32 kontribusi tehadap pendapatan petani, dan 3 aspek sosial yaitu mencakup
intensitas penyuluhan, pelatihan, dan eksistensi kelompok tani. Penelitian tentang pemasaran Tembakau Madura telah dilakukan oleh
Isdojoso et al. 1999, dengan menggunakan metode diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga tembakau ditetapkan secara sepihak oleh pembeli
karena standar mutu yang menilai adalah pembeli. Di Kabupaten Pamekasan terdapat dua sistem perdagangan tembakau yaitu : 1 sistem perdagangan
tembakau pasaran yaitu penjualan tembakau pada waktu dan tempat yang telah ditentukan hari pasaran, petani menjual tembakaunya di pasar tersebut, dan 2
sistem perdagangan tembakau melalui juragan orang yang mendapat kepercayaan dari pabrik tembakau untuk membelinya dan bandol asisten dari
juragan dalam usaha untuk mendapatkan tembakau dari petani. Sistem ini mendominasi perdagangan tembakau di Kabupaten Pamekasan. Menurut para
juragan yang menjadi kepanjangan pabrik rokok di Madura, bekerjasama dengan para bandol lebih menguntungkan, karena bisa memperlancar perdagangan.
Apabila harus berhubungan langsung dengan para petani, maka juragan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyortir tembakau, karena
terlampau banyak tembakau yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
2.4.2. Penelitian tentang Risiko
Just dan Pope 1979 telah mengkritisi fungsi produksi tradisional yang memiliki kelemahan dalam melihat pengaruh perubahan penggunaan input
terhadap produk rata-rata dan variabilitas output. Berdasarkan restriksi ini Just dan Pope membuat model dari fungsi produksi yang terdiri dari dua komponen
yaitu komponen pertama menjelaskan dampak input terhadap output yang
33 diharapkan dan yang kedua menjelaskan dampak input terhadap variabilitas
output. Dengan menggunakan data panel mereka menunjukkan bahwa pupuk nitrogen memiliki dampak meningkatkan varian produktivitas artinya bahwa
pemberian pupuk ini dapat meningkatkan risiko produksi. Penelitian tentang perilaku petani beras dalam menghadapi risiko di daerah
Jawa Barat telah dilakukan oleh Budiman 1987. Risiko secara eksplisit dicerminkan dalam keragaman produksi yang dihasilkan oleh petani. Penelitian
yang dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi dampak penggunaan masukan terhadap risiko produksi. Dengan menggunakan model Just dan Pope di peroleh
hasil bahwa sebagian besar petani bersifat penghindar risiko risk averter dalam penggunaan pupuk nitrogen dan tenaga kerja manusia. Selanjutnya ditunjukkan
bahwa faktor produksi benih, pupuk nitrogen, pospat, dan luas areal lahan bersifat sebagai pembangkit risiko risk inducing sedangkan tenaga kerja manusia bersifat
sebagai pengurang risiko risk reducing. Model Just dan Pope juga telah digunakan oleh Eggert dan Tveteras
2004 untuk menganalisis pilihan risiko pada penggunaan Gear oleh Nelayan Komersial di Swedish. Fungsi penerimaan stokhastik diestimasi dan digunakan
untuk memprediksi rata-rata dan standart deviasi dari penerimaan untuk setiap perjalanan melaut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data panel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan bersifat penghindar risiko, hal ini bisa dilihat dari respon nelayan terhadap rata-rata nilai output yang
dihasilkan setelah sandar bersifat positif dan bersifat negatif terhadap variabilitasnya.
34 Kumbhakar 2002 telah mengembangkan model Just dan Pope dengan
mengkaitkan antara risiko produksi, pilihan risiko dan efisiensi produksi. Penelitiannya menggunakan data cross section dari budidaya Salmon di
Norwegia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan bersifat penghindar risiko. Pakan ikan memiliki potensi untuk meningkatkan
risiko produksi sedangkan tenaga kerja manusia dapat menurunkan risiko produksi. Sementara itu bila dilihat dari sisi efisiensi teknis ditemukan bahwa
pakan meningkatkan inefisiensi teknis sedangkan tenaga kerja menurunkan tingkat inefisiensi teknis.
Model yang dibuat oleh Kumbhakar telah digunakan oleh Bokusheva dan Hockmann 2005 untuk menganalisis dampak risiko produksi dan inefisiensi
teknis dari produsen pertanian di Rusia. Hasil analisis terhadap data panel sebanyak 443 menunjukkan bahwa inefisiensi teknis menjadi penyebab
variabilitas produksi pertanian di Rusia, selain itu risiko produksi juga memberikan kontribusi terhadap ketidakstabilan output pertanian di Rusia. Pada
semua usahatani variabilitas output dapat dijelaskan oleh risiko produksi.
Sehingga dengan mengabaikan risiko bisa menyebabkan estimasi efisiensi teknis menjadi tidak benar. Oleh karena itu risiko produksi memainkan peranan yang
penting dalam pembangunan produksi pertanian. Usahatani harus mencari alternatif untuk memperbaiki respon mereka terhadap risiko produksi.
Diantaranya dengan memperkenalkan teknologi produksi yang modern dan praktek-praktek yang dapat menurunkan ketidakstabilan produksi dan
memfasilitasi penggunaan faktor yang lebih fleksibel.
