Analisa terhadap penyelenggaraan penataan ruang pada Permendagri No. 8 Tahun 1998 dalam perspektif hukum islam

(1)

ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Heru Awal Ludin NIM: 105043201327

K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ” ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan Hukum.

Ciputat, 15 Juni 2010 Mengesahkan

Dekan

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP: 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A ( ... ) NIP: 195703121985031003

2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag ( ... ) NIP: 196511191998031002

3. Pembimbing I : Dr. A. Sudirman Abbas, M.A ( ... ) NIP: 150.294 051

4. Pembimbing II : Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag. ( ... ) NIP: 197302151999031002

5. Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. ( ... )


(3)

6. Penguji II : Dr. Hasanudin, M.Ag ( ... ) NIP: 196103041955031001


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 17 juni 2010


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadlirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Perbandingan Hukum pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi dan melengkapi sebagian persyaratan dan tugas akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI).

Dalam penulisan Skripsi ini, sudah barang tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, yang sangat bermanfaat bagi penulisan ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

3. Bapak. Dr. A. Sudirman Abbas, M.A dan Ibu Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan motivasi yang besar selama proses penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keihlasan mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama masa studi.

5. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidaytullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

6. Nenek, Ayahanda dan Ibunda, Ibu Hj. Rohmanih, Bapak Ahcmad dan Ibu Marwiyah, yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka. Amin.

7. Kepada adik-adiku tersayang Nur Hayani, Ani Suryani, dan Siti Laila yang selalu memberikan senyuman, canda tawa serta doa yang tiada henti untuk penulis. Dan khusus untuk Ani dan Laila yang sudah berada dipangkuan Allah SWT. Tidak pernah sedikitpun rasa sayang dan cinta penulis berkurang untukmu adik-adikku, semoga Allah SWT selalu meninggikan derajat kalian. Amin Ya Allah SWT.

8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi dari Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum angkatan 2005 / 2006 Fakultas Syariah dan Hukum UIN


(7)

iii

Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT membalas dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan semua pihak. Amin.

Ciputat, 17 Juni 2010

Heru Awal Ludin Penulis


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...10

D. Tinjauan Kajian Terdahulu (Review Study)...11

E. Metode Penelitian...14

F. Sistematika Penulisan...16

BAB II RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 A. Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah...18

B. Perencanaan Tata Ruang...20

C. Pemanfaatan Tata Ruang...27

D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang...35

BAB III PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah Perspektif Hukum Islam...50

B. Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam...57


(9)

iv

C. Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam...65 D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum

Islam...71 BAB IV ANALISA TERHADAP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Analisis Perspektif Hukum Islam...81 B. Analisis Komperatif...90 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...100 B. Saran...101 DAFTAR PUSTAKA...103 LAMPIRAN


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Secara sederhana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah sistem kehidupan di mana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem. Kemudian secara lebih rinci mengenai pengertian tentang lingkungan hidup disebutkan bahwa “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteran manusia serta makhluk hidup lain”.1 Dari pengertian tadi dapat digambarkan bahwa manusia di bumi ini tidak hidup sendirian akan tetapi berkaitan erat secara bersama dengan mahluk lain seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, mikroorganisme lain. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup, sekalipun memiliki kemampuan lebih dari pada mahluk yang lain, di dalam menjalani proses kehidupan di planet bumi ini tidak dapat menganggap dirinya lebih superior dan makhluk lain pada posisi inferior. Manusia dan mahluk lain, termasuk yang namanya jasad renik (micro organism), sama-sama pada posisi yang saling membutuhkan, tergantung pada derajat atau tingkat saling membutuhkannya. Misalnya, manusia membutuhkan oksigen dan makanan, dalam hal ini manusia tidak dapat memenuhinya melalui dirinya sendiri (heterotrfic). Oksigen diperoleh hanya melalui tumbuh-tumbuhan dan makanan diperoleh selain

1

Widjojo Nitisastro, “Senantiasa Memiliki Rakyat Kecil “, dalam : Revolusi Berhenti Hari Minggu, (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2000), h 49-50.


(11)

2

dari tumbuhan juga dari hewan. Untuk kebutuhan minuman hanya didapatkan dari air tanpa benda-benda dari manusia tidak dapat melangsungkan kehidupan dan juga keturunanya atau tidak akan terjadi proses survival of the fittest.2

Meminjam istilah biologi (lingkungan) bahwa kota merupakan suatu ekosistem, karena di kota hidup berbagai masyarakat dengan struktur, kelas, dan status sosial yang berbeda-beda. Kota juga tidak bisa diklaim sebagai milik para arsitek yang menginginkan gedung-gedung indah dan berbagai real estate atau milik ekonom yang menginginkan berdirinya mall, plaza, dan supermarket atau milik para rumbawan yang menginginkan adanya green city yaitu kota yang memiliki banyak ruang terbuka, ruang bermain, dan taman kota yang melengkapi kota sebagai paru kota.3

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam ) tentunya mempunyai aturan mengenai masalah perkotaan. Dalam untaian gagasan qurani sekaligus indikasi kealaman dan kesejahteraan serta fenomena tingkah laku manusia itu sendiri, pola dasar konseptual islami tetap memiliki sifat berbanding lurus dengan setiap bentuk penyimpangan terhadap jalan cara dan pesan Allah kepada umat manusia. Karena watak dasar islami adalah kesatuan diri dengan hukum-hukum Allah yang manifestasinya sangat dinamik dalam keseluruhan proses kehidupan.4

2

Effendy Daud, “Manusia, Lingkungan dan Pembangunan Prorpektus Islami ”, (Jakarta ; lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008). hal 50.

3

MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1, h. 43.

4

Saefudin Ahmad, ‘’Ekonomi dan Masyarakat Dalam Persepektif islam’’(Jakarta Rajawali Pers1987). hal-181


(12)

3

Sesungguhnya tidak ditemukan konsep tata kota Islam, Fikih Perkotaan yang baku apalagi yang bersifat teknis-mekanistis tentang tata kota dalam ajaran Islam. Namun ajaran Islam mempunyai prinsip-prinsip dalam hal penataan kota yang menjadi guidance dalam membuat kebijakan penataan sebuah kota.

Berbicara Fikih Perkotaan termasuk dalam ruang lingkup Fikih Siyasi. Yang dimaksud dengan Fikih Siyasi adalah fikih yang membicarakan seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, baik tentang peraturan kebijakan untuk mewujudkan kepentingan orang banyak. Oleh karenanya, ruang lingkup Fikih Siyasi sangatlah luas termasuk pengaturan Negara secara umum.

Sedangkan Fikih Tata Kota juga mempunyai ruang lingkup sangat luas. Sebut saja kota sebagai sebuah ekosistem, kota sebagai media kesejahteraan umat, sistem pengelolaan tanah dan konsolidasi (tanah), sistem penataan ruang, penghijauan kota (Green City). 5

Tentunya kita tidak menginginkan terjadinya polusi di kota tempat kita tinggal yang akan berdampak pada multiefek. Mengenai tata kota yang “Green City” merupakan sebuah keniscayaan. Jauh-jauh hari Rasulullah Saw. menegaskan betapa pentingnya menjaga lingkungan perkotaan dengan melestarikan pepohonan sebagai salah satu sumber kehidupan.

5MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1, hal-118


(13)

4

Madinah sebagai kota percontohan yang dikelola Rasulullah Saw. mensyaratkan kesejukan dengan menjaga pepohonan. Kota Madinah belum memiliki transportasi yang dapat mengeluarkan polutan karbon monoksida yang dikeluarkan oleh mobil, sepeda motor, pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap dan sebagainya. Pepohonan tidak hanya merupakan lambang kesejukan, namun pepohonan merupakan bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Betapa tidak, pepohonan adalah media siklus udara yang dibutuhkan manusia. Pepohonanlah yang menjadi sumber adanya udara besih yang kita hirup. Kekurangan udara bersih berarti mengurangi hak hidup manusia itu sendiri.

