Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Pemilihan Orientasi Seksual

Femme ialah sebutan untuk lesbian yang berperan sebagai perempuan. SB kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Semarang. SB adalah anak pertama dari 2 bersaudara, adiknya yang juga perempuan berbeda 4 tahun darinya. Dalam kehidupan sehari-harinya SB terlihat seperti wanita normal. SB mengaku kalau dirinya menjadi lesbian karena terpengaruh oleh temannya yang bernama R 21. R adalah lesbian yang berperan sebagai lelaki atau yang lebih dikenal sebagai butchi. Berbeda dengan SB, AA 26 mengaku bahwa ia sudah menyukai wanita sejak ia mulai bisa mengingat. AA bercerita bahwa sejak ia masih kecil ia sudah menaruh hati dengan wanita. Namun ia masih memilah-milah apa yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya sampai ia duduk di bangku SMA. Saat ini AA sudah pernah berpacaran dengan wanita sebanyak 4 kali. Fenomena lesbian ini seperti gunung es, yaitu hanya puncaknya saja yang terlihat, tetapi dasarnya tidak terjamah jauh didalam sana. Semakin merebaknya kaum lesbian di Indonesia tentu saja membuat peneliti tertarik untuk menelusuri lebih lanjut apa yang mendasari individu memutuskan untuk menjadi seorang lesbian. Oleh karena itu peneliti mengambil judul ”Faktor-Faktor Pemilihan Orientasi Seksual Studi Kasus Pada Lesbian”.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut, bagaimanakah faktor-faktor pemilihan orientasi seksual pada wanita lesbian.

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor pemilihan orientasi seksual pada wanita lesbian.

1.4. Kontribusi Penelitian

Penelitian faktor-faktor pemilihan orientasi seksual pada lesbian ini akan diperoleh hasil sebagai berikut :

1.4.1. Secara Teoritis

Manfaat yang diperoleh secara teoritis dari penelitian ini adalah : 1. Memberi sumbangan pengayaan wacana pengetahuan umum mengenai faktor- faktor pemilihan orientasi seksual pada wanita lesbian 2. Menambah khasanah keilmuan dibidang psikologi pada umumnya dan dibidang psikologi klinis pada khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor pemilihan orientasi seksual pada wanita lesbian

1.4.2. Secara Praktis

1. Bagi Masyarakat Memberikan informasi pada masyarakat luas mengenai faktor-faktor pemilihan orientasi seksual pada wanita lesbian. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai salah satu referensi dan dapat menjadi sumber inspirasi untuk penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor pemilihan orientasi seksual pada wanita lesbian. 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lesbian

