BAB VI KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Sesuai dengan tujuan penelitian berikut ini diuraikan beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1 Total biaya yang dikeluarkan dalam proses pembuatan ikan asin di daerah
penelitian adalah Rp 73.245.528 dengan rata-rata biaya tiap pengolah adalah Rp 2.441.518. Sedangkan penerimaan yang diperoleh adalah
sebesar Rp 99.912.500, dengan rata-rata penerimaan tiap pengolah ikan asin adalah sebesar Rp 3.330.417.
2 Pendapatan yang diperoleh pengolah ikan asin di daerah penelitian adalah
Rp 26.666.972 dengan rata-rata penerimaan per pengolah adalah sebesar Rp 888.899.
3 Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ikan asin adalah Rp 4.370
dengan rasionya 46,59. Rasio nilai tambah 46,42 50 maka dikatakan nilai tambah pengolahan ikan asin di daerah ini kecil.
6.2 Saran
Pengolahan ikan gulama menjadi ikan asin di daerah penelitian masih dilakukan dengan cara sederhana. Kegiatan ini sebenarnya memiliki prospek ekonomi yang
cukup baik terlebih apabila ada upaya pemanfaatan teknologi terutama kepada faktor-faktor yang bersifat eksternal diluar kendali produsen misalnya
Universitas Sumatera Utara
ketergantungan terhadap sinar matahari, kegiatan pembelahan ikan yang masih menggunakan tenaga manual cukup menyita waktu dan sangat banyak menyerap
biaya. Disarankan kegiatan ini dapat menggunakan teknologi sehingga kegiatan ini lebih efisien dan efektif. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ikan
asin sebenarnya sudah memberikan tingkat keuntungan diatas normal, akan tetapi disarankan kepada pemerintah daerah dapat memberikan pelatihan-pelatihan dan
program-program pemberian kredit dengan bunga ringan sehingga kapasitas produksi bisa ditingkatkan sehingga potensi keuntungan dapat dicapai secara
optimum.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka 2.2.1 Tinjauan Ikhtiologi
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh, di samping itu nilai biologisnya
mencapai 90 dengan jaringn pengikat sedikit sehingga mudah dicerna. Hal yang paling penting adalah harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan sumber
protein lainnya. Kandungan kimia, tingkat kematangan, dan kondisi tempat hidupnya. Adawyah, 2006.
Pada umumnya ikan mempunyai bentuk yang sistematis kecuali untuk ikan
sebelah. Tubuh ikan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kepala mulai dari bagian dari ujung mulut sampai akhir tutup insang. Badan, akhir tutup insang sampai
pangkal sirip anal, dan dari sirip anal sampai ujung ekor disebut bagian ekor. Ikan memiliki beberapa sirip, yaitu sirip pektoral atau sirip dada, sepasang sirip ventral
atau sirip perut, sirip dorsal atau sirip punggung, sirip anal atau sirip dubur, dan sirip ekor.
Permukaan tubuh ikan terbungkus kulit yang bersisik atau semacam duri kecil yang bersusun. Kulit ikan tersebut membungkus daging yang didukung oleh
sistem tulang. Pada bagian dalam tubuh terdapat organ yang menjalankan sebagai fungsi fisiologis, seperti pencernaan, perkembangbiakan, jantung, empedu, dan
gelembung renang. Jaringan daging ikan terdapat pada kepala, badan, dan ekor
Universitas Sumatera Utara
tetapi sebagian besar terdapat pada bagian badan terdiri dari dua jaringan perut, dua jaringan punggung, dan empat longitudinal. Sel atau jaringan daging utama
yang merupakan unsur dasar fungsional dan morfologi memiliki struktur yang kompleks.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata daging ikan mempunyai komposisi kimia
air 60,0 – 80,0 ; protein 18,0 – 30, 0 ; lemak 0,1 – 2,2 ;karbohidrat 0,0 – 1,0 ; vitamin dan sisanya mineral.
