Pembuatan Dan Karakterisasi Bahan Tablet Vitamin C Menggunakan Kitosan Dan Amylum Manihot Sebagai Matriks Melalui Metode Granulasi Basah.

(1)

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BAHAN TABLET VITAMIN C MENGGUNAKAN KITOSAN DAN AMYLUM MANIHOT SEBAGAI

MATRIKS MELALUI METODE GRANULASI BASAH

SKRIPSI

NIA PERMATA SARI 060802022

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BAHAN TABLET VITAMIN C MENGGUNAKAN KITOSAN DAN AMYLUM MANIHOT SEBAGAI

MATRIKS MELALUI METODE GRANULASI BASAH

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains

NIA PERMATA SARI 060802022

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BAHAN

TABLET VITAMIN C MENGGUNAKAN

KITOSAN DAN AMYLUM MANIHOT SEBAGAI MATRIKS MELALUI METODE GRANULASI BASAH

Kategori : SKRIPSI

Nama : NIA PERMATA SARI

Nim : 060802022

Program studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Desember 2010 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dr. Yuniarti Yusak, MS. Prof. BasukiWirjosentono.MS.Ph.D NIP. 130809726 NIP. 195204181980021001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nst. MS. NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI BAHAN TABLET VITAMIN C MENGGUNAKAN KITOSAN DAN AMYLUM MANIHOT SEBAGAI

MATRIKS MELALUI METODE GRANULASI BASAH

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2010

NIA PERMATA SARI 060802022


(5)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini sebagaimana mestinya. Adapun skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana di bidang kimia.

Pada kesempatan ini penulis ingin sekali menyampaikan rasa terimakasih dan kasih sayang yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Abuzar Mandai dan Ibunda Niswati Tanjung, Kakanda Nia Oktari, Adinda M. Hafiz, Adinda Nia Annisa Ferani, Adinda M. Akbar, Adinda Nia Julia Ulfah serta seluruh keluarga lainnya yang telah mendoakan, memberikan dukungan serta bantuan moril dan materil yang tak terhingga nilainya kepada penulis.

Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS.Ph.D. selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Yuniarti Yusak, MS. selaku dosen pembimbing II yang dengan ikhlas dan senantiasa memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Rumondang Bulan Nst, MS. dan Bapak Drs. Firman Sebayang, MS. selaku ketua dan sekretaris jurusan kimia yang telah mensyahkan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Thamrin, MSc. selaku dosen wali yang selalu membimbing

penulis.

4. Sahabat-sahabat dekatku : Afrima, Meniq, Fatma serta seluruh teman-teman rekan seperjuanganku stambuk 2006 terutama Maria.

5. Rekan-Rekan Asisten Kimia Fisika tercinta: Bang Fendy, Bang Fadli, Kak Tarra, Kak Sri, Kak Sari, Kak Kiki, Kak Rina, Kak Rahma, Kak Mega, Bang Misbah, Ismail, Ai, Amy, Reni, serta adik-adik : Wulan, Fika, Destia, Tisna, Wimpy, Firman, Rina, Rudnin, dan Enka.


(6)

Semoga Allah SWT memberikan imbalan yang berlipat ganda akan kebaikan kita semua.

Akhirnya penulis menyadari atas kekurangan materil dan keterbatasan literatur yang disajikan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan menjadi informasi yang baru bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Desember 2010 Penulis,


(7)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai keunggulan kitosan sebagai bahan pengisi dibandingkan amylum manihot dalam pembuatan bahan tablet vitamin C menggunakan metode granulasi basah. Suplemen vitamin C dibuat dalam 3 jenis formula dengan variasi perbandingan amilum dengan kitosan sebesar 100:0; 50:50; dan 0:100 (% b/b). Pengujian yang dilakukan meliputi sifat aliran granul melalui perhitungan laju alir dan sudut istirahat granul melalui metode corong; Penentuan laju disolusi vitamin C pada menit ke 2; 4; 6; 8; dan 10 menggunakan metode spektroskopi UV-Visibel serta interaksi intermolekular melalui hasil kajian FT-IR. Dari pengolahan data diperoleh bahwa: Suplemen matriks kitosan memiliki sifat aliran yang baik dengan nilai laju alir dan sudut diam masing-masing sebesar 16,95 g.det-1 dan 27,980, juga memiliki laju disolusi yang baik dengan nilai kelarutan vitamin C pada menit ke 2; 4; 6; 8; dan 10 masing-masing sebesar 0,0907; 0,4828; 2,246; 4,2311; dan 7,1815

μg/ml. Dari hasil kajian FT-IR diperoleh bahwa terjadi interaksi antara kitosan, amilum dan vitamin C.


(8)

THE MAKING AND CHARACTERIZATION SUPLEMEN OF VITAMIN C USING CHYTOSAN AND AMYLUM MANIHOT AS A MATRIX BY WET

GRANULATION METHOD ABSTRACT

The research have done about the advantage of chytosan as a matrix comparison with amylum manihot in the making of vitamin C suplemen made by wet granulation method. The suplemen of vitamin C was made became 3 kinds of formula by variation of amylum manihot to chytosan were 100:0; 50:50; 0:100 (%w⁄w). Test characteristic include the flow of granule with measure speed flow and inactive angle using funnel method; the dissolution test of vitamin C at the various time 2; 4; 6; 8; and 10 minutes using spectroscopy UV-Visible methods and intermolecular interaction using spectroscopy Infra Red method. The result showed that: Suplemen of vitamin C with chytosan as a matrix have a flow properties was very well with value the speed flow and inactive angle as 16,95 g.sec-1 and 27,980; the disolution of vitamin C was very well with value of vitamin C solubility 0,0907; 0,4828; 2,246; 4,2311; and 7,1815

μg/ml. from the analysis of spectroscopy Infra Red, make a conclusion that was interacted intermolecular each by amylum manihot, chytosan , and vitamin C.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN 3

PERNYATAAN 4

KATA PENGANTAR 5

ABSTRAK 7

ABSTRACT 8

DAFTAR ISI 9

DAFTAR TABEL 12

DAFTAR GAMBAR 13

DAFTAR LAMPIRAN 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 15

1.2. Permasalahan 17

1.3. Tujuan Penelitian 17

1.4. Pembatasan Masalah 17

1.5. Manfaat Penelitian 18

1.6. Metodologi Penelitian 18

1.7. Lokasi Penelitian 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kitosan

2.1.1. Struktur Kitosan 20

2.1.2. Sifat-Sifat Kitosan 21

2.1.3. Prospek Aplikasi Kitosan 22

2.2. Vitamin C

2.2.1. Struktur Vitamin C 23

2.2.2. Sifat-Sifat Umum Vitamin C 23

2.2.3. Farmakokinetik 24

2.2.4. Fungsi Vitamin C 24

2.2.5. Defisiensi Vitamin C 25

2.2.6. Sumber-Sumber Vitamin C 25

2.3. Pati

2.3.1. Amilosa 26

2.3.2. Amilopektin 27

2.3.3. Kegunaan Pati 28

2.4. Tablet

2.4.1. Granulasi 29

2.4.1.1. Pembuatan Bahan Tablet Menggunakan 29 Metode Granulasi Basah

2.4.1.2. Mekanisme Granulasi Basah 30

2.4.2. Bahan Pengikat 30

2.4.3. Karakter Fisik Granul


(10)

2.4.3.1.1. Kecepatan Aliran Granul 31 2.4.3.1.2. Sudut Istirahat Granul 32 2.5. Spektrofotometri Ultra Violet dan Visibel (UV-VIS)

2.5.1. Instrumentasi 34

2.5.2. Hukum Lambert-Beer 34

2.6. Spektrofotometri Infra Merah

2.6.1. Kegunaan Analisa Spektroskopi Infra Merah 36 2.6.2. Syarat – Syarat Interpretasi Spektrum 36 2.6.3. Spektrum Infra Merah Bahan Polimer 37 BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Alat – Alat 38

3.2. Bahan – Bahan 38

3.3. Prosedur Percobaan

3.3.1. Isolasi Amilum Dari Umbi Singko ng 39 (Manihot Utilissima)

3.3.2. Pembuatan Granul Dengan Metode Granulasi Basah 39 3.3.2.1. Pembuatan Bahan Pengikat Musilago Amylum 39 3.3.2.2. Pencampuran Bahan Aktif dan Pengisi Dengan 41 Penambahan Musilago Amylum Sebagai Pengikat 3.3.3. Karakterisasi Sifat Aliran Dengan Menghitung 42 Kecepatan Alir dan Sudut Istirahat Granul Melalui

Metode Corong.

3.3.4. Karakterisasi Laju Disolusi Bahan Aktif Vitamin C 43 Dengan Metode Spektoskopi UV-Visibel

3.3.4.1. Pembuatan Larutan HCl 0,1 N 43 3.3.4.2. Pembuatan Larutan Standar Kurva Kalibrasi 43

Vitamin C

3.3.4.2.1. Larutan Induk Standar Vitamin C 43 500 μg/ml

3.3.4.2.2. Larutan Induk Standar Vitamin C 43 100 μg/ml

3.3.4.2.3. Larutan Standar 8 μg/ml Untuk 43 Pembuatan λmaks

3.3.4.2.4. Larutan Seri Standar Vitamin C 44 Vitamin C

Untuk Pembuatan Kurva Kalibrasi

3.3.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Vitamin C 44 3.3.4.2.1. Penentuan λmaks

Vitamin C

Larutan Standar 44 3.3.4.2.2. Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan 44

Standar Vitamin C

3.3.4.4. Penentuan Laju Disolusi Vitamin C Dalam 44 Interval Waktu Pengambilan Sampel Larutan

Pada Saat Ekstraksi

3.3.5. Karakterisasi Interaksi Intermolekular Bahan Selama 45 Proses Pencampuran Dalam Pembuatan Granul Melalui

Analisis FT-IR 3.4. Bagan Percobaan

3.4.1. Bagan Isolasi Amilum Dari Umbi Singkong (Manihot 46 Utilissima)


(11)

3.4.2. Bagan Pembuatan Bahan Pengikat Musilago Amylum 47 3.4.3. Bagan Pembuatan Granul Suplemen Vitamin C 48 Menggunakan Kitosan dan Amylum Manihot Sebagai

Matriksnya

3.4.4. Bagan Pengambilan Data Untuk Menghitung Kecepatan 49 Alir dan Sudut Istirahat Granul Menggunakan Metode

Corong

3.4.5. Pembuatan Kurva Kalibrasi Vitamin C 50 3.4.6. Penentuan Laju Disolusi Vitamin C Dalam Interval Waktu Pengambilan Sampel Larutan Pada Saat Ekstraksi 3.4.7. Bagan Pengambilan Data Spektrum Hasil FT-IR 51 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisa Sifat Aliran Granul Dengan Menghitung Kecepatan 52 Aliran dan Sudut Istirahat Granul Dengan Metode Corong.

