis bahan aktif yang digunakan dalam formula antiserangga pada tingkat konsentrasi 2.5%, 5%, dan 7.5%. Uji efikasi ini dilakukan terhadap lalat dan nyamuk Aedes aegypti. Sangkar uji lalat yang digunakan berukuran 70

cm x 70 cm x 70 cm mengacu pada Widiarti et al. (1997). Adapun sangkar uji nyamuk yang

digunakan adalah sangkar yang biasa digunakan di Labolatorium Entomologi Loka Litbang P2B2 Ciamis, yaitu berukuran 70 cm x 50 cm x 50 cm.

Sebelum pengujian, sangkar uji dibersihkan terlebih dahulu dan dilakukan uji evaluasi ruang. Sebanyak 20 ekor serangga uji yang sudah diberi pakan air gula dimasukkan dan diamati selama 10 menit. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa kondisi ruangan sama dengan keadaan ruang penangkaran dan tidak mempunyai pengaruh terhadap kematian serangga uji. Uji efikasi hanya dapat dilanjutkan apabila kematian tidak lebih dari 4% populasi uji pada uji evaluasi ruang (Pusat Perizinan dan Investasi/Komisi Pestisida 2007 diacu dalam Kiswanti, 2009).

Uji efikasi setiap perlakuan dilakukan selama 20 menit dengan pengamatan setiap 2 menit terhadap 20 ekor serangga uji. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan. Penyemprotan dilakukan empat kali, berdasarkan perhitungan dosis standarnya, yaitu 0.7 gram sesuai yang digunakan di UPKV (Unit Penyelidikan Kawalan Vektor) Universiti Sains Malaysia (Widiarti et al. 1997).

Uji efikasi lalat dilakukan pada suhu 27-29oC. Uji efikasi nyamuk dilakukan pada suhu

27-28oC dengan kelembapan udara 73-86%. Kondisi ini sesuai dengan kondisi standar pengujian yaitu

pada suhu 27oC

2oC, dan kelembapan 80%

10%. Setelah pengujian, serangga uji yang jatuh

dipindahkan ke dalam gelas plastik berisi kapas yang basah dengan air gula (sukrosa 10%) dan ditutup dengan kasa, kemudian didiamkan selama 24 jam untuk memastikan apakah serangga uji tersebut pingsan atau mati (World Health Organization, 2009).

Peneraan kadar atau jumlah semprotan standar dilakukan dengan cara penimbangan alat semprot yang sudah diisi formula antiserangga. Formula disemprotkan satu kali. Setelah itu, bobotnya ditimbang. Ini dilakukan sebanyak 10 kali ulangan, dan selisih bobotnya dicatat (dalam gram) sebagai bobot formula yang disemprotkan. Selisih bobot formula setiap ulangan pada peneraan kadar semprotan kurang dari 0.2 gram.

Perhitungan jumlah semprotan standar ditentukan dengan rumus :

semprotan 1kali X ulangan 10 0.7(gram) standar semprotan Jumlah (gram) an disemprotk yang formula bobot � �

Contoh perhitungan jumlah semprotan standar dapat dilihat pada Lampiran 1. Persentase efektivitas uji efikasi atau angka kelumpuhan ditentukan dengan rumus:

x100% R

Q P� Keterangan :P = Jumlah serangga pingsan.

Q = Jumlah serangga mati. R = Jumlah serangga yang diuji

Apabila angka kelumpuhan pada kelompok kontrol melebihi 5 % tetapi kurang dari 15 %, maka angka kelumpuhan pada kelompok perlakuan dikoreksi menurut rumus Abbot, yaitu :

100-C

x100%

C -A Al�

Keterangan :Al = angka kelumpuhan (%) setelah dikoreksi A = angka kelumpuhan (%) pada kelompok perlakuan C = angka kelumpuhan (%) pada kelompok kontrol


(29)

Uji hedonik. Uji hedonik bertujuan mengetahui penerimaan konsumen terhadap aroma formula antiserangga dan mengetahui tingkat kesukaannya pada setiap perlakuan. Uji ini dilakukan oleh 31 orang panelis yang terdiri atas mahasiswa Teknologi Industri Pertanian. Mereka diberi pengarahan terlebih dahulu tentang uji hedonik sebelum melakukan pengujian. Contohnya pengarahan untuk tidak membandingkan antar sampel saat memberikan penilaian, atau sampel dinilai satu per satu. Ini dilakukan untuk menghindari bias. Sampel yang disajikan sebanyak 7 ml dalam botol dan panelis diminta untuk menghirup aromanya dengan cara mengibaskan udara di sekitar mulut botol. Panelis diminta untuk menilai kesan aroma formula antiserangga alami pada tujuh tingkat kesukaan, yaitu sangat tidak suka, agak tidak suka, suka, netral, agak suka, suka dan sangat suka. Setiap sampel diberi kode dengan bilangan acak. Formulir uji hedonik diapat dilihat pada Lampiran 2.

Uji hedonik ini mengacu pada Soekarto (1985) yang menyatakan bahwa uji hedonik cocok untuk pengembangan produk baru. Contohnya untuk menemukan atau mengembangkan produk baru dengan mutu yang dapat diterima atau sama atau lebih baik daripada produk yang sudah diketahui. Panel konsumen yang digunakan yaitu antara 30-1000 orang.

