Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

20

C. Tinjauan tentang Model Experiential Learning 1. Konsep Dasar Experiential Learning

Experiential Learning Theory ELT, yang kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning, dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an. Metode ini menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008: 164. Dalam experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Penekanan inilah yang membedakan ELT dari teori-teori belajar lainnya. Istilah “experiential” di sini untuk membedakan antara teori belajar kognitif yang cenderung menekankan kognisi lebih dari pada afektif, dan teori belajar behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar Kolb dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni 2008: 165. Teori ini mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman experience. Menurut Kolb dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni 2008: 164 pengetahuan merupakan hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Menurut Wina Sanjaya 2010: 142 siswa belajar secara langsung experiential learning dalam proses pembelajaran secara langsung, konsep dan prinsip diberikan melalui pengalaman nyata seperti merasakan, meraba, mengoperasikan, melakukan sendiri, demikian juga pengalaman itu 21 bisa dilakukan dalam bentuk kerjasama dan interaksi dalam kelompok. Seperti halnya yang dikemukakan Edgar Dale dalam melukiskan sebuah kerucut yang kemudian dinamakan kerucut pengalaman cone of experience. Wina Sanjaya 2010: 165 mengemukakan Kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale itu memberikan gambaran bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu dan proses mendengarkan melalui bahasa. Semakin konkret siswa mempelajari bahan pengajaran, contohnya melalui pengalaman langsung, maka semakin banyaklah pengalaman yang diperoleh siswa. Sebaliknya, semakin abstrak siswa memperoleh pengalaman, contohnya hanya mengandalkan bahasa verbal, maka semakin sedikit pengalaman yang akan diperoleh siswa.

2. Tujuan Model Experiential Learning

Tujuan dari model ini adalah untuk mempengaruhi siswa dengan tiga cara, yaitu: a. Mengubah struktur kognitif siswa dengan adanya pengalaman baru yang diperoleh dalam proses pembelajaran. b. Mengubah sikap siswa c. Memperluas keterampilan-keterampilan siswa yang telah ada, dengan adanya pengalaman baru dalam proses pembelajaran yang 22 diperoleh siswa maka akan menjadikan siswa semakin terampil dan memahami, contohnya dalam penelitian ini siswa menjadi semakin paham mengenai bagaimana cara menggunakan salah satu teknologi komunikasi. Ketiga elemen tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi secara keseluruhan, tidak terpisah-pisah, karena apabila salah satu elemen tidak ada maka kedua elemen lainnya tidak akan efektif Johnson Johnson dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni 2008: 165. Experiential Learning menekankan pada keinginan kuat dari dalam diri siswa untuk berhasil dalam belajarnya. Model experiential learning memberi kesempatan kepada siswa untuk mengalami keberhasilan dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk memutuskan pengalaman apa yang menjadi fokus mereka, ketrampilan-ketrampilan apa yang ingin mereka kembangkan, dan bagaimana cara mereka membuat konsep dari pengalaman yang mereka alami. Experiential learning tentunya berbeda dengan pendekatan belajar yang masih tradisional dimana siswa hanya menjadi pendengar pasif dan guru yang mengendalikan proses belajar tanpa melibatkan siswa.

3. Prosedur Model Experiential Learning

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni 2008: 166 menyebutkan prosedur pembelajaran dalam experiential learning terdiri dari 4 23 tahapan, yaitu 1 tahap pengalaman nyata, 2 tahap observasi refleksi, 3 tahap konseptualisasi, dan 4 tahap implementasi. keempat tahap tersebut oleh David Kolb 1984 kemudian digambarkan dalam bentuk lingkaran sebagai berikut: Gambar 1. Experiential Learning Circle Dalam tahapan di atas, proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Dalam proses refleksi seseorang akan berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar proses konseptualisasi atau proses pemahaman prinsip-prinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta prakiraan kemungkinan aplikasinya dalam situasi atau konteks yang lain baru. Proses implementasi merupakan situasi dan konteks yang memungkinkan penerapan konsep yang sudah dikuasai. Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalamann nyata kemudian direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut. Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-pengertian baru atau Pengalaman konkret Pengalaman aktifpenerapan Konseptualisasiberpikir abstrak Refleksi