4.1.1. Data Hasil Pengukuran 52

4.1.2. Pengolahan Data 53

4.1.3. Analisa Sifat Aliran Granul 54

4.1.4. Pembahasan 54

4.2. Penentuan Laju Disolusi Vitamin C Dalam Interval Waktu 55 Pengambilan Sampel Larutan Pada Saat Ekstraksi

4.2.1. Penentuan Kadar Vitamin C Menggunakan Persamaan 56 Garis Regresi Metode Least Square

4.2.2. Pembahasan 57

4.3. Analisis Spektroskopi FT-IR

4.3.1. Spektrum FT-IR Amilum/(Starch) 59

4.3.2. Spektrum FT-IR Kitosan 60

4.3.3. Spektrum FT-IR Vitamin C 61

4.3.4. Spektrum FT-IR Material Campuran Amilum-Vitamin C 62 4.3.5. Spektrum FT-IR Material Campuran Kitosan-Vitamin C 63 4.3.6. Spektrum FT-IR Material Campuran Amilum-Kitosan- 64 Vitamin C

4.3.7. Pembahasan 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 67

5.1. Kesimpulan 5.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA 68


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Hubungan Antara Kecepatan Alir Dengan Sifat Aliran Granul 32 Tabel 2.2. Hubungan Sudut Istirahat Dengan Tipe Aliran 33

Tabel 3.1. Formulasi Granul 39

Tabel 4.1. Data Hasil Pengukuran Waktu Alir Granul Serta Tinggi 52 dan Diameter Timbunan Granul

Tabel 4.2. Data Hasil Perhitungan Kecepatan Alir dan Sudut Istirahat Granul 53 Tabel 4.3. Data Hasil Analisa Sifat Aliran Granul Yang Dihasilkan 54 Tabel 4.4. Data Absorbansi Larutan Seri Standar Vitamin C 56 Tabel 4.5. Data Absorbansi dan Kadar Vitamin C Pada Sampel Larutan 57 Yang Diambil Dalam Interval Waktu Tertentu Selama Proses

Ekstraksi Dari Formula A, B, dan C

Tabel F.1. Penurunan Persamaan Garis Regresi Metode Least Square 77 Kurva Kalibrasi Dari Larutan Seri Standar Vitamin C

Tabel G.1.Spektrum Serapan Beberapa Gugus Fungsi Khas Pada Daerah 79 Infra Merah


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur Kitosan 21

Gambar 2.2. Struktur Vitamin C 23

Gambar 2.3. Struktur Amilosa 27

Gambar 2.4. Struktur Amilopektin 27

Gambar 4.1. Grafik Kadar Vitamin C Yang Terlarut Pada Granul 58 Formula A, B dan C

Gambar 4.2. Spektrum FT-IR Amilum/(Starch) 59

Gambar 4.3. Spektrum FT-IR Kitosan 60

Gambar 4.4. Spektrum FT-IR Vitamin C 61

Gambar 4.5. Spektrum FT-IR Material Campuran Amilum-Vitamin C 62 Gambar 4.6. Spektrum FT-IR Material Campuran Kitosan-Vitamin C 63 Gambar 4.7. Spektrum FT-IR Material Campuran Amilum-Kitosan-Vitamin C 64 Gambar 4.8. Interaksi Kitosan Dengan Amilum dan Vitamin C 66


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A. Perhitungan Pembuatan Larutan Pereaksi HCl 0,1 N 71 Lampiran B. Perhitungan Konsentrasi Larutan Standar yang Digunakan 72

Untuk Menentukan λmaks

Lampiran C. Perhitungan Konsentrasi Larutan Seri Standar Vitamin C 73 Larutan Vitamin C

Untuk Pembuatan Kurva Kalibrasi Lampiran D. Kurva Spektrum λmaks

Lampiran E. Kurva Kalibrasi Larutan Seri Standar Vitamin C 76 Larutan Standar Vitamin C 8 µg/ml 75

Lampiran F. Pengolahan Data Metode Least Square Hasil Pengukuran 77 Absorbansi Larutan Seri Standar Vitamin C

Lampiran G. Data Serapan Beberapa Gugus Fungsi Khas Pada 79 Daerah Infra Merah


(15)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai keunggulan kitosan sebagai bahan pengisi dibandingkan amylum manihot dalam pembuatan bahan tablet vitamin C menggunakan metode granulasi basah. Suplemen vitamin C dibuat dalam 3 jenis formula dengan variasi perbandingan amilum dengan kitosan sebesar 100:0; 50:50; dan 0:100 (% b/b). Pengujian yang dilakukan meliputi sifat aliran granul melalui perhitungan laju alir dan sudut istirahat granul melalui metode corong; Penentuan laju disolusi vitamin C pada menit ke 2; 4; 6; 8; dan 10 menggunakan metode spektroskopi UV-Visibel serta interaksi intermolekular melalui hasil kajian FT-IR. Dari pengolahan data diperoleh bahwa: Suplemen matriks kitosan memiliki sifat aliran yang baik dengan nilai laju alir dan sudut diam masing-masing sebesar 16,95 g.det-1 dan 27,980, juga memiliki laju disolusi yang baik dengan nilai kelarutan vitamin C pada menit ke 2; 4; 6; 8; dan 10 masing-masing sebesar 0,0907; 0,4828; 2,246; 4,2311; dan 7,1815

μg/ml. Dari hasil kajian FT-IR diperoleh bahwa terjadi interaksi antara kitosan, amilum dan vitamin C.


(16)

THE MAKING AND CHARACTERIZATION SUPLEMEN OF VITAMIN C USING CHYTOSAN AND AMYLUM MANIHOT AS A MATRIX BY WET

GRANULATION METHOD ABSTRACT

The research have done about the advantage of chytosan as a matrix comparison with amylum manihot in the making of vitamin C suplemen made by wet granulation method. The suplemen of vitamin C was made became 3 kinds of formula by variation of amylum manihot to chytosan were 100:0; 50:50; 0:100 (%w⁄w). Test characteristic include the flow of granule with measure speed flow and inactive angle using funnel method; the dissolution test of vitamin C at the various time 2; 4; 6; 8; and 10 minutes using spectroscopy UV-Visible methods and intermolecular interaction using spectroscopy Infra Red method. The result showed that: Suplemen of vitamin C with chytosan as a matrix have a flow properties was very well with value the speed flow and inactive angle as 16,95 g.sec-1 and 27,980; the disolution of vitamin C was very well with value of vitamin C solubility 0,0907; 0,4828; 2,246; 4,2311; and 7,1815

μg/ml. from the analysis of spectroscopy Infra Red, make a conclusion that was interacted intermolecular each by amylum manihot, chytosan , and vitamin C.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia menggunakan basa natrium hidroksida atau reaksi enzimatis menggunakan enzim chitin deacetylase. Serat ini bersifat tidak dicerna dan tidak diserap tubuh. Sifat menonjol kitosan adalah kemampuan mengabsorpsi lemak hingga 4-5 kali beratnya. Untuk meningkatkan efektivitas pengikat lemak, kapsul kitosan dicampur dengan asam sitrat dan asam askorbat. Penambahan asam askorbat meningkatkan jumlah lemak yang hilang sebagai feses dan dapat menurunkan penyerapan lemak oleh tubuh hingga 50 %. Penambahan asam askorbat juga berfungsi sebagai antioksidan untuk mengurangi jumlah radikal bebas (http://4-healthyfood.blogspot.com).

Kitosan memiliki struktur molekul yang hampir sama dengan struktur molekul senyawa turunan karbohidrat lainnya seperti selulosa dan amilum. Selulosa dan amilum telah sering digunakan sebagai bahan tambahan/pengisi dalam proses pembuatan bahan dasar tablet. Komponen utama bahan dasar tablet adalah bahan aktif/obat, sering kali bahan aktif diperlukan dalam dosis yang kecil. Agar dapat mudah dicetak menjadi tablet, diperlukan bahan pengisi tambahan untuk mencukupkan massa agar mudah dicetak.

Bahan-bahan dasar massa cetak tablet harus dicampur hingga homogen dan dibuat menjadi bentuk granul. Proses pembuatan granul ini dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode granulasi basah dan metode granulasi kering. Metode granulasi basah yang paling sering digunakan karena memiliki beberapa keuntungan dibandingkan metode granulasi kering. Metode granulasi basah ditandai dengan


(18)

penggunaan bahan pengikat yang ditambahkan ke dalam campuran bahan dasar yang telah dihomogenkan untuk memperoleh massa granul.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan memanfaatkan biopolimer kitosan sebagai matriks/bahan pengisi dalam pembuatan bahan dasar suplemen vitamin C sebelum dicetak menjadi tablet. Pemanfaatan kitosan sebagai matriks dalam pembuatan suplemen Vitamin C dapat mengurangi pengaruh nyeri lambung karena sistem pelepasan vitamin C secara berkala oleh kitosan di dalam tubuh dan untuk mencegah terjadi naiknya kolesterol dalam darah karena kemampuan kitosan dalam menyerap lemak.

Bahan tablet ini diproses menjadi granul melalui metode granulasi basah. Granul yang dihasilkan akan dikarakterisasi sesuai standar massa cetak granul sebelum dicetak menjadi tablet untuk melihat apakah kitosan mempunyai kemampuan yang sama dengan matriks yang umum digunakan seperti amylum manihot sebagai matriks dalam pembuatan bahan tablet.

Karakterisasi bahan tablet berupa granul yang dihasilkan akan dikarakterisasi secara fisika dan kimia. Karakterisasi fisika yaitu karakterisasi sifat aliran dengan menghitung kecepatan alir dan sudut istirahat granul yang dihasilkan untuk melihat apakah granul yang dihasilkan mempunyai sifat fisika massa cetak tablet yang baik melalui metode corong. Karakterisasi kimia meliputi uji laju disolusi bahan aktif melalui metode spektroskopi UV-Visibel dan uji interaksi intermolekular antar bahan yang mungkin terjadi selama proses pencampuran bahan menjadi granul melalui metode spektroskopi infra merah (FT-IR).

Telah diteliti sebelumnya oleh Ang Lee Fung (2007) dalam pembuatan membran kitosan sebagai biosensor glukosa. Hasil kajian analisis FT-IR menunjukkan interaksi intermolekular antara kitosan dan glukosa oksidase (GOD) melalui ikatan-silang dengan glutaraldehid pada proses penyerapannya (Fung, A.L., 2007). Berdasarkan hal tersebut, peneliti juga tertarik untuk mengetahui apakah terjadi interaksi intermolekular antar bahan selama proses pencampuran bahan menjadi granul melalui hasil kajian analisis FT-IR.


(19)

1.2. Permasalahan

1. Bagaimanakah pengaruh penggunaan kitosan sebagai matriks terhadap sifat aliran granul jika dibandingkan dengan matriks amylum manihot.

2. Bagaimanakah laju disolusi bahan aktif yaitu vitamin C dalam granul setelah dicampurkan dengan matriks kitosan dan amylum manihot.

3. Apakah interaksi intermolekular terjadi antar bahan selama proses pencampuran bahan menjadi granul.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan kitosan sebagai matriks terhadap sifat aliran granul jika dibandingkan dengan matriks amylum manihot.

2. Untuk mengetahui laju disolusi bahan aktif yaitu vitamin C dalam granul setelah dicampurkan dengan matriks kitosan dan amylum manihot.

3. Untuk mengetahui interaksi intermolekular yang terjadi antar bahan selama proses pencampuran bahan menjadi granul.

1.4. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini hanya dibatasi untuk pembuatan granul suplemen vitamin C, dengan memvariasikan kitosan dan amilum yang digunakan sebagai matriksnya. Parameter yang diamati meliputi karakterisasi sifat fisika dan kimia granul yang dihasilkan. Karakterisasi sifat fisika yaitu karakterisasi sifat aliran dengan menghitung kecepatan aliran dan sudut istirahat granul yang dihasilkan sesuai standar massa granul yang baik sebelum dicetak menjadi tablet melalui metode corong. Karakterisasi sifat kimia meliputi uji disolusi bahan aktif yaitu vitamin C setelah dicampurkan dengan matriks melalui metode spektroskopi UV-Visibel dan uji interaksi intermolekular yang mungkin terjadi antar bahan selama proses pencampuran bahan menjadi granul melalui metode spektroskopi infra merah (FT-IR).


