Jenis-jenis Drama Uraian Materi
68
Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Profesional Kompetensi G
sebuah drama. Yang menentukan adalah proses apresiasi sendiri sebagai pembaca. Dalam hal ini menurut Damono 1983:150 adalah:
Kita bisa saja mendapatkan pengalaman dengan hanya membaca drama. Dan kita juga berhak berbicara tentang drama sebagai karya
sastra. Itulah alasan mengapa drama diedarkan dalam bentuk buku, mengapa Martin Esslin menulis tentang drama absurd, Francis
Fergusson menulis The Human Image in Dramatic Literature, dan Helen Cardner membicarakan Murder in the Cathederal. T.S. Elliot
dalam The Art of T.S. Elliot, dan seterusnya. Sampainya seseorang dalam mengapresiasikan naskah drama
memerlukan suatu proses. Proses ini membutuhkan seperangkat perlengkapan. Ini dibutuhkan bukan saja untuk memahami maksud dan
pesan pengarang, tetapi juga untuk memahami bagaimana pengarang secara estetik menyampaikan maksud dan pesannya itu.
Berbagai teori digunakan untuk mengapresiasikan karya sastra drama itu. Kita kenal struktur dramatik Aristoteles. Titik pangkalnya adalah
rumusan tentang karya sastra drama yang baik biasanya memiliki alur cerita yang berbentuk piramida, diawali dengan unsur eksposisi,
dilanjutkan dengan komplikasi, memuncak pada klimaks, menurut kembali pada resolusi, dan berakhir pada konklusi.
Teori lain adalah yang bertitik-tolak dari tokoh utama cerita atau ada juga yang menggunakan teori strukturalistik yang dikembangkan oleh
Etienne Sourlau. Teori ini mendekati karya sastra drama dari sisi fungsi- fungsi yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, karena drama
adalah bagian dari seni sastra dan seni peran maka proses apresiasinya bertolak dari intuitif. Dalam hal ini Saini K.M. 1965:55 berpendapat:
Pada dasarnya semua karya seni adalah pengetahuan intuitif. Makna karya seni hanya dapat dipahami melalui pikiran, perasaan, dan
khayalan sekaligus, dengan kata lain, dengan intuisi. Namun di dalam upaya memahami makna karya seni, kegiatan pikiran intelek, rasio,
perasaan emosi, daya khayal imajinasi tidak senantiasa seimbang. Kadang-kadang pikiran menonjol perannya, kadang-kadang perasaan,
Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Profesional Kompetensi G 69
kadang-kadang khayal. Di dalam menghadapi karya sastra drama dari gaya realisme, misalnya, intelek kita lebih banyak bekerja dibanding
dengan khayal; di dalam jenis melodrama, perasaan cenderung lebih dipancing untuk giat oleh sastrawannya.
Menyikapi pendapat di atas, sebagai seni peran atau teater, sastra drama telah melalui proses intuitif dari sutradara. Sastra drama itu telah
diolah dalam bentuk penafsiran, pemotongan cerita yang kurang menunjang, atau penambahan dialog yang mungkin relevan dan tidak
menyimpang dari ide cerita. Hal inilah yang membedakannya dengan apresiasi sastra drama sebagai bentuk tersendiri yang bukan untuk
tujuan pementasan atau teater. Sebagai karya sastra drama betul-betul dihadapi dalam keutuhan dan keseluruhan simbol-simbol bahasa yang
ada dalam naskah. Ia tidak bisa dihilangkan atau ditambah.