Bayangkan saja saat ini kita mulai merasakan betapa suhu udara yang menggerahkan, curah hujan dan musim yang tidak menentu. Karenanya, tidak salah jika dikatakan hutan adalah paru-paru dunia. Tanpa pohon-pohonan seolah dunia kehilangan paru-parunya untuk bernafas dan selanjutnya melenyapkan kehidupan ini. Lebih dari itu, pepohonan merupakan penangkal terjadinya malapetaka pada sebuah kota. Sebab pada pohonlah sistem keseimbangan ketersediaan dan penyimpanan air terjadi. Kebutuhan akan air atau kelebihan terhadap pasokan air yang datang melalui banjir akan diseimbangkan oleh pohon-pohonan. Karenanya, penataan kota secara teratur, tersistem rapi, green city merupakan keniscayaan dalam kehidupan perkotaan. Islam sebagai sistem nilai melalui Al-Quran dan contoh


(14)

5

tauladan Rasulullah Saw. Telah mengajarkan dan menuntun manusia untuk dapat menata tempat tingggalnya dalam rangka kemaslahatan manusia itu sendiri.6

Permasalahan Tata Ruang bukanlah permasalahan Departemen Pekerjaan Umum atau tanggung jawab Direktorat Penataan Ruang semata. Persoalan tata ruang sangat erat kaitannya dengan dinamika pembangunan di suatu tempat yang terkadang tingkat pertumbuhan dan arah pertumbuhannya tidak terkendali. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, baik alamiah maupun non-alamiah karena adanya kebijakan pemerintah, keterlibatan dan kepentingan swasta, maupun hal-hal lain seperti akibat dari implementasi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang membuka ruangan terhadap persaingan antar daerah otonom untuk mendapatkan perolehan PAD sebanyak-banyaknya, yang kemudian terkadang memberikan tekanan yang berlebihan terhadap suatu kawasan.7

Penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia dilaksanakan berdasarkan UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, di mana pengertian penataan ruang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang (RTR), baik untuk wilayah administratif (provinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan fungsional (misal kawasan perkotaan dan perdesaan). Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi RTR atau pelaksanaan pembangunan oleh

6www.Waspada Online.com Diakes Pada Tanggal 20-des-2009 7www.Waspada Online.com Diakes Pada Tanggal 20-des-2009


(15)

6

berbagai sektor yang mengisi fungsi-fungsi ruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas proses pengawasan (pemantauan, pelaporan, dan evaluasi) serta penertiban (pengenaan sanksi dan perizinan) terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Dan Dalam Permendagri No 8 Tahun 1998 pasal (1) huruf a, Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai tempat manusia dan tempat mahluk lainya hidup dan melakukan kegiatan guna memelihara kelangsungan hidupnya. Huruf b, tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. huruf c, penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Upaya pengendalian pemanfaatan ruang akan memberikan feedback bagi proses perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang. Ketiga unsur penataan ruang saling terkait erat satu sama lain membentuk suatu siklus yang interaktif-dinamis.

Melekat dalam setiap unsurnya (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang), karakteristik penataan ruang sangat terkait erat dengan sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan bahkan, pertahanan-keamanan. Oleh karenanya penataan ruang menekankan pendekatan kesisteman yang kompleks yang dilandasi oleh 4 (empat) prinsip utama yakni : (a) holistik dan terpadu, (b) keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar kota-desa, lindung-budidaya, pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor/stakeholders dan lintas wilayah administratif, serta (d) pelibatan peran serta


(16)

7

masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.8

Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) yang dapat diketahui masyarakat memungkinkan pendayagunaan dan pemeliharaan tata ruang secara terarah. Pemerintah hendaknya berkewajiban mengusahakan agar penataan ruang dilakukan secara terbuka. Setiap warga masyarakat perlu memperoleh keterangan mengenai produk perencenaan tata ruang kota dan proses yang ditempuh dalam penataan ruang kota tersebut. Dalam menyusun peraturan daerah tentang tata ruang yang diajukan, masyarakat harus diikut sertakan agar penataan ruang kota berorientasi kepada kepentingan warga/masyarakat kota.9

Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip di atas, banyak kendala dan problem yang dialami. Salah satu contohnya adalah penggusuran sebuah pemukiman atau bagian dari lingkungan, dilakukan sebagai pemanfaatan ruang untuk fasilitas umum menurut pola baru. Tetapi selama ini masyarakat hampir tidak pernah tahu bahwa tanah atau ruang yang dimanfaatkannya secara turun temurun ternyata menjadi bagian Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) untuk keperluan lain.

Persoalannya bukanlah masalah penggusuran tersebut. Pada mulanya adalah rencana tata ruang kota yang menjadi landasan. Penggusuran hanyalah tindak lanjut rencana tersebut. Namun persepsi masyarakat masih tetap sederhana, penggusuran

8

Ibid

9

MT. Dyayadi, “Tata Kota Menurut Islam”, (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008) cet. Ke-1, h.111.


(17)

8

adalah tindakan awal untuk membangun, misalnya pelebaran jalan raya dan lain sebagainya.

Secara keIndonesiaan, tampak negara kita sudah tidak lagi mampu menampung dan memelihara para dhuafa, padahal fakir miskin dan anak-anak terlantar harus dipelihara oleh negara. Kewajiban itu tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 31 ayat (1) disebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar diplihara oleh negara dan ayat (2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Namun karena keuangan negara terbatas itulah, mau tidak mau warga masyarakat seharusnya secara patungan membantu warga masyarakat lain untuk hidup secara layak.

Allah mengajarkan solidaritas sosial (ukhuwah islamiyah) dengan cara saling membantu terhadap sesama umat islam. Masyarakat islam telah diajarkan sebuah solusi mencegah kecemburuan sosial, konflik dan mengurangi kemiskinan yang berdampak pada meningkatnya kriminalitas dalam masyarakat. Dikaitkan dalam hal ini Allah swt berfirman.

)

ءاﺮﻌﺴﻟا

١٨٣

(

Artinya :

‘’Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan’’(Q.S, Asy-Syura’aa : 183).


(18)

9

Secara fisisk, permasalahan lain yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah pemukiman kumuh, drainase yang buruk kemacetan lalu lintas, polusi udara dan suara, kepadatan permukiman, ketiadaan ruang terbuka dan sebagainya.10

Kepincangan-kepincangan yang terjadi di perkotaan dianggap identik sebagai problema (masalah-masalah) sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem dan nilai-nilai sosial masyarakat itu tersebut. Akan tetapi ada persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat perkotaan pada umumnya.

Dari uraian di atas timbulah ide untuk berusaha memberikan sumbangsih pemikiran dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) guna mendukung upaya pembangunan tata ruang kota yang berdasarkan studi aplikasi pada PERMENDAGRI No. 8 tahun 1998, agar kelak memperoleh kebijaksanaan tata ruang kota yang lebih layak. Untuk itu penulis membuat skripsi ini dengan judul :

ANALISA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PADA PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membatasi masalah yang berkisar pada tata ruang kota dalam menerapkan PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998.

Adapun yang dimaksud dengan Rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kota, yang merupakan penjabaran dari RTRW provinsi, dan yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan


(19)

10

ruang wilayah kota, rencana struktur ruang wilayah kota, rencana pola ruang wilayah kota, penetapan kawasan strategis kota, arahan pemanfaatan ruang wilayah kota, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota.

Sedangkan PERMENDAGRI No. 8 Tahun 1998 adalah peraturan menteri dalam negeri tentang prosedur penyelenggaraan penataan ruang dalam proses perencanaan tata ruang kota.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana uraian di atas, terdapat pokok masalah yang harus diteliti serta dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penyelenggaraan penataan ruang menurut PERMENDAGRI

NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam ?

2. Apakah penyelenggaraan penataan ruang terdapat persamaan dan perbedaan antara PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penyelenggaraan penataan ruang menurut

PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penyelenggaraan penataan ruang antara PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998 dan Hukum Islam.

Penulis pun berharap, dengan adanya hasil penulisan ini, dapat berguna memperkaya wawasan dan wacana dalam penataan ruang kota Islam pada umumnya,


(20)

11

sekaligus sebagai sumbang saran dan masukan bagi para pratiksi dalam menetapkan penataan ruang kota yang layak.

1. Manfaat Teoristis.

Penelitian ini sekiranya dapat memberikan wawasan dan pengetahuan khususnya bagi diri penulis maupun bagi masyarakat pada umumnya

2. Manfaat Praktis.

Diharapkan berguna untuk memberikan informasi dan wawasan kepada masyarakat dalam dalam mewujudkan proses perencanaan tata ruang kota.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu (Review Study)

Dalam penelitian yang telah lalu yakni terdapat tiga hasil penelitian yang ditulis yang pembahasanya berhubungan dengan judul skripsi yang telah penulis pilih.

1. Judul Tesis ”Penataan Ruang Kota Skala Mikro Dalam Upaya

Penanggulangan Kemacetan Lalu Lintas Di Kawasan Kota”. Institute Teknolgi Bandung (ITB). Tesis ini Ditulis Oleh Mulia Yuyus Pada Tahun 1992.

Pada penulisan tesis ini, penulis menjelaskan tentang penataan ruang kota skala mikro dalam upaya penanggulangan kemacetan lalu lintas di kawasan kota. Tesis ini menitik beratkan pada persoalan kemacetan yang terjadi di kawasan kota. Sedangkan perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis angkat adalah penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan


(21)

12

Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang.