(20)

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang manfaat kitosan sebagai aplikasinya dalam bidang farmasi dan biomedikal serta sebagai bahan penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik kitosan melalui interaksinya dengan senyawa lain.

1.6. Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium yaitu untuk mengetahui sejauh mana kitosan dapat digunakan sebagai matriks pada pembuatan granul suplemen vitamin C melalui karakterisasi fisika dan kimia granul yang dihasilkan.

Granul suplemen vitamin C dibuat melalui metode granulasi basah

menggunakan amylum manihot dan kitosan sebagai matriks atau bahan pengisi tambahan. Pembuatan granul melalui metode granulasi basah tidak lepas dari peran penggunaan bahan pengikat untuk mengubah bahan campuran berpartikel halus menjadi partikel dalam bentuk kasar yang disebut dengan granul. Peneliti memilih menggunakan amylum manihot sebagai perekat karena merupakan bahan yang umum digunakan sebagai bahan pengikat dan mudah diperoleh.

Tahapan penelitian meliputi :

1. Isolasi amilum dari umbi singkong (Manihot Utilissima)

2. Pembuatan granul melalui metode granulasi basah.

2.1. Pembuatan bahan perekat musilago amylum/gelatin dari amylum manihot. 2.2. Pencampuran bahan aktif dan pengisi hingga homogen dan penambahan bahan pengikat hingga diperoleh massa granul yang kompak.

3. Karakterisasi fisik granul yaitu karakterisasi sifat aliran dengan menghitung kecepatan alir dan sudut istirahat granul menggunakan metode corong.


(21)

4. Karakterisasi kimia granul meliputi :

4.1. Uji laju disolusi bahan aktif melalui metode spektroskopi UV-Visibel. 4.2. Uji interaksi intermolekular yang terjadi antar bahan selama proses pencampuran bahan menjadi granul melalui metode spektroskopi infra merah (FT-IR).

Adapun parameter yang digunakan antara lain :

1. Parameter tetap meliputi : 1.1 Massa vitamin C

1.2. Massa bahan pengikat musilago amylum

2. Parameter bebas meliputi :

Massa kitosan : massa amylum manihot (0:100 ; 50:50 ; 100:0) % b�b

3. Parameter terikat meliputi :

3.1. Karakterisasi sifat aliran granul dengan menghitung kecepatan alir dan sudut istirahat granul melalui metode corong.

3.2. Karakterisasi laju disolusi bahan aktif yaitu vitamin C dalam granul setelah dicampurkan dengan matriks kitosan dan amylum manihot.

3.3. Karakterisasi interaksi intermolekular yang mungkin terjadi antar bahan selama proses pencampurann bahan menjadi granul melalui hasil analisa spektroskopi infra merah ( FT-IR ).

1.7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika F-MIPA USU dan Laboratorium Kuantitatif F-FARMASI USU serta uji FT-IR di Laboratorium Bea Cukai Belawan-Medan.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kitosan

Cangkang dari lobster, kumbang, dan laba-laba mengandung kitin. Kitin merupakan polisakarida terbanyak kedua yang berlimpah di alam (selulosa merupakan yang terbanyak). Kitin merupakan bahan polimer yang memiliki struktur yang keras. Tersusun atas N-asetil-d-glukosamin yang lebih banyak dari glukosa, tetapi mempunyai struktur yang hampir sama dengan selulosa (McMurray, J., 2007).

Kitosan adalah biopolimer alami terutama sebagai penyusun cangkang (kulit-kulit keras), udang-udangan, dan serangga, serta penyusun dinding sel ragi dan jamur. Karena sifatnya yang khas seperti bioaktivitas, biodegradasi, dan kelihatannya kitosan dapat memberikan kegunaan yang diterapkan dalam berbagai bidang (Manskarya,S.M. & Drodsora, 1968).

2.1.1. Struktur Kitosan

Kitosan ditemukan oleh Rouget pada tahun 1959. Kitosan memiliki struktur {(1-4)-2-Amino-2-Deoksi-β-D-Glukosa}. Perbedaan kandungan amina adalah sebagai patokan untuk menentukan apakah polimer ini dapat dibentuk menjadi kitin atau kitosan. Kitosan mengandung gugus amina lebih besar 60%, sebaliknya amina lebih kecil 60% adalah kitin (Robert, G.A.F.,1978).


(23)

Kitosan juga terdapat secara alami dalam beberapa jamur namun tidak sebanyak kitin. Struktur idealnya dapat dilihat dari gambar dibawah ini :

Gambar 2.1. Struktur Kitin dan Kitosan

2.1.2. Sifat – Sifat Kitosan

Kitosan adalah suatu senyawa yang memiliki rantai linear dari D-Glukosamin dan N-Asil D-Glukosamin yang terangkai pada posisi β (1-4). Kitosan dihasilkan dari deasetilasi kitin. Karena dalam bentuk kationik, bentuk kitosan yang tidak larut dalam air akan membentuk polielektronik dengan anion polielektronik. Kitosan telah digunakan dalam bidang biomedikal dan farmasi karena kitosan bersifat biokompatibel, biodegradasi dan tidak beracun. Sifat basa ini menjadikan kitosan:

1. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat digunakan dalam pembuatan gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons.

2. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan membran.

3. Dapat digunakan sebagai pengkelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan sistem produksi terhadap efek dekstruksi dari ion (Meriaty, 2002).

Kitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, juga tidak larut dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH di atas 6,5. Dengan adanya sejumlah asam,


(24)

maka dapat larut dalam air - metanol, air - etanol, dan campuran lainnya. Kitosan larut dalam asam formiat dan asam asetat dan menurut Peniston dalam 20% asam sitrat juga dapat larut. Asam organik lainnya juga tidak dapat melarutkan kitosan, asam-asam anorganik lainnya pada pH tertentu setelah distirer dan dipanaskan dan asam sitrat juga dapat melarutkan kitosan.

Kitosan bersifat polikationik yang dapat mengikat lemak dan logam berat pencemar. Kitosan yang mempunyai gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat sangat reaktif dan bersifat basa (Inoue et al, 1994).

Kitosan dalam bentuk terprotonasi menunjukkan kerapatan muatan yang tinggi dan bersifat sebagai polielektrolit kationik dan sangat efektif berinteraksi dengan biomolekul bermuatan negative dan biomolekul permukaan. Sedangkan dalam bentuk netralnya, kitosan mampu mengompleks ion logam berat berbahaya seperti Cu, Cr, Cd, Co, Ph, Hg, Zn, dan Pd (Sugita, P., 2009).

2.1.3. Prospek Aplikasi Kitosan

Kitosan banyak dimanfaatkan dalam bidang biomedik, farmasi, pengawetan pangan, mikrobiologi, dan lain-lain. Beberapa fungsi kitosan adalah sebagai aktivitas antimikroba, koagulasi darah, mempercepat pembentukan fibroblast dalam tubuh binatang dan yang lainnya.

Kitosan teregenerasi adalah aplikasi lain yang menonjol pada masa yang akan datang untuk tujuan biomedik karena sifatnya yang biodegradabel dengan toksisitas rendah dan biokompatibilitas dalam tubuh binatang. Banyak fungsi kitosan yang telah dipublikasikan, fungsi ini termasuk biodegradabilitas dalam tubuh binatang, aktivitas antimikroba, flokulan, adsorbsi logam berat dan sebagai pembawa untuk sistem pelepasan obat (Kaban, 2009).


(25)

2.2. Vitamin C ( Asam Askorbat )

Vitamin ini digolongkan sebagai vitamin yang larut dalam air. Susunan kimia vitamin C ditemukan pada tahun 1933 oleh ilmuwan Inggris dan Swiss. Isolasi asam askorbat mula-mula ditemukan oleh King dari USA dan Szent-Gyorgy dari Hungaria. Vitamin ini mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk oksidasi (bentuk dehidro) dan bentuk reduksi. Kedua bentuk ini mempunyai aktivitas biologi. Dalam makanan bentuk reduksi yang terbanyak. Bentuk dehidro dapat terus teroksidasi menjadi diketogulanic acid yang inaktif.

2.2.1. Struktur Vitamin C

Struktur vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.2 Struktur Vitamin C

Keadaan vitamin C inaktif sering terjadi pada proses pemanasan (bila sayur-sayuran dimasak). Di dalam suasana asam vitamin ini lebih stabil daripada dalam basa yang menjadi inaktif (Prawirokusumo, S., 1991).

2.2.2. Sifat – Sifat Umum Vitamin C

Vitamin C yang mempunyai rumus empiris C6H8O6 dalam bentuk murni merupakan Kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190-1920 C. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam. Vitamin C sangat


(26)

mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan tidak larut dalam benzene, eter, khloroform, minyak dan sejenisnya. Walaupun vitamin C stabil dalam bentuk Kristal, tetapi mudah rusak atau terdegradasi jika berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti Cu dan Fe dan cahaya. Sifat utama dari vitamin C adalah kemampuan mereduksinya yang kuat dan mudah teroksidasi yang dikatalis oleh beberapa logam, terutama Cu dan Ag (Andarwulan, N., 1992).

2.2.3. Farmakokinetik

Vitamin C mudah diabsorpsi melalui saluran cerna. Pada keadaan normal tampak kenaikan kadar vitamin C dalam darah setelah diabsorpsi. Kadar dalam leukosit dan trombosit lebih besar dari pada dalam plasma dan sel darah merah. Distribusinya luas keseluruh tubuh dengan kadar tertinggi dalam kelenjar dan terendah dalam otot dan jaringan lemak. Ekskresi melalui urin dalam bentuk utuh dan bentuk garam sulfatnya terjadi jika kadar dalam darah melewati ambang rangsang ginjal 1,4 mg%. Efisiensi absorpsi akan berkurang dan kecepatan ekskresi meningkat bila digunakan jumlah lebih besar (Rosmiati, H. & S.Wardhini, 1987).

2.2.4. Fungsi Vitamin C

Fungsi utama vitamin C adalah sebagai Anti Oksidan. Asam askorbat diperlukan untuk pembentukan semua jaringan tubuh, terutama untuk pembentukan jaringan ikat. Jaringan ikat adalah bahan pembungkus yang terpisah, yang melindungi dan menyangga berbagai organ. Asam askorbat membantu absorpsi zat besi dalam usus (Gaman, M., & Sherrington K.B., 1981).

Vitamin C juga berperan menghambat reaksi-reaksi oksidasi dalam tubuh yang berlebihan dengan bertindak sebagai inhibitor. Tampaknya vitamin C merupakan vitamin yang essensial untuk memelihara fungsi normal semua unit sel termasuk struktur-struktur subsel seperti ribosom dan mitokondria. Kemampuan vitamin ini untuk melepaskan dan menerima menunjukkan adanya peran yang sangat penting pada


(27)

proses metabolisme. Peranan vitamin C dalam menanggulangi flu telah banyak dilaporkan. Pada binatang percobaan ternyata bahwa kadar vitamin C yang tinggi dapat meningkatkan sintesis vitamin B kompleks dalam intestin (Poedjiadi, A., 1994).