2.1.1. Definisi Lesbian

Lesbian berasal dari kata Lesbos yang artinya pulau ditengah lautan Egeis yang pada zaman dahulu dihuni oleh kaum perempuan Kartono, 2006: 249. Pada masyarakat Barat Lesbianisme dikenal melalui Sappho yang hidup di Pulau Lesbos pada abad ke-6 SM. Dia adalah tokoh yang memperjuangkan hak-hak wanita sehingga banyak pengikut-pengikutnya. Akan tetapi, dia kemudian jatuh cinta kepada beberapa pengikutnya dan menulis puisi-puisi yang bernadakan cinta. Menurut Sappho, maka kecantikan wanita itu tidak mungkin dipisahkan dari aspek seksualnya. Oleh karena itu, kepuasan seksual juga mungkin diperolehnya dari sesama wanita Lewiston dalam Soekanto, 2004: 103. Lesbian adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 820. Martin dan Lyon dalam Crooks, 1983: 291 berpendapat bahwa lesbian adalah sebutan untuk perempuan yang tampil erotik, psikologis, emosional dan minat sosialnya pada sesama jenis, meskipun kadang tidak terlihat. Kartono menjelaskan bahwa kecenderungan homoseksual lesbian pada wanita dan biseksual ini bisa terus berlangsung dari masa remaja hingga usia dewasa. Pada masa remaja masih terdapat kecenderungan jatuh cinta pada wanita, dan muncul keinginan untuk menolak cinta heteroseksual dari pria. Objek yang dicintai bisa berganti kadang seorang wanita, kadang seorang pria. Akan tetapi pada masa dewasa kelanjutan biseksual masa remaja, obyek erotisnya benar-benar seorang wanita Kartono, 2009: 267. Penjelasan secara sosiologis mengenai homoseksuallesbianisme bertitik tolak pada asumsi kebutuhan untuk menyalurkan ketegangan. Oleh karena itu, baik tujuan maupun objek dorongan seksual diarahkan oleh faktor sosial. Artinya, arah penyaluran ketegangan dipelajari dari pengalaman sosial, dengan demikian tidak ada pola seksual alamiah, karena yang ada adalah pola pemuasnya yang dipelajari dari adat istiadatnya lingkungan sosial. Lingkungan sosial akan menunjang atau mungkin menghalangi sikap-tindak dorongan-dorongan seksual tertentu Soekanto, 2004: 105. Cinta homoseksual itu bersifat lebih mendalam daripada cinta heteroseksual, bentuk homoseksual yang lebih hebat biasanya ada pada homoseksual wanita lesbian daripada homoseksual pada pria. Dalam hubungan homoseksual ini sering tidak diperoleh pemuasan seksual secara nyata Kartono, 2009: 268. Pasangan homoseksual wanita atau lesbian ini biasanya adalah kedua partner yang selalu berganti peranan. Yang pertama berperan sebagai lelaki yang bersikap aktif dan sadis. Individu bisa memainkan peran ini karena dirinya didorong keinginan untuk menuntut hak untuk “menjadi laki-laki”, ataupun sederajat dengan kaum pria. Yang kedua berperan sebagai wanita feminine yang bersikap pasif masochis, karena bisa dengan mudah melakukan identifikasi terhadap jenis kelamin yang sama misalnya identifikasi terhadap ibunya dimasa kanak-kanan dan masa pra-pubertas Kartono, 2009: 269. Seringnya relasi homoseksual ini berlangsung dalam hubungan segitiga yang kesemua anggotanya adalah wanita. Biasanya wanita homoseksual itu setia pada salah satu partnernya partner tetappertama. Pada partner tetapnya ia memainkan peran yang agresif-sadistis karena didorong oleh pola identifikasi yang amat kuat terhadap ayahnya. Sedangkan partner yang kedua selalu berganti ganti pasangan dan memainkan peran sebagai wanita yang bersikap tunduk dan menyerah. Biasanya mereka memanggil dengan nama kesayangan lelaki dengan nada mesra yang mengandung cinta seksual Kartono, 2009: 269. Pada relasi-relasi homoseksual, biasanya terdapat unsur-unsur emosi yang berkebalikan, seperti secara sekaligus merasa benar-benar wanita; tetapi juga merasa berbeda merasa sebagai laki-laki, merasa identik sebagai wanita sekaligus