Keterangan Tanah tersebut membuktikan tanah tersebut telah digarap oleh pemilik dan dibenarkan oleh para sempadan adalah benar tanah yang digarap oleh pengarap,
terlebih lagi pernyataan pemilik dan sempadan yang kemudian diketahui oleh RT, RW, kepala desa, kelurahan dan diketahui oleh kepala kecamatan setempat.
56
Selanjutnya dikatakan berguna untuk pemindahan hak tanah garapan ataupun tanah yang belum memiliki keterangan sama sekali. Surat keterangan ini merupakan
pembuktian yang dibuat oleh masyarakat dan pejabat daerah serta penguasa daerah tersebut karena berdasarkan hukum administrasi Negara. Surat Keterangan Tanah ini
bukanlah merupakan Hak Milik, Hak Pakai, ataupun hak-hak yang dimaksud dalam UUPA, Surat Keterangan Tanah ini adalah merupakan bentuk Administratif terhadap
penguasaan fisik tanah sama halnya dengan surat dasar. oleh karena itu sebagai bentuk administrasi maka ini ada kaitan dengan suatu alat pembuktian yang mana
untuk membuktikan adanya penguasaan atas suatu tanah. Pembuktiannya disini merupakan Penguasaan fisik tanah yang diakui sempadan, berdasarkan SK menteri
agraria dahulunya camat termasuk tim ajudikasi sekarang tidak lagi dan untuk surat dasar hanya sampai ketingkat kelurahan saja.
57
5. Kekuatan Pembuktian Dari Surat Keterangan Camat
Banyak surat pelepasan hak dengan ganti rugi atas tanah yang belum memiliki alas hak yang jelas atau belum memiliki sertipikat sehingga status dari tanah-tanah
56
Hasil wawancara dengan Ridwan Lubis, Kasubsi Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 14 Juli 2012
57
Hasil wawancara dengan Ridwan Lubis, Kasubsi Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 14 Juli 2012
Universitas Sumatera Utara
tersebut masih merupakan tanah Negara, oleh karena itu yang berpindah dengan surat keterangan ganti rugi surat keterangan tanah hanyalah peralihan dari tanah
garapannya saja sehingga belum memiliki status sebagai mana yang terdapat dalam UUPA seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
Surat keterangan ganti rugi yang dibuat oleh camat pada dasarnya menjadi dasar pembuktian atas tanah apabila terjadi sengketa dikemudian hari dan dianggap
sah dikarenakan dibuat dihadapan para pihak, saksi-saksi dan diketahui oleh aparat setempat yakni lurah dan camat. Kekuatan pembuktian dari surat keterangan tanah ini
dilihat dari macam-macam alat bukti telah memenuhi syarat sebagai alat bukti yang mana adanya keterangan secara tertulis, adanya saksi, adanya pengakuan dari para
pihak dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam macam-macam alat bukti. Camat bukanlah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, sebagaimana
yang tercantum dalam UUJN bahwa Pejabat Umum yang berhak membuat akta otentik adalah Notaris.
Dalam Pasal 1 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Sehingga dengan ini memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat akta otentik dan akta-
akta yang berhubungan dengan pertanahan. Dengan demikian surat keterangan yang dibuat camat bukanlah akta otentik
seperti yang dibuat oleh Pejabat Umum maka surat keterangan yang dibuat oleh camat memiliki kekuatan pembuktian sama halnya dengan akta dibawah tangan. Alat
Universitas Sumatera Utara
bukti di bawah tangan tidak diatur dalam HIR namun diatur dalam Stb. 1867 No. 29 untuk Jawa dan Madura dan Pasal 286 sampai Pasal 305 Rbg. Akta di bawah tangan
diakui dalam KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 telah ditentukan syarat sahnya perjanjian. Dilihat dari 4 syarat sah yang dimaksud maka dapat ditafsirkan bahwa
suatu akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan PPAT adalah tetap sah sepanjang para pihak telah sepakat dan memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Keberadaan Surat Keterangan Tanah sebagai surat di bawah tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat diakui dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, walaupun surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum akan tetapi untuk dapat dijadikan sebagai alas hak dalam
penerbitan Sertipikat dan dapat memiliki kekuatan pembuktian maka surat di bawah tangan tersebut harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan dalam
Pasal 24 Ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian yang berdasarkan pembuktian,
pembukuan hak dapat dilakukan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon
pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya dengan syarat :
58
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh Kesaksian oleh
orang yang dapat dipercaya.