2.2.5. Defisiensi Vitamin C

Beberapa akibat dari kekurangan konsumsi vitamin C :

1. Skorbut, pendarahan gusi, kulit mengelupas (Poedjiadi, A., 1994).

2. Mudah terjadi luka dan infeksi tubuh, dan kalau sudah terjadi sukar disembuhkan.

3. Hambatan pertumbuhan pada bayi dan anak-anak.

Skorbut dalam bentuk berat sekarang jarang terjadi karena sudah diketahui cara mencegah dan mengobatinya. Tanda-tanda awal antara lain lelah, lemah, nafas pendek, kejang otot, tulang otot persendian sakit serta kurang nafsu makan, kulit menjadi kering , kasar dan gatal, warna merah kebiruan di bawah kulit, perdarahan gusi, kedudukan gigi menjadi longgar, mulut dan mata kering dan rambut rontok. Di samping itu luka sukar sembuh, terjadi anemia, kadang-kadang jumlah sel darah putih menurun, serta depresi dan timbul gangguan saraf. Gangguan saraf dapat terjadi berupa histeria, depresi diikuti oleh gangguan psikomotor. Gejala skorbut terlihat bila taraf asam askorbat dalam serum turun di bawah 0,20 mg/dl (Almatsier, S., 2001).

2.2.6. Sumber-Sumber Vitamin C

Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier, S., 2001).


(28)

Sediaan yang banyak beredar di pasaran adalah sediaan 500 mg. kadang-kadang juga dijumpai sediaan 1000 mg. rasanya pun bermacam-macam. Ada rasa jeruk, strawberi, anggur, dan lain-lain.

Kebutuhan vitamin C harian yang dianjurkan berbeda-beda untuk beberapa Negara. Di Inggris (food Standard agency) menganjurkan 40 mg sehari; di Kanada 60 mg sehari; di Amerika Serikat (National Academy of Sciences) 60-95 mg sehari. Sedangkan WHO menganjurkan konsumsi vitamin C 45 mg sehari. Batas tertinggi konsumsi vitamin C yang masih bisa di toleransi oleh tubuh menurut National Academy of Science adalah 2000 m

2.3. Pati

Pati merupakan cadangan makanan dari sel tanaman. Pati merupakan sumber terpenting pada bahan makanan manusia berupa karbohidrat. Beberapa makanan pokok manusia (seperti kentang, beras, jagung, dan gandum) mengandung pati. Polisakarida yang terkandung di dalam pati yaitu amilosa dan amilopektin.

2.3.1. Amilosa

Amilosa memiliki struktur rantai panjang yang tidak bercabang yang tersusun atas monomer - monomer glukosa dengan ikatan α (1,4) glikosida. Molekul amilum yang mengandung ribuan gugus glukosa, yang memiliki berat molekul dari 150.000 hingga 600.000 D. Struktur rantai polimer amilum lurus dan rapat, sehingga amilum dapat disimpan lama. Adanya enam unit glukosa perputaran heliks menyebabkan amilosa berbentuk tabung dan kompleks. Hal ini disebabkan bermacam – macam molekul kecil dapat masuk ke dalam kumparannya. Bukti pembentukan kompleks tersebut adalah warna biru tua yang dihasilkan oleh pati bila ditambahkan iod (Fessenden, R.J. & Fessenden J.S., 1992). Struktur amilosa dapat dilihat pada gambar di bawah ini :


(29)

Gambar 2.3. Struktur Amilosa

2.3.2. Amilopektin

Amilopektin, suatu polisakarida yang jauh lebih besar daripada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Rantai utama dalam amilopektin mengandung 1,4-α-D-glukosa. Amilopektin memiliki percabangan, sehingga terdapat satu glukosa ujung untuk kira – kira tiap 25 satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan 1,6-α-glikosida.

Gambar 2.4. Struktur Amilopektin

Pati dalam jaringan tanaman berbentuk granul (butir) yang berbeda – beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik dan juga dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi.

Granul pati dapat dibuat membengkak luar biasa dan bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut dengan gelatinasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut gelatinasi. Suhu gelatinasi dipengaruhi oleh


(30)

konsentrasi pati dan pH. Jadi, gelatinasi juga dapat didefinisikan sebagai konversi dari keadaan kristalin, butir pati menjadi terdispersi dalam keadaan amorf (Wurzburg, 1986).

2.3.4. Kegunaan Pati

Pati sebagai bahan perekat, sering digunakan pada kertas karton, label botol, alat tulis dan keperluan ringan lainnya. Pati juga merupakan bahan mentah penting bagi aplikasi industri, baik sebagai bahan makanan, maupun bukan makanan, seperti untuk industri polimer terdegradasi, dan pengganti selulosa dalam industri kertas (Jansson, C., 1995).

2.4. Tablet

Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa - cetak, berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Untuk membuat tablet diperlukan zat tambahan berupa :

1. Zat pengisi : ditambahkan untuk memperbesar volume tablet, biasanya digunakan Saccharum Lactis, Amylum Manihot, dan zat lain yang cocok.

2. Zat pengikat : ditambahkan agar tablet tidak pecah atau retak dan dapat merekat, biasanya yang digunakan adalah Amylum Manihot.

Bila bahan bersifat hidrofob maka bahan pengikatnya 30% dari berat tablet. Bila bahan bersifat hidrofil maka bahan pengikatnya 10-20% dari berat tablet.

Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat, zat-zat lain, kecuali zat pelicin dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak mengisi cetakan tablet dengan baik, maka dibuat granul agar mudah mengalir mengisi cetakan serta menjaga agar tablet tidak retak. Cara membuat granul ada 2 macam, yaitu cara basah dan cara kering (Anief, M., 1996).


(31)

2.4.1. Granulasi

Granulasi adalah proses pembesaran ukuran di mana partikel kecil bersama-sama menjadi besar, berupa agregat permanen di mana partikel asal masih dapat diidentifikasi. Granulasi digunakan terutama untuk produksi tablet atau kapsul. Sebagai produk antara digunakan granul dengan distribusi ukuran lebar. Granul dapat pula digunakan sebagai bentuk sediaan.

Granulasi diawali sesudah pencampuran serbuk bahan obat dengan eksipien yang dibutuhkan (pengisi, penghancur, dan sebagainya) sehingga distribusi uniform tercapai.

Tujuan granulasi dalam manufaktur tablet :

1. Meningkatkan sifat aliran yang berarti uniformitas massa dari sediaan/dosis. 2. Mencegah pemisahan komponen campuran.

3. Meningkatkan karakteristik dari campuran.

2.4.1.1. Pembuatan Bahan Tablet Menggunakan Metode Granulasi Basah

Granulasi basah atau aglomerasi serbuk dilakukan dengan cara pengadukan/agitasi serbuk atau campuran serbuk dengan keberadaan cairan yang biasanya berupa larutan pengikat yang sudah dicampurkan dengan serbuk kering. Pembentukan granul dan pertumbuhan berlangsung karena efek ikatan mobil-liquid yang terbentuk antara partikel primer.

Prosesnya meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Deaglomerasi bahan awal dengan penggilingan atau pengayakan. 2. Pencampuran kering bahan awal.

3. Penambahan cairan dan pembentukan massa basah/lembab. 4. Pengayakan massa basah untuk menghilangkan bongkahan besar. 5. Pengeringan.

6. Penggilingan atau pengayakan granul kering untuk mencapai ukuran granul/distribusi ukuran granul yang sesuai.


(32)

2.4.1.2. Mekanisme Granulasi Basah

Mekanisme granulasi basah didasarkan pada kekuatan ikatan cairan dalam aglomerat basah. Apabila serbuk dicampur dengan cairan yang membasahi permukaan partikel yang mempunyai sudut kontak rendah terhadap padat, sistem cenderung menurunkan energi bebas permukaan dengan cara pembentukan jembatan cairan antara partikel. Jika jumlah cairan meningkat, jembatan cairan berkoalesensi, dan secara bertahap berubah manjadi cair.

Serbuk sangat halus dapat beraglomerasi secara spontan bila diaduk karena efek ikatan Van Der Waals dan elektrostatik. Biasanya aglomerasi serbuk memerlukan penambahan jumlah tepat cairan yang membasahi permukaan padat dan menghasilkan ikatan cairan yang diperlukan. Pembesaran ukuran berlangsung menurut metode agitasi sesuai dengan beberapa mekanisme berikut :

1. Nukleasasi dari partikel primer karena pembentukan ikatan jembatan. 2. Koalesensi antara aglomerat yang bertumbukan.

3. Pelapisan partikel dari penguraian aglomerat yang sudah mantap. 4. Pertumbuhan bola (Agoes, G., 2008).

2.4.2. Bahan Pengikat

Merupakan bahan yang mempunyai sifat kohesif dan adhesif yang mampu mengaglomerasi partikel serbuk kering membentuk granul sesudah pengeringan. Ditambahkan pada campuran serbuk setelah dilarutkan dalam cairan penggranul.

Kadar tinggi pengikat, terutama turunan selulosa dapat menimbulkan masalah disintegrasi dan disolusi tablet karena membentuk lapisan musilago di sekitar permukaan partikel. Pada obat yang bersifat hidrofob, pengikat dapat mempercepat disolusi (Agoes, G., 2008).

Pati sering digunakan sebagai bahan pengikat, pati yang sering digunakan yaitu musilago amili 5-10%. Tergantung pada jumlah panas yang digunakan, pati dapat


(33)

terhidrolisis menjadi dekstrin dan kemudian glukosa. Oleh karena itu, ketelitian dalam pembuatan musilago amili diperlukan untuk menghasilkan perbandingan pati dan produk hidrolisisnya konsisten dan benar, dan juga untuk pencegahan pengarangan.

Musilago amili merupakan pengikat serbaguna untuk menghasilkan tablet yang terdisintegrasi dengan cepat, dan granulasi hanya dibuat dengan menggunakan pati sebagai pengikat internal dan digranulasi dengan air (Wikarsa, S.,2008).

2.4.3. Karakter Fisik Granul

Sifat-sifat fisikomekanik granul mencakup ukuran partikel, luas permukaan, aliran granul yang dapat ditentukan dengan menghitung kecepatan alir dan sudut istirahat granul. Yang akan dibahas disini adalah sifat aliran granul.

2.4.3.1. Sifat Aliran Granul 2.4.3.1.1. Kecepatan Alir Granul

Sifat aliran granul sangat penting untuk pembuatan tablet yang efisien. Aliran granul yang baik untuk dikempa sangat penting untuk memastikan pencampuran yang efisien. Oleh karena itu, selama evaluasi praformulasi terhadap zat aktif, karakteristik mampu alirnya harus dipelajari, terutama apabila dosisi obat yang diantisipasi besar.

Sifat aliran serbuk yang baik merupakan hal penting untuk pengisian yang seragam ke dalam lubang cetak mesin tablet dan untuk memudahkan gerakan bahan di sekitar fasilitas produksi. Sifat aliran dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk partikel, partikel yang lebih beasar dan bulat menunjukkan aliran yang lebih baik. Metode untuk mengevaluasi sifat aliran granul yang sering digunakan adalah metode corong (langsung).

Kecepatan alir diketahui melalui metode corong. Metode ini paling sederhana untuk menetapkan mampu alir granul secara langsung, yakni kecepatan alir granul


(34)

dengan bobot tertentu melalui corong diukur dalam detik. Suatu penutup sederhana ditempatkan pada lubang keluar corong lalu diisi dengan granul yang telah ditimbang terlebih dahulu. Ketika penutup dibuka, waktu yang dibutuhkan granul untuk keluar dicatat. Dengan membagi massa serbuk dengan waktu keluar tersebut, kecepatan alir diperoleh sehingga dapat digunakan untuk perbandingan kuantitatif granul yang berbeda.