3.4

Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis ragam dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) untuk uji efikasi dengan α= 0.05 dan analisis statistika deskriptif untuk data hasil uji hedonik. Data hasil uji efikasi diolah dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) untuk melihat pengaruh perbedaan jenis bahan aktif pada konsentrasi 2.5%, 5%, dan 7.5% terhadap kelumpuhan serangga. Jika hasil uji statistik menunjukan pengaruh yang signifikan, maka dilakukan uji lanjut Ducan.

Uji statistik ini dilakukan pada setiap jenis bahan aktif dan setiap konsentrasi. Jenis bahan aktif yang digunakan yaitu minyak daun cengkih, minyak serai wangi, dan campuran kedua minyak tersebut dengan perbandingan 1:1. Konsentrasi yang digunakan yaitu 2.5%, 5%, dan 7.5%. Dengan demikian, dilakukan analisis sidik ragam satu per satu, yaitu analisis sidik ragam pada setiap faktor jenih bahan aktif dengan tiga tingkat perlakuan konsentrasi, dan analisis sidik ragam pada faktor konsentrasi yang sama dengan perlakuan tiga bahan aktif yang berbeda. Perlakuan dalam penelitian ini adalah :

A1 = minyak daun cengkih dengan konsentrasi 2.5% A2 = minyak daun cengkih dengan konsentrasi 5% A3 = minyak daun cengkih dengan konsentrasi 7.5% B1 = minyak serai wangi dengan konsentrasi 2.5% B2 = minyak serai wangi dengan konsentrasi 5% B3 = minyak serai wangi dengan konsentrasi 7.5%

C1 = Campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi (1:1) dengan konsentrasi 2.5% C2 = Campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi (1:1) dengan konsentrasi 5% C3 = Campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi (1:1) dengan konsentrasi 7.5% Hipotesis analisis sidik ragam untuk pengaruh perbedaan konsentrasi dengan bahan aktif yang sama adalah:

Ho = Perbedaan konsentrasi setiap jenis bahan aktif (minyak daun cengkih, minyak serai wangi, atau campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi) tidak berpengaruh terhadap kelumpuhan lalat atau nyamuk.


(30)

campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi) berpengaruh terhadap kelumpuhan lalat atau nyamuk.

Hipotesis analisis sidik ragam untuk pengaruh perbedaan jenis bahan aktif pada konsentrasi yang sama adalah :

Ho = Perbedaan jenis bahan aktif pada setiap konsentrasi (2.5%, 5%, atau 7.5%) tidak berpengaruh terhadap kelumpuhan lalat atau nyamuk.

H1 = Perbedaan jenis bahan aktif pada setiap konsentrasi (2.5%, 5%, atau 7.5%) berpengaruh terhadap kelumpuhan lalat atau nyamuk.

Model umum rancangan percobaan RAL menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah: Yij = μ +

i + εij

Keterangan :

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = Rataan umum i

= Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

i = 1, 2, …,t j = 1, 2, …,

i Hipotesis

H0 =

i =…=

t = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 = Paling sedikit ada satu i dimana

i

0


(31)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Formula Antiserangga Alami

Trial and error formulasi antiserangga alami dilakukan dalam penelitian pendahuluan untuk

mempersiapkan komposisi bahan dalam formula antiserangga yang akan diujikan pada penelitian utama. Bahan baku yang dipilih adalah bahan-bahan alami yang aman digunakan oleh manusia dan ramah lingkungan. Bahan tersebut meliputi bahan aktif, bahan pembawa, dan bahan tambahan. Bahan aktif yang digunakan yaitu minyak daun cengkih dan minyak serai wangi.

4.1.1 Penentuan Bahan Pembawa dan Bahan Pewangi

Air merupakan bahan yang paling aman jika dibandingkan dengan etanol, metanol atau heksan yang biasa digunakan sebagai pelarut minyak atsiri. Sehingga air dipilih sebagai bahan pembawa. Air mawar dipilih, karena aromanya dapat membuat aroma formula antiserangga menjadi lebih wangi. Ini dilakukan setelah trial and error formulasi dengan air suling biasa dibandingkan dengan

menggunakan air mawar. Masing-masing dikombinasikan dengan pewangi melati, minyak daun cengkih, dan minyak serai wangi. enam orang ditanya langsung untuk memberikan pendapatnya. Pendapat empat dari enam orang lebih menyukai campuran yang bahan pembawanya air mawar.

Air mawar memiliki aroma seperti minyak mawar, meskipun intensitas aromanya jauh lebih lemah. Aroma mawar yang menurut Brechbill (2009) adalahrosy sweet floral

,

dapat dikombinasikan

dengan aroma melati dan aroma bahan aktif yang digunakan, yaitu aroma spicy dari minyak daun

cengkih, serta aroma citrusydari minyak serai wangi.

