Faktor Risiko Anak Menjadi Korban Kekerasan Seksual

30 Harlow dalam Hornor, 2010. Selain itu, dampak yang terjadi pada korban kekerasan seksual adalah sulit tidur serta meningkatnya nafsu makan yang memungkinkan kenaikan berat badan atau obesitas Levitan et al., dalam Putnam, 2003. Secara keseluruhan terlihat bahwa anak yang mengalami kekerasan seksual berpotensi mengalami mimpi buruk, depresi, perilaku menarik diri, neurotik, agresi, dan perilaku regresif sebagai dampak dari kekerasan seksual yang dialami.

5. Faktor Risiko Anak Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Beberapa faktor yang berkaitan dengan meningkatnya resiko kekerasan seksual pada anakadalah sebagai berikut: a. Jenis Kelamin Jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin, beberapa peneliti menemukan bahwa anak perempuan lebih berisiko mengalami kekerasan seksual dibandingkan anak laki-laki Putnam, 2003; Boney-McCoy, Finkelhor, Sedlak dalam Black, Heyman, Smith-Slep, 2001. Disisi lain, Finkelhor 1997 tidak menemukan hubungan antara jenis kelamin dengan korban kekerasan seksual dalam Black, et al., 2001, artinya kekerasan seksual dapat terjadi pada anak laki-laki dan perempuan. b. Usia Jika dilihat dari segi usia, anak dengan usia 12 tahun ke atas diperkirakan lebih berisiko mengalami kekerasan seksual dibandingkan usia 31 di bawahnya. Hal ini diperkuat oleh review yang dilakukan Putnam 2003yang memaparkan data mengenai faktor risiko kekerasan seksual anak berdasar usia. Diperkirakan 10 korban kekerasan seksual berusia antara 0 dan 3 tahun, 28,4 korban berusia antara 4 dan 7 tahun. Sementara itu, korban dengan usia antara 8 dan 11 tahun sebanyak 25,5, sedangkan anak diatas usia 12 tahun menduduki presentase terbanyak sebesar 35,9. Finkelhor, Moore, Hamby, and Straus 1997 menemukan bahwa remaja dengan usia 13-17 tahun lebih berisiko mengalami kekerasan seksual. c. Difabilitas Risiko kekerasan seksual lebih tinggi terjadi pada anak dengan difabilitas fisik,khususnya yang mengalami kebutaan, ketulian, dan retardasi mental daripada anak normal Westcoot Jones dalam Putnam, 2003. Disamping itu, anak yang memiliki performansi intelektual yang rendah juga memiliki risiko lebih tinggi terhadap kekerasan seksual Manion dalam Black Heyman, 2001. d. Status Sosial Ekonomi Jika dilihat dari faktor status sosial ekonomi, rendahnya status sosial ekonomi berdampak pada meningkatnya risiko kekerasan pada anak. Widom Hiller 2001 mengidentifikasi rendahnya status sosial ekonomi ini berkontribusi pula pada meningkatnya penyalahgunaan alkohol, sedangkan orangtua yang menggunakan alkohol dan obat-obatan napza berpengaruh pada meningkatnya resiko kekerasan seksual pada anak . 32 e. Konstelasi Keluarga Jika dilihat dari konstelasi keluarga, anak dengan satu orangtua atau anak hidup tanpa orangtua biologis dapat meningkatkan risiko mengalami kekerasan seksual Finkelhor, 1993. Hal yang sama juga terjadi pada anak yang hidup terpisah dari ibu kandung. Disebutkan bahwa anak dengan kondisi tersebut memiliki resiko tiga kali lebih besar mengalami kekerasan seksual. Disamping itu, hadirnya ayah tiri dalam keluarga juga dapat meningkatkan risiko anak mengalami kekerasan seksual. Anak tidak hanya mengalami kekerasan seksual oleh ayah tiri tetapi sebelum kehadiran ayah tiri, anak bisa mengalami kekerasan dari orang lain dalam Putnam, 2003. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa ibu yang sakit terutama sakit karena kecanduan alkohol, depresi, atau sakit jiwa, ibu yang mengalami perceraian, keluarga dengan ibu yang suka menghukum anak dikaitkan dengan meningkatnya risiko terjadinya kekerasan seksual pada anak Ferguson Mullen; Nelson, et al., dalam Putnam, 2003. Selain itu, ketika anak memiliki kualitas hubungan yang buruk dengan orangtuanya, sering dihukum dan mengalami kekerasan fisik atau memiliki kedekatan emosional yang buruk dapat menempatkan anak pada risiko kekerasan seksual BoneyMcCoy Finkelhor, 1995. 33

C. Ibu 1.