58
Penjelasan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
b. Penguasaan
tersebut baik
sebelum maupun
selama pengumuman
tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desakelurahan yang bersangkutan
atau pihak lainnya. Dari sisi hukum hak yang dimiliki oleh surat keterangan tanah ini adalah Hak
Preferen hak istimewa dimana untuk membuktikan adanya Hak Preferen tersebut kembali kepada bukti tulisan. Surat Keterangan Tanah merupakan surat pernyataan
sepihak dari penguasa tanah yang diakui dan disetujui oleh sempadan dan diketahui oleh RT, desa, lurah. Surat keterangan tanah adalah surat dibawah tangan yang
teregistrasi dikantor lurah, kaitanya dengan pembuktian dengan seseorang mengakui tanah tersebut maka ia baru membuktikan kekhalayak ramai dengan adanya
pengakuan dari sempadan dalam hal ini ia sudah membuktikan dalam hal materil, dalam artian formil belum.
Sehingga surat keterangan tanah bisa saja mengalahkan sertipikat karena dasar dari sertipikat adalah surat dasar. Kembali kepada pembuktian hak preferen dari surat
keterangan tanah ini yang benar berdasarkan hukum bisa mengalahkan hak milik apabila hak milik tersebut diperoleh secara melawan hukum, dengan sistem publikasi
yang diterapkan di Indonesia yakni negatif bertendensi positif sertipikat merupakan alat bukti yang kuat sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya, karena tidak ada
kepastian hukum yang sempurna maka hanya bersifat sementara.
59
59
Hasil wawancara dengan Ridwan Lubis, Kasubsi Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 14 Juli 2012
Universitas Sumatera Utara
Badan Pertanahan Nasional yang merupakan Instansi Pemerintah yang bertugas untuk mengeluarkan suatu sertipikat hak atas tanah dan juga turut
bertanggung jawab apabila terjadi suatu kesalahan dalam mengeluarkan suatu sertipikat dituntut ketelitian dan kehati-hatian dari instansi pemerintahan tersebut
terkait dalam hal penerbitan sertipikat. Pembatalan sertipikat yang dikonkretkan dengan membatalkan keputusan kepala kantor Pertanahan dapat dilakukan dalam
hal:
60
1. Adanya cacat hukum dalam penerbitan sertifikatnya, sebagaimana ditemukan sendiri oleh kepala kantor pertanahan yang bersangkutan,
2. Adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang harus dilaksanakan.
Dalam kasus Pengadilan Tata Usaha Negara nomor 72G.TUN2005PTUN- MDN tersebut di atas, dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, surat keterangan tanah yang dimiliki oleh para ahli waris F.M.D. Situmorang dapat mengalahkan Sertipikat Hak Milik nomor 1970Kel. Helvetia
Timur atas nama Naimah, dimana dalam putusannya Pengadilan Tata Usaha Negara Medan menyatakan batal dan mewajibkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan
untuk mencabut Sertipikat Hak Milik nomor 1970Kel. Helvetia Timur tersebut karena dalam proses penerbitan sertipikat tersebut mengandung cacat hukum.
Berdasarkan bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh para ahli waris F.M.D. Situmorang yang berupa Surat keterangan tanah yang diterbitkan oleh Kepala
60
Adrian Sutedi, Sertifikat Hak Atas Tanah, cet I, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
Kecamatan setempat berdasarkan Penjelasan Pasal 14 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 dan ketentuan Pasal 60 ayat 1 Peraturan Menteri
AgrariaKepala BPN nomor 3 Tahun 1997 dapat dikategorikan sebagai alas hak yang diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah,
61
oleh karena itu apabila terjadi kesalahan atau adanya cacat hukum dalam penerbitan alas hak
tersebut akan berakibat batal atau tidak sahnya sertipikat yang diterbitkan karena kesalahan prosedur penerbitan sertipikat.
Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa walaupun Surat keterangan tanah merupakan alat bukti tertulis dibawah tangan yang kekuatan pembuktiannya
tidak sekuat akta otentik, namun karena Surat keterangan tanah tersebut merupakan surat-surat yang dikategorikan alas hak atau data yuridis atas tanah yang dijadikan
syarat kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan, maka Surat keterangan tanah tersebut merupakan
dokumen yang sangat penting dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah.