Kecepatan aliran granul = massa (g)

waktu (s) (Persamaan 2.1)

Tabel 2.1. Hubungan Antara Kecepatan Alir Dengan Sifat Aliran Granul Laju Alir ( g/s ) Sifat Aliran

>10 Sangat baik

4-10 Baik

1,6-4 Sukar

<1,6 Sangat sukar

2.4.3.1.2. Sudut Istirahat Granul

Metode sudut istirahat telah digunakan sebagai metode tidak langsung untuk mengukur mampu alir granul karena hubungannya dengan kohesi antarpartikel. Banyak metode yang berbeda untuk menetapkan sudut istirahat dan salah satunya yang digunakan adalah metode corong.

Granul dengan massa tertentu dilewatkan melalui corong dan jatuh ke atas sehelai kertas grafik. Setelah onggokan granul membentuk kerucut stabil, sudut istirahatnya diukur. Metode ini disebut “uji sudut jatuh”. Untuk kebanyakan farmasetik, nilai sudut istirahat berkisar dari 25o- 45o, dengan nilai yang rendah menunjukkan karakteristik yang lebih baik.

Suatu granul yang tidak kohesif mengalir baik, menyebar, membentuk timbunan yang rendah. Bahan yang lebih kohesif membentuk timbunan yang lebih


(35)

tinggi yang kurang menyebar. Definisi sudut istirahat adalah sudut permukaan bebas dari tumpukan granul dengan bidang horizontal.

Sudut istirahat (θ) : Arc Tangen θ = 2 tinggi puncak granul

diameter lingkaran (Persamaan 2.2)

Tabel 2.2. Hubungan Sudut Istirahat Dengan Tipe Aliran

Sudut Istirahat (θ) Sifat Aliran

<25 Sangat baik

25-30 Baik

30-40 Cukup

>40 Sangat sukar

(Wikarsa, S.,2008).

2.5. Spektrofotometri Ultraviolet dan Visibel (UV-VIS)

Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer.

Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm.


(36)

2.5.1. Instrumentasi

Sebagai sumber cahaya biasanya digunakan lampu hidrogen atau deuterium untuk pengukuran UV dan lampu tungsten untuk pengukuran pada cahaya tampak. Panjang gelombang dari sumber cahaya akan dibagi oleh pemisah panjang gelombang seperti prisma atau monokromator. Spektrum didapatkan dengan cara scanning oleh monokromator sedangkan pengukuran kuantitatif bisa dibuat dari spektrum atau panjang gelombang tertentu. Ada dua jenis instrumentasi spektrofotometri UV-Vis, yaitu :

1. Spektrofotometri UV-Vis yang memiliki sumber cahaya tunggal (single beam), dimana sinyal pelarut dihilangkan terlebih dahulu dengan mengukur pelarut, setelah itu larutan sampel diukur.

2. Spektrofotometri UV-Vis yang memiliki sumber cahaya ganda (double beam), dimana larutan sampel dimasukkan secara bersama-sama dengan pelarut yang tidak mengandung sampel. Alat ini lebih praktis dan mudah serta memberikan hasil yang optimal.

2.5.2. Hukum Lambert-Beer

Hukum Lambert-Beer (Beer’s laaw) adalah hubungan linearitas antara absorban dengan konsentrasi larutan analit. Biasanya hukum Lambert-Beer ditulis dengan:

A =

ε

. b. C (Persamaan 2.3) A = absorban (serapan)

ε

= koefisian ekstingsi molar (M-1cm-1 b = tebal kuvet (cm)

)


(37)

Pada beberapa buku ditulis juga :

A = E . b . C (Persamaan 2.4) E = koefisien ekstingsi spesifik (ml g-1 cm-1

b = tebal kuvet (cm)

)

C = konsentrasi (gram/100 ml)

Hubungan antara E dan

ε

adalah : E = 10.�

����� ����� (Persamaan 2.5)

Pada percobaan, yang terukur adalah transmitan (T), yang didefinisikan sebagai berikut :

T = I / I0 I = intensitas cahaya setelah melewati sampel

(Persamaan 2.6) I0 = intensitas cahaya awal

Hubungan antara A dan T adalah : A = -log T = -log I / I0

(Dachriyanus, 2004). (Persamaan 2.7)

2.6. Spektrofotometri Infra Merah

Konsep radiasi infra merah diajukan pertama kali oleh Sir William Herschel (1800) melalui percobaannya mendispersikan radiasi matahari dengan prisma. Ternyata pada daerah sesudah sinar merah menunjukkan adanya kenaikan temperatur tertinggi yang berarti pada daerah panjang gelombang radiasi tersebut banyak kalori (energi tinggi).

Daerah spektrum tersebut selanjutnya disebut infrared. Spektroskopi inframerah ditujukan untuk maksud penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisa kualitatif, disamping untuk tujuan analisis kuantitatif (Mulja, M., 1995).


(38)

2.6.1. Kegunaan Analisa Spektroskopi Infra Merah

Spektrofotometer infra merah pada umumnya digunakan untuk : 1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik.

2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

Pengukuran pada spektrum infra merah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2,5 - 50 μm atau bilangan gelombang 4000 - 200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorbsi inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi.

Spektrum yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi inframerah.

2.6.2. Syarat – Syarat Interpretasi Spektrum

Tidak ada aturan yang pasti dalam menginterpretasikan spektrum IR. Tetapi beberapa syarat harus dipenuhi dalam menginterpretasikan spektrum :

1. Spektrum harus tajam dan jelas serta memiliki intensitas yang tepat. 2. Spektrum harus berasal dari senyawa yang murni.

3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga akan menghasilkan pita atau serapan pada bilangan gelombang yang tepat.

4. Metoda penyiapan sampel harus dinyatakan. Jika digunakan pelarut maka jenis pelarut, konsentrasi dan tebal sel harus diketahui.

Karakteristik frekuensi vibrasi IR sangat dipengaruhi oleh perubahan yang sangat kecil pada molekul sehingga sangat sukar untuk menentukan struktur berdasarkan data IR saja. Spektrum IR sangat berguna untuk mengidentifikasikan suatu senyawa dengan membandingkannya dengan spektrum senyawa standar


(39)

terutama pada daerah sidik jari. Secara praktikal, spektrum IR hanya dapat digunakan untuk menentukan gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).

2.6.3. Spektrum Infra Merah Bahan Polimer

Molekul polimer dikenal dengan karakteristik rantai yang terdiri dari sejumlah satuan ulangan. Secara teori spektrum infra merah bahan polimer akan tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur kimia satuan ulangannya.

Beberapa sifat fisik juga mempengaruhi bentuk spektrum bahan polimer, antara lain sifat geometri rantai dan kristalinitas. Bila bahan polimer ditarik ke satu arah maka rantai – rantai molekul akan cenderung terorientasi kearah tarikan, maka vibrasi ikatan yang tegak lurus arah tarikan akan lebih dibatasi dan menjadi tidak peka terhadap serapan radiasi.

Tahap awal dari identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing – masing polimer. Pita serapan yang khas ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya. Umumnya pita serapan polimer pada spektrum infra merah adanya ikatan C-H regangan pada daerah 2880 cm -1

– 2900 cm-1 dan regangan dari gugus fungsi lain yang mendukung untuk analisis suatu material (Wirjosentono, B., 1995).


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Alat – Alat

Nama Alat Merek

Gelas Beker Pyrex

Gelas Ukur Pyrex

Alu dan Lumpang -

Ayakan 12 mesh -

Desikator -

Neraca analitik Tettler Toledo

Penyaring Buchner -

Statif dan Klem -

Corong -

Labu Takar Pyrex

Spektrofotometer UV-Visibel Shimadzu

Spektrofotometer Infra Merah Shimadzu

3.2. Bahan – Bahan

Nama Bahan Merek

Kitosan Komersil -

Vitamin C p.a.Merck

Umbi Singkong komersil -

Akuades -

Alkohol 96% Teknis


(41)

3.3. Prosedur Percobaan

3.3.1. Isolasi Amilum Dari Umbi Singkong (Manihot Utilissima)

Dikupas kulit umbi lalu dicuci bersih kemudian diparut. Ditimbang sebanyak 100 g lalu dimasukkan ke dalam blender kemudian tambahkan 200 ml akuades, diblender selama ± 30 detik. Disaring, kemudian larutan keruh ditampung dalam gelas ukur 500 mL. Ditambahkan 20 mL akuades lalu diaduk dan dibiarkan mengendap kemudian dekantasi. Ditambahkan 200 mL akuades, diaduk dan biarkan mengendap lalu dekantasi. Ditambahkan 100 mL alkohol 96% sambil diaduk. Disaring dengan penyaring Buchner dan keringkan amilum yang dihasilkan.

3.3.2. Pembuatan Granul Dengan Metode Granulasi Basah

Granul dibuat dalam bentuk 3 formula dengan memvariasikan massa kitosan dan amilum yang digunakan sebagai matriks dimana massa bahan aktif yaitu vitamin C dan bahan pengikat adalah tetap.

Tabel. 3.1. Formulasi Granul

No Bahan Formula A (g) Formula B (g) Formula C (g)

1 Amilum 20 10 -

2 Kitosan - 10 20

3 Vitamin C 5 5 5

Berat teoritis tiap fomulasi adalah 25 gram. Masing-masing forrmulasi ini dirancang untuk pencetakan 100 tablet dengan mempunyai berat teoritis 250 mg tiap tablet.

3.3.2.1. Pembuatan Bahan Pengikat Musilago Amylum

Musilago amylum merupakan zat hasil gelatinasi amilum menggunakan akuades yang kemudian dipanaskan hingga amilum terdispersi membentuk gelatin yang tembus cahaya. Sebagai bahan pengikat dalam granulasi basah, banyaknya musilago amylum


(42)

yang diperbolehkan sebesar 10-20% dari total bahan yang digranulasi untuk bahan yang tidak bersifat hidrofob dan 30% untuk bahan yang bersifat hidrofob. Musilago amylum dibuat dengan mencampurkan amilum dan akuades dengan perbandingan 10% b/b.

Kitosan dan amilum yang digunakan sebagai matriks bersifat hidrofob, sehingga banyaknya musilago amylum yang diperlukan sebagai bahan pengikat sebesar 30% dari tiap forrmulasi yang akan dibuat menjadi granul.

Perhitungan:

1. Perhitungan massa musilago amylum yang diperlukan sebagai bahan perekat untuk pembentukan granul terhadap tiap formulasi.

Dik : massa teoritis formula = 25 gram

Dit : massa musilago amylum yang diperlukan ?

Penyelesaian : massa musilago amylum = 30% dari massa formula = 30

100 x 25 gram = 7,5 gram 2. Perhitungan massa amilum yang diperlukan untuk membuat musilago amylum

dengan penambahan air dengan perbandingan 10% b/b amilum dalam akuades. Dik : massa musilago amylum yang diperlukan = 7,5 gram

Dit : massa amilum yang diperlukan dengan perrbandingan 10% b/b amilum dalam akuades ?