Penanganan ikan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai
industri perikanan karena dapat mempengaruhi mutu. Baik buruknya penanganan ikan segar akan mempengaruhi mutu ikan sebagai bahan makanan atau sebagai
bahan mentah untuk proses pengolahan lebih lanjut Afrianto dan Liviawaty, 1989.
Dengan kandungan air yang cukup tinggi, tubuh ikan merupakan media yang
cocok untuk kehidupan bakteri pembusuk atau mikroorganisme lain, sehingga ikan sangat cepat mengalami proses pembusukan. Kondisi ini sangat merugikan
karena dengan kondisi demikian banyak ikan tidak dapat dimanfaatkan dan terpaksa harus dibuang, terutama pada saat kondisi melimpah. Oleh karena itu
untuk mencegah proses pembusukan perlu dikembangkan berbagai cara pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat agar sebagian besar ikan yang
diproduksi dapat dimanfaatkan. Pengawetan ikan dengan cara penggaraman sebenarnya terdiri dari dua proses,
yaitu proses penggaraman, dan proses pengeringan. Adapun tujuan utama dari
Universitas Sumatera Utara
penggaraman sama dengan tujuan proses pengawetan atau pengolahan lainnya yaitu memperpanjang daya tahan dan daya simpan ikan. Ikan yang mengalami
proses penggaraman menjadi awet karena garam dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab pembusukan pada ikan.
Hasil akhir dari pengawetan dengan proses penggaraman adalah ikan asin, yaitu
ikan yang telah mengalami proses penggaraman dan pengeringan. Dalam skala Nasional ikan asin merupakan salah satu produk perikanan yang mempunyai
kedudukan penting, hampir 65 produk perikanan masih diolah dan diawetkan dengan cara penggaraman. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila ikan
asin termasuk dalam sembilan pokok penting bagi kebutuhan masyarakat. Apabila lingkungan tidak memenuhi syarat, maka produk ikan asin sering
mengalami kerusakan selama dalam penyimpanan. Kualitas ikan dan kondisi ruang penyimpanan yang akan digunakan perlu diperhatikan. Tingkat kesegaran
ikan sangat berpengaruh terhadap jumlah bakteri. Selain itu, cara penanganan, sanitasi, faktor biologis, temperatur lingkungan alat pengangkutan ikan dan ruang
penyimpanan harus mendapat perhatian pula karena dapat mempengaruhi mutu ikan asin yang dihasilkan.
Kerusakan pada ikan asin dapat disebabkan oleh bakteri halifilik yang mampu
mengubah tekstur maupun rupa daging ikan asin. Bakteti itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Fakultatif Halofilik, yaitu bakteri yang dapat hidup secara baik pada media
dengan kandungan garam sebesar 2.
Universitas Sumatera Utara
2. Obligat halofilik, yaitu bakteri yang dapat hidup secara baik pada
lingkungan yang mengandung garam dengan konsentrasi lebih besar dari 2.
Selain disebabkan oleh bakteri halofilik, kerusakan mikrobiologi pada ikan asin juga dapat disebabkan oleh jamur, ragi, dan beberapa serangga dalam bentuk larva
atau dewasa Adawyah, 2006.
2.1.2 Tinjauan Ekonomi Ikan Asin
Prospek pemasaran ikan asin cukup menggembirakan,baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini arab Saudi dan Belanda telah berusaha mengimpor ikan asin
dari Indonesia. Namun kesempatan ini belum dapat dipenuhi seluruhnya, karena produksi ikan asin di negara kita masih rendah. Permintaan Arab Saudi akan ikan
asin sebesar 4.200 ton tahun telah berhasil dipenuhi, tetapi permintaan Belanda belum dipenuhi. Oleh karena itu kita perlu meningkatkat kuantitas dan kualitas
produk penggaraman Afrianto dan Liviawaty, 1989. Penambahan garam atau penggaraman atau pengasinan yang dilakukan dalam
pembuatan ikan asin tidak hanya memberikan rasa asin pada ikan, hal tersebut juga dimaksudkan untuk proses pengawetan ikan. Ikan adalah termasuk dalam
kategori bahan makanan yang mudah membusuk perishable food. Sejak ikan mati, hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 12 jam untuk memulai
pembusukan. Penggunaan kadar garam yang tinggi mampu menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri yang bisa menyebabkan pembusukan pada daging
ikan. Jadi, selain menambah nilai jual ikan yang kurang ekonomis, pengasinan pada ikan juga menjadikan ikan tahan lama untuk dikonsumsi beberapa bulan
Universitas Sumatera Utara
kedepan dengan tidak mengurangi nilai gizi yang terkandung dalam ikan tersebut Widodo dan Suadi, 2006.