2. Judul Tesis “Kajian tentang kota Islam: Kasus kawasan Mesjid Besar

Kampung Kauman dan Sekitarnya pada kota-kota di Jawa”. Tesis ini Ditulis Oleh Ekomadyo Agus pada tahun1999.

Pada penulisan tesis ini, penulis menjelaskan tentang Kajian tentang kota Islam: Kasus kawasan Mesjid Besar Kampung Kauman dan Sekitarnya pada kota-kota di Jawa, tesis ini menitik beratkan pada kajian kota islam yang terjadi pada sekitar masjid besar kampung kauman di jawa. Sedangkan perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis angkat adalah penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang.

3. Judul Skripsi “Pengendalian Penatagunaan Tanah dan Tata Ruang kota di Kota Kebumen. Skripsi ini Ditulis Oleh Shinta Mayasari, Pada Tahun 2007 Pada penulisan skripsi ini, penulis menjelaskan tentang pengendalian penatagunaan tanah dan tata ruang kota di kota kebumen. Yang menitik beratkan pada penatagunaan tanah dan tata ruang kota dikhususnya di kota kebumen. Sedangkan perbedaan tesis ini dengan skripsi yang penulis angkat


(22)

13

adalah penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang kota telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang.

Pada ketiga tesis dan skripsi tersebut, berbeda dengan masalah yang akan diangkat oleh skripsi ini. Pada penelitian ini, penulis mendeskripsikan tentang penataan ruang telah diatur dalam Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah dengan perspektif hukum Islam, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996. Pola pemukiman yang dikembangkan pada masa Islam menunjukkan keteraturan tata ruang yang di buktikan dengan penempatan bangunan-bangunan penunjang kota. Pada masa Islam istana merupakan sentral atau pusat pemerintahan. Penempatan istana mengikuti konsep kosmologi, sebagai sentral atau pusat, maka istana atau kraton diletakkan di tengah. Pusat ibadah yang diwujudkan melalui masjid diletakkan di sebelah Timur, lalu diikuti dengan penempatan pasar di bagian Barat. Namun pola sepert ini bukan menjadi suatu keharusan baku yang diterapkan oleh kota-kota kuno Islam di Indonesia. Pada beberapa kasus, penempatan bangunan-bangunan penunjang tidak memperlihatkan adanya konsep kosmologis, namun unsur-unsur bangunan fisik kota tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang telah dikembangkan oleh penguasa pendahulu kota-kota Islam. Tata ruang yang dikembangkan oleh penguasa Islam tempo dulu selain memberi pemandangan kota


(23)

14

yang proporsional, juga terciptanya optimalisasi penggunaan ruang. Pengoptimalisasian ruang tentunya akan berdampak pada luasnya penggunaan lahan. Dengan penggunaan lahan yang sedikit tentunya akan melestarikan dan menjaga keseimbangan alam.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kulitatif, perundang-undangan dan normatif yaitu penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data sekunder. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data.

Pada perinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.11

Sedangkan pembahasanya akan menggunakan deskriptif analitis komparatif. Menggambarkan secara garis besar, kemudian dilakukan secara analisis terhadap persoalan secara umum. Komparatif, artinya mencari titik temu dan titik beda dalam sudut pandang hukum konvensional dan hukum Islam.

Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa dan menguraikan mengenai penyelenggaraan penataan dalam mewujudkan proses perencanaan tata

11


(24)

15

ruang dan masalah-masalah yang timbul dari pelaksanaan tata ruang tersebut. Dalam penelitian ini asas-asas hukum yang dipergunakan adalah Kitab Undang-Undang Pokok Agraria, PERMENDAGRI No. 8 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan penataan dalam mewujudkan proses perencanaan tata ruang, dan juga peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tata ruang .

2. Teknik Pengolahan Data

Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikanbahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut :

a) Studi Pustaka (library research)

Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.

b) Pengolahan Data

Analisis dan pengolahan data, dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data atau literatur yang terdapat di dalam buku dan materi yang bersangkutan dengan hal yang akan dibahas , kemudian dilakukan analisis yang dituangkan dalam pembahasan masalah, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan dan diberikan saran-saran untuk perbaikan.

3. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari’ah dan Hukum 2007, yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum.


(25)

16

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I Merupakan PENDAHULUAN yang terdiri dari lima sub bab yang membahas tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika P.enulisan.

BAB II RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 9 TAHUN 1998,

Dalam Bab ini terdiri dari Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang, Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Tata Ruang, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang.

BAB III PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Dalam Bab ini terdiri dari Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah Perspektif Hukum Islam, Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam, Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam.


(26)

17

BAB IV ANALISA TERHADAP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Bab ini terdiri dari Analisis Perspektif Hukum Islam dan Analisis Komperatif.


(27)

BAB II

RUANG LINGKUP PERMENDAGRI NO 8 TAHUN 1998

A. Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang

Berdasarkan PERMENDAGRI No 8/1998 Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai tempat manusia dan tempat mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan guna memelihara kelangsungan hidupnya.

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak, penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang adalah rangkain kegiatan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Penataan ruang berdasarkan UU No 24 Tahun 1992 terdiri atas, perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu juga dinyatakan ruang terbagi habis antara kawasan lindung dan kawasan budi daya.1

1Setia Hadi, MS.

Penataan Ruang Untuk Pemantapankawasan Hutan”,(Bogor :

Departemen Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, 2006), h 2.


(28)

19

Seperti kita ketahui bersama bahwa tujuan utama dalam penyelenggaraan penataan ruang berkelanjutan pada akhirnya akan bermuara kembali kepada kesejahteraan masyarakat sehingga dalam proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development) peran serta masyarakat dengan kearifan lokalnya perlu diberikan tools dan mekanisme yang jelas agar bisa berinteraksi dalam penyelenggaraan penataan ruang. 2

Sesuai dengan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa peran serta masyarakat disebutkan pada bagian konsideran butir (d) yang menyatakan bahwa “keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.”

Kebutuhan akan peran serta masyarakat muncul di Indonesia dan di berbagai negara disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan yang paling utama adalah keterbatasan sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) yang kurang mampu mewakili keragaman kepentingan masyarakat, terutama kelompok-kelompok minoritas, miskin, atau kelompok yang memiliki keterbatasan akses terhadap proses pengambilan keputusan politik. Kebijakan publik menjadi arena tertutup dan menjadi ajang kepentingan pribadi dan


(29)

20

kelompok-kelompok yang memiliki akses terhadap proses pengambilan keputusan politik. Sehingga untuk memperbaiki hal tersebut, maka suara masyarakat perlu diperkuat dengan cara melibatkan secara langsung masyarakat dalam proses penentuan kebijakan publik.3

Bila kita cermati perkembangan politik pada beberapa negara barat yang telah mengalami sejarah panjang demokrasi, akan terlihat kematangan sistem demokrasi perwakilan dengan partisipasi masyarakat. Semakin baik proses dan sistem demokrasi perwakilan maka akan semakin mengurangi kebutuhan peran serta masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan publik.4

Maka berdasarkan PERMENDAGRI No 8/1998 tujuan penyelenggaraan penataan ruang terdapat pada Pasal 2 Tujuan penyelenggaraan penataan ruang di daerah yaitu; Terlaksananya perencanaan tata ruang secara terpadu dan menyeluruh, Terwujudnya tertib pemanfaatan tata ruang Terselenggaranya pengendalian pemanfaatan ruang

B. Perencanaan Tata Ruang

Berdasarkan permendagri No 8/1998 perencanaan tata ruang adalah kegiatan menyusun dan menetapkan rencana tata ruang yang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang.

3

Ibid , h 3.

4Sjo fja n Ba ka r, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan


(30)

21

Berdasarkan Permendagri No.8/1998 Pasal 6 perencanaan tata ruang itu berisi :

(1) Pekerjaan peyusunan rencana tata ruang merupakan kewajiban dan tanggung jawab Kepala daerah.

(2) Peyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dengan cara :

a. Bekerjasama dengan perguruan tinggi dan atau konsultan perencanaan yang berbentuk badan hukum.

b. Swakelola.

(3) Pemilihan pelaksana pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh instansi yang bertangung jawab menyusun rencana tata ruang

Ruang wilayah negara yang meliputi ruang lautan, ruang udara, dan ruang daratan merupakan sumber daya alam dan suatu subsistem. Dalam subsistem terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya buatan, dengan tingkat pemanfaatan yang


(31)

22

berbeda-beda yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah ketidakseimbangan penanganan serta ketidaklestarian lingkungan hidup.5

Pelaksanaan pembangunan, khususnya pembangunan fisik tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pelanggaran pemanfaatan ruang ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor teknis operasional, administratif, dan perkembangan pasar. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan terciptanya pembangunan yang “tertib ruang”, diperlukan tindakan pengendalian pemanfaatan ruang yang sungguh-sungguh.6

Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek-aspek pelaksanaan (pemanfaatan ruang), atau sebaliknya pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan.