Penyelesaian : massa amilum = 10% dari massa musilago amylum = 10

100 x 7,5 gram = 0,75 gram

3. Perhitungan massa akuades yang diperlukan dalam pembuatan musilago amylum.

Dik : massa amilum yang diperlukan = 0,75 gram

massa musilago amylum yang akan dibuat = 7,5 gram

Dit : massa akuades yang diperlukan dalam pembuatan musilago amylum! Penyelesaian : massa akuades = massa musilago amylum - massa amilum

= 7,5 gram – 0,75 gram = 6,75 gram


(43)

Perincian Bahan :

1. Massa musilago amylum yang diperlukan sebagai bahan pengikat untuk membuat granul adalah 7,5 gram.

2. Massa amilum yang diperlukan untuk membuat musilago amylum adalah 0,75 gram.

3. Massa akuades yang diperlukan untuk membuat musilago amylum adalah 6,75 gram atau sama dengan 6,75 ml.

Pembuatan musilago amylum sebagai bahan pengikat :

Ditimbang 0,75 gram amilum dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Ditambahkan 6,75 ml akuades lalu diaduk. Dipanaskan sambil diaduk hingga terbentuk gelatin yang tembus cahaya.

Musilago amylum yang diperoleh digunakan untuk 1 formulasi granul, dilakukan prosedur yang sama pembuatan musilago amylum untuk formulasi granul lainnya.

3.3.2.2. Pencampuran Bahan Aktif dan Pengisi Dengan Penambahan Musilago Amylum Sebagai Pengikat

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pembuatan granul adalah sebagai berikut :

1. Semua bahan pembuat granul diayak dan ditimbang sesuai dengan kebutuhan. 2. Kitosan, amylum manihot, dan Vitamin C (pada formula A, B dan C)

dicampur hingga homogen.

3. Diayak hingga homogen dan dimasukkan ke dalam lumpang. 4. Ditambahkan musilago amylum yang telah disediakan sebelumnya. 5. Dicampur hingga homogen dan diperoleh massa granul yang kompak. 6. Dikeringkan dalam desikator.

7. Massa yang telah kering digranulasi dengan ayakan No. 12 mesh.

8. Massa granul yang dihasilkan siap untuk dikarakterisasi secara fisika dan kimia.


(44)

3.3.3. Karakterisasi Sifat Aliran Dengan Menghitung Kecepatan Alir dan Sudut Istirahat Granul Melalui Metode Corong.

Langkah-langkah pengambilan data untuk menghitung kecepatan alir dan sudut istirahat granul :

1. Dirangkai corong pada statif dan klem dengan ketinggian tertentu.

2. Ditimbang dan dicatat massa granul yang akan diuji sebagai m ( dalam pengujian ini digunakan massa granul sebanyak 20 gram).

3. Ditutup bagian dasar corong.

4. Dimasukkan massa granul ke dalam corong. 5. Dibuka penutup bagian dasar corong.

6. Dihitung dan dicatat waktu yang diperlukan oleh granul untuk turun melalui corong alat penguji dengan menggunakan stopwatch dari mulai dibukanya tutup bagian bawah hingga semua granul mengalir keluar dari alat uji.

7. Dicatat tinggi dan diameter timbunan granul yang dihasilkan setelah granul mengalir keluar dari corong.

8. Dilakukan percobaan sebanyak 3 kali agar diperoleh data yang akurat dan dihitung nilai rata-ratanya.

Data yang diperoleh digunakan untuk menentukan sifat aliran granul dengan menghitung kecepatan alir granul menggunakan persamaan (1) dan menghitung sudut istirahat granul menggunakan persamaan (2).

Sifat aliran granul dapat ditentukan dengan membandingkan nilai hasil perhitungan terhadap nilai standar aliran granul yang baik sesuai dengan yang tecantum pada tabel 2.1 dan tabel 2.2.


(45)

3.3.4. Karakterisasi Laju Disolusi Bahan Aktif Vitamin C Dengan Metode Spektoskopi UV-Visibel

3.3.4.1. Pembuatan Larutan HCl 0,1 N

Dipipet 8,3 ml HCl(p) dan dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml, kemudian diencerkan dengan akuades sampai garis lalu dihomogenkan. Diperoleh larutan HCl 0,1 N.

3.3.4.2. Pembuatan Larutan Standar Kurva Kalibrasi Vitamin C

3.3.4.2.1. Larutan Induk Standar Vitamin C 500 μg/ml

Ditimbang 50 mg vitamin C dan ditambahkan sedikit demi sedikit dengan larutan HCl 0,1 N hingga larut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis lalu dihomogenkan. Diperoleh larutan induk standar vitamin C 500 μg/ml.

3.3.4.2.2. Larutan Standar Vitamin C 100 μg/ml

Dipipet 10 ml larutan induk standar vitamin C 500 μg/ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml kemudian diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda dan dihomogenkan. Diperoleh larutan standar vitamin C 100 μg/ml.

3.3.4.2.3. Larutan Standar 8 μg/ml Untuk Penentuan λmaks Vitamin C

Dipipet 4 ml larutan standar C 100 μg/ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml kemudian diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda dan dihomogenkan. Diperoleh larutan standar vitamin C 8 μg/ml.


(46)

3.3.4.2.4. Larutan Seri Standar Vitamin C Untuk Pembuatan Kurva Kalibrasi Dibuat konsentrasi larutan seri standar vitamin C bervariasi 3,6; 5,4; 7,2; 9; dan 10,8 μg/ml. Masing-masing dipipet sebanyak 1,8; 2,7; 3,6; 4,5; dan 5,4 ml larutan standar Vitamin C 100 μg/ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml kemudian diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.3.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Vitamin C

3.3.4.3.1. Penentuan λmaks Larutan Standar Vitamin C

Diambil larutan standar vitamin C 8 mg/L. dan diukur λmaks dengan melihat spektrum puncak serapan maksimum vitamin C kemudian dilakukan pemeriksaan spektrum puncak vitamin C dan diperoleh λmaks pada absorbansi maksimum. Dari literature, diketahui bahwa λmaks vitamin C adalah 243 nm.

3.3.4.3.2. Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Vitamin C

Dinolkan absorbansinya dengan blanko akuades. Masing-masing larutan seri standar Vitamin C 0; 3,6; 5,4; 7,2; 9; dan 10,8 μg/mldiukur absorbansinya pada λmaks 243 nm lalu diplotkan konsentrasi dan absorbansi larutan seri standar.

3.3.4.4. Penentuan laju disolusi Vitamin C Dalam Interval Waktu Pengambilan Sampel Larutan Pada Saat Ektraksi

Ditimbang 1 g granul Formula A kemudian diekstraksi dengan 250 ml HCl 0,1 N. Dipipet 1 ml larutan ekstrak pada menit ke 2; 4; 6; 8; dan 10 saat ekstraksi. Kemudian diencerkan dengan HCl 0,1 N dalam labu takar 50 ml dan dihomogenkan. Diukur absorbansi masing-masing sampel larutan ekstrak pada λmaks 243 nm.


(47)

3.3.5. Karakterisasi Interaksi Intermolekular Bahan Selama Proses Pencampuran Dalam Pembuatan Granul Melalui Analisis FT-IR

Langkah pengambilan data interaksi intermolekuler yang mungkin terjadi antara bahan selama proses pencampuran bahan dalam pembuatan granul menggunakan metode spektroskopi infra merah (FT-IR) :

1. Sampel granul dihaluskan dan diambil secukupnya.

2. Ditambahkan pellet KBr lalu ditekan kemudian diletakkan pada tempat sampel. 3. Selanjutnya diarahkan sinar IR untuk melewati sampel.

4. Hasilnya akan direkam ke dalam kertas berskala aluran kurva gelombang terhadap intensitas pada spektra FT-IR.

5. Dianalisis kurva gelombang sampel yang dihasilkan sesuai dengan gugus fungsi atau ikatan senyawa yang terdapat pada bahan sampel.


(48)

3.4. Bagan Percobaan

3.4.1. Bagan Isolasi Amilum Dari Umbi Singkong (Manihot Utilissima)

Dikeringkan

Umbi Singkong

Dikupas, cuci, kemudian diparut Ditimbang sebanyak 100 g

Diblender dengan ditambahkan 200 ml akuades selama ± 30 detik.

disaring

Larutan keruh Ampas

Ditambahkan 20 ml akuades Diaduk dan dibiarkan mengendap Didekantasi

Ditambahkan 200 ml akuades Diaduk dan dibiarkan mengendap Didekantasi

Filtrat Endapan putih

Filtrat Endapan putih

Ditambahkan 100 ml alkohol 96% Diaduk

Disaring

Endapan putih Filtrat


(49)

3.4.2. Bagan Pembuatan Bahan Pengikat Musylago Amilum

0,75 g amilum

Dimasukkan ke dalam cawan petri Ditambahkan 6,75 ml akuades Diaduk

Suspensi putih

Dipanaskan sambil diaduk hingga terbentuk gelatin yang tembus cahaya


(50)

3.4.3. Bagan Pembuatan Granul Suplemen Vitamin C Menggunakan Kitosan dan Amilum Manihot Sebagai Matriksnya

Granul dibuat dalam bentuk 3 forrmulasi granul.

Kitosan Vitamin C Amilum

Diayak Diayak Diayak

Dibuat 3 formulasi granul dengan mencampur ketiga bahan dengan

perbandingan massa amilum dan vitamin C yaitu :

Formulasi A = (100 : 0) % b/b Formulasi B = (50 : 50) % b/b Formulasi C = (0 : 100) % b/b

Dimana variasi massa vitamin C tetap Formulasi C Formulasi B Formulasi A Diayak kembali hingga homogen Ditambahkan bahan pengikat yang telah disediakan

Dicampurkan hingga diperoleh massa yang kompak

Disimpan dalam desikator hingga massa kering Diayak dengan ayakan No. 12 mesh

granul

granul granul

Diayak kembali hingga homogen Ditambahkan bahan pengikat yang telah disediakan

Dicampurkan hingga diperoleh massa yang kompak

Disimpan dalam desikator hingga masa kering

Diayak dengan ayakan No. 12 mesh

Diayak kembali hingga homogen Ditambahkan bahan pengikat yang telah disediakan

Dicampurkan hingga diperoleh massa yang kompak

Disimpan dalam desikator hingga massa kering Diayak dengan ayakan No. 12 mesh

Dikarakterisasi secara fisika dan kimia

Uji kecepatan alir granul dengan metode

corong

Uji sifat aliran meliputi

Karakterisasi secara kimia Karakterisasi secara fisika

Uji kelarutan Vit. C dengan

spetroskopi UV-Visibel Uji interaksi intermolekular dengan hasil kajian analisis FT-IR Uji sudut istirahat granul dengan metode corong


(51)

3.4.4. Bagan Pengambilan Data Untuk Menghitung Kecepatan Alir dan Sudut Istirahat Granul Menggunakan Metode Corong

20 g granul

Dimasukkan ke dalam corong yang dirangkai pada statif dan klem dengan bagian dasar corong yang ditutup.

Dihitung dan dicatat waktu yang diperlukan oleh granul untuk turun melalui corong alat penguji dengan menggunakan stopwatch dari mulai dibukanya tutup bagian bawah hingga semua granul mengalir keluar dari alat uji.

Dicatat tinggi dan diameter timbunan granul yang dihasilkan setelah granul keluar dari corong

Dilakukan percobaan sebanyak 3 kali agar diperoleh data yang akurat dan dihitung nilai rata-ratanya.


(52)

3.4.5. Pembuatan Kurva Kalibrasi Vitamin C

50 mg Vitamin C

Ditambahkan larutan HCl 0,1 N sedikit demi sedikit hingga larut

Dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml Diencerkan dengan HCl 0,1 N hingga garis tanda

Dihomogenkan Vitamin C 500 μg/ml

Dipipet 10 ml

Dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml Diencerkan dengan HCl 0,1 N hingga garis tanda

Dihomogenkan Vitamin C 100 μg/ml

Dipipet 4 ml

Dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml

Diencerkan dengan HCl 0,1 N hingga garis tanda

Dihomogenkan Diukur absobansinya

Dipipet masing-masing 1,8; 2,7; 3,6; 4,5; dan 5,4 ml Dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml

Diencerkan dengan HCl 0,1 N hingga garis tanda

Dihomogenkan

Diukur absorbansinya pada λmaks 243 nm

λmaks


(53)

3.4.6. Penentuan Laju Disolusi Vitamin C Dalam Interval Waktu Pengambilan Sampel Larutan Pada Saat Ektraksi

Dilakukan prosedur yang sama untuk granul fomula B dan C.