Jika usaha untuk melakukan pengolahan yang bernilai tambah telah dilakukan
dan produk yang dihasilkan berhasil menarik perhatian masyarakat, maka mutu produk perlu diperhatikan dengan lebih seksama. Mutu dapat diartikan sebagai
tingkat kepuasan konsumen terhadap suatu produk yang dihasilkan produsen. Semakin tinggi tingkat kepuasan semakin tinggi harga yang dapat ditawarkan
produsen. Semakin rendah tingkah kepuasan semakin rendah harga yang ditawarkan konsumen Suparno, 1992.
2.1.3 Teknis Pengolahan Ikan Asin
Dasar pengolahan ikan adalah mempertahankan kesegaran dan mutu ikan selama dan sebaik mungkin. Hampir semua cara pengawetan dan pengolahan ikan
meninggalkan sifat khusus pada setiap hasil awetan atau olahannya. Hal ini disebabkan oleh berubahnya : sifat bau, cita rasa, wujud atau rupa, dan tekstur
daging ikan Moeljanto, 1992. Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu bagian terpenting
dari mata rantai industri perikanan. Tanpa adanya kedua proses tersebut, peningkatan dan produksi ikan yang telah dicapai selama ini akan sia-sia, karena
tidak semua produk perikanan dapat dimanfaatkan oleh konsumen dalam keadaan baik Afrianto dan Liviawaty, 1989.
Pengolahan ikan asin dimulai dari penyiangan atau langsung pencucian.
Kemudian diikuti dengan penggaraman dan penjemuran atau pengeringan.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan hasilnya tergantung pada penyiangan dan pencucian, jumlah garam yang digunakan, jangka waktu penggaraman, dan penjemurannya. Hal – hal
tersebut disebabkan jenis – jenis dan ukuran ikan atau cara pengolahan selanjutnya, serta asin yang diinginkan Moeljanto, 1992.
Untuk mendapatkan ikan asin yang bermutu baik harus digunakan garam murni,
yaitu garam dengan kandungan NaCl cukup tinggi 95 dan sedikit sekali mengandung elemen yang dapat menimbulkan kerusakan, seperti yang sering
dijumpai pada garam rakyat. Ikan asin yang diolah dengan garam murni memiliki daging berwarna putih kekuning – kuningan yang lunak. Jika dimasak,
rasa ikan asin ini seperti ikan segar Afrianto dan Liviawaty, 1989. Selain dengan menggunakan garam dengan kandungan NaCl yang cukup tinggi,
untuk mendapatkan ikan asin yang bermutu baik juga harus memperhatikan perawatan, dan perbaikan unit pengolahan, semua peralatan serta perlengkapan
membantu yang dipergunakan dalam operasi pengolahan agar selalu bersih. Dengan demikian, unit pengolahan beserta peralatan dan perlengkapan yang
digunakan bukanlah merupakan sumber penularan bakteri perusak bagi produk yang diolah Santoso, 1998.
Proses penggaraman dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1. Penggaraman kering Dry Salting Penggaraman kering dapat digunakan baik untuk ikan yang berukuran besar
maupun kecil. Penggaraman ini menggunakan garam berbentuk kristal. Ikan yang akan diolah ditaburi garam lalu disusun secara belapis-lapis. Setiap lapisan ikan
diselingi lapisan garam. Selanjutnya lapisan garam akan menyerap keluar cairan
Universitas Sumatera Utara
di dalam tubuh ikan, sehingga kristal garam berubah menjdi larutan garam yang dapat merendam seluruh lapisan ikan.