tidak identik, merasa takut dan bimbang; tetapi merasa aman-terlindungi karena bisa memiliki obyek cintanya serta bisa melakukan relasi seks, ada unsur sadism yang berbarengan dengan masochisme, merasa asing sekaligus merasa intim dengan obyek cintanya. Tidaklah mengherankan, kiranya bahwa karena adanya elemen-elemen afeksi yang saling bertentangan itu, yaitu ada keinginan-keinginan untuk menolak dan hasrat-hasrat untuk meraih, maka terjadilah bermacam-macam gangguan emosional. Dan pada akhirnya akan menjurus pada gejala yang neurotis Kartono, 2009: 270. Kinsey 1948 menyadari bahwa lebih dari setengah abad yang lalu perilaku seksual dan pengalaman yang muncul pada heteroseksual dan homoseksual berkelanjutan dalam sebuah rangkaian yang jelas. Beberapa heteroseksual telah terikat didalam perilaku homoseksual atau pengalaman ketertarikan dengan sesama jenis, seperti kebanyakan gay dan lesbian yang pernah mempunyai pengalaman dengan lawan jenis dan beberapa individu menjadi bingung atau tidak yakin tentang orientasi seksualnya. Karena stigma homoseksualitas, orang tersebut mungkin mengalami kecemasan karena di cap sebagai gay atau lesbian, yang mereka wujudkan dalam permusuhan atau agresi terang-terangan terhadap orang-orang homoseksual. Herek, 2000: 3 Gelora nafsu homoseksual itu sering timbul pada anak gadis pada usia puber, menurut analisa psikologi. Hal ini ini dimulai dengan fantasi cinta heteroseksual yang penuh nafsu, namun selalu mengalami kegagalan, sehingga nafsu-nafsu seksualnya tidak terpuaskan. Fantasi-fantasi itu berlangsung secara terus menerus, akan tetapi kemudian berubah memanifestasikan diri dalam dua gejala, yaitu Kartono, 2009: 270 : - Pertama : harapan pasif untuk dicintai, kemudian dirubah menjadi bentuk keinginan-keinginan yang aktif untuk mencintai. - Kedua : untuk pengganti dari pasangan sebagai obyek cinta yang pasif, lalu ia mengidentifikasikan diri sebagai subjek aktif, tokoh seorang pria. Dalam khayalan idenya, ia kini menjadi laki-laki. Lalu ia memilih seorang gadis atau seorang wanita menjadi obyek cintanya. Pemuasan seksual pada pasangan lesbian itu melalui mulut dan alat kelamin bagian luar. Menurut psikoanalisa hal ini ada sangkut pautnya dengan pemuasan seksual yang merangsang zona mulut oral yaitu pemuasan dorongan menyusu pada bayi yang terulang kembali pada relasi homoseksual pada usia dewasa, yang bisa menyebabkan timbulnya abnormalitas psikis dan neurotis. Pelaksanaan pemuasan seksual diantara pasangan lesbian ini antara lain adalah dengan cara: saling memeluk mesra, berdekap-dekapan, menyusu putting partner masing-masing, melakukan mastrubasi anal dan mastrubasi genital, saling membelai dan mencium, terkadang mereka menggunakan semacam celana atau sabuk yang berpenis, lalu mereka berganti peran memainkan peran sebagai lelaki Kartono, 2009: 271. Dipandang dari bentuk dan isinya, homoseksualitas wanita itu merupakan kelanjutan daripada pengalaman-pengalaman biseksual masa pubertas; yaitu peningkatan atau intensifikasi daripada pengalaman-pengalaman pubertas, pada usia dewasa. 2.1.2. Jenis-jenis Lesbian Kartono 2009: 263 membagi dua kelompok lesbian, yaitu : a. Kelompok Pertama - Kelompok perempuan yang memiliki banyak ciri kelaki-lakian, baik dati susunan jasmani dan perilakunya, maupun pada pemilihan objek erotisnya. Biasanya tipe ini memiliki bentuk tubuh lelaki pada umumnya. - Kelompok perempuan yang memiliki bentuk tubuh sempurna wanita. Namun memiliki beberapa bagian yang mirip dengan pria, misalnya dari pita suara yang berat seperti laki-laki, pertumbuhan rambut dan bulu yang panjang, tumbuhnya kumis dan jenggot, tidak memiliki buah dada, dll. b. Kelompok Kedua Adalah dari para