Sejalan dengan perubahan dan pembaharuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom telah diberikan kewenangan urusan pemerintahan dan sekaligus menjadi kewajiban Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengatur dan mengurus perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang di Daerah. Pemberian kewenangan dan kewajiban sesuai dengan strata dan fungsi pemerintahan tersebut, hendaknya dipandang sebagai

5Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”(Jakarta :

Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006), h 1.


(32)

23

momentum bagi Daerah untuk lebih menguatkan pengembangan kapasitas Daerah berbasis kinerja, kerjasama antar daerah, dan koordinasi secara terpadu dan sinergis.7

Pada prinsipnya proses penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang daerah harus mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, dalam hal ini sebagaimana disebutkan pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa sebelum Raperda tentang Rencana Tata Ruang Daerah baik Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan menjadi Perda harus dilakukan persetujuan substansi teknis dari Menteri dan khusus untuk Kabupaten/Kota perlu mendapat rekomendasi dari Gubernur.

Berdasarkan berbagai hal di atas dan sejalan dengan PP Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Kabupatan/Kota maka disusunlah pedoman mekanisme Konsultasi dan Evaluasi dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah.Di dalam Permendagri tersebut perlu dipahami pentingnya peran BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan Kepmendagri


(33)

24

147 tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. BKPRD Provinsi mempunyai fungsi membantu Gubernur untuk mengkoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWP dan RTR Kawasan Strategis Provinsi dengan memperhatikan RTRWP yang berbatasan, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN (Pasal 5 ayat 1). BKPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi membantu Bupati/Walikota untuk mengkoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWKabupaten/Kota, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTR Kabupaten/Kota,dengan memperhatikan RTRWKabupaten/Kota yang berbatasan, RTRWP, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN (Pasal 5 ayat 2). Dalam melakukan proses penyusunan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang provinsi terdapat dua tahap yaitu tahap “Konsultasi” dan tahap “Evaluasi” yang tergambar pada diagram berikut ini:


(34)

25

Pada tahap “konsultasi” Bupati/Walikota dibantu BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Kabupaten/Kota mengkonsultasikan rancangan perda tentang RTRWK/K, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTRK/K kepada instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang yang dikoordinasikan oleh BKTRN guna mendapatkan persetujuan substansi teknis. Rancangan perda harus dilampiri dokumen RTR Kabupaten/Kota dan album peta. Pengajuan permintaan persetujuan substansi teknis ke pemerintah pusat dilakukan setelah rancangan perda dibahas di BKPRD Provinsi dan mendapatkan rekomendasi dari Gubernur. Setelah keluar Surat Persetujuan Substansi Teknis dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang, dilanjutkan oleh Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama dengan DPRD. Kedua bahan tersebut yaitu Surat Persetujuan Substansi Teknis dari Menteri yang membidangi urusan penataan ruang dan Surat Persetujuan Bersama dengan DPRD menjadi bahan Gubernur dalam melakukan “evaluasi” terhadap rancangan perda tentang RTRWK/K, rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan rancangan perda tentang RDTR Kabupaten/Kota serta klarifikasi terhadap Perda tentang RTRWK/K, Perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan Perda tentang RDTR Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan.8

8


(35)

26

Indikator yang digunakan oleh Gubernur dalam mengevaluasi rancangan peraturan daerah tata ruang kabupaten/kota seperti tercantum di dalam tabel berikut ini

provinsi pemekaran yang belum memiliki DPRD sehingga belum dapat membentuk perda, pengaturan tata ruang daerah berdasarkan pada perda Provinsi induk (Pasal 28 ayat 1).

Kabupaten/Kota pemekaran yang belum memiliki DPRD sehingga belum dapat membentuk perda, pengaturan tata ruang daerah berdasarkan pada perda Kabupaten/Kota induk (Pasal 28 ayat 2).

Tata cara evaluasi terhadap perubahan Perda tentang RTRWP, Perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi, Perda tentang RTRWKabupaten/Kota,


(36)

27

Perda tentang RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan Perda tentang RDTR Kabupaten/Kota mutatis mutandis berdasarkan pada Peraturan Menteri ini (Pasal 29). 9

C. Pemanfaatan Tata Ruang

Berdasarkan Permendagri No 8/1998 pemanfaatan ruang adalah rangkaian program dan kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang untuk membentuk ruang.

Berdasarkan Permendagri No 8/1998 yang terdapat pada Pasal 11

(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, kepala daerah mempersiapkan kebijakan yang berisi pengaturan bagi wilayah atau kawasan yang akan dimanfaatkan sesuai dengan fungsi lindung dan budi daya yang ditetapkan dalan rencana tata ruang.

(2) Pengaturan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), berupa penetapan Keputusan Kepala Daerah tentang ketentuan persyaratan teknis bagi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya.

9G una wa n,“Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Tata

Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah”(Jakarta : Kasubdit Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Ditjen Bina Bangda Depdagri, 2008), h 1-8.


(37)

28

Dalam rangka efisiensi alokasi pemanfaatan lahan diperlukan rencana yang merangkum kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun kegiatan di masa mendatang. Rencana tata ruang merupakan bentuk rencana yang telah mempertimbangkan kepentingan berbagai sektor kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahan/ruang beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya (bersifat komprehensif). Rencana tata ruang merupakan pedoman pemanfaatan ruang/lahan oleh sektor sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.10

Perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan melalui pembangunan dalam rangka mengembangkan kawasan lindung, kegiatan budidaya, serta sarana dan prasarana penunjang. Agar dapat berlangsung secara efektif dan efisien hal tersebut perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan. Beberapa aspek penting dalam pemanfaatan ruang beserta ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dapat disampaikan sebagai berikut:

1. Penetapan Lokasi Kegiatan/Investasi.

Tujuan penataan ruang di samping terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, juga terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang

10

Hermanto Dardak, “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” (Bogor ; Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005), h 1.


(38)

29

kawasan lindung dan kawasan budi daya, dan tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, penataan ruang dilaksanakan melalui proses perencanaan tata ruang yang menghasilkan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Dengan perkataan lain, kualitas pemanfaatan ruang ditentukan antara lain oleh rencana tata ruang yang digambarkan dalam peta rencana tata ruang wilayah yang disusun dalam suatu sistem perpetaan dan disajikan berdasarkan pada unsur-unsur serta simbol dan atau notasinya yang dibakukan secara nasional.11

Penetapan lokasi pengembangan kawasan lindung, kegiatan budidaya, serta sarana dan prasarana penunjangnya perlu dengan kebutuhan dan kesesuaian lokasi.

Alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung, kawasan budi daya, kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan kawasan tertentu dalam rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah daerah propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, dan rencana tata ruang wilayah daerah kota, serta rencana tata ruang kawasan, digambarkan dengan unsur alam seperti garis pantai, sungai, danau, dan unsur buatan seperti jalan, pelabuhan, bandar udara, permukiman, serta unsur-unsur kawasan lindung dan

11 Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000


(39)

30

kawasan budi daya dengan batas wilayah administrasi dan nama kota, nama sungai, dan nama laut. Penggambaran unsur-unsur tersebut disesuaikan dengan keadaan di muka bumi dan pemanfaatan ruang yang direncanakan.12

Ruang terbuka hijau dialokasikan sebagai bagian dari kehidupan perkotaan, Ruang terbuka hijau terdiri dari kawasan lindung/alami, hijau buatan dan hijau fungsional. Ruang Terbuka Hijau memiliki fungsi untuk perlindungan ekosistem, pengamanan lingkungan dari pencemaran, penciptaan iklim mikro, perlindungan tata air, meningkatkan citra estetika lingkungan, menciptakan kebersihan dan kesehatan, sarana rekreasi, dan sarana produksi.13

pasal 13 UULH (undang-undang lingkungan hidup) berbunyi : ketentuan tentang sumber daya buatan ditetapkan dengan undang-undang. Perlindungan sumber daya buatan yang penting ditunujukan kepada konservasi fungsi sumber daya tersebut bagi kesinambungan pembangunan. Sumber daya buatan meliputi bendungan, waduk, instalasi energi, perumahan dan pemukiman, dan lain-lain.

Yang perlu dilindungi oleh undang-undang adalah sumber daya buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga perlu diatur penggunaannya oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

12Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000 Tentang

Tingkat ketelitian peta untuk penataan Ruang wilayah.