2. Penggaraman basah Wet Salting Proses penggaraman dengan sistem ini menggunakan larutan garam sebagai
media untukmerendam ikan. Larutan garam akan mengisap cairan tubuh ikan sehingga konsentrasi menurun dan ion-oin garam akan segera masuk ke dalam
tubuh ikan. 3. Kench salting
Penggaraman ikan dengan cara ini hampir serupadengan penggaraman kering. Bedanya metode ini tidak menggunakan bak kedap air. Ikan hanya menumpuk
dengan menggunakan keranjang. Untuk mencegah supaya ikan tidak dikerumuni oleh lalat, hendaknya seluruh permukaan ikan ditutup dengan lapisan garam.
4. Penggaraman diikuti proses perebusan Ikan pindang merupakan salah satu contoh ikan yang mengalami proses
penggaraman yang diikuti dengan perebusan. Dalam hal ini, proses pembusukan ikan dicegah dengan cara merebus dalam larutan garam jenuh Afrianto dan
Liviawaty,1989.
2.2 Landasan Teori
Suatu usaha merupakan suatu rangkaian kegiatan yang direncanakan yang didalamnya menggunakan masukan input, untuk mendapatkan hasil return di
masa yang akan datang. Sebelum melaksanakan usaha, tentunya perlu dilakukan analisis. Analisis adalah suatu penilaian untuk mempertimbangkan keuntungan
dan kerugian suatu usaha Khotimah, dkk, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Komponen pengolahan hasil pertanian menjadi penting karena pertimbangan sebagai berikut :
1. Meningkatkan nilai tambah Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengolahan yang baik oleh
produsen dapat meningkatkan nilai tambah dari hasil pertanian yang diproses. Kegiatan petani hanya dilakukan oleh petani yang mempunyai fasilitas
pengolahan pengupasan, pengirisan, tempat penyimpanan, keterampilan mengolah hasil, mesin pengolah, dan lain-lain. Sedangkan bagi pengusaha
inimenjadikan kegiatan utama, karena dengan pengolahan yang baik maka nilai tambah barang pertanian meningkat sehingga mampu menerobos pasar, baik pasar
domestik maupun pasar luar negeri. 2. Kualitas Hasil
Salah satu tujuan dari hasil pertanian adalah meningkatkan kualitas. Dengan kualitas hasil yang lebih baik, maka nilai barang menjadi lebih tinggi dan
keinginan konsumen menjadi terpenuhi. Perbedaan kualitas bukan saja menyebabkan adanya perbedaan segmentasi pasar tetapi juga mempengaruhi
harga barang itu sendiri. 3. Penyerapan tenaga kerja
Bila pengolahan hasil dilakukan, maka banyak tenaga kerja yang diserap. Komoditi pertanian tertentu kadang-kadang justru menuntut jumlah tenaga kerja
yang relatif besar pada kegiatan pengolahan.
Universitas Sumatera Utara
4. Meningkatkan keterampilan Dengan keterampilan mengolah hasil, maka akan terjadi peningkatan
keterampilan secara kumulatif sehingga pada akhirnya juga akan memperoleh hasil penerimaan usahatani yang lebih besar.