3.4.7. Bagan Pengambilan Data Spektrum Hasil FT-IR

Granul

Dihaluskan dan diambil sesuai keperluan

Ditambahkan pellet KBr lalu ditekan kemudian diletakkan pada tempat sampel

Diarahkan sinar IR melewati sampel

Hasilnya direkam dalam kertas berskala aluran kurva gelombang terhadap intensitas pada spektra IR

Hasil

1 g Granul Formula A

Ditambahkan 250 ml HCl 0,1N Diekstraksi

Dipipet 1 ml larutan ekstrak pada menit ke 2; 4; 6; 8; dan 10 saat ekstraksi

Diencerkan masing-masing sampel larutan dengan HCl 0,1 N dalam labu takar 50 ml Diukur absorbansi masing-masing sampel larutan ekstrak pada λmaks 243 nm


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisa Sifat Aliran Granul Dengan Menghitung Kecepatan Aliran dan Sudut Istirahat Granul Dengan Metode Corong.

4.1.1. Data Hasil Pengukuran

Pengambilan data dilakukan sebanyak 3 kali untuk masing-masing sampel granul agar data hasil pengukuran yang diperoleh lebih tepat dan teliti. Data hasil pengukuran waktu alir, tinggi puncak serta diameter lingkaran timbunan granul yang terbentuk untuk masing-masing sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.1. Data Hasil Pengukuran Waktu Alir Granul Serta Tinggi dan Diameter Timbunan Granul

No Pengukuran Sampel

Formulasi A Formulasi B Formulasi C

1

Waktu alir (detik)

t1 2,03 1,89 1,18

t2 2,05 1,89 1,19

t3 2,05 1,87 1,17

Rata-rata 2,0433 1,88 1,18

2 Tinggi (cm)

h1 2,0 2,1 1,8

h2 2,1 2,2 1,9

h3 2,1 2,1 1,8

Rata-rata 2,067 2,133 1,833

3

Diameter (cm)

d1 7 8 7

d2 7 7,5 6,8

d3 7 7,5 6,9


(55)

4.1.2. Pengolahan Data

Kecepatan alir granul dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.1). Kecepatan aliran granul = massa (g)

waktu (s)

Massa granul yang digunakan sebagai sampel untuk mengukur waktu alir granul adalah 20 gram untuk masing-masing formulasi.

Besar sudut istirahat granul dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.2). Sudut istirahat (θ) : Arc Tangen θ = 2 tinggi puncak granul

diameter lingkaran

= 2 ℎ

Dengan menghitung kecepatan alir granul dan sudut istirahat granul menggunakan nilai rata-rata data yang telah diukur sebelumnya, maka diperoleh data baru yang menunjukkan kecepatan alir dan sudut istirahat granul dari masing-masing sampel formulasi pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.2. Data Hasil Perhitungan Kecepatan Alir dan Sudut Istirahat Granul

No Perhitungan Sampel

Formulasi A Formulasi B Formulasi C

1

Massa (gram) trata-rata

20

(detik) 2,0433

20 1,88

20 1,18 Kecepatan Alir Granul

(g.det-1) 9,788 10,64 16,95

2 hrata-rata d (cm) rata-rata 2,067

(cm) 7

2,133 7,67

1,833 6,9 Sudut Istirahat Granul (θ) 30,540 29,080 27,980


(56)

4.1.3. Analisa Sifat Aliran Granul

Sifat aliran granul dapat ditentukan berdasarkan data mengenai sifat-sifat aliran granul sesuai dengan kecepatan aliran dan sudut istirahat granul yang terdapat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2. Dengan membandingkan kecepatan aliran dan sudut istirahat granul yang diperoleh dari percobaan dengan sifat-sifat aliran granul yang terdapat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2, maka diperoleh sifat aliran dari 3 formulasi granul yang diterangkan pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.3. Data Hasil Analisa Sifat Aliran Granul Yang Dihasilkan

No Sampel

Kecepatan Alir Granul

(g.det-1

Karakteristik Sifat Aliran )

Sudut Istirahat Granul (θ)

Karakteristik Sifat Aliran

1 Formulasi A 9,788 Baik 30,540 Baik

2 Formulasi B 10,64 Sangat baik 29,080 Istimewa

3 Formulasi C 16,95 Sangat baik 27,980 Istimewa

4.1.4. Pembahasan

Salah satu evaluasi yang dilakukan terhadap granul sebelum dicetak menjadi tablet adalah evaluasi sifat aliran. Evaluasi ini dimaksudkan untuk melihat apakah granul memiliki sifat aliran baik, sifat aliran yang baik sangat diperlukan pada saat granul dialirkan melalui corong masuk ke dalam tabung pencetak untuk memperoleh tablet yang mempunyai ukuran dan bobot yang seragam.

Dari hasil analisa diperoleh data bahwa ketiga formulasi granul memiliki sifat aliran yang baik, dan bahkan istimewa. Amilum yang sudah umum digunakan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan bahan tablet memiliki sifat aliran granul yang baik. Sifat aliran ganul yang baik sangat menentukan apakah granul dapat dengan mudah dicetak menjadi tablet dalam proses fabrikasi.


(57)

Kitosan memiliki banyak kegunaan dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya dalam bidang farmasetik dan kesehatan karena sifatnya yang biokompatibel, biodegradasi dan tidak beracun. Dari hasil analisa melalui percobaan ini diperoleh data bahwa kitosan ternyata dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan bahan jadi tablet menggantikan bahan pengisi lain yang telah umum digunakan seperti amilum.

Dapat dilihat bahwa sifat aliran granul meningkat dengan penggunaan kitosan sebagai bahan pengisi. Akibat kitosan yang masih sulit diperoleh di pasaran dan harganya yang relatif mahal, maka penggunaan kitosan sebagai bahan pengisi dapat dikombinasikan dengan bahan pengisi lain seperti amilum yang digunakan dalam penelitian ini, dan ternyata hasil kombinasi kedua bahan pengisi ini juga memberikan sifat aliran yang baik.

4.2. Penentuan laju disolusi Vitamin C Dalam Interval Waktu Pengambilan Sampel Larutan Pada Saat Ektraksi

Uji disolusi merupakan parameter yang menunjukkan kecepatan pelarutan bahan aktif dari bahan tablet. Pada dasarnya, laju disolusi diukur dari jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu ke dalam medium cair yang diketahui volumenya pada suatu waktu tertentu pada suhu konstan.

Pada penelitian ini digunakan larutan HCl 0,1 N. Kemudian dilakukan uji disolusi lalu diperiksa kadarnya dengan alat spektrofotometer UV-Visibel pada panjang gelombang 243 nm. Setelah itu ditentukan jumlah pelepasan vitamin C dengan menggunakan perhitungan. Dari jumlah vitamin C yang dilepaskan tiap interval waktu dapat dibuat grafik vitamin C terdisolusi dari ketiga formula yang dihasilkan (gambar 4.1).


(58)

4.2.1. Penentuan Kadar Vitamin C Menggunakan Persamaan Garis Regresi Metode Least Square

Data hasil pengukua n absorbansi larutan seri standar vitamin C dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Visibel pada λmaks 243 nm dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 4.4. Data Absorbansi Larutan Seri Standar Vitamin C

No Konsentrasi (μg/ml) Absorbansi

1 0 0,000

2 3,6 0,228

3 5,4 0,326

4 7,2 0,430

5 9 0,54

6 10,8 0,63

Pengolahan data absorbansi larutan seri standar Vitamin C menggunakan metode least square untuk menentukan persamaan garis regresi yang akan digunakan untuk menghitung kadar kelarutan vitamin C dapat dilihat pada lampiran F.

Dari hasil perhitungan metode least square diperoleh persamaan garis :

Y = 0,0584 X + 0,0056 (Persamaan 4.1) Keterangan: Y = Absorbansi sampel

X = Kadar Vitamin C (μg/ml)

Persamaan garis di atas digunakan untuk menghitung kadar vitamin C menggunakan data absorbansi sampel. Data absorbansi dan kadar kelarutan vitamin C pada sampel larutan yang diambil dalam interval waktu tertentu selama proses ekstraksi dari Formula A, B, dan C dapat dilihat pada tabel di bawah ini :


(59)

Tabel 4.5. Data Absorbansi dan Kadar vitamin C Pada Sampel Larutan Yang Diambil Dalam Interval Waktu Tertentu Selama Proses Ekstraksi Dari Formula A, B, dan C.

Waktu (menit)

Formula A Formula B Formula C

Absorbansi Kadar

(μg/ml) Absorbansi

Kadar

(μg/ml) Absorbansi

Kadar (μg/ml)

2 0,4323 7,306 0,217 3,6198 0,0109 0,0907

4 0,5466 9,2636 0,225 3,7568 0,0338 0,4828

6 0,6514 11,08 0,460 7,7808 0,1368 2,246

8 0,7613 12,94 0,569 9,647 0,2527 4,2311

10 0,7825 13,30 0,687 11,66 0,4250 7,1815

4.2.2. Pembahasan

Dari pengolahan data hasil pengukuran absorbansi diperoleh bahwa suplemen vitamin C dengan matriks kitosan (formula C) memiliki laju disolusi vitamin C yang baik, dimana pelepasan bahan aktif terjadi secara berkala jika dibandingkan dengan suplemen vitamin C dengan matriks amylum manihot (formula A) yang melepaskan bahan aktif langsung dengan kadar yang tinggi pada menit-menit pertama. Hal ini dikarenakan kitosan merupakan absorben yang baik, dimungkinkan vitamin C terperangkap dalam rongga pori-pori kitosan sehingga diperlukan waktu untuk melarutkan vitamin C tersebut.

Suplemen vitamin C dengan kombinasi matriks kitosan dan amilum (formula B) juga memiliki laju disolusi yang baik tetapi tidak sebaik formula C. Penggunaan amylum manihot sebagai matriks memiliki sifat laju disolusi yang buruk. Perbandingan laju disolusi vitamin C pada ketiga formula dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


(60)

Keterangan : Formula A (matriks amylum manihot)

Formula B (matriks amylum manihot-kitosan) Formula C (matriks kitosan)

Gambar 4.1. Grafik Kadar Vitamin C Yang Terlarut Pada Granul Formula A, B dan C

Dari hasil pengujian laju disolusi ini dapat disimpulkan bahwa kitosan baik digunakan sebagai matriks dalam pembuatan suplemen vitamin C. Terutama aman dikonsumsi karena sifat kitosan yang melepaskan bahan aktif vitamin C terjadi secara perlahan sehingga tidak menimbulkan nyeri lambung terutama bagi penderita asam lambung. 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

0 1 2 3 4 5 6 7

Ju m la h V it a m in C T e rd is o lu si ( μ g /m l) Waktu (menit)


(61)

4.3. Analisis Spektroskopi FT-IR

4.3.1. Spektrum FT-IR Amilum (Starch)

Spektrum FT-IR amilum dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.2. Spektrum FT-IR Amilum (Starch)

Pada gambar 4.1 menunjukkan spektrum FT-IR amilum dengan serapan puncak-puncak pada bilangan gelombang (cm-1): 3414,0 yang menunjukkan adanya gugus –OH; 2932,7 menunjukkan adanya rentangan C-H; 1651,9 menunjukkan adanya gugus C=O aldehida pada ujung monomer; 1419,9 menunjukkan adanya vibrasi tekuk C-H; 1365,8 menunjukkan adanya gugus C-O-H bengkok; serapan dengan dua puncak pada 1157,2 dan 1019 menunjukkan adanya gugus C-O-C eter dari ikatan glikosida antar monomer glukosa yang terpaut satu sama lain; serapan dengan intensitas medium pada 765,9 - 530 menunjukkan vibrasi dari lentur C-H luar bidang.