Pewangi melati juga dipilih berdasarkan trial and error, yaitu mencoba beberapa pewangi

seperti minyak atsiri lemon, jeruk purut, kenanga, dan pewangi teh hijau. Minyak daun cengkih dan minyak serai wangi masing-masing dicampur dengan minyak lemon, jeruk purut, kenanga, dan pewangi teh hijau. Enam orang ditanya langsung untuk memberikan komentar terkait aromanya. Komentar aroma campuran dengan minyak lemon yaitu wanginya enak tapi menyengat dan aromanya segar tapi agak aneh. Komentar aroma campuran dengan minyak jeruk purut adalah aromanya aneh, menyengat dan aromanya seperti minyak gosok. Komentar aroma campuran dengan kenanga adalah tidak enak, aromanya seperti minyak tawon dan minyak si nyongnyong. Komentar aroma campuran

dengan pewangi teh hijau adalah menyengat dan tidak enak. Komentar aroma campuran dengan pewangi melati adalah wangi, aromanya seperti minuman teh melati, segar dan wangi tapi aromanya aneh. Pendapat-pendapat tersebut bersifat subjektif yakni bergantung pada selera pribadi, tetapi memberikan gambaran tentang kombinasi aroma yang terbentuk dalam trial and error ini, sehingga

menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan bahan pewangi yang sekiranya dapat diterima oleh panelis pada uji hedonik di penelitian utama. Komentar pewangi melati dinilai lebih baik daripada yang lainnya, sehingga pewangi melati dipilih sebagai bahan pewangi formula antiserangga alami ini.

4.1.2 Penentuan Bahan Pengemulsi

Air dan minyak atsiri memiliki sifat yang antagonistik. Air bersifat polar dan minyak atsiri bersifat nonpolar. Oleh karena itu, perlu agen pengemulsi agar dapat mencampurkan keduanya. Agen pengemulsi ini memiliki dua gugus yang berbeda dalam ikatan kimianya, yaitu gugus hidrofilik yang


(32)

akan berikatan dengan air dan gugus lipofilik yang akan berikatan dengan minyak. Agen pengemulsi yang dipilih adalah pengemulsi yang dapat digunakan untuk emulsi minyak dalam air yaitu yang memiliki nilai HLB (hydrofil lipofil balance) antara 8-18.

Formula antiserangga dalam bentuk emulsi sudah ada di pasaran. Salah satunya yaitu Mortein Natur Gard. Produk ini menggunakan air sebagai bahan pembawa, serta bahan alami tambahan yaitu d-limonen, dan bahan aktif yang digunakannya adalah bahan sintetik, yaitu esbiotrin, permetrin dan imiprotrin. Oleh karena itu, produk ini dijadikan kontrol positif sebagai pembanding stabilitas emulsi dan efektivitas formula antiserangga alami.

Hasil pengukuran stabilitas emulsi produk Mortein adalah 92% dalam 7 hari. Nilai ini menjadi acuan atau target dalam membuat formula antiserangga. Pengamatan stabilitas pada perlakuan-perlakuan yang dilakukan dalam trial and error formulasi ini dihentikan ketika persentase

stabilitasnya sudah dinyatakan tidak memenuhi target (92% dalam 7 hari). Stabilitas emulsi produk mortein ditunjukan oleh Gambar 5 dan data pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pengemulsi yang pertama kali dipilih adalah pengemulsi yang memiliki nilai HLB 13, yakni yang memenuhi nilai HLB 8-18 untuk pengemulsi minyak dalam air. Polyethilenglicol 40 hydrogenated castor oil atau biasa disebut fixolite memiliki nilai HLB 13. Fixolite biasa digunakan

sebagai pengemulsi formula kosmetik atau parfum. Namun hasil trial and error menunjukan bahwa fixolite tidak cocok dijadikan pengemulsi formula antiserangga ini, karena stabilitas emulsinya rendah.

Ini dapat dilihat berdasarkan hasil pengukuran stabilitas emulsi yang ditunjukan oleh Gambar 6, dan data hasil pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 4.

92

85 90 95 100

1 2 3 4 5 6 7

St ab ili ta s E m ul si (% )

Waktu Pengamatan (Hari ke-)

93 95 97 100 88 90 92 94 96 98 100

0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

St ab ili ta s E m ul si (% )

Waktu Pengamatan (Jam ke-)

A B C D 0 0

Gambar 6. Stabilitas emulsi formula antiserangga dalam penentuan jenis bahan pengemulsi Gambar 5. Stabilitas emulsi kontrol positif atau produk pembanding (Mortein)


(33)

Keterangan :

A : Formula yang terdiri atas air mawar, minyak atsiri 5%, dan perbandingan

fixolite dengan minyak atsiri 1:1.

B : Formula yang terdiri atas air mawar, minyak atsiri 5%, perbandingan fixolite

dengan minyak atsiri 1:1, dan vaselin 2,5%.

C : Formula yang terdiri atas air mawar, minyak atsiri5%, perbandingan fixolite

dengan minyak atsiri 1:1, dan etanol konsentrasi 95% sebanyak 20%.

D : Formula yang terdiri atas air mawar, minyak atsiri 5%, dan perbandingan tween 80 dengan minyak atsiri 1:1.