(40)

31

Yang dipentingkan disini adalah konservasi fungsi bagi kesinambungan penyambung untuk kesejahteraan manusia.14

2. Penyelenggaraan Kegiatan Budidaya Dan Pengelolaan Kawasan Lindung. Penyelenggaraan kegiatan budidaya dan pengelolaan kawasan lindung yang ditetapkan dalam rencana tata ruang harus mengikuti kaidah-kaidah yang ditetapkan secara sektoral. Untuk itu berbagai peraturan perundang-undangan sektoral harus dijadikan referensi dalam mengatur kegiatan budidaya.

Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam. Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan.15

Pasal 12 UULH (undang-undang lingkungan hidup) berbunyi sebagai berikut : ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penjelasan tertera :

14Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan” (Yogyakarta : Gajah Mada

University Press, 2006), h 223

15Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang


(41)

32

pengertian konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mengandung 3 aspek, yaitu :

a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.

b. Pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara.

c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Dalam pengertian konservasi tersebut di atas termasuk pula perlindungan jenis hewan yang tata cara hidupnya tidak diatur oleh manusia, tumbuh-tumbuhan yang telah menjadi langka atau terancam punah dan hutan lindung.16

3. Peran Serta Masyarakat Dalam Pemanfaatan Ruang.

Peran serta masyarakat yang sejalan dengan UU 26/2007 di dalamnya mencakup empat kegiatan utama yaitu : pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Keempat ruang lingkup tersebut lebih luas dari ruang lingkup yang disebutkan dalam PP 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang yang hanya mencakup empat hal yaitu perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang serta pembinaan masyarakat. Mekanisme peran serta masyarakat dilakukan sesuai dengan tahapan kegiatan

16Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan” (Yogyakarta : Gajah Mada


(42)

33

penataan ruang. Secara umum mekanisme tersebut dapat berbentuk penyampaian informasi, usul dan saran lisan maupun tulisan melalui berbagai media informasi sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada (media cetak dan elektronik, seminar, workshop, konsultasi publik, brosur, kegiatan budaya, website, kegiatan pameran, public hearing dengan masyarakat) kepada lembaga-lembaga yang berwenang; dan keterlibatan secara langsung dalam kegiatan penataan ruang, misalnya sebagai salah satu wakil masyarakat yang terlibat dalam penyusunan rencana tata ruang. Selain upaya-upaya yang bersifat individual, mekanisme peran serta dapat dilakukan oleh kelompok dan organisasi masyarakat serta organisasi profesi yang melakukan advocacy planning kepada lembaga-lembaga yang berwenang.17

Pelaksanaan peran serta masyarakat dilakukan bisa melalui lokakarya atau konsultasi publik untuk menjaring aspirasi masyarakat yang dilakukan secara bertahap. Tahap pertama lokakarya bisa dilakukan lebih dari satu kali untuk setiap daerah Kabupaten/Kota. Pada tahap ini setiap warga Kabupaten/Kota dapat menghadiri acara lokakarya/konsultasi tersebut yang diselenggarakan oleh Pemda. Output workshop pertama adalah serangkaian isu-isu yang terkait pengaturan penataan ruang. Pada tahap ini juga ditentukan wakil-wakil masyarakat yang dapat mengikuti tahap kedua.18

17Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”. hal- 223.

18Sjo fja n Ba ka r, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan


(43)

34

Tahap kedua merupakan lokakarya atau konsultasi publik pada skala propinsi yang akan mendiskusikan lebih lanjut hasil-hasil diskusi pada tahap pertama. Bila pada tahap pertama, masyarakat mengemukakan masalah pengaturan penataan ruang pada skala yang lebih kecil, maka pada tahap kedua, isu yang akan dibicarakan akan meliputi masalah-masalah pada skala yang lebih luas (propinsi). Pada tahap kedua ini , peserta dapat dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan isu-isu spesifik yang telah dihasilkan pada tahap pertama untuk mempertajam isu dan memperoleh informasi dan tanggapan dari pihak eskekutif dan legislatif. Lokakarya bisa dilakukan lebih dari satu kali tergantung kebutuhan.

Bahan yang telah dihasilkan pada kedua tahap lokakarya ini menjadi masukan penting bagi pihak eksekutif dan legislatif dalam penyusunan perda pengaturan penataan ruang. Selain melalui workshop, aspirasi dapat dilakukan secara tertulis, lisan, dan perantara teknologi yang ada (short message service, email, website, dan lain-lain) kepada pihak eksekutif dan legislatif yang memiliki kewenangan dalam menyusun dan menetapkan keputusan.19

Di samping itu pemerintah telah mempersiapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Dalam perundangan

19Sjo fja n Ba ka r, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang”, hal


(44)

35

tersebut diamanatkan bahwa untuk penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat. Peran dan keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan dan mengamankan aturan tersebut amat sangat penting artinya karena hasilnya akan dinikmati kembali oleh masyarakat di wilayahnya. 20

Sebagaimana telah disampaikan, masyarakat mempunyai hak untuk berperan dalam setiap tahap penataan ruang termasuk dalam pemanfaatan ruang. Ketentuan ini diatur dalam UU 24/1992 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan. Berbagai ketentuan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang telah diatur secara lebih terinci dalam PP 69/1996.21

D. Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang

Berdasarkan Permendagri No 8/1998 pengendalian pemanfaatan tata ruang adalah kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang sebagai usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang

20Handiman Rico, ”Merealisasikan Hak Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Tata

Ruang” Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang (Bogor : Divisi Riset JKPP, ) h 1

21http://pertamanan.jakarta.go.id/download/kebijakan2/Tinjauan%20aspek%20Pemanfaatan%


(45)

36

yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dan untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud.

(1) Pengendalian pemanfaatan ruang diselengarakan dengan cara : a. Melaporkan pelaksaan pemanfaatan ruang

b. Memantau perubahan pemanfaatan ruang

c. Mengevaluasi konsitensi pelaksanaan rencana tata ruang

d. Pemberian sanksi hukum atas pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang

(2) Pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang.

Ruang wilayah negara yang meliputi ruang lautan, ruang udara, dan ruang daratan merupakan sumber daya alam dan suatu subsistem. Dalam subsistem terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya buatan, dengan tingkat pemanfaatan yang berbeda-beda yang apabila tidak ditata secara baik dapat


(46)

37

mendorong ke arah ketidakseimbangan penanganan serta ketidaklestarian lingkungan hidup.22

Pengendalian pemanfaatan ruang menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 26/2007 adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Pasal 35 UU No. 26/2007 menyatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Dari ketentuan ini terlihat adanya dua cara pengendalian pemanfaatan ruang. Pertama, memprioritaskan terlebih dahulu cara-cara preventif dengan menetapkan ruang secara zonasi (membagi peruntukkan ruang dengan pendekatan kawasan) yang dapat menunjukkan kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dalam suatu kawasan, sistem dan proses perizinan yang sesuai dengan peruntukkan kawasan dan kaídah-kaidah lingkungan, pemberian insentif dan disinsentif seperti keringanan pajak dan pengenaan pajak yang tinggi. Kedua, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan secara represif melalui pengenaan sanksi.23

Dalam UU 24/1992 tidak terdapat ketentuan yang secara spesifik mengatur kewenangan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang. Namun

22Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”(Jakarta

:Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006), h 1.

23 Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta :


(47)

38

dengan mempertimbangkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian dari penyelenggaraan penataan ruang, maka Kewenangannya disesuaikan dengan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang. Mengingat pengendalian pemanfaatan ruang senantiasa dikaitkan dengan rencana tata ruang, berdasarkan ketentuan UU 24/1992 kewenangan pengendalian pemanfaatan ruang dapat disimpulkan sebagai berikut:

• Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWN, pemanfaatan ruang lintas propinsi, dan pemanfaatan ruang pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis nasional diselenggarakan di bawah koordinasi Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang.

• Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWP dan pemanfaatan ruang lintas Kabupaten/Kota diselenggarakan di bawah koordinasi Gubernur.

• Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan pada RTRWK diselenggarakan oleh Bupati/Walikota.

• Penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.

Sebagai sebuah produk hukum yang mengikat, ketentuan-ketentuan dalam rencana tata ruang harus diikuti oleh masyarakat. Mengingat rencana tata ruang adalah gambaran kondisi spasial yang hendak dicapai dalam jangka


(48)

39

waktu perencanaan, sudah tentu terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi eksisting, termasuk dalam pemanfaatan ruang.24

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan terciptanya pembangunan yang tertib ruang diperlukan tindakan pengendalian pemanfaatan ruang. Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek pelaksanaan atau sebaliknya bahwa pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang.