5. Peningkatan pendapatan Konsekuensi logis dari pengolahan yang lebih baik akan menyebabkan total
penerimaan yang lebih tinggi. Bila keadaan memungkinkan, maka sebaiknya petani mengolah sendiri hasil pertaniannya ini untuk mendapatkan kualitas hasil
penerimaan atau total keuntungan yang lebih besar Soekartawi, 1999. Nilai tambah merupakan penambahan nilai suatu komoditi karena adanya input
fungsional yang diperlakukan pada komoditi yang bersangkutan. Besarnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor teknis yang terdiri dari kapasitas
produksi, penerapan teknologi, kualitas produk, kuantitas bahan baku dan input penyerta serta faktor pasar yang meliputi harga jual output, harga bahan baku,
nilai input lain dan upah tenaga kerja Soekartawi, 1999. Peningkatan nilai tambah dari suatu produk agribisnis pada dasarnya tidak
terlepas dari aplikasi teknologi yang tepat dan sistem manajemen yang professional. Besarnya nilai tambah tergantung dari teknologi yang digunakan
dalam proses produksi dan adanya perlakuan lebih lanjut terhadap produk yang dihasilkan. Suatu perusahaan dengan teknologi yang lebih baik akan
meningkatkan produk dengan kualitas yang lebih baik pula, sehingga harga produk olahan akan lebih tinggi dan akhirnya akan memperbesar nilai tambah
yang diperolehnya Suryana, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Nilai tambah diperoleh dari hasil pengurangan nilai produk dengan harga bahan baku dan bahan tambahan pengolahan. Pada pengasinan ikan selain biaya bahan
baku juga diperlukan bahan tambahan pengolahannya dengan biaya yang cukup besar, seperti diperlukannya biaya bahan penunjang, biaya peralatan, biaya
penyusutan, biaya tenaga kerja dan biaya pajak atau iuran. Sehingga dapat dikatakan nilai tambah yang diperoleh relatif kecil karena biaya yang relatif besar
Rangkuti, 2009. Menurut Hayami et al. 1987, ada dua cara untuk menghitung nilai tambah yaitu
nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikategorikan menjadi
dua faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja.
Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan nilai input lain.
Kelebihan dari analisis nilai tambah dengan menggunakan Metode Hayami
adalah pertama, dapat diketahui besarnya nilai tambah, nilai output, dan produktivitas, kedua dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik
faktor produksi, serta ketiga, prinsip nilai tambah menurut Hayami dapat diterapkan untuk subsistem lain diluar pengolahan, misalnya untuk kegiatan
pemasaran Suprapto, 2006. Suatu agroindustri diharapkan mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi
selain mampu untuk memperoleh keuntungan yang berlanjut. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan merupakan selisih antara nilai komoditas yang
Universitas Sumatera Utara
mendapat perlakuan pada suatu tahap dengan nilai korbanan yang harus dikeluarkan selama proses produksi terjadi. Nilai tambah yang diperoleh lebih
dari 50 maka nilai tambah dikatakan besar dan sebaliknya, nilai tambah yang diperoleh kurang dari 50 maka nilai tambah dikatakan kecil Sudiyono,2004.
Pada pengolahan hasil pertanian dapat dikatakan juga dengan adanya diversifikasi vertikal yaitu kegiatan yang bertujuan untuk memperkenalkan memasukkan
tambahan kegiatan atau perlakuan terhadap komoditas setelah panen, sehingga para petaniprodusen bersangkutan dapat memperoleh nilai tambah dari komoditas
yang dihasilkan. Melalui kegiatan ini penyimpanan, pengeringan, pengolahan, pengangkutan nilai tambah yang semula dinikmati oleh pihak lain pengolah,
pedagang sekarang diterima oleh petani produsen bersangkutan, sehingga dengan demikian pendapatan petani dapat ditingkatkan Suryana, 1990.
Pendapatan petani adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya per
usahatani dengan satuan Rp. Formula menghitung pendapatan adalah sebagai berikut :
Pendapatan I = Penerimaan R – Biaya Total TC
Penerimaan R = Py. Y
Py = Harga Produksi RpKg
Y = Jumlah Produksi Kg
Biaya Total TC = Biaya tetap FC + Biaya Variabel VC Suratiyah, 2006. Secara teoritis, apabila nilai R TC maka petani memperoleh keuntungan, apabila
nilai R = TC maka petani tidak untung dan tidak rugi, dan apabila nilai R TC maka petani mengalami kerugian Soekartawi, 1995.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Kerangka Pemikiran