35 Penelitian tentang efisiensi teknis dan risiko produksi pada usahatani beras
di wilayah Luzon Philipina telah dilakukan oleh Villano dan Fleming 2006. Mereka menggunakan model fungsi produksi frontier stokastik dengan
menambahkan struktur error yang heteroskedastic yang telah dibangun oleh Kumbhakar. Dengan menggunakan data panel selama delapan tahun dari 46
petani beras, disimpulkan bahwa rata-rata efisiensi teknisnya sebesar 0.79 persen ini menunjukkan bahwa terdapat variabilitas yang cukup tinggi dan dapat
diartikan bahwa kondisi usahatani di dataran rendah dan pada saat musim hujan tidak stabil. Hasil yang lain menunjukkan bahwa luas lahan, tenaga kerja dan
jumlah pupuk yang digunakan berpengaruh terhadap rata-rata output yang dihasilkan dan ditemukan bahwa input-input tersebut dapat meningkatkan risiko
produksi sementara herbisida yang digunakan memiliki kemampuan untuk menurunkan risiko.
Liu 2009 menganalisis faktor-faktor yang menentukan penggunaan pestisida pada usahatani kapas di China. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa
semakin takut petani terhadap risiko atau semakin risk averse, maka semakin banyak pestisida yang digunakan. Petani-petani yang tidak begitu takut risiko
produksi, mereka menggunakan pestisida yang lebih sedikit. Ketika petani memutuskan untuk menggunakan seberapa banyak pestisida yang harus
digunakan, memaksimumkan keuntungan tidak lagi menjadi tujuan utama. Petani- petani itu juga tidak memperhatikan kondisi kesehatannya dan kemungkinan
keracunan pestisida. Hasil analisis ini memiliki implikasi kebijakan yang penting diantaranya : 1 memberikan jaminan atas kegagalan usahatani sangat diperlukan
untuk mengurangi ketakutan petani dalam menghadapi risiko, 2 memberikan
36 pelatihan-pelatihan untuk adopsi teknologi baru yang lebih menguntungkan dan
dapat menurunkan penggunaan pestisida, dan 3 membuat aturan tentang pemasaran benih supaya dipasar tidak ada benih yang berkualitas rendah.
Penelitian tentang perilaku risiko produksi juga telah dilakukan oleh Roger dan Engler 2008 menurut hasil penelitian mereka keputusan-keputusan petani
sebagain besar dipengaruhi oleh risiko dan pilihan risiko. Petani-petani kecil pada usahatani Rasberry termasuk dalam kategori petani yang takut terhadap risiko
risk Averse, sedangkan faktor-faktor yang menentukan produktivitas adalah pengalaman produsen, ukuran usahatani dan dosis pemupukan.
Binici et al.,2003 menyatakan bahwa menganalisis perilaku petani menghadapi risiko sangat penting untuk memahami keputusan managerial
mereka. Semua petani masuk dalam kategori risk averse. Petani-petani membuat keputusan managerial lebih didasarkan pada tujuan untuk menurunkan risiko
walaupun pendapatannya lebih rendah. Implikasinya adalah bahwa petani-petani itu harus diberikan jaminan asuransi pada usahataninya. Strategi manajerial yang
dapat ditempuh oleh petani diantaranya: 1 diversifikasi komoditas yang dihasilkan, 2 adopsi teknologi yang memiliki potensi untuk menurunkan risiko
kegagalan, 3 pendapatan off farm, dan 4 akumulasi tabungan dalam bentuk kas daripada menginvestasikan dalam perbaikan kapital.
Perilaku petani di Kwara Nigeria lebih bervariasi. Menurut Ayinde et al., 2008 Perilaku petani di Kwara State berbeda-beda ada petani yang menyukai
risiko, netral terhadap risiko dan takut terhadap risiko. Petani yang skala usahataninya kecil, tidak semuanya takut terhadap risiko. Implikasi kebijakannya
adalah perlu dibentuk kelompok tani, ini akan menjadi fasilitas untuk saling
37 berinteraksi dan berbagi pengalaman yang dapat menurunkan ketakutan terhadap
risiko produksi, di samping itu kelompok tani juga dapat digunakan untuk memperkuat posisi tawar mereka. Crop insurance juga dibutuhkan untuk sharing
risiko. Strategi manejeman risiko yang paling banyak dilakukan oleh petani di wilayah ini adalah dengan diversifikasi tanam.
Hasil penelitian Ayinde didukung oleh hasil penelitian Aye dan Oji 2004 yang menyatakan bahwa Pertanian di Nigeria dicirikan dengan produktivitas yang
rendah, pendapatan usahatani yang rendah, adopsi teknolog rendah, dan penggunaan teknik produksi yang inefisien. Kemiskinan petani di Nigeria
berkaitan dengan perilaku petani dalam menghadapi risiko terhadap adopsi teknologi yang baru, risiko produksi, dan lingkungan sosial ekonomi. Sebagian
besar petani 71.7 persen masuk dalam kategori risk averse. Berdasarkan analisis regresi berganda ditunjukkan bahwa umur, ukuran rumahtangga, tingkat
pendidikan, intensitas pertemuan dengan sesama, serta keanggotaan dalam kelompok tani merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku risiko.
Hartoyo 2004 menggunakan metode fungsi utilitas kuadratik untuk menganalisis risiko harga output pada usahatani di Cisarua dan Kemang Jawa
Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa petani beras di Cisarua bertendensi menjadi petani yang bersifat penghindar risiko dalam harga output
sedangkan di Kemang petani bersifat netral terhadap risiko harga, karena sebagian besar produksi padi digunakan untuk konsumsi rumahtangga.
Penelitian tentang risiko harga juga telah dilakukan oleh Farianti 2009 pada usahatani kentang dan kubis di Kabupaten Bandung. Dilihat dari besarnya
risiko, pemasaran kubis mempunyai risiko harga yang lebih tinggi dibandingkan
38 kentang. Karakteristik komoditas, kondisi permintaan dan penawaran komoditas
di pasar menjadikan faktor risiko harga kubis lebih tinggi dibandingkan dengan kentang.
2.4.3. Penelitian tentang Efisiensi