Gambar 6 menunjukan bahwa stabilitas emulsi formula A terus menurun, yaitu hanya 93% setelah 2 jam pengamatan. Selain itu, masih terbentuk butiran minyak yang kecil di bagian atas campuran. Trial and error dilakukan lagi dengan formulasi B. Vaselin ditambahkan sebagai agen

pendispersi yang akan membantu fixolite mendispersikan minyak dalam air. Stabilitas yang dihasilkan

kurang baik, yaitu 95% setelah ½ jam. Pengamatan tidak dilanjutkan karena dalam campuran tersebut sebagian vaselin terpisah dan membentuk campuran yang tidak homogen dengan fixolite. Trial and error dilakukan lagi dengan formulasi C. Etanol dalam formula ini berperan sebagai ko-surfaktan.

Minyak atsiri dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol 95% sedikit demi sedikit hingga terbentuk cairan bening. Setelah itu dicampurkan dengan fixolite, kemudian dengan air mawar sambil diaduk.

Cara emulsifikasi seperti ini belum mendapatkan formula yang diharapkan. Stabilitas emulsi formula C ini hanya 97% setelah tiga jam.

Fixolite teknis yang digunakan dalam formula antiserangga alami ini ternyata tidak

menghasilkan stabilitas yang diharapkan. Ini dapat disebabkan oleh fixolite yang sudah tercampur

homogen dengan minyak, sulit bercampur dengan air. Oleh karena itu, dilakukan lagi pemilihan agen pengemulsi lain yang sifatnya lebih hidrofilik. Ini dilihat berdasarkan sistem emulsi formula antiserangga yang dibuat adalah sistem emulsi minyak dalam air, yang persentase airnya jauh lebih banyak daripada minyaknya. Suryani et al. (2000) menyatakan bahwa pengemulsi dengan HLB yang

lebih tinggi memiliki sifat hidrofilik yang lebih besar. Tween 80 memiliki HLB 15 dan Tween 20 memiliki HLB 16.7.

Tween 20 menimbulkan busa yang lebih banyak daripada tween 80, sehingga tween 80 dipilih untuk formulasi ini. Busa tersebut merupakan indikasi bahwa emulsi yang terbentuk kurang baik, karena busa akan mempercepat terjadinya oksidasi formula akibat terperangkapnya udara dalam cairan formula. Dengan demikian tween 80 dipilih sebagai pengemulsi formula antiserangga ini.

4.1.3 Penentuan Konsentrasi Tween 80

Trial and error penggunaan tween 80 sebagai pengemulsi awal dilakukan pada perbandingan

minyak atsiri dengan tween 1:1. Gambar 6 menunjukan hasil pengamatan setelah 5 jam, stabilitasnya tetap yaitu 100%. Trial and error perlakuan tween 80 pada konsentrasi yang lebih rendah pun

dilakukan. Ini bertujuan mengetahui apakah penggunaan tween 80 dapat direduksi atau tidak, karena pertimbangan harga tween 80 teknis hampir menyamai harga bahan aktif antiserangga. Hasil pengamatan stabilitas emulsi pada perlakuan tersebut ditunjukkan oleh Gambar 7.


(34)

Formula pada perlakuan perbandingan minyak atsiri dengan tween 80 1:0.2, masih terdapat butiran-butiran minyak setelah pencampuran. Formula dengan perlakuan 1:0.4, stabilitasnya menurun menjadi 93% setelah 1 hari. Formula dengan perlakuan 1:0.6, stabilitas emulsi menurun menjadi 97% pada hari kedua, dan terbentuk endapan putih serta di bagian atas terbentuk butiran-butiran minyak yang kecil. Perlakuan 1:0.8 dan 1:1 menunjukan hal yang sama yaitu stabilitasnya menurun dari 97% dan 96% di hari ke 3, menjadi 88% dan 89% di hari ke 4. Selain itu, pada kedua perlakuan tersebut terbentuk endapan putih sekitar 3%, dimana butiran bening terperangkap dalam endapan tersebut. Data stabilitas emulsi formula pada trial and error penentuan konsentrasi tween 80 dapat dilihat pada

Lampiran 5.

4.1.4 Emulsifikasi dengan Cara Sonikasi

Modifikasi teknik emulsifikasi pun dilakukan untuk memperbaik stabilitas emulsi formula. Langkah yang ditempuh adalah dengan cara sonikasi. Getaran yang ditimbulkan oleh sonikator diharapkan dapat membuat butiran minyak menjadi lebih kecil, sehingga mudah terdispersi dalam air. Hasil sonikasi tersebut ternyata belum menghasilkan sistem emulsi yang baik. Apungan minyak pada Gambar 8, masih terbentuk pada formula dengan sonikasi selama ½ dan 1 jam.