Pengendalian pemanfaatan tata ruang dilakukan agar pemanfaatan tata ruang dapat berjalan sesuai dengan rencana tata ruang. Salah satu perangkat pengendalian pemanfaatan ruang adalah perizinan. Izin yang berlaku pada sebagian besar daerah di Indonesia hanya sampai pada Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak sampai pada izin memanfaatkan bangunan, di mana pelanggaran pemanfaatan ruang berawal. Di samping itu, izin yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi tidak mengacu kepada rujukan yang sama, yaitu rencana rinci tata ruang, sehingga sering terjadi kurang koordinasi. Untuk itu, masing-masing daerah harus memiliki rencana rinci dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang.25

24http://pertamanan.jakarta.go.id/download/kebijakan2/Tinjauan%20aspek%20Pemanfaatan%

20Pengendalian%20Penat.Ruang.pdf. Di akes pada tanggal 3 januari 2010.

25Buletin Tata Ruang, “Penataan Ruang Dalam Meminimalisasi Dampak Bencana” (Jakarta


(49)

40

Terkait pengendalian, terdapat 3 (tiga) perangkat utama yang harus disiapkan yakni:

a. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)

Sebagaimana kita ketahui bersama, permis penataan ruang adalah keseimbangan lingkungan hidup. Pemanfaatan suatu kawasan untuk berbagai kegiatan disesuaikan dengan kemampuan daya dukung lingkungannya. Pola pengembangan kegiatanya pun pada umumnya memiliki pertimbangan tidak hanya fisik melainkan juga sosial budaya. Kearifan lokal pun senantiasa menjadi salah satu referensi pokok dalam merumuskan langkah-langkah pembangunan untuk menjawab tantangan kemajuan.26

Dalam konteks ini, terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang jelas perlu disambut secara positif. Dengan sejumlah perbaikan yang cukup signifikan dari UU terkait sebelumnya (UU No.24/1992), terbitnya payung hukum tersebut merupakan gambaran kuat dari komitmen seluruh elemen masyarakat yang menginginkan agar penataan ruang berjalan lebih baik lagi ke depan. Selama ini, dalam 15 tahun perjalanannya penataan ruang dinilai kurang begitu berhasil menjaga konsistensi perencanaannya sampai ke tahap pelaksanaan.27

Fungsi utama dari RDTR adalah sebagai dokumen operasionalisasi rencana tata ruang wilayah. Dengan kedalaman pengaturan yang rinci dan

26Buletin Tata Ruang, “Penataan Ruang Dalam Meminimalisasi Dampak Bencana”, h 2. 27Ibid, 3.


(50)

41

skala peta yang besar, rencana detail dapat dijadikan dasar dalam pemberian izin dan mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Penyiapan RDTR dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip dasar. Pertama, rencana detail tata ruang harus dapat langsung diterapkan, sehingga ke dalaman rencana dan skala petanya harus benar-benar memadai. Kedua, rencana detail tata ruang harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat, untuk itu harus diamanatkan dalam Peraturan Daerah dan secara tegas dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah. Ketiga, rencana detail tata ruang harus memiliki legitimasi yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, sehingga harus disusun dengan pendekatan partisipatif.

b. Peraturan Zonasi (Zoning Regulation)

pembangunan kota memerlukan dua instrumen penting, yang pertama development plan dan kedua development regulation. Development plan adalah rencana tata ruang kota yang umumnya di semua negara terdiri dari 3 jenjang rencana yang baku, meliputi rencana umum, rencana intermediate dan rencana rinci. Rencana umum dikenal dengan berbagai istilah antara lain strategic plan, structure plan, master plan, schematic plan, general plan, concept plan. Rencana intermediate juga dikenal dengan berbagai istilah antara lain functional plan, zoning plan, district plan, local plan. Sedangkan


(51)

42

rencana rinci dikenal dengan istilah antara lain subdivision plan, land use plan.28.

Development regulation dikenal dengan berbagai macam istilah, antara lain zoning regulation, zoning code, land management and development code, town planning act and zoning code, planning act dan planning rule dan lain sebagainya. Istilah yang paling populer digunakan adalah zoning regulation.zoning regulation adalah suatu perangkat peraturan yang dipakai sebagai landasan dalam menyusun rencana tata ruang mulai dari jenjang yang paling tinggi sampai kepada rencana yang sifatnya operasional dan juga sebagai alat kendali dalam pelaksanaan pembangunan kota.29

Dalam penataan ruang, zoning regulation lebih penting kedudukannya dan harus ditetapkan sebagai prioritas dalam penyusunannya ketimbang perencanaan. Bahkan ada pendapat yang mengatakan better regulation without planning rather than planning without regulation. Konsepsi increamental planning yang diterapkan di Houston dan floating zone sebagaimana yang diberlakukan di Prancis, dapat dikatakan mencerminkan hal tersebut. Houston tidak memiliki zoning plan, sedangkan Prancis menyusun konsepsi zoning plan atas dasar kondisi existing. Tetapi mereka memiliki zoning regulation yang kuat sebagai alat untuk bernegosiasi.

28Ibid, 3. 29Ibid, 3.


(52)

43

Langkah pertama dalam penentuan zoning adalah menetapkan zona-zona dasar, selanjutnya pada setiap zona-zona dasar ditentukan zona-zona-zona-zona utama dan pada setiap zona utama ditentukan paket penggunaan atau jenis-jenis perpetakan. Untuk menentukan seberapa jauh perpetakan tersebut dapat dikembangkan bagi kegiatan lain, maka perlu diinventarisasi seluruh jenis-jenis penggunaan rinci yang dikenal. Untuk menghindari penafsiran yang keliru maka perlu dirumuskan tujuan pengembangan setiap zona dasar, zona utama dan paket penggunaannya.30

Menurut undang-undang No 26/2007 pasal 35 dan 36 ayat (1), peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sepadan bangunan, penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi sangat penting dalam proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi adalah peraturan yang menjadi rujukan perizinan, pengawasan dan penertiban dalam pengendalian pemanfaatan ruang, yang merujuk pada rencana tata ruang


(53)

44

wilayah yang pada umumnya telah menetapkan fungsi, intensitas, ketentuan masa bangunan, sarana dan prasarana, serta indikasi program pembangunan.31

Peraturan zonasi merupakan dokumen turunan dari RDTR yang berisi ketentuan yang harus diterapkan pada setiap zona peruntukan. Dalam peraturan zonasi dimuat hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan ruang, termasuk pengaturan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, penyediaan ruang terbuka hijau publik, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi tersebut bersama dengan RDTR menjadi bagian ketentuan perizinan pemanfaatan ruang yang harus dipatuhi oleh pemanfaat ruang. 32

c. Mekanisme Insentif-Disinsentif

Pemberian insentif kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang. Contoh bentuk insentif adalah penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk berkembang di suatu lokasi. Sedangkan disinsentif untuk mengurangi pertumbuhan

31 Ismail Zubir, “Zoning Regulation Sebagai Instrumen Dalam Penataan Ruang” (Jakarta :

Buletin Tata Ruang, 2007), h 18


(54)

45

kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana dan sarana.

Sesuai dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mekanisme insentif dan disinsentif merupakan bagian dari pengendalian pemanfaatan ruang. Mekanisme insentif dan disinsentif dianggap mampu untuk mendorong perkembangan kota dan dapat menimbulkan dampak positif yang menunjang pembangunan kota atau upaya pengarahan pada perkembangan yang berdampak negatif untuk mengefektifkan pembangunan/rencana tata ruang yang telah ditetapkan.33

Mekanisme insentif dan disinsentif mengandung suatu pengaturan dan pengendalian pembangunan yang akomodatif terhadap setiap perubahan yang menunjang pembangunan/perkembangan kota. Insentif dan disinsentif diharapkan disusun oleh masing-masing daerah sebagai perangkat pengendaliannya.

Pengendalian pemanfaatan ruang bukan hanya kewajiban pemerintah, tetapi juga merupakan hak dan kewajiban masyarakat. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69

33Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta :


(55)

46

Tahun 1996. Hal ini dipertegas dalam rumusan naskah RUU Penataan Ruang yang disusun untuk menggantikan UU No.24 Tahun.34

Kegiatan pengawasan pemanfaatan ruang adalah usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dengan rencana tata ruang. Kegiatan pengawasan dimaksud untuk mengikuti dan mendata perkembangan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sehingga apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan dapat diketahui dan dilakukan upaya penyelesaiannya.

Kegiatan penertiban pemanfaatan ruang adalah usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan penertiban ini dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan atas semua pelanggaran yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.35

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, kegiatan penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Selain

34

Hermanto Dardak, “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” (Bogor ; Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005), h 7-8

35Hermanto Dardak, Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya


(56)

47

PPNS, ada beberapa Instansi/lembaga yang dapat melaksanakan penertiban terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yaitu:

• Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD);

• Instansi penerbit izin;

• Instansi/lembaga lain yang bertugas dalam penertiban.

Adapun instansi atau lembaga yang bertugas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran adalah lembaga peradilan yang membentuk berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya, guna mengefektifkan daya penertiban, Bupati/Walikota membentuk Tim Khusus yang bertugas menangani pembongkaran bangunan-bangunan yang melanggar tata ruang. Tim ini terdiri dari unsur Bappeda, Bawasda, Penyidik PNS, kejaksaan, dinas teknis terkait, camat, dan sebagainya.36

Pengawasan adalah usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang berupa pengumpulan data dengan melalui proses visualisasi, pengawasan dan monitoring untuk keudian dievaluasi dari setiap pemanfaatan ruang/lahan yang terjadi. Tahapan proses pengawasan meliputi pelaporan, pemantauan dan evaluasi.

a. Pelaporan

36Sjofjan Bakar, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah” (Jakarta :


(57)

48

Berdasarkan tugas dan fungsinya, kelembagaan yang terlibat dalam proses ini adalah instansi-instansi teknis di tingkat Kabupaten / Kota dan Propinsi, aparat pemerintahan di tingkat yang lebih kecil (Kecamatan, Kelurahan/Desa). Lembaga Swadaya Masyarakat, Masyarakat dan lembaga swasta lain yang mempunyai kepentingan terhadap pemanfaatan ruang. Semua mempunyai wewenang yang yang sama dalam melaporkan setiap tindakan penyimpangan pemanfaatan ruang ruang, yang dilakukan secara berjenjang dari lingkup terkecil hingga lingkup terbesar.

b. Pemantauan

Pemantauan dilakukan untuk mendapatkan tambahan informasi dari dinas-dinas lain yang ada di TKPRD maupun masyarakat berkaitan dengan kegiatan yang ditenggarai ada penyimpangan dengan rencana tata ruang. Hasil pemantauan masing-masing kelembagaan tersebut dikoordinasikan dalam rapat koordinasi TKPRD Propinsi. Tugas penilaian atas informasi yang ada menjadi tanggung jawab instansi teknis (Diskimtaru).

Berdasarkan penilaian tersebut, secara umum hasil penilaian akan menghasilkan pengelompokkan pemanfaatan ruang yaitu :

Pemanfaatan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Pemanfaatan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang c. Evaluasi


(58)

49

Dalam proses evaluasi, hasil penilain dari permasalahan dipilah menjadi 2 (dua) aspek yaitu pemanfaatan tidak bermasalah dan pemanfaatan bermasalah. Dari hasil evaluasi tersebut maka penyimpangan bermasalah dapat dibagi menjadi dua yaitu pemanfaatan yang sesuai dan pemanfaatan yang tidak sesuai. Pemanfaatan yang sesuai dengan rencana tata ruang dipilah menjadi 3 (tiga) yaitu yang tidak menimbulkan masalah, yang menimbulkan masalah kecil, dan yang menimbulkan masalah besar. Dari ketiga kriteria tersebut, akan dijadikan masukan sebagai peninjauan kembali RUTRK Kota. Kemudian dari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan RUTRK dipilah menjadi 2 (dua), berdampak kecil dan besar, dan nantinya akan ditarik kesimpulannya sebagai rekomendasi Gubernur dan Kabupaten untuk dilakukan penertiban dari penyimpangan yang ada.37


(59)

BAB III

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Penataan Ruang di

Daerah Perspektif Hukum Islam

Agama Islam sebagai agama yang mengklaim sebagai agama yang

rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam), tentunya mempunyai aturan mengenai masalah perkotaan. Dalam hal-hal tersebut, tampak jelas hubungan kontekstual ilmu fiqih itu diolah dengan metode ijtihad yang mengembangkan

ijma, qiyas, dan istiqara. Selanjutnya dalam periode tahzib disempurnakan sistematikanya dan mengalami beberapa reformulasi sampai pada pembakuan formatnya. Sejak periode taqlid yang cukup lama bertahan, hingga dapat diwariskan periode taqnim yang kini telah berkembang pesat.1

Menurut K.H. Ali Yafie mengatakan bahwa fiqih itu pada dasarnya bukanlah suatu ilmu teoristis (ulum nazhariyah) tetapi garapannya berupa ketentuan-ketentuan positif (ahkam ahmaliyah). Oleh karena itu, menurutnya, definisi yang baku untuk fiqih ialah : “al-fiqih huwa al-ilmu bi al-ahkam asy-syar’iyyah al-amaliyyah al-mutasabu min adillatiha at-tafshiliiyah.” Kalau definisi ini diuraikan, maka isinya dapat dipertajam yakni :

1 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet. Ke-1, h. 9


(60)

51

1. Fikih itu adalah garapan manusia (ilmu al-muktasab) karena fiqih itu merupakan ilmu muktasab, maka peran akal, (ra’yi) mendapat tempat dan diakui dalam batas-batas tertentu.

2. Fikih itu objek garapannya adalah al-ahkam al-amaliyah. Dengan kata lain, ia terkait dengan pengaturan dan penataan perbuatan/ kegiatan manusia yang bersifat positif dan nyata seta tidak bersifat teoristis(nazha-riyyah) seperti halnya garapan ilmu kalam (aqaid). 3. Sumber pokok fikih itu adalah wahyu (syar’i) dalam bentuknya

yang rinci (adillah tafsiliyyah) baik dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah.

Sedangkan fikih perkotaan, termasuk dalam ruang lingkup fikih siyasi (al-fiqh as-siyasi). Dijelaskan yang dimaksud dengan fikih siyasi adalah ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijkasanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran islam untuk mewujudkan kepentingan orang banyak.2

Jelaslah dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa fikih perkotaan dapat didefinisikan : ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan bermukim di kota pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan (pemerintah


(61)

52

kota) yang bernafaskan ajaran islam untuk mewujudkan kepentingan orang banyak yang bermukim diperkotaan.3

Nabi, yang merupakan penunjuk pertama dan yang paling pasti dalam memahami Al-Quran, yang perkataannya (hadits) dan tindakan dan perbuatannya (sunnah) melengakapi ajaran Al-Qur’an mengenai alam, senantiasa melakukan perbuatan yang mencerminkan ajaran Al-Qur’an untuk menjaga, merawat, dan memelihara alam dalam kehidupannya sehari-hari. Dia menanam pepohonan, tidak merusak berbagai vegetasi meskipun saat perang, mencintai hewan dan menunjukan kebaikan kepada mereka, dan senantiasa mendorong kepada umat muslim untuk melakukan hal serupa. Dia bahkan mendirikan kawasan yang dilindungi untuk kehidupan alam, yang dianggap sebagai prototipe taman alam islam kontemporer dan konservasi alam.4

Nabi Muhammad saw melaksanakan politik kenegaraan, mengirim dan menerima duta, memutuskan perang dan membuat perjanjian serta bermusyawarah. Akan tetapi dalam kekuasaan tertinggi menempatkan Allah sebagai raja, yang maha suci, yang maha sejahtera, yang maha mengaruniakan keamanan, yang memelihara, yang maha perkasa, yang maha kuasa, yang maha memiliki keagunggan atau seperti dikatakan oleh Dr. Rahan Zainudin M.A.

3

Ibid, h. 11.

4

Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007),h 57


(62)

53

bahwa dalam pandangan islam,5 tuhan menempatkan posisi yang amat sentral dalam setiap bentuk dan manifestasi pemikiran. Tuhan adalah pencipta langit dan bumi6 atas kehendak-Nya sendiri. Demikian pula alam semesta7 dan juga

menciptakan manusia8. Dalam pemikran islam, Tuhan itu juga merupakan

sumber dari kebenaran.9

Sejak pertama kali Nabi Muhammad saw memulai dakwahnya sampai beliau wafat, disebut masa kenabian, yaitu masa keagungan islam. untuk melihat pemerintahan beliau adalah setelah hijrah dari mekah ke madinah, karena setelah terbentuknya pemerintahan islam di Madinah, jamaah islamiyah memperoleh kedaulatan yang sempurna, kemerdekaan yang penuh dan konsep islam mulai diterapkan.10

Apabila kita berfikir untuk memulai pembuatan semacam islamic village, maka pertimbangan berikut perlu mendapatkan porsi perhatian yang cukup dalam menata perumahan yang islami, yaitu :

1. Lokasi masjid mudah dijangkau

5 Rahan Zainudin, pokok-pokok pemiiran islam dan masalah kekuasaan politik dalam Bertram Ravendan JRP dalam bukunya the basic and of socail power mengatakan bahwa dasar kekuasaan adalah coercive power (dengan kekerasan), legimate power (dengan pengangkatan), expert power (dengan keahlian), reward power (dengan pemberanian), rever ent power (dengan daya tarik). Sedangkan strauss menggerakan orang-orang adalah dengan paksaan (be strong approach), persaingan (competition), pemanjaan (be good approach), perjanjian (implicit bargaining), dan kesadaran kerja (internalized motivation.)