61
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2010, hal. 241
Universitas Sumatera Utara
57
BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG PROSES PENGALIHAN
HAKNYA DILAKUKAN SECARA MELAWAN HUKUM
A. Permasalahan Jual Beli Tanah
Pada saat seseorang memerlukan sebidang tanah, melalui ketentuan hukum yang mengaturnya dapat mengetahui cara bagaimana memperolehnya dan apa yang
akan menjadi alat buktinya. Jika tanah yang bersangkutan berstatus hak milik, dia akan mengetahui, bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai dan digunakan
tanpa batas waktu. Jika memerlukan uang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yang bersangkutan dapat menjadikan tanahnya sebagai jaminan dengan cara
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang hak tanggungan atau menjual tanahnya kepada pihak lain. Kalau tanah itu tanah pertanian, dari ketentuan
peraturan yang mengatur pendaftaran tanah, setiap orang dapat mengetahui, bahwa ia akan diwajibkan mendaftarkan tanah yang dimilikinya. Ia juga akan mengetahui
sanksi apa yang dihadapinya, kalau kewajiban tersebut tidak dipenuhinya. Akan tetapi bagi seseorang yang akan membeli tanah, tidak cukup hanya
dengan memahami hal-hal tersebut di atas untuk sampai pada keputusan membeli tanah yang ditawarkan kepadanya. Pembeli tanah selayaknya memperoleh kepastian
lebih dulu mengenai tanah yang akan dibelinya antara lain mengenai letaknya, batas- batas, luas serta bangunan atau tanaman apa yang ada di atasnya. Perihal yang tidak
Universitas Sumatera Utara
kurang pentingnya adalah untuk memperoleh kepastian hukum mengenai status tanahnya, siapa pemegang haknya termasuk kemungkinan adanya pihak lain yang
terkait dengan kepemilikan tanah tersebut. Semuanya itu diperlukan olehnya untuk mengamankan pembelian yang akan dilakukan dan mencegah timbulnya sengketa di
kemudian hari. Permasalahan yang tidak sederhana untuk memperoleh kepastian hukum atas
tanah yang akan dibeli adalah riwayat kepemilikan tanah hingga sampai kepada pemilik terakhir yang akan menjual tanah tersebut. dengan mengetahui riwayat
kepemilikan tanah dapat dipastikan bahwa dalam proses pemindahan hak sebelumnya tidak terdapat hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan maka
kepemilikan tanah yang dibelinya akan lebih terjamin dalam hukum pendaftaran tanah yang mempergunakan sistem publikasi negatif di Indonesia ini.
Dari kasus sengketa tanah yang sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN dengan nomor perkara 72G.TUN2005PTUN-MDN tersebut gugatan
datang dari pihak yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut karena terdapat hal- hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan dan dijadikan alasan untuk
menggugurkan hak atas tanah yang telah dibeli dengan proses dan tatacara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemindahan hak atas
tanah yaitu mengenai kebenaran riwayat kepemilikan tanah yang dijadikan alas hak penerbitan Sertipikat Hak Milik nomor 1970Kel. Helvetia. Bahkan ketentuan Pasal
32 PP No. 24 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Tanah yang hendak menjamin
Universitas Sumatera Utara
kepastian hukum terhadap bukti kepemilikan atau sertipikat tanah setelah kurun waktu lima tahun tidak ada yang membuktikan sebaliknya atas kebenaran hak atas
tanah itu, tidak dapat membendung gugatan untuk menggugurkan hak atas tanah meskipun pendaftarannya telah jauh melampaui waktu lima tahun.
Menelusuri riwayat kepemilikan tanah secara meyakinkan setidaknya terkendala oleh dua hal, pertama, sulit mendeteksi hal-hal yang terkait dengan
pemindahan hak dan proses pendaftarannya kecuali sebatas bukti-bukti tertulis atau kebenaran formalnya. Sedangkan mengenai kebenaran materil seperti ada atau
tidaknya perbuatan melawan hukum, misalnya pemalsuan surat keterangan tanah dan pemindahan haknya atau kuasa palsu dengan maksud jahat, hampir tidak mungkin
terungkap kecuali jika ada pihak yang berkepentingan dan mengungkapkannya. Kendala kedua, ketika riwayat kepemilikan telah diketahui dan meyakini
bahwa tidak ada proses dan tatalaksana yang menyimpang dari hukum, harus ditimbang dengan ketentuan hukum pertanahan yang berlaku ketika itu. Melalui
perangkat hukum yang tertulis, pada prinsipnya setiap orang yang berkepentingan akan dapat mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan
menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hak-
hak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan
tanah yang dipunyainya.
Universitas Sumatera Utara
Bagi riwayat kepemilikan tanah yang terkait tanah-tanah bekas hak barat tersedia hukum yang tertulis dan lengkap. Hukum ini pun terkodifikasi dalam suatu
Kitab Undang-Undang serta telah mengalami studi oleh ilmu pengetahuan dan penerapan dalam yurisprudensi yang cukup lama. Akan tetapi untuk menelusuri dan
memahaminya bukan merupakan hal yang mudah bagi kebanyakan orang seperti disampaikan Boedi Harsono sebagai berikut:
Ketentuan-ketentuan Hukum
Tanah Administratif
hampir semuanya
merupakan hukum yang tertulis, tetapi jumlahnya amat banyak, dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan terbesar tidak terkodifikasi. Ada yang
berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda, ada yang hanya untuk wilayah atau daerah-daerah tertentu saja. Bahkan ada pula yang disediakan untuk
golongan rakyat tertentu saja misalnya peraturan hak erfpacht yang dikenal sebagai pertanian-kecil, khusus untuk golongan Eropa yang kurang mampu
Pasal 18 a Agrarisch Besluit, Engelbrecht 1960 halaman 2055 dan Landerijen bezitrecht, khusus untuk orang-orang golongan Timur Asing. Sumbernya juga
bermacam-macam. Ada yang dari Pemerintah Belanda, Pemerintah Hindia Belanda. Ada juga yang dibuat oleh Penguasa Swapraja untuk Daerahnya
masing-masing. Maka dalam praktik Hukum Tanah Administratif ini dikenal sebagai bagian hukum yang tidak mudah dipelajari dan dikuasai ketentuan-
ketentuan dan isinya.