93 97

88 89

80 85 90 95 100

1 2 3 5 7 9 12 15 18 21 24 48 72 96

St

ab

ili

ta

s E

m

ul

si

(%

)

Waktu Pengamatan (Jam ke-)

Minyak atsiri : Tween 80 1:0.4

Minyak atsiri : tween 80 1:0.6

Minyak atsiri : tween 80 1:0.8

Minyak atsiri : tween 80 1:1

Sonikasi ½ jam Sonikasi 1 jam 0

Gambar 7. Stabilitas emulsi formula antiserangga alami dengan perlakuan perbedaan konsentrasi tween 80


(35)

Apungan minyak yang terbentuk disebabkan oleh sonikator yang digunakan tidak cukup kuat memberikan energi getaran untuk memecah butiran minyak. Frekuensi alat ini cukup tinggi yaitu 40 kHz, tetapi dalam aplikasinya kurang cocok. Sonikator yang digunakan adalah sonikator yang biasa digunakan untuk mencuci peralatan kimia (merk Branson 5510). Sebenarnya alat ultrasonik yang biasa digunakan untuk emulsifikasi adalah alat yang dapat menimbulkan proses kavitasi, sedangkan pada proses sonikasi yang dilakukan tidak terjadi kavitasi. Menurut Suryani et al. (2000), fenomena

kavitasi terjadi ketika cairan terkena gelembung ultrasonik dan pecah secara acak karena terjadi tensi dan kompresi secara bergantian. Selain itu, risiko emulsifikasi dengan proses sonikasi adalah terjadinya koalense. Getaran sonikasi menyebabkan peningkatan frekuensi tumbukan antar partikel. Jika yang saling bertumbukan adalah partikel yang fasanya sama seperti partikel minyak, maka partikel minyak akan menumbuk partikel minyak yang lainnya dan menyatu menjadi partikel yang lebih besar, sehingga terjadi koalense seperti yang terlihat pada Gambar 8 tersebut.

4.1.5 Emulsifikasi dengan Cara Memperpanjang Waktu Pengadukan

Cara emulsifikasi yang lain dicoba lagi, yakni dengan cara memperpanjang waktu pengadukan. Tujuannnya adalah membuat campuran yang lebih homogen. Waktu pengadukan yang semakin lama akan memperkecil ukuran butiran minyak dan mempermudahnya terdispersi ke dalam air sehingga terbentuk campuran yang lebih homogen.

Perlakuan dalam trial and error ini adalah pengadukan dengan pengaduk magnetik selama 1,

2, dan 3 jam. Hasil pengamatan menunjukan bahwa cara tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas emulsi. Stabilitas emulsi dengan perbandingan minyak atsiri : tween 1:0.8 diaduk selama 1, 2 dan 3 jam, pada hari ke-5 menurun menjadi 88%, 89%, 87%, dan menurun lagi pada hari ke-6 menjadi 77%, 76%, 79%. Adapun stabilitas emulsi dengan perbandingan bahan aktif : tween 1:1 diaduk selama 1, 2 dan 3 jam, pada hari ke-5 menurun menjadi 86%, 91%, 91%, dan menurun lagi pada hari ke-6 menjadi 79%, 78%, dan 80%. Perlakuan stabilitas emulsi dengan cara ini belum mencapai target yaitu 92% sampai hari ke-7. Stabilitas emulsi hasil pengamatan tersebut ditunjukan oleh Gambar 9 dan data stabilitas emulsi dengan perlakuan lama pengadukan ini dapat dilihat pada Lampiran 6.

60 70 80 90 100

1 2 3 4 5 6

St ab ili ta s E m ul si (% )

Waktu Pengamatan (hari ke-)

pengadukan 1 jam; minyak atsiri : tween 80 = 1:0.8

pengadukan 1 jam; minyak atsiri : tween 80 = 1:1

pengadukan 2 jam; minyak atsiri : tween 80 = 1:0.8

pengadukan 2 jam; minyak atsiri : tween 80 = 1:1

pengadukan 3 jam; minyak atsiri : tween 80 = 1:0.8

pengadukan 3 jam; minyak atsiri : tween 80 = 1:1

0


(36)

4.1.6 Penggantian Bahan Tambahan pada Formula Antiserangga Alami

Trial and error selanjutnya, yaitu dengan mencoba formula baru yang merujuk pada pengajuan

paten Supriadi (2010), namun ada beberapa bahan yang tidak diikutsertakan yaitu gum arab, setil alkohol dan tween 20 diganti dengan tween 80. Gum arab dan setil alkohol tidak ditambahkan karena membuat formula lebih kental, sehingga sulit disemprotkan, atau butiran semprotannya akan cepat jatuh. Formula ini dibuat dengan cara mencampurkan tween 80 dengan bahan aktif terlebih dahulu, kemudian ditambahkan air suling dan diaduk. Setelah itu ditambahkan asam stearat yang sudah dicairkan dan natrium hidroksida. Kalium klorida dan trietanol amin ditambahkan sebagai penstabil pH, kemudian formula tersebut diaduk selama 1 jam.

Pengamatan terhadap formula yang merujuk pada paten tersebut menunjukan adanya gumpalan yang terbentuk dalam formula setelah 4 hari. Gumpalan tersebut adalah asam stearat yang memadat wujudnya kembali menjadi padat. Proses perbaikan formula ini tidak dilanjutkan lagi, karena mempertimbangkan kembali aplikasi produk antiserangga alami. Formula ini tidak sesuai dengan aplikasi produk dalam penelitian ini, yaitu sebagai antiserangga alami yang digunakan dalam kegiatan rumah tangga, sedangkan formula ini aplikasinya sebagai pestisida untuk tanaman. Penggumpalan asam stearat yang terjadi ditunjukkan oleh Gambar 10.