wanita homoseks yang tidak memiliki tanda-tanda kelainan fisik. Jadi mereka memiliki tubuh sempurna wanita. Penyebabnya dikarenakan dari faktor psikhogin. Hal ini dijelaskan sebagai berikut: Masa pubertas merupakan faktor terpenting bagi pemastian seksualitas seorang wanita; yaitu gadis puber ini akan menjadi wanita dewasa yang homoseksual atau heteroseksual mencintai seks dari lain jenis. Adanya gejala-gejala biseksual pada usia remaja itu bisa menyebabkan individu menjadi homoseksual di masa dewasa. Penyebabnya adalah sebagai berikut: objek-objek seksual itu tidak selalu berwujud seorang pria saja, akan tetapi bisa juga berwujud seorang wanita. Misalnya saja dalam wujud kecintaan seorang anak gadis yang ditunjukan kepada seorang teman wanita. Maka dalam periode biseksual yaitu periode mencintai seorang kawan pria dan sekaligus mencintai seorang kawan putri pada usia puber itu sering terdapat gejala kelaki-lakiankejantanan pada diri seorang gadis, yang diperkuat oleh faktor-faktor psikhis. Faktor-faktor psikhis ini antara lain berwujud : identifikasi yang terlalu ketat terhadap ayah, dorongan kompulsif untuk mengimitir kakak laki-laki, ketakutan pada heteroseksualitas, dan sebagainya. Homoseksual yang muncul di usia dewasa itu pada umumnya merupakan kelanjutan daripada gejala gejala di masa pubertas yang disebabkan oleh ketidakmampuan diri wanita tersebut untuk mengubah kecenderungan biseksual menjadi kecenderungan yang heteroseksual Kartono, 2009: 264. Selain itu ada lagi type wanita homoseksual yang memiliki bakat biseksualitas yang besar. Pada umumnya, wanita type ini mempunyai minat cukup besar terhadap interesse dari kaum pria. Mereka juga suka memilih profesi yang biasanya dijabat oleh kaum laki-laki. Ciri-ciri kejantanannya sangat menonjol, dan biasanya mereka memiliki kehidupan perasaan yang bersifat jantan pula. Akan tetapi type wanita ini cenderung untuk selalu memilih obyek-seksuilnya seorang wanita. Para wanita ini, proses homoseksualitasnya lebih banyak bersifat biologis Kartono, 2009: 265. Jenis homoseksualitas lain yang memiliki kecenderungan-kecenderungan kejantanan yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh psikologis, contohnya dipaparkan sebagai berikut Kartono, 2009: 265 : Ada seorang wanita yang memiliki tubuh normal wanita. Akan tetapi ia lebih suka memakai pakaian laki-laki. Dan secara terbuka ia menjalankan kegiatan homoseksualitas. Jelasnya, ia adalah lesbian. Hanya suaranya saja yang mirip dengan suara laki-laki. Oleh karena sudah sejak usia sangat muda ia memiliki suara yang berat besar, maka tumbuhlah anggapan pada diri sendiri, bahwa ia itu seharusnya menjadi seorang laki-laki, dan bukan jadi seorang perempuan seperti sekarang ini. Dikemudian hari, setelah terjelang masa puber dan usia dewasa, timbulah ide-ide yang salah bahwa tidak ada seorang pemuda pun yang mencintai dirinya, karena ia memiliki suara seperti seorang pria. Lebih-lebih oleh pengalaman sehari-hari yang dirasakan cukup pahit, karena ia sering diolok-olok disebabkan oleh suaranya yang berat-serak, lalu ia mendepresiir menilai rendah sifat-sifat dan ciri kewanitaannya. Ia kemudian berusaha melenyapkan semua sifat kewanitaannya, dan bertekad bulat menjadi seorang laki-laki. Dengan begitu, homoseksualitasnya itu tidak disebabkan oleh adanya kelainan organis pada dirinya, akan tetapi ditimbulkan oleh faktor psikologis. Dalam hal ini kebutuhan emosional pada gadiswanita tadi untuk mencintai dan dicintai, serta untuk mengatasi perasaan-perasaan inferioritasnya sebagai seorang wanita. Sehingga ia berusaha dengan segenap daya dan upaya untuk menonjolkan tendens kelaki- lakiannya, lalu memilih obyek cintanya seorang wanita.