(62)

4.3.2. Spektrum FT-IR Kitosan

Spektrum FT-IR kitosan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.3. Spektrum FT-IR Kitosan

Pada gambar 4.2. menunjukkan spektrum FT-IR kitosan dengan serapan puncak-puncak pada bilangan gelombang (cm-1): 3431,5 menunjukkan adanya vibrasi ulur –NH dan –OH yang saling tumpang tindih; 2881,18 menunjukkan adanya rentangan C-H; 1651,19 - 1639,19 menunjukkan adanya gugus C=O khas amida dari N-asetil glukosamin; 1420,21 menunjukkan vibrasi ulur dari C-H; 1381,20 menunjukkan adanya vibrasi tekuk –NH dari ikatan C-N-H; 1323,22 - 1262,25 menunjukkan adanya gugus C-N dari ikatan C-N-H; serapan dengan dua puncak pada 1153,13 dan 1076,7 - 1032,9 menunjukkan adanya gugus C-O-C eter dari ikatan glikosida antar molekul kitosan yang terpaut satu sama lain; serapan pada 897,21 dan 567,16 - 520,17 menunjukkan adanya kibasan dari gugus –NH dan lentur C-H luar bidang.


(63)

4.3.3. Spektrum FT-IR Vitamin C

Spektrum FT-IR vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.4. Spektrum FT-IR Vitamin C

Pada gambar 4.3. menunjukkan spektrum FT-IR vitamin C dengan serapan puncak-puncak pada bilangan gelombang (cm-1): 3526,2 - 3026,3 menunjukkan adanya gugus –OH; 2917,4 - 2747,6 menunjukkan adanya rentangan C-H; serapan dengan pita tajam pada 1754,6 menunjukkan adanya gugus R-CO-OR (lakton); 1673,1 menunjukkan adanya gugus C=C dari alkena alifatik; 1497,11 – 1458,10 menunjukkan adanya vibrasi tekuk C-H; 1321,2 menunjukkan adanya gugus C-O-H bengkok; 1141,2 - 1026,1 menunjukkan adanya gugus C-O eter; serapan pada 870 - 629 menunjukkan adanya gugus lentur C-H luar bidang.

Terdapat spektrum yang banyak dan kurang jelas di daerah sidik jari (1000 - 500) cm-1 karena hampir semua vibrasi molekul terserap pada panjang gelombang ini.


(64)

4.3.4. Spektrum FT-IR Material Campuran Amilum-Vitamin C

Spektrum FT-IR material campuran amilum–vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.5. Spektrum FT-IR Material Campuran Amilum-Vitamin C

Pada gambar 4.4. menunjukkan spektrum FT-IR material campuran amilum– vitamin C dengan serapan puncak-puncak pada bilangan gelombang (cm-1): 3526 – 3220,1 menunjukkan adanya gugus –OH; 2917,1 menunjukkan adanya rentangan C-H; serapan dengan pita tajam pada pada 1755,3 menunjukkan adanya gugus C=O dari R-CO-OR (lakton) pada vitamin C dan gugus C=O dari amilum; 1674,1 menunjukkan adanya gugus C=C dari alkena alifatik pada vitamin C; 1497,5 – 1436,3 menunjukkan adanya vibrasi ulur C-H; 1388,3 - 1322,1 menunjukkan adanya gugus C-O-H bengkok; serapan pada 1198,3 – 989,1 menunjukkan adanya gugus C-O-C eter dari ikatan glikosida; serapan pada 869,4 – 527,2 menunjukkan adanya gugus lentur C-H luar bidang.


(65)

4.3.5. Spektrum FT-IR Material Campuran Kitosan–Vitamin C

Spektrum FT-IR material campuran kitosan–vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.6. Spektrum FT-IR Material Campuran Kitosan–Vitamin C Pada gambar 4.5. menunjukkan spektrum FT-IR material campuran kitosan– vitamin C dengan serapan puncak-puncak pada bilangan gelombang (cm-1): 3375,0 menunjukkan adanya vibrasi ulur gugus –NH dan –OH; 1638 menunjukkan adanya gugus C=O khas amida dari N-asetil glukosamin; 1459,3 – 1412,2 menunjukkan adanya gugus C-O-H bengkok, gugus C-N dan –NH dari ikatan C-N-H; 1154,3 dan 1078,2 – 1036,2 menunjukkan adanya gugus C-O-C eter dari ikatan glikosida antar monomer kitosan; serapan dengan pita lebar pada 575 menunjukkan adanya kibasan gugus –NH dan vibrasi lentur C-H luar bidang.


(66)

4.3.6. Spektrum FT-IR Material Campuran Amilum–Kitosan–Vitamin C

Spektrum FT-IR material campuran amilum–kitosan–vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.7. Spektrum FT-IR Material Campuran Amilum–Kitosan–Vitamin C Pada gambar 4.6 menunjukkan spektrum FT-IR material campuran amilum– kitosan–vitamin C dengan serapan puncak-puncak pada bilangan gelombang (cm-1): 3433,0 menunjukkan adanya gugus –NH bending dan –OH; 2931,3 menunjukkan adanya rentangan C-H ; 1651,5 menunjukkan adanya gugus C=O khas amida dari N-asetil glukosamin kitosan dan aldehid pada ujung monomer amilum; 1504,9 – 1458,8 menunjukkan adanya vibrasi ulur C-H; 1407,8 – 1381,8 menunjukkan adanya gugus C-O-H bengkok dan gugus –NH; 1243,9 – 1204,9 menunjukkan adanya gugus C-N; 1156,6 dan 1079,5 – 1023,5 menunjukkan adanya gugus C-O-C eter pada ikatan


(1)

Perhitungan pembuatan larutan seri standar vitamin C dari larutan standar vitamin C 100 μg/ml dalam labu takar 50 ml untuk pembuatan kurva kalibrasi:

1. Larutan seri standar 3,6 μg/ml

V1 N1 = V2 N2 V1

V

100 μg/ml = 50 ml. 3,6 μg/ml 1 = 1,8 ml

2. Larutan seri standar 5,4 μg/ml

V1 N1 = V2 N2 V1

V

100 μg/ml = 50 ml. 5,4 μg/ml 1 = 2,7 ml

3. Larutan seri standar 7,2 μg/ml

V1 N1 = V2 N2 V1

V

100 μg/ml = 50 ml. 7,2 μg/ml 1 = 3,6 ml

4. Larutan seri standar 9 μg/ml

V1 N1 = V2 N2 V1

V

100 μg/ml = 50 ml. 9 μg/ml 1 = 4,5 ml

5. Larutan seri standar 10,8 μg/ml V1 N1 = V2 N2 V1

V

100 μg/ml = 50 ml. 10,8 μg/ml 1 = 5,4 ml

Diperlukan masing-masing 1,8; 2,7; 3,6; 4,5; dan 5,4 ml larutan standar C 100 μg/ml untuk membuat larutan seri vitamin C 3,6; 5,4; 7,2; 9; dan 10,8 μg/ml dalam labu takar 50 ml.


(2)

LAMPIRAN D. KURVA SPEKTRUM λmaksimum LARUTAN STANDAR VITAMIN C 8 µg/ml


(3)

LAMPIRAN E. KURVA KALIBRASI LARUTAN SERI STANDAR VITAMIN C


(4)

LAMPIRAN F. PENGOLAHAN DATA METODE LEAST SQUARE HASIL PENGUKURAN ABSORBANSI LARUTAN SERI STANDAR VITAMIN C

Tabel F.1. Penurunan Persamaan Garis Regresi Metode Least Square Kurva Kalibrasi Dari Larutan Seri Standar Vitamin C

Xi Yi (Xi-X) (Yi-Y) (Xi-X)2 (Yi-Y)2 (Xi-X) (Yi-Y) 0 3,6 5,4 7,2 9 10,8 0,000 0,228 0,326 0,430 0,54 0,63 -6 -2,4 -0,6 1,2 3 4,8 -0,359 -0,131 -0,033 -0,071 0,181 0,271 36 5,76 0,36 1,44 9 23,04 0,1289 0,01716 0,00109 0,00504 0,03276 0,07344 2,154 0,3144 0,0198 0,0852 0,543 1,3008 ∑= 36 ∑=2,154 ∑ = 0 ∑ = 0 ∑ = 75,6 ∑=0,25839 ∑=4,4172

X = ∑ ��

� =

36 6 = 6

Y = ∑ ��

� =

2,154

6 = 0,359

Koefisien Korelasi (r) = ∑(��−�) (��−�)

{(��−�)2(��−�)2}½

= 4,4172

(19,5343)½

= 0,99942

persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dinyatakan dengan :

Y = aX + b


(5)

harga slope (a) dapat diperoleh dari persamaan sebagai berikut :

Slope (a) = ∑(��−�) (��−�)

∑(��−�)2

= 4,4172

75,6

= 0,0584

sedangkan harga intercept (b) dapat diperoleh melalui persamaan : Y = aX + b b = Y - aX

b = 0,359 – (0,0584 x 6) b = 0,0056

dengan demikian persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi vitamin C adalah :

Y = aX + b

Y = 0,0584 X + 0,0056

Keterangan : Y = Absorbansi Sampel X = Kadar Vitamin C (μg/ml)


(6)

LAMPIRAN G. DATA SERAPAN BEBERAPA GUGUS FUNGSI KHAS PADA DAERAH INFRA MERAH

Tabel G.1. Spektrum Serapan Beberapa Gugus Fungsi Khas Pada Daerah Infra Merah

No Gugus Fungsi Bilangan

Gelombang (cm-1) Intensitas

1 O-H

Alkohol primer CH3-OH

Alkohol sekunder CH-OH

Alkohol tersier C-OH

3700 – 3000 1450 – 1250 3700 – 3000 1450 – 1150 3700 – 3000 1400 – 1100

Kuat Lemah Kuat Medium Kuat Medium

2 C=O

Aldehid

Keton (lakton : RCO-OR) Amida C-O-NH2

Amida monosubstitusi (C-O-NHR)

1750 – 1650 1750 – 1730 3500 – 3000 1700 – 1550 3450 – 3000 1700 – 1450

Kuat Kuat Medium Kuat Medium Kuat

3 C-H

Uluran -CH3; -CH2 Tekuk –CH

-; C-H; C-OH 2 dan –CH

lentur C-H luar bidang 3

3000 – 2700 1490 – 1410 1000 – 650

Kuat Medium Medium 4 C-O Eter alifatik : C-O-C 1200 – 1050

600 – 500

Kuat Medium

5 N-H

Amina primer –NH2

Amina sekunder – NH-R

3500 – 3200 1450 – 1250 600 – 800 3500 – 3100 1400 – 1250

Medium Kuat Medium Medium Medium

6 C=C Alkena alifatik 1700 – 1600 Medium