Gambar 10. Penggumpalan asam stearat

4.1.7 Emulsifikasi dengan Cara Penambahan Fasa Air Sedikit Demi Sedikit

Langkah selanjutnya yang ditempuh adalah dengan menggunakan cara emulsifikasi lain yaitu penambahan air mawar dilakukan sedikit demi sedikit. Menurut Becher dalam Suryani et al. (2000)

emulsifikasi dapat dilakukan dengan metode agen dalam minyak yaitu penambahan air langsung ke dalam campuran agen dalam minyak, sehingga terbentuk sistem emulsi air dalam minyak. Penambahan air yang terus menerus akan merubah sistem tersebut menjadi sistem emulsi minyak dalam air atau biasa disebut proses inversi.

Cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan buret untuk menambahkan bahan sedikit demi sedikit ke dalam bahan lain yang sedang diaduk . Tujuannya adalah membuat campuran lebih homogen. Formulasi ini tetap menggunakan bahan yang terdiri atas air mawar, bahan aktif, dan pengemulsi. Vaselin pun digunakan kembali dalam formula ini, karena merujuk pada penelitian Prasetyo (2011) yang telah membuat formula antinyamuk semprot yang menggunakan vaselin dengan perbandingan vaselin dengan tween 80 1:14.6. Vaselin berperan sebagai propellant yang membuat

butiran semprotan formula menjadi lebih halus dan merata. Selain itu, vaselin juga berperan sebagai penghambat pembentukan busa. Udara yang terperangkap dalam formula (busa) dapat menyebabkan oksidasi sehingga produk cepat rusak.

Pertimbangan penambahan vaselin ini dilakukan berdasarkan trial and error kualitatif dengan

cara menyemprotkan formula ke dinding tembok. Penyemprotan dilakukan dari jarak 20 cm. Bekas Asam stearat memadat


(37)

semprotan terlihat basah, baik semprotan Mortein, formula dengan vaselin, maupun yang tidak menggunakan vaselin. Diameter bekas semprotan mortein sekitar 5.5 cm. Diameter bekas semprotan formula dengan vaselin sekitar 7 cm. Diameter bekas semprotan formula tanpa vaselin sekitar 10.5 cm dan ada butiran air yang mengalir ke bawah, sedangkan pada formula dengan penambahan vaselin tidak ada butiran air yang mengalir ke bawah. Deskripsi bentuk semprotan Mortein, semprotan formula dengan tambahan vaselin dan semprotan formula yang tidak menggunakan vaselin ditunjukan oleh Gambar 11.

Gambar 11. Bentuk bekas semprotan Mortein (a), formula dengan vaselin (b) dan formula tanpa vaselin (c)

Selain itu, pertimbangan pemilihan vaselin juga dilakukan karena setelah proses pengadukan, dilakukan pengamatan terhadap busa yang terbentuk. Campuran tanpa vaselin masih membentuk busa dalam pengamatan selama 5 menit. Campuran dengan vaselin, awalnya terbentuk busa sesaat setelah pengadukan, tetapi setelah 5 menit, busanya menghilang.

Langkah pertama yang dilakukan dalam teknik emulsifikasi tersebut adalah pembuatan campuran yang terdiri atas tween 80, vaselin dan air suling (disebut campuran x). Ketiga bahan tersebut dicampurkan dan panaskan hingga suhu 60oC, sambil diaduk hingga homogen. Awalnya

bahan yang digunakan adalah air mawar, tetapi ketika dipanaskan sampai suhu 60oC, tercium aroma

yang tidak enak seperti bau asap daun yang terbakar, sehingga air mawar diganti dengan air suling karena baunya netral. Campuran x dicampurkan ke dalam bahan aktif setelah suhunya mencapai 40oC,

karena jika dicampurkan saat suhunya masih 60oC, akan menyebabkan bahan aktif cepat menguap.

Pada suhu dibawah 40oC campuran x mulai mengental, sehingga campuran tersebut harus

ditambahkan ke dalam bahan aktif yang sedang diaduk, jika tidak sambil diaduk, vaselin akan cepat memadat kembali sebelum tercampur. Setelah itu, air mawar dari buret dialirkan ke dalam campuran tersebut dengan katup terbuka 1/3-nya sekitar 50ml/4menit, sambil diaduk selama 1 jam.

(a) (b)

(c)

Noda basah bekas semprotan yang mengindikasikan perbedaan partikel

semprotan yang terbentuk

Butiran air mengalir pada dinding tembok yang

mengindikasikan bahwa partikel semprotan yang terbentuk ukurannya lebih besar


(38)

Cara emulsifikasi dengan penambahan fasa air sedikit demi sedikit ke dalam fasa minyak, merubah sistem emulsi (inversi) secara perlahan. Sistem emulsi awal yang terbentuk adalah sistem emulsi air dalam minyak. Air mawar yang ditambahkan sedikit demi sedikit dari buret akan terdispersi ke dalam campuran minyak atsiri dan campuran x yang sedang diaduk. Penambahan air dari buret yang kontinyu merubah sistem emulsi secara perlahan-lahan. Fasa air terus meningkat, sementara pengadukan tetap berlangsung, sehingga homogenitas campuran tetap terjaga. Kondisi sistem emulsi pun berbalik, yakni fasa minyak menjadi terdispersi dalam air, sehingga terbentuk emulsi minyak dalam air yang tetap homogen.

Hasil pengamatan menunjukan bahwa teknik emulsifikasi yang menggunakan buret dapat mendekati target 92% pada hari ke 7. Stabilitas emulsi dengan perbandingan tween 80 : bahan aktif 1:0.8 dan 1:1 menggunakan metode ini adalah 86% dan 91% pada pengamatan hari ke-7. Stabilitas emulsi dengan teknik ini ditunjukkan oleh Gambar 12 dan datanya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Berdasarkan trial and error yang telah dilakukan, formula antiserangga yang akan diujikan terdiri atas bahan aktif, air mawar, tween 80, vaselin, dan pewangi melati. Air mawar digunakan sebagai bahan pembawa, tween 80 sebagai pengemulsi, pewangi melati, dan vaselin sebagai propellant dan bahan anti busa. Perbandingan tween 80 dengan minyak atsiri dan pewangi adalah 1:1, perbandingan vaselin dengan tween 80 adalah 1:14.6, dan pewangi melati sebanyak 1%. Adapun teknik emulsifikasi untuk membuat formula antiserangga alami ini adalah dengan menambahkan air mawar sedikit demi sedikit sekitar 50ml/4menit menggunakan buret ke dalam campuran bahan aktif, pewangi melati, tween 80, vaselin, dan air suling.

4.2 Efektivitas dan Penerimaan Formula Antiserangga Alami

Penelitian utama meliputi uji efikasi dan uji hedonik. Uji efikasi dilakukan terhadap lalat dan nyamuk. Uji ini bertujuan mengetahui efektivitas formula antiserangga dalam melumpuhkan serangga (lalat dan nyamuk). Adapun uji hedonik bertujuan mengetahui penerimaan atau tingkat kesukaan konsumen terhadap aroma formula antiserangga. Pengaruh faktor dalam penelitian utama ini yaitu perbedaan bahan aktif dan konsentrasi. Bahan aktif yang digunakan adalah minyak daun cengkih, minyak serai wangi dan campuran kedua minyak tersebut dengan perbandingan 1:1. Setiap jenis bahan aktif diuji pada tiga tingkat konsentrasi yaitu 2.5%, 5%, dan 7.5%.

86 91

70 80 90 100

1 2 3 4 5 6 7

St

ab

ili

ta

s E

m

ul

si

(%

)

Waktu Pengamatan (Hari ke-)

minyak atsiri : tween 80 1:0.8

minyak atsiri : tween 80 1:1

0


(39)

4.2.1 Uji Efikasi Lalat

Lalat uji yang digunakan adalah lalat yang didapat dari sekitar tempat sampah asrama putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurut Santi (2001), lalat rumah (Musca domestika) banyak berkembang biak dan hidup pada sampah yang ditumpuk di tempat terbuka yang terdapat zat-zat organik. Tempat sampah asrama putri TPB IPB, kondisinya sama dengan yang digambarkan oleh Santi (2001) tersebut. Dengan demikian lalat yang diuji dalam penelitian ini termasuk lalat rumah.

Efektivitas antiserangga dalam melumpuhkan lalat pada konsentrasi 2.5%, 5%, dan 7.5% dengan bahan aktif minyak daun cengkih adalah 0%, 3%, 13%, dengan bahan aktif minyak serai wangi adalah 0%, 2%, 15%, dan dengan bahan aktif campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi 0%, 2%, dan 13%. Adapun produk pembanding, dapat melumpuhkan 100% lalat. Hasil uji efikasi lalat diilustrasikan oleh Gambar 13 .

Berdasarkan Gambar 13, antiserangga alami yang dibuat memiliki efektivitas yang rendah dalam melumpuhkan lalat, jika dibandingkan dengan produk pembanding, yaitu kurang dari 20%. Respon lalat terhadap antiserangga dan produk pembanding saat pengujian berbeda. Setelah penyemprotan dengan Mortein, lalat terbang kesana-kemari dengan cepat dan mengeluarkan suara yang keras. Lalat banyak yang jatuh sebelum dua menit pengamatan. Lalat yang jatuh dengan posisi punggung di bawah, terus bergerak berputar-putar pada posisi yang sama dan masih mengeluarkan suara. Sebagian besar lalat yang jatuh tidak menunjukan respon gerakan saat disentuh dengan cotton bud setelah pengamatan berakhir pada menit ke-20. Setelah perawatan selama 24 jam pun, yakni dimasukan ke dalam wadah berisi kapas basah oleh sukrosa 10% dan disimpan pada suhu kamar, semua lalat tersebut tidak menunjukan adanya respon gerakan, dan dinyatakan mati. Sedangkan respon lalat setelah disemprot dengan antiserangga, secara umum menunjukan respon yang berbeda dengan responnya terhadap mortein.

Setelah penyemprotan formula antiserangga alami, lalat terbang kesana-kemari tanpa suara yang keras seperti setelah penyemprotan mortein. Lalat sebagian besar terus menempel di dinding alat uji dan tidak terbang, lalat kemudian jatuh dan masih bisa jalan merayap. Setelah 20 menit pengamatan, lalat dipindahkan ke dalam gelas plastik untuk perawatan. Setelah 24 jam, sebagian lalat ada yang masih bisa merayap ke pinggir gelas, dan ada juga yang hanya merespon gerakan sedikit loncatan ketika disentuh dengan cotton bud. Data hasil uji efikasi lalat dapat dilihat pada Lampiran 9.

0 3 13 0 2 15 0 2 13 100 0 20 40 60 80 100

2.5% 5% 7.5% Mortein

K el um puh an La la t ( % ) Perlakuan Konsentrasi

minyak daun cengkih minyak serai wangi

campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi

produk pembanding


(1)

Lampiran 12. Analisis sidik ragam uji efikasi nyamuk

1. Perbedaan konsentrasi minyak daun cengkih terhadap kelumpuhan nyamuk berpengaruh signifikan. Konsentrasi 2.5%, 5%, dann 7.5% memberikan pengaruh yang berbeda satu sama lain.

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:angka_kelumpuhan_nyamuk

Source Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

konsentrasi 838.889 2 419.444 30.200 .001

Error 83.333 6 13.889

Total 4725.000 9

Duncana,,b

konsentrasi N Subset

1 2 3

2.5% 3 10.00

5.0% 3 18.33

7.5% 3 33.33

Sig. 1.000 1.000 1.000

2.Perbedaan konsentrasi minyak serai wangi terhadap kelumpuhan nyamuk berpengaruh signifikan. Konsentrasi 2.5% dan 5% memberikan pengaruh yang sama, sedangkan konsentrasi 7.5% memberikan pengaruh yang berbeda.

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:angka_kelumpuhan_nyamuk

Source Type III Sum of

Squares

Df Mean Square F Sig.

Konsentrasi 738.889 2 369.444 7.824 .021

Error 283.333 6 47.222

Total 4425.000 9

Uji lanjut Duncana,,b

konsentrasi N Subset

1 2

2.5% 3 10.0000

5.0% 3 16.6667

7.5% 3 31.6667

Sig. .280 1.000

3.Perbedaan konsentrasi campuran minyak serai wangi dan minyak daun cengkih (1:1) terhadap kelumpuhan nyamuk berpengaruh signifikan. Konsentrasi 2.5% dan 5% memberikan pengaruh yang sama, sedangkan konsentrasi 7.5% memberikan pengaruh yang berbeda.


(2)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:angak_kelumpuhan_nyamuk

Source Type III Sum of Squares

Df Mean Square F Sig.

Konsentrasi 822.222 2 411.111 9.867 .013

Error 250.000 6 41.667

Total 4475.000 9

Uji lanjut Duncana,,b

konsentrasi N Subset

1 2

2.5% 3 8.3333 5.0% 3 18.3333

7.5% 3 31.6667

Sig. .107 1.000

4.Perbedaan bahan aktif pada konsentrasi 2.5% terhadap kelumpuhan nyamuk tidak berpengaruh

signifikan.

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:angka_kelumpuhan_nyamuk

Source Type III Sum of Squares

Df Mean Square F Sig.

bahan_aktif 5.556 2 2.778 .143 .870

Error 116.667 6 19.444

Total 925.000 9

5.Perbedaan bahan aktif pada konsentrasi 5% terhadap keumpuhan nyamuk tidak berpengaruh

signifikan.

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:angak_kelumpuhan_nyamuk

Source Type III Sum of Squares

Df Mean Square F Sig.

BAHAN_AKTIF 5.556 2 2.778 .067 .936

Error 250.000 6 41.667

Total 3100.000 9

6.Perbedaan bahan aktif pada konsentrasi 7.5% terhadap kelumpuhan nyamuk tidak berpengaruh

signifikan.

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:angka_kelumpuhan_nyamuk

Source Type III Sum of Squares

Df Mean Square F Sig.

bahan_aktif 5.556 2 2.778 .067 .936

Error 250.000 6 41.667


(3)

Lampiran 13. Data hasil uji hedonik

Keterangan : 1= sangat tidak suka 2= tidak suka 3= agak tidak suka 4= netral

5= agak suka 6= suka 7= sangat suka

A1 = minyak daun cengkih dengan konsentrasi 2.5% A2 = minyak daun cengkih dengan konsentrasi 5% A3 = minyak daun cengkih dengan konsentrasi 7.5% B1 = minyak serai wangi dengan konsentrasi 2.5% B2 = minyak serai wangi dengan konsentrasi 5% B3 = minyak serai wangi dengan konsentrasi 7.5%

C1 = Campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi (1:1) dengan konsentrasi 2.5%

C2 = Campuran minyak daun cengkih dan minyak serai wangi (1:1) dengan konsentrasi 5%


(4)

(5)

Lampiran 14. Dokumentasi penelitian.

Sangkar uji nyamuk

Uji hedonik Formula obat antiserangga saat uji stabilitas emulsi

Sangkar uji lalat Lalat uji Perawatan lalat


(6)

���������������������������������������������������������������������������

��������������������������������������������������������������������������������� �����������������������������������������������������