2.1.3. Faktor-faktor Penyebab Lesbian

Supratiknya 1995: 96 mengungkapkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi lesbian adalah : a. Kekurangan hormon kewanitaan pada saat masa pertumbuhan. b. Mendapatkan pengalaman homoseksual yang menyenangkan pada saat masa remaja atau setelahnya. c. Memandang perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang menakutkan atau tidak menyenangkan. d. Dibesarkan di tengah keluarga di mana ayah dominan sedangkan ibu lemah, atau tidak ada. Menurut Kartono, 2006: 248 penyebab individu menjadi bagian kaum lesbian dikarenakan beberapa hal sebagai berikut : a. Faktor hereditas Adanya ketidakseimbangan hormon-hormon seks dalam tubuh. b. Pengaruh lingkungan Pengaruh lingkungan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan seksual yang normal, misalnya pola asuh dan lingkungan terdekat yang mempengaruhi individu untuk merangsang munculnya perilaku homoseksual. c. Pengalaman traumatis Adanya pengalaman buruk di masa lalu yang terus melekat dalam benaknya sehingga menimbulkan kebencian tertentu. d. Mencari kepuasan relasi homoseksual Individu mencari kepuasan homoseksual dikarenakan dirinya pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan dan berkesan pada masa remaja. Tan 2005: 56, mengungkapkan beberapa penyebab menjadi lesbian adalah sebagai berikut: a. Pengaruh keadaan keluarga Hubungan antara ayah dan ibu yang sering cekcok. Antara orang tua dan dengan anak-anak yang tidak harmonis atau bermasalah. Juga ibu yang terlalu dominan di dalam hubungan keluarga sehingga meminimalis peran ayah. b. Pengalaman seksual buruk pada masa kanak-kanak Pelecehan seksual dan kekerasan yang dialami seorang perempuan pada masa kanak-kanak bisa menyebabkan anak tersebut menjadi seorang lesbian pada waktu dewasanya. c. Pengaruh lingkungan Pengaruh lingkungan yang buruk dapat mempengaruhi seseorang untuk bertingkah laku seperti orang-orang dimana dia berada. Homoseksual wanita lesbianisme itu banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksogen atau lingkungan. Baik terhadap homoseksual maupun lesbianisme, orang tidak bisa berbuat banyak untuk kesembuhannya Kartono, 2009: 250.

2.2. Pemilihan Orientasi Seksual

Menurut Kartono 2006: 249, pada usia pubertas bisa muncul kecenderungan biseksual yaitu untuk mencintai sesama jenisnya maupun lawan jenisnya. Namun dalam proses menuju dewasa kecenderungan ini bisa berubah, perubahannya dapat menjadi individu yang homoseksual ataupun heteroseksual. Biseksualitas pada remaja akan berkembang menjadi heteroseksual pada proses perkembangan anak remaja yang normal. Namun, prosesnya akan menjadi abnormal jika disebabkan oleh faktor-faktor eksogin atau endogen tertentu. Biseksual itu akan berkembang menjadi homoseksual, yang objek erotiknya adalah benar-benar seorang wanita Kartono, 2006: 249. Cinta wanita lesbian sangat mendalam, dan lebih hebat daripada cinta heteroseksual dan cinta homoseksual daripada cinta homoseksual pada pria. Pada relasi lesbian tersebut sering tidak diperoleh kepuasan seksual yang wajar Kartono, 2009: 250. Biasanya, peristiwa prevensi heteroseksual berupa lesbianisme itu akan mengarah pada bentuk yang patologis. Gejala pervensi tadi antara lain disebabkan karena Kartono, 2006: 250 : 1. Wanita yang bersangkutan terlalu mudah menjadi jenuh dalam relasi heteroseksual dengan suaminya atau seorang pria. 2. Ia tidak pernah merasakan orgasme. Bisa juga disebabkan oleh pengalaman traumatis dari wanita yang bersangkutan dengan seorang pria atau suami yang kejam, sehingga timbul rasa benci dan antipati terhadap setiap lelaki. Lalu ia lebih suka melakukan relasi seks dan hidup bercinta dengan seorang wanita lain. Jadi relasi heteroseksual tersebut tidak bisa membuat pribadi wanita tadi menjadi bahagia; sehingga dia ingin melakukan relasi seks dengan seorang wanita sebagai kompensasi dari rasa tidak bahagia. Ringkasnya, homoseksualitas pada laki-laki dan lesbianisme homoseksualitas wanita itu banyak distimulir oleh faktor-faktor eksogin atau faktor lingkungan Kartono, 2006: 250. 20 BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian