bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan
pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Selanjutnya bubu yang diikat pada tali
utama diturunkan ke dalam perairan. Setelah seluruh bubu selesai diturunkan, selanjutnya diikuti dengan penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir.
Contoh bubu yang dipasang dengan sistem rawai adalah bubu rajungan Prakoso, 2005. Martasuganda 2003 menambahkan bahwa bubu paralon
adalah salah satu jenis bubu yang dipasang dengan sistem rawai. Bubu ini dibuat dari paralon dengan diameter antara 10–15 cm dan panjang antara 6080
cm. Pada kedua sisi paralon dipasang mulut bubu yang terbuat dari plastik atau bambu. Hasil tangkapan utama dari bubu ini adalah belut laut.
2.3.2 Konstruksi bubu
Konstruksi bubu yang digunakan oleh nelayan merupakan warisan turun temurun. Selain itu, ada juga kontruksi yang merupakan hasil introduksi dari
nelayan asing. Konstruksi ini disesuaikan dengan karakteristik daerah penangkapan dan tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan.
a Bentuk
Menurut Monintja dan Martasuganda 1991, bentuk bubu bermacam macam, diantaranya berbentuk kerucut, kubus, balok, silindris, dan ada pula yang
berbentu kurungan. Cyr dan Marie 1994 menyatakan bahwa salah satu bentuk bubu yang digunakan di Jepang adalah berbentuk kerucut. Ukuran bubu ini
memiliki tinggi 0.65 m, diameter lingkaran bawah 1.2 m, dan diameter lingkaran atas 0.7 m. Rangka terbuat dari besi dan badan bubu terbuat dari jaring. Bubu ini
digunakan untuk menangkap kepiting.
Di Indonesia variasi bentuk bubu juga tidak kalah dengan yang digunakan oleh nelayan mancanegara. Untuk menangkap udang barong digunakan bubu
berbentuk kubah, prisma segitiga, dan berbentuk silindris. Walaupun berbeda bentuk, ketiga bubu ini digunakan untuk menangkap udang barong sehingga bubu
ini dinamakan bubu udang barong. Untuk bubu yang berbentuk kubah, mulut
bubu terletak pada bagian atas bubu. Adapun untuk bubu yang berbentuk prisma segitiga dan silindris, mulut bubu terletak pada sisi bubu Subani dan Barus,
1988. Di perairan Kronjo nelayan menggunakan bubu yang berbentuk kotak untuk menangkap rajungan Lastari, 2007. Nelayan di sekitar kepulauan
Karimunjawa menggunakan bubu berbentuk balok untuk menangkap kakap merah. Bubu ini dikenal dengan nama bubu kakap merah. Rangka bubu ini terbuat
dari gabungan besi dan kayu, sedangkan badannya terbuat dari kawat Nurhidayat, 2002. Bubu lipat dengan bentuk balok digunakan oleh nelayan Kecamatan Kubu
Kabupaten Pontianak untuk menangkap kepiting bakau Tiku, 2004. Adapun sebagian besar nelayan di Kepulauan Seribu menggunakan bubu tambun untuk
menangkap ikan karang. Bubu tambun adalah bubu berbentuk kurungan yang terbuat dari anyaman bambu, dengan mulut berbentuk corong. Penamaan bubu
tambun oleh nelayan karena pada saat pengoperasiannya bubu tersebut ditambun oleh batu karang, dengan maksud agar ikan tertarik untuk masuk ke dalam bubu.
b Bahan
Bahan yang digunakan oleh nelayan untuk membuat badan bubu sangat tergantung pada ketersediaan bahan pembuat di lokasi pemukiman nelayan. Di
Indonesia bubu masih banyak yang terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, maupun rotan. Hal ini terlihat pada bubu tambun yang bahan utamanya adalah
bambu Nugraha, 2008.
Selain bahan alami, bahan sisntetis juga digunakan dalam membuat bubu. Badan bubu banyak yang terbuat dari jaring, kawat yang dianyam, bahkan ada
yang terbuat dari plastik. Adapun rangka bubu umumnya terbuat dari baja atau besi Sainsbury, 1996. Bubu yang terbuat dari kawat pada umumnya berukuran
relatif lebih besar jika dibandingkan dengan bubu yang terbuat dari jaring. Hal ini dikarenakan target tangkapan bubu ini merupakan ikanikan dasar yang berukuran
besar yang ada di daerah karang. Salah satunya adalah bubu kawat yang ada di Kepulauan Seribu yang digunakan untuk menangkap ikanikan karang.
Baskoro 2006 menambahkan bahwa banyak jenis bahan atau material yang digunakan untuk membuat bubu, hal ini tergantung dari tujuan penangkapan
dan juga dimana perangkap tersebut akan dioperasikan. Bahan atau material yang
umum digunakan untuk membuat bubu adalah bambu, rotan, kawat, jaring, tanah liat, plastik dan lain sebagainya.
Untuk bubu laut dalam biasanya digunakan rangka berupa besi masif kokoh. Hal ini bertujuan agar bubu dapat bertahan dengan baik selama
dioperasikan di dalam air. Karena sebagaimana kita ketahui keadaan arus di dasar perairan relatif lebih kuat dari pada di perrmukaan. Dewasa ini, penggunaan
material bubu yang ramah lingkungan sangat dianjurkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko ghost fishing akibat hilangnya alat tangkap ketika
dioperasikan.
c Mulut bubu
Posisi dan bentuk mulut bubu berbedabeda sesuai tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan. Untuk menangkap lobster, nelayan di Brittany, Perancis
menggunakan bubu berbentuk kubah dengan posisi mulut di bagian atas dan berbentuk lingkaran. Lain halnya dengan nelayan Autralia, untuk menangkap rock
lobster nelayan setempat menggunakan bubu berbentuk trapesium dengan posisi mulut di bagian atas dan berbentuk kotak. Selain menggunakan bubu diatas,
nelayan Australia menggunakan bubu dengan bentuk mulut persegi panjang dan menyempit pada bagian samping bubu. Dengan demikian jelas bahwa walaupun
target tangkapan sama, namun konstruksi mulut bubu yang digunakan belum tentu sama. Untuk menangkap king crab, nelyan di Barat laut Pasifik dan disebelah
Timur Laut Bering menggunakan bubu dengan mulut yang berbentuk persegi panjang yang mengerucut dengan rangka mulut terbuat dari baja dan badan dari
mulut bubu tersebut menggunakan bahan jaring Polypropylene PP. Mulut bubu king crab ini terletak pada bagian samping bubu Schlack dan Smith, 2001
. Schlack dan Smith 2001 menambahkan bahwa jumlah mulut pada bubu
bermacammacam. Untuk menangkap kepiting lumpur, nelayan di Australia menggunakan bubu yang memiliki dua buah mulut yang berbentuk corong.
Bahkan ada pula bubu yang memiliki tiga buah pintu masuk, yaitu bubu yang dinamankan round trap. Hasil tangkapan utama bubu ini adalah snappers
Lutjanidae, emperors Lethrinidae and kerapu Epinephlidae.
Miller 1990 melakukan penelitian dengan menggunakan tiga jenis bubu untuk menangkap lobster. Bubu yang pertama memiliki dua buah mulut dengan
umpan diletakkan di tengah bubu. Bubu yang kedua memiliki dua mulut dengan dua umpan yang masingmasing diletakkan di dekat mulut bubu. Adapun bubu
yang ketiga memiliki tiga mulut dengan umpan diletakkan di tengah bubu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu dengan tiga mulut mendapatkan hasil yang
lebih baik dibanding yang lainnya. Hal ini disebabkan karena, semakin banyak jumlah mulut bubu, diperkirakan akan meningkatkan peluang rajungan untuk
masuk ke dalam bubu. Beberapa jenis bentuk mulut bubu dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: Schlack dan Smith, 2001
Gambar 4 Macammacam bentuk mulut bubu. 2.4 Umpan
Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Dengan demikian keberhasilan penangkapan menggunakan bubu sangat bergantung pada kemauan
ikan untuk masuk ke dalam bubu. Salah satu daya tarik ikan untuk masuk ke dalam bubu adalah keberadaan umpan.
Menurut Gunarso 1985, salah satu cara untuk menarik perhatian ikan adalah dengan menggunakan rangsangan kimiawi. Rangsangan kimiawi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan umpan. Ikan akan memberikan respon terhadap lingkungan sekelilingnya melalui indera penciuman dan penglihatan. Tertariknya
ikan terhadap umpan disebabkan oleh rangsangan berupa rasa, bau, bentuk, gerakan, dan warna. Kebanyakan ikan akan memberikan reaksi jika benda yang
dilihat bergerak, mempunyai bentuk, warna, dan bau. Lebih lanjut Gunarso 1985
menjelaskan bahwa pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang biasa dimakan ikan sangat berguna untuk usaha penangkapan ikan. Pada usaha
perikanan tertentu seperti pada perikanan tuna dan cod, besarnya hasil tangkapan yang dikehendaki bergantung pada terpenuhi atau tidaknya umpan hidup atau
umpan mati dalam jumlah atau kualitas tertentu.
Menurut Yudha 2006, Penggunaan alat bantu penangkapan, seperti umpan bait, pada bubu dasar atau bubu karang merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan efektivitas penangkapan dan sekaligus dapat mencegah masalah kerusakan terumbu karang. Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan
merupakan alat bantu perangsang yang mampu memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan efektivitas alat tangkap.
Menurut Leksono 1983, beberapa pertimbangan dalam menentukan alternatif jenis ikan sebagai umpan adalah sebagai berikut:
1 Umpan harus dapat digunakan pada alat tangkap yang telah ada; 2 Umpan harus dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama
penagkapan; 3 Umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik;
4 Lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah penanganannya; dan 5 Biaya pengadaan relatif murah.
Menurut Djatikusumo 1975 vide Riyanto 2008, umpan yang baik harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
1 Tahan lama tidak cepat busuk; 2 Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi
ikan yang yang menjadi tujuan penangkapan; 3 Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikan datang;
4 Harga terjangkau; 5 Mempunyai ukuran memadai; dan
6 Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
Schlack dan Smith 2001 menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai berikut:
1 Efektif untuk menarik ikan target; 2 Mudah dipasang pada berbagai posisi di dalam bubu;
3 Tahan lama; 4 Mudah diperoleh;
5 Harga murah; dan 6 Mudah disimpan dan diangkut.
2.4.1 Jenis umpan