62
Akan tetapi, bagi sebagian terbesar tanah yang dipunyai dengan hak-hak adat hukumnya tidak tertulis, hingga tidak mudah diketahui, khususnya bagi orang-orang
luar masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Padahal riwayat kepemilikan tanah sebagian besar berasal dari bekas hak milik adat.
Dari begitu banyak permasalahan dan kompleksnya hukum pertanahan, pembahasan teori dan landasan hukum dalam tesis ini dibatasi dengan aspek hukum
62
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia ; Sejarah Pernbentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 69
Universitas Sumatera Utara
yang terkait dengan kasus yang dianalisis yaitu mengenai landasan hukum pemindahan hak atas tanah melalui jual beli dan perlindungan hukum bagi pembeli
hak atas tanah. Perbuatan melawan hukum dan pemalsuan dokumen serta penjualan barang milik orang lain merupakan bagian yang dibahas karena merupakan
permasalahan hukum yang timbul dalam sengketa tanah pada kasus yang dianalisis.
B. Landasan Hukum Pengalihan Hak Atas Tanah 1. Jual Beli Tanah Dalam Konsepsi Hukum Adat
Jual beli tanah dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang terang dan tunai. Terang, dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus
dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut. Adapun yang dimaksud dengan tunai, diartikan bahwa
dengan selesainya perbuatan hukum dihadapan pejabat yang berwenang berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini
berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat yang substansial mengenai hak atas tanah yang dialihkan tersebut atau cacat
dalam hal kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.
63
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa jual beli tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti
bahwa perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan Kepala Adat
63
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 109
Universitas Sumatera Utara
yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan diketahui oleh umum. Apabila tidak
dilakukan maka perbuatan itu tidak menjadi bagian ketertiban hukum, tidak berlaku terhadap pihak ketiga dan keluarga si pembeli tidak diakui sebagai pemegang hak
atas tanah.
64
Menurut Ter haar sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto ada tiga cara jual beli tanah yang biasa dilakukan oleh masyarakat yaitu :
65
a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa bahwa pemindahan hak tetap mempunyai hak untuk mendapatkan tanahnya kembali
setelah membayar sejumlah uang yang pernah diterimanya, antara lain menggadai, menjual gade, andil sende, ngajual akad atau gade.
b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selamanya, adol pias, runtemurun, pati bogor,
menjual jaja. c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai dengan perjanjian bahwa
setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali menjual tahunan, adol oyonan
Terdapat beberapa bentuk jual beli tanah dalam hukum adat antara lain yaitu:
66
64
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 189
65
Ibid., hal. 190
66
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1. Jual lepas. Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai, dimana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya
menjadi lepas sama sekali. 2. Jual Gadai. Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah
kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus
kembali tanah tersebut. Dengan demikian maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas
mengenai sifat sementara waktu tersebut. Ada kecenderungan untuk membedakan antara gadai biasa dengan gadai jangka waktu, dimana yang terakhir cenderung
memberikan semacam patokan pada sifat sementara dari perpindahan hak atas tanah tersebut. Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap
saat. Pembatasannya adalah satu tahun panen atau apabila diatas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini
maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu.
3. Jual tahunan. Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tersebut kepada subyek hukum lain dengan
menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa setelah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui
Universitas Sumatera Utara
proses hukum tertentu. Dalam hal ini terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu.
4. Jual Gangsur. Pada Jual Gangsur ini walaupun telah terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah tetap berada ditangan penjual, artinya
bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli jadi hak pakai tersebut bukan
bersumber pada hak peserta warga negara hukum adat. Dari keseluruhan jual beli yang dilakukan menurut hukum adat tersebut dapat
diketahui bahwa keharusan adanya bukti tertulis dalam tindakan jual beli bukanlah merupakan suatu keharusan, karena dengan dilakukannya jual beli dihadapan Kepala
Adat sudah merupakan jaminan perbuatan pemindahan hak. Hal ini jelas berbeda dengan hukum pertanahan yang menekankan pada pentingnya keberadaan alat-alat
bukti tertulis terhadap perbuatan pemindahan hak.
2. Pengalihan Hak Milik Atas Tanah