6 Sura h Al-An’ a m (6) a ya t I d a n la in-la in b a nya k se ka li ya ng me ng a tur

te nta ng ini

7 Sura h Al-Mu’ min (40) a ya t 62

8 Sura h An-Na hl (16) a ya t 4 d a n sura h Al-Furq a n (25) a ya t 54 9 Sura h Al-Ba q a ra h (02) a ya t 147 d a n sura h Ali Imra n (03) a ya t 60

10 Inu Kencana Syafi’ie , “ Ilmu Pemerintahan Dan Al-Quran” (Jakarta ; PT Bumi Aksara, 2004), h, 129


(63)

54

Hendaknya masjid diletakan di tengah-tengah komplek perumahan tersebut sebagai sentral aktifitas masyarakat. Lokasi masjid seperti itu menjadikan jarak setiap warga menuju masjid dekat dari semua arah. Secara psikologis, masjid yang berada di tengah masyarakat mengisyaratkan simbol ruhaniyah. Warga masyarakat akan memiliki kedekatan dan keterikatan dengan nilai-nilai kebaikan karena terkondisi oleh masjid.

Apabila kita melihat aktivitas Rasulullah sesaat beliau dan sahabat Muhajirin diterima sahabat Anshar di Madinah, yang beliau lakukan adalah membangun masjid sebagai sebuah markas pergerakan dakwah islam waktu itu, masjid mempunyai pengaruh yang besar dalam mengikat persaudaraan dan menguatkan ikatan diantara mereka.11

2. Lokasi Komplek Pendidikan dan Sarana Kesehatan Umum yang Dekat

dengan Masjid

Setelah masjid terbangun ditengah kompleks perumahan, bangunan berikutnya yang harus diperhatikan adalah sarana pendidikan dan pelayanan kesehatan umum. Kedua sarana ini amat vital bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian yang dituntut adalah sebuah lembaga pendidikan islami mulai dari kurikulum yang tidak terjadi pengungkungan atasnya, sistem interaksi belajar mengajar yang islami, guru yang memberikan keteladanan

11 MT. Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam (Jakarta; Pustataka AL-Kautsar Grup, 2008)cet. Ke-1, h. 271- 272


(1)

Dengan bertawakal kepada Allah SWT penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Berdasarkan Permendagri No 8/1998 Tujuan penyelenggaraan penataan ruang di daerah yaitu; Terlaksananya perencanaan tata ruang secara terpadu dan menyeluruh, Terwujudnya tertib pemanfaatan tata ruang Terselenggaranya pengendalian pemanfaatan ruang, Berdasarkan Permendagri No.8/1998 Pasal 6 perencanaan tata ruang itu berisi; Pekerjaan peyusunan rencana tata ruang merupakan kewajiban dan tanggung jawab Kepala daerah, Peyusunan rencana tata ruang dapat dilakukan dengan cara; Bekerjasama dengan perguruan tinggi dan atau konsultan perencanaan yang berbentuk badan hukum dan swakelola. Dan Penyelenggaraan Penataan Ruang menurut hukum Islam Perencanaan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam, Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum Islam, Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Perspektif Hukum hukum Islam. Agama Islam memberikan tuntunan dan petunjuk yang jelas dengan tata cara hidup tanpa merusak ekosistem, tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal (lingkungan hidup dan kehidupan) ayat-ayat tersebut tentunya dijadikan sebagai rujukan dasar atau sebagai prinsip karena merupakan petunjuk-petunjuk dasar atau prinsip-prinsip yang pertama dan utama dalam


(2)

berbagai hal termasuk mengenai pembangunan dan lingkungan hidup sebagai suatu ekosistem.

2. Terdapat persamaan antara penyelenggaran penataan ruang menurut Permendagri No 8 Tahun 1998, dengan penyelenggaraan penataan ruang menurut hukum islam, yakni; untuk mengatur, memelihara dan menjaga penyelenggaraan penataan ruangyang efektif dengan tanpa melanggar hak-hak seorangpun.Terdapat perbedaan antara penyelenggaran penataan ruang menurut Permendagri No 8 Tahun 1998, dengan penyelenggaraan penataan ruang menurut hukum islam, yakni; perencanaan penataan ruang hukum islam tidak melalui birokrasi yang terlalu rumit, seperti yang dilakukan oleh hukum konvensional bahkan dalam Permendagri No 8 Tahun 1998 tidak terdapat satu pasal pun yang menyinggung tentang tempat untuk sarana ibadah, hukum Islam hanya mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pada saat baru tiba Di Madinah yaitu langsung membuat sarana tempat ibadah yaitu masjid.

B. Saran

1. Mendukung kebijaksanaan pemerintah dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang dengan memprioritaskan daerah-daerah yang tertinggal.

2. Menghimbau kepada pemerintah untuk membuat peraturan tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang tidak hanya mengatur tentang pembangunan lingkungan tetapi juga memperhatikan sarana tempat ibadah


(3)

karena negara kita adalah negara ketuhanan yang maha esa, sesuai dengan sila pertama.

3. Mengharapkan kepada segenap masyarakat serta tokoh masyarkat untuk ikut berperan serta dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang, agar tidak terjadi lagi kesimpangan dalam penataan ruang.

4. Mengharapkan kepada para akademisi untuk bersifat aktif pada setiap kebijakan baru tentang penataan ruang, yang di buat oleh pemerintah agar dapat meminimalisir kesalahan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang.


(4)

Daftar Pustaka

Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M,A Bergaul Bersama Alam Di Bawah Naungan Syari’at, Depok : Intisab, 2007.

Dr. Daud Effendy AM, “manusia, lingkungan dan pembangunan prospektus islam” Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Yogyakarta: Alumni, 2007.

Dyayadi, Tata Kota Menurut Islam; Konsep Pembangunan Kota yang Ramah Lingkungan, Estetik & Berbasis Sosial, Jakarta: Khalifa, 2008.

Facruddin MM, Ahmad Sudirman Abbas, khazanah Alam Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Fachruddin M Manggunjaya, “Menanam Sebelum Kiamat Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Ir. H. Gunawan, MA, “Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah”, Jakarta : Kasubdit Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Ditjen Bina Bangda Depdagri, 2008

Hadi Sabari Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Handiman Rico, ”Merealisasikan Hak Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan

Tata Ruang” Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang Kebijakan Nasional Dalam Perencanaan Tata Ruang, Bogor : Divisi Riset JKPP,

Dr. Ir. H. Hermanto Dardak, M.Sc. “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan” Bogor ; Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2005.

Drs. H. Inu Kencana Syafi’ie, “ Ilmu Pemerintahan Dan Al-Quran”, Jakarta ; PT Bumi Aksara, 2004.

Ismail Zubir, “Zoning Regulation Sebagai Instrumen Dalam Penataan Ruang”, Jakarta : Buletin Tata Ruang, 2007


(5)

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Majelis Ulama Indonesia “Air, Kebersihan Dan Kesehatan Lingkunan Menurut Ajaran Islam”, Jakarta : Majelis Ulama Indonesia, 1992.

Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001.

Murthadlo Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Terj : Ilyas Hasan, Jakarta:PT Lentera Basritama, 2002.

M.R. Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah; Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem, Malang: Bayumedia Publishing, 2007.

M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ke-2.

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.

Dr. Rahan Zainudin, pokok-pokok pemiiran islam dan masalah kekuasaan politik dalam Bertram Ravendan JRP

Dr. Ir Setia Hadi, MS.

Penataan Ruang Untuk Pemantapankawasan Hutan”, Bogor : Departemen Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan, 2006.

Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nistapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, Bandung :Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1983

Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc, “Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang” Jakarta : Dir. Fasilitas Penataan Ruang dab Lingkungan Hidup, 2009

Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc, “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah”, Jakarta : Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup – Depdagri, 2006

Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006


(6)

Widjojo Nitisastro, “Senantiasa Memiliki Rakyat Kecil “, dalam : Revolusi Berhenti Hari Minggu, Jakarta : PT. Kompas media nusantara, 2000.

Quraish, Shihab, membunikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1997.

Quraish Shihab, “Peranan Dakwah Terhadap Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Dalam : Lingkungan Hidup Berkeadilan”, Jakarta : CV, Puspita Sari Indah Bekerjasama Dengan LPPM-UNAS, 1993.

Yusuf Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terj : Abdullah Hakam Shah, Dkk, Jakarta : Pustaka Al-kauthsar, 2002

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No 26/2008 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah

Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1998 Tentang Peran Masyarakat

Dalam Rencana Tata Ruang.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1998 Tentang penyelenggaraan penataan ruang Di Daerah.

Penjelasan Atas Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 10 tahun 2000 Tentang Tingkat ketelitian peta untuk penataan Ruang wilayah.

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.